Selasa, 30 September 2008

munafiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkk........................!!!!!
munafiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkk........................!!!!!
munafiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkk........................!!!!!
arrrrrrrrrrrrrrggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhh..............................!!

Rabu, 17 September 2008

About Yahudi 'n Palestina

SEJARAH YAHUDI

Seperti telah ditunjukkan di awal, semua tanah Palestina, khususnya Yerusalem, adalah suci untuk orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Alasannya adalah karena sebagian besar nabi-nabi Allah yang diutus untuk memperingatkan manusia menghabiskan sebagian atau seluruh kehidupannya di tanah ini.

Menurut studi sejarah yang didasarkan atas penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, Nabi Ibrahim, putranya, dan sejumlah kecil manusia yang mengikutinya pertama kali pindah ke Palestina, yang dikenal kemudian sebagai Kanaan, pada abad kesembilan belas sebelum Masehi. Tafsir Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot). Al-Qur'an menyebutkan perpindahan ini sebagai berikut:

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. (Qur'an, 21:69-71)

Daerah ini, yang digambarkan sebagai “tanah yang telah Kami berkati,” diterangkan dalam berbagai keterangan Al-Qur'an yang mengacu kepada tanah Palestina.

Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya Hajar dan putranya Isma’il (Ishmael) di Mekah dan sekitarnya, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al-Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al-Qur'an bertempat di lembah Mekah.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qur'an, 14:37)

Akan tetapi, putra Ishaq Ya’kub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’kub juga dikenang sebagai “Bani Israil.”) Setelah dibebaskannya Yusuf dari penjara dan penunjukan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir.

Suatu kali, keadaan mereka berubah setelah berlalunya waktu, dan Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah menjadikan Musa (Moses) nabi-Nya selama masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Ia pergi ke Firaun, memintanya untuk meninggalkan keyakinan kafirnya dan menyerahkan diri kepada Allah, dan membebaskan Bani Israil yang disebut juga orang-orang Israel. Namun Firaun seorang tiran yang kejam dan bengis. Ia memperbudak Bani Israil, mempekerjakan mereka hingga hampir mati, dan kemudian memerintahkan dibunuhnya anak-anak lelaki. Meneruskan kekejamannya, ia memberi tanggapan penuh kebencian kepada Musa. Untuk mencegah pengikut-pengikutnya, yang sebenarnya adalah tukang-tukang sihirnya dari mempercayai Musa, ia mengancam memenggal tangan dan kakinya secara bersilangan.

Meskipun Firaun menolak permintaannya, Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir, dengan pertolongan mukjizat Allah, sekitar tahun 1250 SM. Mereka tinggal di Semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al-Qur'an, Musa memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Kanaan:

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (Qur'an, 5:21)

Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israil meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qur'an, 48:26)


Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh berbagai orang-orang penyembah berhala, dan bangsa Israel, yang juga dikenal sebagai Yahudi pada saat itu, diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh Kerajaaan Romawi, Nabi ‘Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya, dan hidup menurut agama Allah. Sangat sedikit orang Yahudi yang meyakininya; sebagian besar Bani Israel mengingkarinya. Dan, seperti disebutkan Al-Qur'an, mereka itu yang: ": telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Qur'an, 5:78) Setelah berlalunya waktu, Allah mempertemukan orang-orang Yahudi dengan bangsa Romawi, yang mengusir mereka semua keluar dari Palestina.

Tujuan penjelasan yang panjang lebar ini adalah untuk menunjukkan bahwa pendapat dasar Zionis bahwa “Palestina adalah tanah Allah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi” tidaklah benar. Pokok permasalahan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam bab tentang Zionisme.

Zionisme menerjemahkan pandangan tentang “orang-orang terpilih” dan “tanah terjanji” dari sudut pandang kebangsaannya. Menurut pernyataan ini, setiap orang yang berasal dari Yahudi itu “terpilih” dan memiliki “tanah terjanji.” Padahal, ras tidak ada nilainya dalam pandangan Allah, karena yang penting adalah ketakwaan dan keimanan seseorang. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.

Al-Qur'an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:

Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Qur'an, 3:68)



(sumber: tragedipalestina.com)

Menggapai Hidayah Melalui Kisah


Tuesday, September 16, 2008

BAGAIMANA MEMPENGARUHI DAN “MENGUBAH” ORANG LAIN

Zaman dahulu kala, Kaisar Cina sudah berusia renta dan tak mampu lagi memegang kendali pemerintahan. Beliau memiliki seorang Putra Mahkota. Hanya kepadanyalah dinasti kekuasaan dapat berlanjut, karena putra mahkota yang berumur kira-kira 12 tahun ini adalah putra tunggalnya. Namun, terdapat satu masalah. Putra mahkota menderita penyakit DM (Diabetes Mellitus). Hal itu disebabkan putra mahkota sangat menyukai gula-gula dan tidak akan pernah bisa melepas kebiasaannya tersebut. Padahal, berbagai cara sudah dilakukan oleh sang ayah untuk mengobati anaknya dan juga agar sang putra mahkota dapat menghindari makanan yang manis-manis. Sudah banyak tabib dari segala penjuru yang diundang ke istana. Kaisar yang renta ini, sudah hampir putus asa.

Beberapa hari kemudian, seorang pegawai istana memberitahukan bahwa ada seseorang yang mungkin bisa mengatasi masalah ini, karena orang ini sangat terkenal dengan kepandaian dan kerendahan hatinya.

“Siapa nama orang itu, wahai patih?”, rupanya sang Kaisar sangat penasaran.

“Namanya Imam Ghazali, Baginda”, jawab patih dengan penuh rasa hormat.

“Tolong undang dia kesini. Aku khawatir dengan nasib putra mahkota. Siapa yang akan melanjutkan kerajaan ini selain dia? Aku sudah terlalu tua. Cuma dia harapanku satu-satunya…”.

“Baik, Baginda”.

Akhirnya, tibalah sang Imam di kerajaan yang mewah itu. Tanpa basa-basi, Kaisar langsung menceritakan tentang anaknya pada sang Imam.

“Wahai Imam, tolonglah anakku. Cuma dia harapanku. Apapun akan aku berikan padamu sebagai imbalan jika anakku sembuh”, Kaisar terlihat memelas pada Imam Ghazali.

Sang Imam terdiam. Beliau merenung. Rupanya beliau berpikir, susah juga ya masalahnya, batin sang Imam. Sementara, Kaisar yang menyaksikannya, terlihat heran dan makin putus asa. Akhirnya, dalam waktu yang lumayan lama, Imam Ghazali berkata,

“Izinkan saya membawa serta putra mahkota di kediaman saya. Beri saya waktu sebulan untuk membawanya kembali ke istana. Insya Allah, kebiasaannya akan hilang. Bagaimana?”.

Kaisar nampak ragu. Namun, karena harapan untuk kesembuhan anaknya demikian besar, juga demi melihat kemantapan wajah sang Imam, Kaisar menyetujui hal tersebut.

Singkat cerita, kembalilah putra mahkota ke istana bersama Imam Ghazali. Kaisar sangat bahagia menyambut kedatangan buah hatinya. Dipeluknya anak semata wayangnya. Dalam pelukan sang ayah, putra mahkota mengucapkan sesuatu.

“Ayahanda, ananda janji tidak akan makan gula-gula lagi”, ujarnya mantap. Tentu saja Kaisar terkejut mendengar kata-kata anaknya.

“Benarkah itu, wahai Imam?”, Tanya Kaisar kepada Imam Ghazali yang sejak tadi berada di samping putra mahkota. Sang Imam hanya tersenyum.

Dengan sedikit tidak percaya, Kaisar memanggil seorang dayang dan menyuruhnya mengambil berbagai macam bentuk gula-gula berwarna-warni yang sangat enak, yang juga merupakan makanan kesukaan putra mahkota. Gula-gula tersebut disodorkan di depan putra mahkota. Namun, anak itu dengan tegas menolak semua pemberian ayahnya. Kaisar heran.

“Wahai Imam, sebenarnya apa yang telah engkau lakukan pada anakku? Adakah doa-doa khusus yang kau berikan padanya? Jika benar, ajarkanlah padaku dan pada semua orang di istana ini agar tidak ada orang yang terkena penyakit yang sama di negaraku ini”, ujar Kaisar sedikit mengharap pada Imam Ghazali. Lagi-lagi, sang Imam tersenyum. Dengan bijak, beliau berkata,

“Tidak ada doa atau mantra yang saya berikan pada putra mahkota. Yang pertama yang saya lakukan adalah saya tidak boleh memakan gula-gula selama saya bersamanya. Kemudian, saya menghampirinya. Saya ajak dia duduk di hadapanku, menatap matanya sambil mengusap kepalanya dengan penuh rasa sayang dan berkata, “Anak yang baik, jangan makan gula-gula lagi ya”. Lalu, putra mahkota mengangguk dan berjanji untuk tidak makan gula-gula lagi. Hanya itu yang saya lakukan, Baginda”.

Lagi-lagi, Kaisar terkejut dan heran dengan apa yang terjadi. Dengan hal sesederhana itu, Imam Ghazali dapat mempengaruhi dan mengubah kebiasaan anaknya. Rupanya, Kaisar tidak tahu bahwa dibalik semua itu ternyata sang Imam juga sangat menyukai gula-gula dan berusaha untuk menghindari kebiasaan itu agar bisa memberikan contoh pada putra mahkota.

***

Seorang ikhwan, –dia adalah mas’ul dalam organisasi dakwah di kampusnya- terlihat marah dan putus asa saat mendapati anggota organisasinya tidak memenuhi janji syuro hari itu. Ia sebenarnya sudah berusaha untuk khusnuzan pada ikhwah yang lain, namun karena terlalu lama menunggu mereka dan mungkin juga karena syaitan sedang menguasai hatinya, kemarahannya sudah tak mampu dibendung lagi. Ia beranggapan, teman-temannya sudah tidak ada komitmen lagi dalam organisasi ini. Ia mulai jengkel. Siapa yang patut disalahkan dalam masalah ini? Sempat terpikir olehnya untuk mundur dari posisi dan jabatannya. Dalam hati ia berkata, untuk apa aku ada disini jika tidak “dianggap”? Sami’na wa atho’na sudah tak terdengung lagi dalam hati personil organisasinya. Lalu, siapa yang mau disalahkan?

Sebenarnya, bila kita lebih jeli lagi, kisah Imam Ghazali di atas sangat menginspirasi kita, terutama bagi seseorang yang memiliki amanah sebagai pemimpin seperti seorang ikhwan tersebut. Emang, ada hubungannya?

Ya! Dalam kisah sang Imam dan putra mahkota, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa jika kita ingin mengubah dan mengajak orang lain berbuat baik, terlebih dahulu dan jauh sebelumnya, kita harus mengubah diri kita sendiri. Kita ingin mengajak orang lain membuang sampah di tempatnya, maka seharusnya kita juga membuang sampah di tempat sampah. Kita ingin mengajak orang orang di sekitar kita untuk rajin shalat tepat waktu, maka kita juga harus rajin shalat tepat waktu. Kita ingin mengajak orang lain berbuat baik, maka kita harus senantiasa menghiasi diri dan akhlak kita dengan cahaya kebaikan. Itulah esensi dakwah. Dakwah, yang menurut bahasa berarti mengajak. Mengajak dalam berbuat kebaikan. Fastabiqul khairat!

Sebelum kita memutuskan untuk terjun dalam dunia dakwah, sepantasnyalah kita mempersiapkan diri untuk menjadi teladan (uswah) bagi orang lain, terutama bagi orang yang ingin kita dakwahi, objek dakwah kita. Lihatlah Imam Ghazali. Sebelum beliau mengajak sang putra mahkota untuk berhenti dari kebiasaannya memakan gula-gula, beliau juga harus rela meninggalkan kebiasaannya memakan gula-gula. Dan akhirnya usaha beliau berhasil. Dengan perubahan itu, akan membawa putra mahkota sebagai raja yang tangguh dan sehat nantinya. Tanpa harus dihantui oleh penyakit yang dideritanya. Pikirkan! Cuma karena berhenti makan gula-gula, kekuasaan pemerintahan dinasti Cina tersebut dapat berlanjut!

Terkait dengan sang ikhwan, sebagai pemimpin lebih-lebih harus menunjukkan keteladanan. Untuk kasus di atas, mungkin dia sudah berusaha menjadi teladan dalam hal ketepatan waktu. Tapi, masih ada hal lain yang berhubungan dan berkaitan dengan itu semua. Siapa tahu, masih ada sifat dari sang pemimpin yang tidak disukai oleh ‘anak buah’nya. Karena sifat yang satu dapat mempengaruhi sifat yang lain. Karena satu sifat buruk, dapat men’jelek’kan sifat baik yang lain. Misalnya saja, sang pemimpin itu bersifat otoriter, sok pintar, angkuh, tidak menghargai pendapat orang lain, menganggap dia adalah yang paling tahu segalanya sehingga memandang orang lain dengan sebelah mata (Naudzubillah! Semoga tidak ada aktivis dakwah yang seperti itu) atau sifat-sifat buruk yang lain. Memang sangat sepele, tapi bagi seorang pemimpin, hal tersebut sangat berpengaruh bagi image-nya. Bagi orang yang peka terhadap sifat-sifat tersebut, mungkin akan muak dengan sosok pemimpin seperti itu. Dia akan beranggapan bahwa pemimpinnya adalah seseorang yang bermuka dua. Dia bisa saja bosan dipimpin oleh orang seperti itu. Dan, akhirnya lama-lama, mundur teratur dari barisan dakwah!

Seyogyanya, seorang pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan yang baik (uswatun hasanah, gelar yang disandang Rasul kita tercinta) bagi bawahannya. Tidak perlu menjadi pemimpin sesempurna Muhammad Saw, karena memang kita tidak akan pernah menyamai beliau. Kita hanya harus terus berusaha untuk meminimalisir sifat-sifat buruk yang ada dalam diri, membuangnya jauh-jauh dari kehidupan kita. Berusaha untuk tidak jadi pemimpin yang angkuh/otoriter, menerima pendapat orang lain, siqoh pada bawahannya.

Ikhlas, juga sangat penting. Ikhlas menerima amanah yang diberikan kepada kita, karena dengan diberikannya amanah berarti orang-orang percaya bahwa kita dapat menjadi pemimpin mereka. Jangan pernah menganggapnya sebagai beban, sekalipun. Jika ada rasa tidak ikhlas, sedikit saja, jalan sebagai pemimpin akan disesaki batu cadas. Pun istiqomah, inilah yang paling susah untuk dilakukan dan diwujudkan. Fastaqim, ya mujahiddin! Fastaqim!

Akhirul qalam, semoga setiap kita dapat menjadi khairul imam (pemimpin yang baik), yang dapat mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, agar hidup bisa menjadi lebih baik. Tidak perlu terlalu muluk-muluk, perubahan yang besar datang dari perubahan yang kecil.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kelak kita akan menjadi jundullah yang tetap istiqomah di jalan dakwah tanpa ada keraguan, semoga! Karena ikhwafillah, dakwah adalah jalan terindah… Allahu Akbar! ^_^

untuk para pencinta








Ya Allah, aku ingin…

Mencintai-Mu, lebih daripada apapun di dunia ini.

Mencintai-Mu, melebihi kecintaanku pada keluarga dan suamiku nanti.

Mencintai agama-Mu, melebihi kesenanganku akan harta,

sebanyak apapun itu.

Mencintai ketentuan-Mu, melebihi kesenanganku,

atas kenikmatan duniawi, senikmat apapun itu.

Ya Allah, aku mohon kepada-Mu…

Jangan Kau buat hati ini bimbang untuk segera menikah,

jika dengan menikah itu dapat mengubah dosa menjadi pahala,

dan mengubah yang haram menjadi halal.

Ya Allah, setelah kesesatanku di masa silam,

cukuplah kini neraka sebagai pengingatku.

Jangan sampai aku menjadi salah seorang penghuninya.

Amin…

*Untaian kalimat, kutipan dari novel

“The Sacred Romance Of King Sulaiman & Queen Sheba

(Doa Ratu Bilqis sebelum menjadi istri Nabi Sulaiman)

***

Tanyalah pada pencinta,

bagaimana mereka dengan sabar menunggu.

Demi sesuatu yang mereka perjuangkan.

Betapa mereka terus mendamba,

dan berharap.

Dalam tiap langkah, dalam tiap desah.

Dalam tiap kata, dalam tiap doa…

Senin, 15 September 2008

PUISI SAHABAT

April, 18th 2007 (23:42:30)

A MISSING HEART

Oleh: New “Miftah” Man 2006

Sepi malam; kelam…

Tetes waktu meluncur dan jatuh

Di bumi lain,

Kau berjalan dengan warna yang berbeda

Tiada lagi kata penghabisan…

Adalah perjanjian yang kekal

Jika kau dan aku akan bertemu

Tak bersama,

Tapi jadi penyebar cinta yang SEMPURNA…

Sesekali menyapa

Hati pun terampas…

Kita tinggal tersenyum,

Sepi pun hadir lagi…



May, 21th 2007 (06:16:59)

(DIA) SIAPA..?!

Oleh: Yayan “Boulevard”

Sang mentari segera bersinar membawa sejuta harapan

Kicau burung pun terngiang di telinga

Sejuknya embun pagi menambah kegalauan hati

Terkadang…

Aku menatap matahari terbit maupun terbenam

Saat hatiku menyangka dirimu telah hadir di hadapanku…

Membawa berjuta-juta rasa cinta,

Membangunkan aku dari tidur lelapku

Harumnya bunga mawar, tak mampu menipu diriku

Yang terlintas hanya sebuah angan-angan yang belum tentu nyata

Akankah aku bisa hadir di dalam hatimu?

Menabur benih-benih cinta,

Memupuk berjuta-juta rasa sayang,

Menuai manisnya madu cinta…

Terkadang aku sadar

Semua itu hanya hiasan mimpi

Kau selalu hadir dalam beragam bunga tidurku,

Kala aku merasa seperti orang yang tersesat di tengah lautan lepas

Terombang-ambing diterjang derasnya gelombang

Mengharapkan dirimu datang menyelamatkanku

Hatiku selalu bertanya…

Siapakah dia?

Apakah dia…

yang di setiap hembusan nafasku selalu terucap namanya?

Apakah dia…

Yang di setiap detak jantungku menyebut namanya?

Aku yakin,,

Pasti DIA…

poetry

Sunday, September 14, 2008

JANGAN ARTIKAN INI CINTA*

Oleh: El Zukhrufy

Kuhaturkan terima kasih

Atas setiap doa yang kau tiupkan dalam jiwaku

Dan aku hanya bisa membalas senyum

Tapi, jangan artikan ini cinta…

Kau tak boleh keliru, karena itu terlarang untukmu, akan menghancurkanmu…

Aku tersenyum, tapi bukan untuk cinta

Jangan berpikir telah mengenalku

Kau tidak tahu apa-apa tentangku

Aku adalah misteri

Senyuman ini, dan pengorbanan yang kuberikan

Ingin kau artikan apa?

Cinta buta, kelemahan, atau kemunafikan?

Aku yakin, hanya aku yang tahu

Aku adalah misteri,

Jangan berpikir kau telah mengenalku

Mungkin aku terlalu muak dan lelah

Atas kemunafikan misteri yang munafik!

Dan jangan pernah artikan ini cinta, sayang…

Karena jagad diri adalah kemunafikan…


*untuk seseorang:

“Sebagian cinta adalah misteri, dan senyuman tak berarti cinta…”

Minggu, 14 September 2008

sharing...

Friday, September 12th 2008

Aku Ingin Jadi Orang Baik, Tuhan...

Bunuh saja aku!!
Lenyapkan aku di bumi ini!
apa aku tak layak ada disini?
Aku ingin jadi orang baik, Tuhan...
Sungguh...
Tapi, mengapa harus ada ujian jika hati berniat baik?
apa memang harus begitu?
Apakah sebelum berbuat sesuatu yang benar, harus diuji dulu?
Ataukah..
aku memang tak layak jadi orang baik?
Ataukah...
aku tidak diciptakan untuk jadi orang baik?
Tapi...
Aku ingin jadi orang baik, Tuhan...
Sungguh...

*untuk seorang adik, maafkan ane y... :(

Kamis, 11 September 2008

my poetry, just read it!

Sunday, July 06, 2008

BALADA SEORANG CLEANING SERVICE (1)
Oleh: El Zukhrufy


Aku hanya sampah!
Berteman debu,
seliweran di koridor-koridor tempat kuliahmu
daun gugur, plastik, kertas-kertas…
entah itu tugas kuliahmu yang tidak sempurna
entah itu surat cinta dari orang yang tidak kau suka
entah itu bukti pembayaran SPPmu semester lalu
entah itu ‘pelampung’ saat ujianmu…
Kau bebankan semua di pundakku
Aku kotor!
Bersanding tikus-tikus got, penuh comberan busuk!
Setiap hari, setiap saat…
Coklat, oranye dan biru…
Warna hidup yang menyapaku
Tak usah pura-pura iba kepadaku
Aku tak butuh itu!
Tak usah pedulikan aku
Aku hanya cleaning service di kampusmu…



BALADA SEORANG CLEANING SERVICE (2)


Masih ingatkah kau, sobat?
Saat kita belajar bersama
Saat kita berlarian di pematang sawah
Dapatkah kau kenang, sobat?
Saat kau terhanyut di sungai desa kita
Airnya deras hampir menenggelamkanmu
Aku segera menyelamatkanmu…
Satu detik lalu aku menyapamu dalam senyum
Namun, aku harus menelan pahit
Acuh, karena kau tak mengenalku…
Atau (mungkin) tak mau lagi mengenangku
Aku harus melihatmu berlalu, congkak!
Kau membuang sesuatu, dengan wajah penuh amarah
bukan di tempatnya, dan aku harus segera memungutnya
karena ini tugasku, nyawaku…
Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,
Tak usah mengingat apapun tentangku, sobat…
Aku hanya cleaning service di kampusmu…


BALADA SEORANG CLEANING SERVICE (3)



Kau selalu disitu, di tempat yang sama
Aku tahu itu tempat kesukaannmu
Melihatmu duduk di ruang kuliahmu, nyaman
Dari hari ke hari
Dan aku…
Berteman peluh hingga tak mungkin kau dekati
Menyaksikanmu berjalan dengan pujaanmu,
Hatiku sesak
Namun tak mampu menyalahi takdir ini
Mata kita menyapa
Kau tersenyum manis padaku
Senyum yang tak mungkin hanya untukku
Oh… Kau memang baik, dinda…
Pada siapapun, aku tahu itu
Tapi…
Kau hanya akan remukkan hatiku…
Jangan hiraukan aku, dinda…
Sekalipun, jangan pernah!
Aku tahu aku tak layak menaruh hati padamu
Aku hanya cleaning service di kampusmu…


*Puisi ini pernah dimuat di PK Identitas Unhas
Edisi akhir Agustus 2008

CERPEN_KU...


Wednesday, June 25th, 2008


SAAT CINTA DENDANGKAN LUKA*

Oleh: El Zukhrufy

Kutemukan diriku tersenyum saat kubaca lembar demi lembar metafora kehidupannya. Sungguh, kisah yang sangat mengharukan dan membanggakan. Kata-kata, pun kalimat-kalimat yang digunakan untuk mengisahkan dirinya sanggup membiusku dan memaksaku untuk tidak berpaling sedikitpun dari diary itu. Tanpa ku sadari, telah kubangun bongkah-bongkah kekagumanku untuknya. Kekaguman yang menjadi sangat, menjelma cinta. Saat dia harus memegang amanah yang (mungkin) orang lain tak akan sanggup untuk memikulnya karena terlalu berat untuk dijalankan. Saat dia mati-matian memperjuangkan hak-hak orang lain yang tertindas, menyuarakan isi hatinya yang tidak ingin melihat ketidakadilan terjadi di negara ini, juga kemarahan dan kebencian yang sangat melihat kezaliman yang terjadi di bumi Palestina (“Boikot Israel” adalah kata-kata yang selalu dia utarakan). Saat dia mendapat curahan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Saat dia menjalani hari-harinya yang melelahkan. Saat dia mendapatkan penghargaan atas prestasi-prestasinya. Saat bundanya merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sungguh..!! Kekaguman dan cintaku berlipat-lipat padanya.


***

Aku melihatnya. Dia tepat di depanku saat ini. Bagaimana tidak?? Sekarang, dia di depan sana sebagai pemateri. Saat menyebut namanya, hatiku bergetar. Khairul Imam, namanya. Nama yang sungguh indah. Wajahnya pun menyejukkan hati setiap peserta. Kata-katanya lugas. Beberapa jenak, aku merasa kagum padanya. Kagum akan bijaknya. Kagum akan wibawanya, retorikanya, bahasa tubuhnya, mata elangnya. Berlebihan, mungkin. Tapi, ini adalah ungkapan kejujuran seseorang tanpa paksaan dari pihak lain. Langkahnya… Senyumnya… Gerak tubuhnya… Pesonanya… Lalu, kurasakan sesuatu yang menggelitik hatiku. Apakah ini??

***


Pagi yang cerah. Allah Yang Esa telah menunjukkan salah satu bentuk kuasa atas ciptaan-Nya.
“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam…”
Ya. Malam telah berganti pagi. Saatnya burung-burung untuk bersenandung riang, lepas tanpa beban. Saatnya para petani beranjak di tengah kabutnya pagi, menggarap sawah sekedar untuk menyambung hidup. Saatnya para penjual nasi menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu asrama mahasiswa. Saatnya para mahasiswa mendapat ideologi baru yang ia yakini dan suatu saat bahkan akan membunuhnya. Saatnya para pejabat menemukan dan merangkai kosakata-kosakata baru, yang menggiurkan telinga untuk menumpuk janji-janji baru yang kian menggunung (aku muak dengan itu semua, masyarakat sudah terlalu kenyang akan janji-janji). Saatnya untuk bergegas melawan waktu yang hanya diciptakan 24 jam sehari, yang terasa begitu singkat bagi mereka yang gila harta. Saatnya untuk bangkit menantang zaman yang semakin sulit untuk dihadapi oleh mereka yang “hina”, mereka yang sepanjang hidup selalu berada di tempat yang sama, kolong jembatan! Mereka yang tidak pernah merasakan hidup enak, bahkan harus akrab dengan perut kosong seharian, hingga tersenyumpun mereka tak kenal lagi. Hingga mati menjadi pilihan terbaik. Ya. Siapapun, apapun kedudukannya, sekarang saatnya beraktivitas…

Saat semuanya bergelut dengan perannya masing-masing, aku baru saja akan memulai hariku yang baru, sambil meneguk minuman kesukaanku, susu hangat. Kuraih remote dan kunyalakan televisi. Kucari channel yang menyajikan berita aktual pagi, akhirnya dapat. Disana tersaji berita tentang aksi salah satu organisasi mahasiswa yang tidak setuju dan menolak kenaikan harga BBM. Tapi, ada yang beda. Aksi itu tidak anarkis seperti biasanya. Ketika aku menikmati berita itu, aku terkesiap, tersentak kaget! Ruang hatiku bergetar. Ada desiran hebat disana. Aku mengenal sosok itu. Seorang aktivis dakwah yang dengan gagahnya berorasi sambil memegang tongkat yang terpasang bendera merah putih di atasnya. Bersama membentuk barisan dengan teman-temannya di depan gedung DPR. Suaranya lantang mengangkasa, menggema. Tidak hanya di gedung DPR sana, tapi juga singgah mengetuk-ngetuk, kemudian masuk dan menggema di sanubariku. Mata elangnya menyiratkan kebencian, kemarahan dan ketidaksetujuannya terhadap apa yang terjadi di tanah airnya, ibu pertiwi yang telah memberinya makan, mendidiknya dan mengajarinya untuk tetap selalu tegar melawan kekejaman dunia. Aku semakin kagum padanya.

Selang beberapa hari setelah aksi di depan gedung DPR, dia kembali mengejutkanku dan semakin menambah kekagumanku padanya. Dia berhasil meraih predikat mahasiswa teladan di kampusku. Bersamaan dengan itu, dia juga meraih gelar juara pertama MTQ tingkat nasional. Subhanallah!! Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Sempurnalah sudah sosoknya di mataku. Sosok yang selama ini aku cari, yang aku harapkan bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tanggaku kelak, yang bisa membimbingku, yang bisa mengajari dan mendidik buah hatiku dengan penuh kasih sayang dan keteladanan. Sosok yang bisa kujadikan curahan keluh kesahku, yang bisa menemaniku meraih angan-anganku. Seorang yang… Astaghfirullah!! Apa yang kupikirkan?? Segera aku memohon ampun kepada Allah atas apa yang menimpaku.

Dan kemudian aku bingung. Mengapa aku selalu memikirkan dia?? Semuanya selalu terbayang. Suaranya, senyumnya, mata elangnya… Apa yang terjadi?? Haruskah kupungkiri hal ini??
Ya Allah, aku jatuh cinta!

***


Aku masih menikmati dan menyaksikan kisah hidupnya disertai cinta yang kian hari kian menyelubungi rongga dadaku. Kuselami kata-katanya. Aku merasa telah lama mengenalnya, menjadi bagian hidupnya melalui kisah-kisahnya. Kubuka lagi lembar berikutnya. Tiba-tiba, kutemukan secarik kertas. Sebuah surat. Berwarna merah jambu dengan tinta emas. Aku penasaran. Kuberanikan diri untuk membacanya, meskipun hati kecilku mengatakan jangan. Kutelusuri kata demi kata, huruf demi huruf. Kemudian, aku terhenyak! “Akan kukejar waktu untuk membagi cintaku padamu, adinda. Membagi rinduku yang meluap dari hari ke hari. Aku akan selalu menunggumu, cahayaku…”. Surat itu memuat tulisan tangannya, untuk seorang gadis yang dipanggilnya “Tiara”. Seseorang yang tak aku kenal. Surat itu menjelaskan kerinduan yang mendalam untuk ingin bertemu Tiara. Kerinduan yang mungkin juga cinta. Cinta sang Khairul Imam yang hanya untuk Tiara. Dan, aku???

Dadaku sesak. Tanpa kusadari, aku menangis. Wajahku basah. Airmataku berderai-derai. Derainya kemudian sanggup meretakkan hatiku. Hati yang sudah tulus mencintainya tanpa dia tahu hal itu. Hatiku luka, perih, pekat, tersayat, diselimuti mendung tebal dan hitam yang siap untuk membentuk partikel-partikel hujan yang akan membasahi hatiku. Aku tak menerima hal ini terjadi, ini tidak adil!! Egoku meninggi. Aku tak ingin membiarkan diriku ikhlas menerima ini semua. Aku tak ingin merelakan cintanya untuk dimiliki orang lain. Aku tak ingin terluka.

Aku ingin berlari, meninggalkan tempat ini sejauh mungkin. Berteriak menghadap langit yang seakan runtuh menimpaku. Mengapa harus terjadi? Aku hancur. Tersiksa oleh perasaan yang aku ciptakan sendiri. Pedih… Saat harus mengingat lagi senyumnya yang hanya dia berikan untuk Tiara, cahaya hidupnya. Bahwa ternyata aku bukanlah siapa-siapa untuk dirinya, tak pantas untuknya, tak pantas mengharapkannya… Tiba-tiba, aku merindukannya, sangat. Disertai perih menyeruak.
Aku, luka… Aku memandang gelap. Diam. Sunyi. Hitam.


***


Aku baru saja selesai mengemasi barang-barangku, dan hal itu membuat Kak Nisa heran. Kak Nisa, senior yang dulu sekolah denganku di SLTA yang sama, kini kuliah di kampus yang sama – Kampus Merah, kampus kebanggaan dan terbesar di Indonesia bagian timur – Kak Nisa adalah teman seperjuangan, juga sudah ku anggap kakak sendiri.
“Dik, kamu yakin mau cuti semester ini?”, tanyanya seraya tak lepas memandangku.
“Iya, Kak. Adik terlalu capek. Kuliah semester kemarin benar-benar melelahkan. Adik pikir, sekarang saatnya pulang kampung dulu. Adik juga rindu pada ayah dan bunda di kampung”, jawabku dengan penuh kebohongan.

Sebenarnya, aku hanya ingin menjauh dari tempat ini secepatnya, tempat yang akan menjadi saksi kebahagiaan Khairul Imam bersama Tiara Raihana, gadis yang ternyata telah dikhitbahnya. Khairul Imam bertemu Tiara saat mengikuti lomba MTQ tingkat Nasional beberapa bulan lalu. Dan Tiara adalah juara pertama untuk kategori Qariah terbaik. Mungkin hal itulah yang membuat Khairul Imam jatuh cinta pada Tiara, jatuh cinta pada suara emasnya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Dan jika harus membandingan antara aku dan Tiara, aku semakin merasa tak pantas mengharapkan cinta Khairul Imam. Sebenarnya, saat ini aku ingin menangis, namun segera ku kuatkan hatiku. Tangis ini harus ku tahan, agar Kak Nisa tidak mengetahui apa yang terjadi padaku. Dia tidak boleh tahu hal ini.
“Apa kamu yakin dengan jawabanmu? Kamu tidak sedang berbohong kan? Kamu ingin pergi bukan karena hal lain kan?”, Kak Nisa menyerbuku dengan pertanyaannya.
“Lho, kok Kakak nanya Adik seperti itu?”
Kak Nisa kemudian meraih tanganku dan mengajakku duduk di pinggir tempat tidur kami berdua. Sekarang, kami berhadapan. Kak Nisa menatapku dalam.
“Adikku sayang, tatap mata Kakak. Jujur pada dirimu sendiri. Kamu ingin pergi karena Khairul Imam kan?”
Aku tersentak, kaget! Hal itu semakin membuat Kak Nisa yakin akan pertanyaannya.
“Dik, kita sudah lama saling kenal. Kita juga sudah lama hidup bersama, sekamar di pondokan ini. Meskipun aku bukan kakak kandungmu, tapi kakak tahu apa yang terjadi padamu, apa yang sedang kau rasakan. Selama ini, kakak hanya bertindak pura-pura tidak tahu”. Hening sejenak.
“Kakak tahu apa yang sedang kau alami, tentang perasaanmu terhadap Khairul Imam. Kakak juga tahu saat kau tidak sengaja menemukan catatan hariannya. Kakak tahu dari senyum dan kerlingan matamu saat kau bercerita tentangnya. Kamu tidak akan bisa menyembunyikan perasaan itu dari Kakak, dan kamu lupa hal itu. Kamu tidak pernah menyadari perubahan besar yang terjadi dalam dirimu sejak kau mengenal Khairul Imam. Kamu terlihat ceria dari hari ke hari. Tapi, semuanya telah berubah saat kau temukan diary bersampul hitam itu, yang ternyata milik Khairul Imam, laki-laki yang menjadi panutan seluruh aktivis dakwah di kampus kita. Dan sekarang, kau semakin terpuruk saat harus mengetahui Khairul Imam telah melamar Tiara…”

Dan, tangisku pun tumpah demi mendengar itu semua dari mulut Kak Nisa. Aku sudah tak sanggup menahan bulir-bulir yang tadinya hendak jatuh bercucuran. Kak Nisa meraihku dalam pelukannya. Aku memeluknya erat. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Kak Nisa. Hatiku remuk redam. Aku merasakan kembali luka itu. Kak Nisa turut meneteskan airmata melihatku seperti ini. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Suaraku tercekat di tenggorokanku, perih sekali. Lama kami terdiam dalam tangis.

“Jangan terlalu larut dalam kesedihan, sayang. Kejadian ini hanyalah bagian kecil dari sejarah hidupmu. Melalui kejadian ini Allah hendak menguji, seberapa besar cintamu kepadaNya dibanding besarnya cintamu untuk Khairul Imam. Dan jika cintamu lebih cenderung terhadap makhluk ciptaanNya, maka segeralah mohon ampun padaNya. Jika memang Khairul Imam berjodoh denganmu, dia tidak akan pernah menjadi milik Tiara. Tapi, jika dia bukan jodohmu, kamu harus menerimanya karena itu semua sudah ketetapanNya. Percayalah, bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-hambaNya yang beriman. Laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Juga sebaliknya, perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik pula. Itu janji Allah. Dan jangan lupa untuk selalu memohon petunjukNya serta terus berdoa kepadaNya, maka insyaallah, Allah akan mengabulkan permintaanmu…”
Seolah mendapat pencerahan, aku kemudian melepaskan pelukanku dari Kak Nisa. Kata-katanya benar. Sederhana, namun sanggup menyibakkan mendung yang tadinya menyelimuti hatiku. Damai menyusup di relung jiwaku, perasaan yang beberapa saat lalu tak pernah aku rasakan. Perlahan-lahan, ku bentuk lagi puing-puing semangat hidupku.
“Syukran ya, Kak atas semuanya. Kakak benar. Adik tidak boleh terus terpuruk dalam keadaan seperti ini. Kakak telah membangkitkan lagi semangatku. Adik bersyukur telah mengenal Kakak. Adik sayang Kakak”, kataku masih dengan isak namun tidak sehebat tadi.
“Kakak juga sayang sama Adik…”
Kamipun berpelukan kembali. Oh, sungguh! Dekapan yang sanggup membuatku lupa terhadap semua yang telah terjadi. Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh ya, Kak. Adik titip ini buat Khairul Imam...”
“Apa ini?”, tanya Kak Nisa. Rupanya, ia penasaran.
“Tenang saja, Kak. Bingkisan ini isinya bukan bom, kok. Di dalam kotak ini ada diary Khairul Imam dan juga kado untuk dia dan Tiara. Adik minta tolong diserahkan saat acara walimahannya. Bilang saja, dari orang yang beberapa waktu lalu menemukan catatan hariannya dengan tidak sengaja”, kataku sambil menyerahkan bingkisan yang dibungkus kertas berwarna merah muda itu.
“Sekarang, Adik harus segera berangkat. Takut ketinggalan bus”, kataku sambil menatap Kak Nisa.
“Sebenarnya Kakak ingin kamu tetap disini, tapi ini sudah kemauanmu. Cepat kembali ya, Dik. Kakak akan sangat merindukanmu. Dan sebelum Adik pergi, Kakak minta, senyumlah satu kali saja agar Kakak yakin melepasmu, agar Kakak yakin kamu akan baik-baik saja”.
Aku pun tersenyum mendengar permintaannya. Oh, betapa ia menyayangiku…
“Senyummu manis sekali, adikku…”, ucapnya, lirih.



***


Akhirnya, kulangkahkan kaki meninggalkan kota ini, kota yang menjadi saksi bisu perihnya lukaku. Sayup, ku dengar alam mendendangkan nyanyian duka atas kepergianku. Ya. Aku akan pergi, kembali ke kampung halamanku untuk beberapa lama, agar bisa melupakan Khairul Imam. Kubiarkan harapan dan impianku pergi bersama angin sepoi yang menyibakkan jilbab hijauku. Aku yakin, Allah telah merencanakan ini semua untukku. Telah ada seseorang yang diciptakan sebagai pendamping hidupku kelak. Entah aku sudah mengenalnya, bahkan mungkin aku belum melihatnya sepanjang hidupku. Di belahan bumi manapun ia, aku akan menantinya. Dialah yang terbaik untukku.

Ya Rabb… Hamba serahkan hidupku sepenuhnya padaMu. Rezekiku, jodohku dan matiku, Engkau yang mengaturnya, hanya Engkau Yang Maha Tahu, Engkau Yang Maha Menentukan. Maka, berikanlah yang terbaik untukku, ya Allah…

***

Cinta itu, ya Allah…
Pantaskah untukku??
Dia tak pernah menyakitiku, secuilpun…
Tapi, ah…!!!
Sesungguhnya rasa ini yang menyakitiku
Yang mengagungkan keindahannya di sesak dada
Dia tak tahu apa-apa…
Pantaskah aku berharap??
Apa yang kurasakan??
Mengapa??
Perih… Pahit… Luka… Tangis…
Gerimis… Berlinang… Bungkam…
Getaran… Terdiam… Pendam…
(lagi) Tangis… Rindu… Hampa…
Membuncah!! Menyeruak!!
Salahkah aku??
Berdosakah aku??
Hadirnya…
Cintaku…
Siksaku…



*Tulisan ini pernah dimuat di PK Identitas Unhas

edisi Awal September 2008

Mari Berbagi Motivasi


MENGGAPAI KEABADIAN, MENGUKIR SEJARAH

Oleh: El Zukhrufy

“Menulis, menulis, menulis dan biarkan kata-kata mengalir, mengalir dan mengaliiiir!”. Inilah kalimat yang dinyatakan oleh sang penulis ternama, Pipiet Senja, ketika ada orang yang menanyakan tentang bagaimana agar bisa menjadi penulis yang baik dan profesional.
Pada saat saya diharuskan untuk membuat tulisan ini, jujur saya merasa terbebani karena saya sama sekali tidak pernah benar-benar menulis. Tapi, saya punya modal utama – minat yang besar dalam bidang kepenulisan, itu saja. Soal bisa menulis atau tidak urusan belakangan.


Bukankah penulis-penulis ternama juga mengalami hal yang sama?

Alasan setiap orang untuk menulis ada bermacam-macam. Ada yang ingin terkenal melalui tulisan-tulisannya, ada yang menulis karena hobi, ada yang ingin mencari nafkah dengan tulisan, ingin jadi orang yang dikenang sepanjang sejarah, jadi orang yang dikenal dahsyat luar biasa, jadi insan yang bermanfaat hingga hari akhir, jadi orang yang selalu ‘hidup’ dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut kurang lebih dapat mewakili pendapat-pendapat orang, apa sebenarnya yang memotivasinya dirinya untuk menulis. Tidak masalah apakah hal itu merupakan suatu hal yang menunjukkan ia terlalu ambisius, karena setiap mimpi dapat menjadi nyata bila kita sertai mimpi dan ambisi tersebut dengan penuh semangat dan optimis.

Mengapa kita harus menulis?
Saya ingin mengajak anda untuk sedikit merenungi kalimat berikut:
“Kita bekerja membuat sejarah yang berubah dari masa ke masa. Kita bekerja menciptakan sesuatu yang baru. Dan bila upaya itu selesai, kita sudah harus siap dengan hal baru lainnya. Langkah kita adalah bergerak kedepan, bukan menunggu masa depan menghampiri kita…”
Kalimat bijak di atas merupakan kalimat yang keluas dari mulut seorang Syeikh yang bernama Syeikh Maktoum bin Rasyid Al Maktoum, seseorang yang telah mengubah Uni Emirat Arab dan Dubai menjadi kota Metropolitan dalam waktu kurang dari 20 tahun. Atas prinsipnya ini, beliau akhirnya dapat merubah negaranya menjadi kota metropolitan, dengan membuat gedung tinggi di tengah laut, membuat simulasi salju di dalam ruangan (bayangkan, salju berada di negara gurun). Hal itu semua hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, kurang dari 20 tahun! Sebuah prestasi yang luar biasa bukan untuk seorang muslim di zaman seperti ini??

Lalu, apa hubungan kisah tersebut dengan menulis? Tentu ada. Setidaknya kita sebagai seorang muslim bercermin dari beliau, bahwa kita harus membuat sejarah baru, prestasi baru yang bisa mengguncang dunia. Tidakkah kita ingin seperti beliau? Membuat sejarah yang membanggakan, untuk keluarga, negara dan untuk diri sendiri. Sejarah tidak hanya diukir dengan membuat sayap pesawat terbang seperti yang dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie, melakukan hal yang seperti Syeikh Maktoum bin Rasyid Al Maktoum lakukan, Christoper Colombus yang berhasil menemukan benua Amerika, Albert Einstein dengan teori relativitasnya, atau Ibnu Sina (orang Eropa menyebut beliau Avicenna) dengan penemuan dalam bidang kedokteran atau siapapun yang telah mengukir sejarah yang luar biasa bagi dunia.

Saya tidak bermaksud untuk mendorong Anda untuk menjadi seperti mereka. Sama sekali tidak. Saya hanya berharap Anda terinspirasi dengan hal-hal di atas. Ukirlah sejarah melalui tulisan. Jika kamu ingin hidup melampaui usiamu, maka menulislah…Melalui tulisan, kita abadi. Nama kita akan selalu dikenang oleh generasi mendatang. Kita akan mengukir sejarah baru.

Berkarya melalui tulisan, menurut saya merupakan amal jariyah. Karena tulisan, nama seseorang dapat dikenang sepanjang masa. Misalnya saja tokoh-tokoh sejarah yang telah banyak menulis hal-hal yang berkenaan dengan situasi pada masanya (seperti Sayyid Quthub, Buya HAMKA, Pramoedia Ananta Toer, dan masih banyak lagi), yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya, bahkan tulisan-tulisan itu dijadikan sebagai referensi untuk penulisan buku-buku berikutnya. Alangkah bahagianya, jika nama kita selalu dikenang sepanjang masa karena kebaikan yang kita lakukan, bukan karena keburukan yang ada pada diri kita.



Apa yang membuat kita “takut” menulis?
Seseorang ditanyakan mengapa ia mau belajar menulis? Jawabannya, lumayan mengejutkan, “Saya tidak ingin menjadi penulis hebat. Saya cuma ingin bisa menulis dengan lancar, tulisan enak dibaca dan disukai oleh yang membaca. Hanya sesimpel itu, tapi jauh sekali untuk bisa sampe kesana”.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, ketidakmampuan dan ketidakberanian kita untuk menulis berasal dari diri kita sendiri, yaitu ketakutan bahwa tulisan kita akan dicela habis-habisan oleh orang lain. Bijaknya, jika kita yakin akan diri dan kemampuan kita, pasti kita akan bisa menulis. Takut sebelum berperang adalah sifat pengecut. Bangunlah dengan banyaknya kritikan, bukan dengan banyaknya sanjungan dan pujian dari orang lain karena kita tidak tahu sebenarnya apa kelemahan kita tanpa kritikan. Semua yang kita lakukan belum tentu benarm itulah fungsinya kritikan. Karena itu, kita harus menyiapkan mental yang kuat untuk jadi seorang penulis terutama bagi pemula. Istilahnya, kita harus siap tahan banting.

Lagi-lagi, saya ingin meengajak anda untuk menyimak kalimat bijak berikut ini:

“Keyakinan yang kuat terhadap apa yang kita kerjakan akan memberikan kekuatan luar biasa untuk mencapai kegagalan” (Sochiro Honda).
Kalimat tersebut adalah kalimat yang kemudian membakar semangat Sochiro Honda ketika akan merintis usaha dalam bidang sepeda motor. Dan kita bisa lihat hasilnya sekarang. Secara tidak langsung, meskipun beliau sendiri tidak melihat hasil keringat dan kerja kerasnya dahulu, beliau telah berhasil mewujudkan mimpinya. Meskipun untuk mencapai hal ini, beliau harus mendapatkan perlakuan yang tidak bersahabat dari orang-orang sekitarnya. Menulis juga seperti itu. Kita akan mengalami jatuh bangun terlebih dahulu. Jika kita sudah yakin akan berhasil, pasti kita bisa! Benar tidak?

Lalu, bagaimana caranya agar bisa menulis?

Menurut Andrias Harefa (penulis buku-buku best seller khususnya mengenai Multi Level Marketing), mengarang bisa gampang kalau anda membiasakan diri untuk membaca. Lebih jelasnya, beliau berpendapat bahwa membaca adalah “makanan” pengarang. Jadi, jika kita ingin menjadi pengarang professional, maka kita harus rajin-rajin membaca. Baca apa saja, lalu perhatikan bagaimana alur tulisan itu. Kemudian, cobalah untuk sedikit meniru. Tentu saja bukan hanya meniru, namun juga memodifikasinya. Itulah kreatifitas. Seperti yang diajarkan oleh Mardjuki (seorang penulis kreatif yang cukup dikenal oleh para wartawan di Yogyakarta, saat melatih Andrias Harefa menulis berita dan menerbitkan media alternatif di tahun 1987), niteni, nirokke, nambahi yang jika diartikan (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti mengamati, meniru dan menambahi. Bukankah jika sudah begitu, menulis bisa menjadi gampang?

Menulislah apa yang anda rasakan dan apa yang anda alami saat itu. Apakah kita sedih, gembira, bahagia, ataukah merana. Uraikan. Tuangkan saja melalui tulisan. Biarkan kata-kata tersebut mengalir bagaikan air, seperti yang dikatakan Pipiet Senja. Ungkapkan semua. Kelak, jika kita melihat kembali tulisan kita, kita akan terkejut bahwa ternyata kita bisa menulis.
Practice makes perfect. Menulis butuh latihan, yang kontinyu tentunya. Jika kita terus berlatih, maka kita tidak akan lagi menemukan kesulitan dalam menulis. Mulailah dengan menulis puisi, misalnya. Puisi tentang apa yang kita rasakan, apa yang kita alami. Selanjutnya, usahakan untuk mengembangkan puisi tersebut menjadi sebuah cerita. Tidak perlu memilih kata-kata yang seperti penulis-penulis professional gunakan. Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan hati nurani kita, karena hal tersebut kemudian akan menunjukkan ciri khas kita.


Menulis bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Jika ingin, para petani pun bisa menulis. Misalnya saja petani tersebut menuangkan idenya mengenai bagaimana cara bertani yang baik dan mengatasi hama yang menyerang padi. Bukankah petani tersebut telah beramal? Lalu, jika petani saja bias beramal lewat tulisan, mengapa kita tidak?

Menulislah yang bermanfaat, jangan sampai tulisan kita menyesatkan ummat. Ingatlah, menulis sebuah amanah Allah. Kelak di akhirat tulisan-tulisan kita akan minta tanggung jawab!” (Pipiet Senja)
Nah, sekarang tanyakan pada diri anda, apakah anda benar-benar tidak bisa menulis??

Wallahu a’lam bish shawab…

Untuk kita renungi, kawan...

Saturday, July 05, 2008
KEMBALI KE PANGKUAN AYAH DAN BUNDA…

Seorang anak memang selalu merasa bahwa kasih sayang yang ayah dan ibunya berikan masih (sangat) kurang dari yang dia harapkan. Padahal, tidak tahukah wahai sang anak, bahwa menjadi orang tua sangatlah tidak gampang? Adalah tanggung jawab besar menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya, membagi kasih dan sayang yang tidak terkesan ‘berat sebelah’ untuk putra maupun putrinya.

Dulu, waktu saya masih kecil, hal tersebut juga yang saya rasakan. Saat saya harus dipukuli oleh ayah karena kenakalan saya atau karena saya malas makan, saat saya harus mendapat uang jajan yang tidak sebanding dengan teman-teman yang lain (uang jajan teman saya sebanding dengan uang jajan yang diberikan oleh ayah untuk saya bagi dua dengan kakak), saat harus sarapan dengan menu seadanya (kadang sarapan berlauk krupuk), saat saya ingin membeli makanan atau mainan baru yang jarang terpenuhi, saat saya ingin memakai baju baru di Hari Raya namun tak jarang baju Lebaran tahun lalu dipakai juga pada tahun berikutnya, saat saya ingin pergi ke tempat rekreasi pada waku liburan tiba bersama teman-teman namun saya harus rela menghabiskan waktu di rumah dengan mainan anak-anak seadanya bersama kakak dan adik saya…

Pada saat itu, saya selalu merasa bahwa ayah dan ibu tidak menyayangi saya, anaknya. Bahwa mereka tidak bertanggungjawab karena telah membuatku ‘ada’ di dunia ini. Saya bahkan (kalau tidak ingat dosa) ingin mengatakan pada mereka, “Saya tidak pernah menginginkan ada di dunia ini, kenapa kalian membawaku kesini dan ikut merasakan kepahitan kehidupan kalian berdua?”
Jika mengingat itu semua, saya merasa bahwa saya adalah seorang anak yang paling durhaka pada ayah dan ibu, juga tidak mensyukuri nikmat terindah yang diberikan Allah untuk saya. Kenapa hal yang saya besar-besarkan adalah hal-hal yang membuat saya tidak bahagia dan puas menjadi anak dari ayah dan ibuku sendiri? Bukankah ayah dan ibu telah berusaha untuk mencurahkan kasih dan sayangnya yang tak terhingga untuk saya? Tidak jarang saat saya sudah terlelap tidur dalam kondisi kedinginan, esok harinya saya dapatkan tubuh diselimuti kain tebal. Saat saya sedang asyik membaca buku cerita kesukaanku atau mementingkan untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah daripada makan siang, ibu akan datang dan duduk disampingku sambil menyuapi sesendok nasi. Saat saya terlihat kebingungan mengerjakan soal-soal yang diberikan guru, ayah akan datang dan berusaha mengarahkanku hingga saya mengerti dan mendapat jawaban soal itu. Saat saya terkulai lemah karena demam, ayah dan ibu akan selalu siaga disisiku dengan ditemani alat kompres seadanya. Saat saya tiba-tiba terbangun tengah malam karena mimpi buruk, ayah dan ibu akan menenangkan hatiku dan jika saya masih ketakutan, mereka akan mengajak untuk tidur bersama (saya tidur di tengah, diantara ayah dan ibu). Saat saya berhari-hari terbaring tak sadarkan diri karena tertabrak sepeda motor, ayah dan ibu selalu setia menemaniku. Saat saya ‘mabuk bus’ dalam perjalanan ke kota, ibu akan menyediakan bahu atau pahanya sebagai sandaran kepalaku. Saat saya harus meninggalkan kampung halaman karena ingin melanjutkan pendidikan di ‘negeri’ orang, saya harus melihat wajah ibu yang berlinang airmata melepas kepergian saya, sementara ayah tetap terlihat tegar tanpa tetesan airmata layaknya ibu, namun saya bisa melihat bahwa di dalam hatinya ada rasa tak rela melepas dan membayangkan anak perempuan satu-satunya hidup sendirian di perantauan…

Sungguh, mengingat itu semua membuat saya meneteskan airmata dan sadar bahwa saya selama ini telah banyak melakukan dosa dan kesalahan yang membuat mereka kewalahan mendidik saya. Bahwa saya juga ternyata sangat menyayangi mereka. Saya baru menyadari kasih sayang yang diberikan ayah dan ibu untuk saya begitu besar. Kemudian, saya bertanya-tanya, mengapa hal itu baru saya sadari saat saya berada jauh dari mereka di negeri orang? Mengapa tidak dari dulu?

Ayah yang harus memakai dasi saat pergi mengajar dan berangkat ke sekolahnya hanya berkendarakan sepeda butut kesayangannya (saat itu, ayah adalah seorang Kepala Sekolah Dasar) – mata ibu akan berkaca-kaca jika melihat penampilan ayah seperti itu, sementara ayah yang selalu cuek dan tak peduli apa kata orang tentangnya, akan selalu memberikan senyumnya untuk kami sekeluarga. Ayah selalu membawakanku buku dari sekolahnya, buku-buku cerita tentang anak yang sangat saya sukai. Ayah yang sering mengajak saya ke sawah di subuh hari untuk melihat padi kami yang mulai menguning, dan kami berdua akan tersenyum riang saat menghalau burung-burung kecil yang hinggap di padi kami. Saya dan ayah akan tertawa lepas saat berlarian di pematangan sawah. Sambil melihat matahari terbit di ufuk timur, ayah akan menjelaskan tentang ‘Bintang Fajar’ (Venus) demi menjawab pertanyaanku. Kemudian, kami pulang dengan berjalan kaki dan bersiap-siap ke sekolah. Juga ibu, yang meski hanya sebagai ibu rumah tangga namun kasih sayangnya selalu tercurah untuk saya. Ibu yang selalu mencucikan pakaian kami sekeluarga saat anak-anaknya belum bisa melakukan apa-apa. Ibu yang masakannya selalu lezat dan berbeda dari masakan lain, ibu yang selalu merawat ‘harta yang paling berharga’ yang dimilikinya.
Betapa saya harus bersyukur memiliki ayah dan ibu seperti mereka. Yang meskipun dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan tetap berusaha untuk membahagiakan buah hati mereka yang selalu merasa tidak cukup akan materi. Bahwa ternyata pelajaran dan pengalaman dari hidup susah yang sejak dulu dikenalkan oleh ayah dan ibu sangat berguna untuk hidup saya di sini, yang harus jauh dari mereka.

Lalu, kenapa harus kabur dari rumah karena ayah dan ibu tidak memberikan uang kepada kita untuk sekedar jalan-jalan bareng teman? Kenapa harus mogok makan karena uang jajan kita tidak sama dengan teman-teman yang lain? Kenapa harus memecahkan kaca, piring dan gelas karena tidak dibelikan baju baru? Kenapa harus beradu mulut dengan ayah dan ibu hanya karena tidak dibelikan mobil atau handphone baru? Kenapa harus ngomel-ngomel pada ibu karena lauk yang disediakan tidak enak? Kenapa harus mengurung diri di kamar karena tidak dibelikan pulsa hanya untuk telpon dan SMS-an dengan orang-orang yang tak jelas? Kenapa harus ngambek pada ayah dan ibu saat kakak atau adik kita dibelikan sepatu baru?

Mari kita renungkan! Cobalah untuk mengerti kondisi orangtua kita, keadaaan ekonomi dan fisik mereka. Mereka tidak akan pernah membiarkan anak yang disayangi menderita. Percayalah, ayah dan ibu sangat menyayangi dan mengasihi buah hatinya. Mereka akan selalu berusaha untuk membuat kita bahagia, yang selalu dan selalu mereka sayangi. Bagaimanapun caranya, mereka akan menempuhinya demi melihat senyum manis anak-anaknya. Mereka tidak akan pernah rela membiarkan anaknya sedih, menangis dan terluka karena sedih dan luka anak adalah sedih dan luka mereka juga.
Mereka selalu menceritakan bagaimana perjuangan hidup mereka semasa kecil yang penderitaan mereka tidak seberapa seperti yang kita rasakan, dengan harapan agar kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah mereka, mengharapkan kita sekedar ikut merasakan bagaimana hidup serba tidak enak, agar kita tidak terlalu menyusahkan mereka.

“Belajarlah hidup sederhana, Nak”, begitu selalu pesannya. Namun, apa tanggapan kita? Kita hanya menganggap bahwa cerita dan kisah itu hanya bualan belaka, omong kosong. Kita tidak pernah mau mempercayai kisah-kisah berharga itu. Betapa berdosanya kita.
Cobalah hitung seberapa banyak waktu kita yang digunakan untuk sekedar membalas jasa orang tua kita. Kita hanya disibukkan oleh kegiatan yang tidak berguna, memikirkan seseorang yang mengaku mencintai kita yang belum tentu menjadi pasangan hidup kita kelak, menghabiskan waktu demi membahagiakan seseorang yang diidam-idamkan. Seberapa pentingkah ‘orang’ itu dibandingkan ayah dan ibu kita? Mengapa kita tidak membayangkan sedang apakah ayah dan ibu nun jauh disana? Apakah waktu istirahat mereka cukup? Mungkinkah mereka saat ini sedang menggarap sawah yang hasilnya nanti hanya untuk mencukupi uang pendidikanku? Apakah mereka harus utang sana-sini untuk mencukupi uang saku bulananku?
Tidak maukah kita berpikir betapa kerja kerasnya orang tua kita untuk mencukupi kebutuhan kita, anak-anaknya?

Sekarang, bayangkan raut ayah dan ibu kita. Wajah yang telah keriput itu telah banyak berkorban untuk kita. Bayangkan saat kita masih bayi yang belum mengerti apa-apa dan belum bisa berkata apa-apa, hanya tangis sebagai isyarat tunggal kita. Kita menangis dan terbangun tengah malam karena ingin menyusu dari ibu, atau menangis karena ngompol di tempat tidur, atau menangis karena popok yang belum diganti. Ayah dan ibu akan selalu sabar melayani kebutuhan kita, meskipun mereka kelelahan dan butuh istirahat di malam hari, karena pagi sampai sore hari mereka harus mencari nafkah demi kita, anak-anaknya. Tanpa pamrih, dan tanpa mengharap balasan, mereka lakukan itu semua karena mereka menyayangi kita.

Percayalah, bahwa apapun yang mereka berikan dan mereka lakukan adalah untuk semata-mata demi kebaikan kita. Maka, tidak perlu merasa tidak disayangi oleh orang tua jika kita diceramahi seharian, atau jika kita dilarang pacaran (sehingga tidak jarang banyak anak-anak yang harus backstreet), karena tidak diizinkan keluar malam, karena tidak diizinkan untuk belajar menyetir atau tidak dibelikan handphone karena kita belum cukup umur untuk itu, atau masih banyak yang lain.
Dan jika kita sudah menyadari hal itu semua, jika kita ada di sisi mereka, katakanlah bahwa kita sangat menyayangi mereka seperti mereka menyayangi kita, lalu berjanji dalam hati untuk membahagiakan dan membanggakan mereka dengan segala yang kita miliki, membalas kebaikan mereka selama ini meskipun apa yang kita lakukan tidak akan sanggup membalas itu semua. Jangan sampai semuanya terlambat dan akhirnya membuat kita menyesal kemudian hari.

Allaahummagh firlii wa liwaalidayya war hamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa” (Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sejak dari kecil…). Amiiiiiin…..


(untuk Teta dan Mama tercinta,
Sudahkah aku membuat kalian bangga??)


*Mahasiswa Ilmu Gizi FKM Unhas angkatan 2006
Sekretaris Forum Lingkar Pena ranting Unhas 2008-2009