Jumat, 29 Januari 2010

NIKMAT, sebuah refleksi








Ibu rindu. Beliau menelpon. Banyak kabar yang beliau bawa.

Ayah telah pensiun dan siap berangkat haji.

Wirausaha Abang sebagai pekerjaan sambilan berjalan lancar. Abang ingin segera menikah. Tapi, harus wisuda dulu.

Wirausaha Abang Kecil sebagai pekerjaan utama berjalan lancar. Mungkin nanti bisa memperbaiki kursi roda reotnya. Tunggulah, Abang. Aku akan membelikanmu yang baru. Bersabar saja.

Kakak perempuanku hamil. Katanya, semoga laki-laki. Padahal, keluargaku didominasi oleh lelaki.

Aku bilang ke ibu, ingin lanjut studi di luar negri. JERMAN!

Tapi, ibu bilang ke ayah, anakmu akan S2 di negara Arab. Ayah kaget karena tak pernah tahu. Aku tambah geli mendengar mereka berdebat. Mereka memang selalu begitu. Ah! Aku rindu...

Lanjut saja. Kemana pun kau mau. Berusahalah sekuatmu untuk mencapai cita-citamu. Ibu merestui. Ayahmu juga. Ibu ingin melihatmu bergelar Profesor. Jangan lupa, pelihara shalat dhuha-mu
. Itu kata ibu. Aku tersenyum senang. InsyaAllah...

Maka (kembali), nikmat Tuhanmu manakah yang MASIH kau cari???



:Maros, 29 Januari 2010, 08:55:11 Wita.

SEGUMAM AKU YANG BERGUMAM (lanjutan…)







SEGUMAM AKU YANG BERGUMAM (lanjutan…)
Oleh: El Zukhrufy


Pagi kedua. Menyusuri Maros-Makassar tanpa SIM dan STNK (setelah ini, aku akan minta izin Ayah untuk merelakan anaknya memiliki SIM, mungkin juga STNK). Kemarin, butuh 24 menit untuk menempuh perjalanan. Besok harus lebih cepat!

Lagi-lagi, banyak hantu di jalanan. Padahal masih pagi. Mereka berseragam polisi. Sebagian orang menyebut mereka BUAYA. Kebanyakan orang lebih suka CICAK. Mereka melambai-lambai. Kukira akan menahanku. Ternyata, cuma menertibkan jalan. Aman! Awas jika saja berani!

Tak terlalu banyak kisah. Kampus? Kini dipenuhi peluh-peluh mahasiswa yang merengek belas kasih para staf akademik. Urus ini-itu. Tanda tangan, dan kawan-kawannya. Ah! Aku sedikit muak. Sudah delapan semester, aku selalu lupa alur urus-ini-urus-itu. Mungkin karena terlalu ribet. Kuputuskan jalan yang lain. Meski terlampau semangat ingin segera mengakhiri status mahasiswa, justru semangat menuju kampus mengendor teratur. Bahaya!

Hujan. Asyik! Bisa basah-basahan sambil balap-balapan. Berarti harus rela terciprat lumpur dari kendaraan di depan. Hmm, tak apalah…

“Mau ke Maros lagi?”
“Hmm…”
“Hati-Hati, Kak. Jalanan licin”. Itu kata Nendenk. Mukanya terlihat serius.

Hati-hati adalah doa yang mengharapkan kita celaka. Itu bagiku. Aku benci kata hati-hati. Seperti saat di bangku SMA, aku hampir tertabrak truk setelah mendapat “hati-hati” dari ibu. Tapi teman-temanku bilang, aku durhaka!

Malam. Menyusuri “jalan pulang”, rute Makassar-Maros. Tanpa SIM dan STNK! Sesekali si DD 4203 DA bergerak zig-zag. Katanya, ia meniru rekan-rekan lain yang berada sejengkal di depannya. Aku maklum saja. Kuturuti maunya. Sejengkal di depanku, anak-anak muda meraung-raung. Gila! Si Black Angel masih setia menemani.

Lepaskanlah ikatanmu dengan aku// biar kamu senang// bila berat melupakan aku// pelan-pelan saja… (Pelan-Pelan Saja, KOTAK **mode on**)

Lagu ini jadi soundtrack perjalanan. Keren! Liriknya memerdekakan perempuan. Diam-diam, aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menggubah syair ini. Aku berhipotesis: jangan-jangan, dia mencuri kisahku, lalu terinspirasi untuk menjadikan kisahku sebuah lagu. Mungkin, aku harus berterima kasih.

Kepalaku penat. Bau durian dimana-mana. Semusim yang membuatku merana. Hidungku kembang-kempis. Aku ingat Muthi. Dia protes, kenapa ada orang di dunia ini yang suka dengan si buah berduri yang sudah-jelek-bau-lagi. Aku sepakat. Sangat! Kutambahkan, anggap kita ini kaum minoritas. Tapi, kaum minoritas selalu lebih menonjol bukan? Muthi dan aku tertawa. Haha! Setujuuuuu…!

Sesekali tergoda pada ranum langsat dan rambutan. Sudah lama tak menikmati aroma tubuhnya. Ingin sekali singgah menyapa mereka yang terlihat “seksi”. Mereka menggoda kerongkongan. Terpikir untuk membawa mereka pulang ke “rumah”. Buah tangan untuk Lisa, Qila, Ibu dan Tante. Urung. Aku harus segera sampai di kota santri. Banyak yang harus kulakukan.

“Kenapa terburu-buru begitu?”
“Tidak juga”
“Memangnya mau kemana?”
“Ke kota santri. Kamu tahu kan?”
“Bodoh! Anggap itu rhetorical questions. Bukankah kota santri tidak terlalu jauh?”
“Benar sekali!”
“Jadi, tidak perlu terlalu buru-buru begitu bukan?”
“Harus! Aku suka ini”
“Hati-Hati. Jalanan becek. Banyak lumpur. Nanti kau terpeleset. Jatuh” (Tuh kan? Kata “hati-hati” lagi!)
“Sudahlah! Kau tak usah cerewet! Turuti saja mauku. Aku yang mengendalikanmu” (Aku jengkel. Si Fit X manggut-manggut)

Aku dan Lisa berkunjung ke rumah Ridho. Untuk pertama kalinya, aku ke rumah orang yang karakternya sangat kukagumi. Tapi, aku kaget, hampir mati. Di depan pagar rumah itu, ada mobil impianku bersandar di sana. Si merah itu terlihat cool! Tunggu saja, aku akan memilikimu!

Ruang keluarga di rumah Ridho. Hampir padat dipenuhi anak-anak. Mereka imut sekali. Ada Dede, Umair, yang lainnya aku lupa. Asyik sekali mereka dengan tontonan yang disajikan TPI. Mereka terlihat antusias. Aku berkata dalam hati, suatu saat kalian mungkin akan menyesal karena telah menyukai sinetron yang para aktor dan aktrisnya berperan di bawah standar rata-rata.

Aku ke kamar Ridho. Lisa bersama Ipa, kakak Ridho. Ibu-ibu itu sepertinya bercerita banyak. Mungkin salah satunya tentang anak masing-masing. Lisa pernah bilang, ibu itu bidadari bagi anaknya. Ah, Lisa. Aku juga ingin jadi bidadari. Aku memandang langit kamar, ingat Tuhan.

Kamar Ridho. Kesan pertama. Bukunya banyak! Kumpulan sekuel, trilogi, tetralogi, limalogi, enamlogi (halah!). Ini salah satu karakter Ridho yang aku suka. Sepertinya ia baru saja membaca buku tentang sejarah Makassar. Hmmm. Katanya, sambil tersenyum, bacaannya mengingatkannya padaku. Tentang Bima, kampungku.

Aku, Ridho, Lisa dan Ipa menuju warung makan pinggir jalan, labelnya Aroma. Ridho bilang, mau online. Kabar terbaru: Warung Makan Aroma sudah punya wireless. Asyik! Sedari pagi tangan sudah gatal ingin posting di blog tersayang. Dapat satu anugrah lagi dari Tuhan. Pertama kalinya duduk nyaman di dalam mobil impian, Suzuki X-Over. Kurasakan getarannya. Sempurna! Aku berterima kasih pada Ridho. Lisa dan Ipa senyum saja.

Banyak hal baru yang kudapat selama kurun dua hari. Aku punya tambahan ibu dan tante. Aku punya “rumah” baru. Aku punya “kampung” baru, si kota santri. Aku punya saudara baru, namanya Lisa. Aku punya keponakan baru yang tambah manis dan tembem, namanya Qila (dia sudah bisa merangkak ternyata. Lisa harus kuingatkan untuk super hati-hati!). Aku punya adik baru, namanya Ridho (mungkin dia akan bilang: Hah! Sejak kapan?). Aku punya kamar baru. Aku punya semangat baru, memiliki Suzuki X-Over yang tampan. Aku punya iman baru. Terima kasih untuk kalian semua. Kalian terlalu baik untuk orang yang tak pernah baik hati sepertiku.

Esok, masih bisa balapan atau tidak. Mungkin semakin banyak BUAYA hantu berseragam polisi. Sepertinya, aku harus menyiapkan banyak uang.

Lain kali, akan kuminta ayah membelikan SIM dan STNK! Agar bisa balapan setiap hari! Haha!

Aku masih menyambut takdir!


:Warung makan Aroma, Maros, 28 Januari 2010, 22:44:11 Wita
Suaminya akan pulang. Mungkin ini malam terakhir balapan. mungkin juga tidak. Nikmati saja.

Kamis, 28 Januari 2010

BAGIKU, INI PUISI NASIONALISME...







DIALOG PERTIWI
(Anggap Ini Lelucon)
Oleh : El Zukhrufy*



(Seorang bayi yang baru lahir menatap dunia. Tak seperti biasanya, bayi merah ini lahir bukan dengan tangisan. Tapi, sebuah tanya…)

Bunda, aku dimana? (Sang bayi itu menggeliat)

Ini pertiwi, Sayang…

Pertiwi itu apa, Bunda?

Pertiwi itu adalah hijau, biru dan putih, Anakku…

Tapi, mengapa aku hanya melihat hitam, Bunda?

Mungkin organ penglihatanmu belum sempurna, Sayang…

(Sang bayi berkata lagi)

Tapi, hatiku merasakan hitam, Bunda…

Mungkin, hatimu juga belum begitu sempurna, Nak…

(Sang bayi masih keras kepala)

Tapi, sepertinya kulitku menyentuh sesuatu bernama hitam, Bunda…

Kulitmu pun belum bisa sepenuhnya menyentuh sesuatu, Nak…

(Dan, sang bayi bertanya…)

Apakah tempat lain juga seperti Pertiwi, Bunda?

(Ibu sang bayi dengan sabar menjawab…)

Tidak, Nak… Tidak ada tempat seindah Pertiwi. Setelah dewasa, kau pun tidak akan
kemana-mana. Kau akan tetap disini. Kau akan lahir dan mati disini. Seperti nenek moyangmu. Seperti Bunda kelak…

(Sang bayi mengangguk mengerti. Lalu, tiba-tiba bayi itu menguap…)

Sudahlah, Nak. Kau terlihat lelah. Tidurlah, di pangkuan Bunda…

(dan saat sang bayi terlelap, terdengar rintihan sang bunda…)

Maafkan aku, Sayang… Aku telah mengajarimu tentang dusta. Karena kaulah yang akan
mengubah hitam menjadi hijau, biru dan putih…



Puisi ini pernah dibawakan secara teaterikal oleh anak-anak binaan SSC KAMMI Makassar dalam acara pembukaan Muskerwil KAMMI Sulselrabar, 1 Januari 2010


*Koord. Humas KAMMI Komisariat Unhas

SEGUMAM AKU YANG BERGUMAM





SEGUMAM AKU YANG BERGUMAM
Oleh: El Zukhrufy*



Pagi tadi. Aku dihantui oleh hantu-hantu berseragam polisi. Ketakutan yang wajar. Saat kau bermotor dan harus keliling Makassar-Maros tanpa SIM dan STNK!


Akhirnya Tuhan menuntunku pada dua impian yang selalu menggoda resah, beberapa jeda. Malam dan balapan. Aku mendapatkannya saat ini. Pertama, malam. Saat aku tak ingin ada orang yang mengenali hitamku. Kedua, balapan. Suatu puncak penawar kegelisahan. Maka jadilah dua impian terwujud itu, membuatku terbang menuju bebas. Bebas yang lama kunanti. Aku lalu mendapat ilham tentang teori sederhana: mungkin seperti ini rasa kaum candu. Ringan. Fly!


80 km/jam. Hmm, belum cukup mencapai target puncak kepuasan. Genggam setir, putar beberapa derajat, angka speedometer si Fit X berubah. 100 km/jam. Puas? Masih belum. Selanjutnya, genggam-setir-putar-beberapa-derajat-angka-speedometer-berubah, berlangsung beberapa tempo. Kecuali saat terpaksa hampir terserempet sesama motor, atau saat hampir saja spion motorku jatuh cinta dan ingin menggapai spion mobil sebelah untuk berpeluk mesra. Bukan masalah, sudah biasa. Untung kakiku kuat. Aku tersenyum membayangkan kembali masa kanakku: motorku dan kendaraan-kendaraan lain sedang lomba lari, dan hadiahnya adalah satu set buku tulis Sinar Dunia bersampul globe gendut. Simbadda “Si Black Angel” masih berdendang. Perpaduan yang pas! (Menerobos Gelap, PADI **mode on**)


Aku merasa tengah berada dalam arena olahraga. Lawanku adalah malam, dalam lomba lari marathon. Malam mulai terlihat lelah. Ekskresi-biji-nangkanya memberi aroma dingin. Menetes satu-dua. Si tubuh masyarakat-kaum-Negro ini seperti ingin menyerah padaku. Pada mataku yang tak sekalipun ingin tersentuh buta. Ya. Sampai di garis finis. Aku menang! (Menunggu Pagi, Peterpan **mode on**)


Di sini, di sudut hijau kota santri. Tempat dimana setan-setan tak bisa singgah karena takut dengan pamungkas Sang Ustadz. Aku memutuskan ke kota ini, malam ini, agar terhindar dari setan yang menjauhkanku dari Tuhanku.


Di sini, di sudut hijau kota santri. Jauh dari kepenatan Makassar yang pengap oleh interaksi kimia antara zat A dan B yang menghasilkan satu reaksi baru. Bisa AB+ atau AB-. Atau A-B+. Atau AB+-. Atau +-AB. Ah, sudahlah! Pusing amat dengan benda-benda kimia itu!


Sebuah kamar, tiga kali tiga meter. Dua wanita berkisah. Tentang harapan, tentang kekecewaan. Tapi, bukan tentang mereka. Ini tentang perjalanan memaknai kehidupan.


Sepertinya, aku sangat ingin berlama-lama di sini. Mungkin selamanya. Membeli mimpi, lalu memeluknya. Atau menyambut takdir, lalu mendekapnya. Dua wanita itu masih berkisah. Aku kini memberontak, tapi semakin ingin menyambut takdir. Aku dulu memberontak, tapi selalu ingin membeli mimpi. Aku kini dan aku dulu. Saat dua wanita berkisah. Aku semakin yakin bahwa takdirku sekarang adalah menyambut takdir. Terima kasih untuk dua wanita…


Maka merugi orang-orang yang menyerah dan takluk pada kenyataan. Aku menyambut takdir. Maka merugi para pengecut yang sembunyi di balik selimut di atas ranjang reot. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang dipenuhi ketakutan pada hantu-hantu di balik jendela. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang bangun tidurnya berteriak menceracau tak jelas. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang mencerca Tuhan. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang menganggap dirinya adalah pemenang. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang lari dari kenyataan dan masalah duniawi. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang menyambut pagi tanpa senyum, tapi kerut kening. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang tak pandai membedakan warna. Aku menyambut takdir. Maka merugi orang yang berduka, HANYA-KARENA-CINTA, lalu terpuruk. Aku menyambut takdir. Aku menang! Beri aku penghargaan.


Ya. Aku menyambut takdir. Bersama cinta Tuhan. Bukan cinta setan. Aku benci setan! Apa kau setan? Menurutmu?


Masih di sebuah kamar, tiga kali tiga meter. Dua wanita berkisah.


Tentang kisah. Tentang Tuhan. Tentang remaja. Tentang Tuhan. Tentang mimpi. Tentang Tuhan. Tentang bebas. Tentang Tuhan. Tentang harapan. Tentang Tuhan. Tentang kecewa. Tentang Tuhan. Tentang lelaki. Tentang Tuhan. Tentang harapan. Tentang Tuhan. Tentang keluarga. Tentang Tuhan. Tentang takdir. Tentang Tuhan. Tentang hidup. Tentang Tuhan. Tentang Tuhan. Tentang Tuhan. Tentang Tuhan. Tentang aku. Tentang Tuhan. Tentang dia. Tentang Tuhan. Tentang kau. Tentang Tuhan. Tentang Dia. Tentang Tuhan.

Kontemplasi. Di sujud yang semakin memberatkan kepala beberapa desigram. Pada hati yang semakin rindu. Bergapai-gapai. Aku menyambut takdir. Tentang Tuhan.


Allah!

Allah!

Allah! Allah! Allah!

Allah..

Allah..

Allah! Allah! Allah!

Allah!

Allah!

Allah! Allah! Allah!


Ar-Rahmaan…
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?



Maka nikmat Tuhanmu manakah yang MASIH kau cari?


//////////////

Aku masih bisa balapan malam ini! Tanpa SIM dan STNK! Kembali ke hijau kota santri. Dua malam, cukup!
Haha!


: Maccoppa, 28 Januari 2010, 1:39:11 Wita

Senin, 25 Januari 2010

Hanya Untukmu, Aji Bello...





Hmmmmmmmm. Kejutan! Aku ternyata, akhirnya, bisa melihat nama penaku tertera di sebuah buku mungil. Kumpulan cerpen. Album Cerita Pilihan, Aji Bello. Itu nama yang disematkan padanya. Ada enam belas nama penulis disana. Salah satunya, tentu aku. El Zukhrufy. Wah, bangganya.

Sebenarnya, saat pertama kali memegang buku itu, aku hanya tersenyum kecil. Saat melihat judul cerpenku yang termuat di Aji Bello. Cerpen itu. Cerpen pertama yang berhasil dirampungkan selama hidup. Sekaligus satu-satunya cerpen yang hanya membutuhkan waktu lima jam untuk menyelesaikannya. Beda dengan cerpen yang lain, yang butuh waktu berlama-lama hanya untuk menemukan ending yang tepat. Tak jarang, berujung busuk!

Setelah kubaca kembali. Saat Cinta Dendangkan Luka. Itu nama “anak” pertamaku. Haha! Dia benar. “Anak” itu memang terlalu polos. Lugu. Mungkin karena baru mengenal dunia. Dunia cinta. Dunia tulisan. Sebenarnya, hampir aku melupakannya. Karena duplikatnya terbawa lari oleh seorang ibu-ibu ke tanah Toraja. Terbawa lari bersama SiKompiBaikSekaliTemannyaAtun, yang kala itu kubungkus rapi dengan sarung kotak-kotak pemberian Paman. Ibu itu bilang, anggap saja sebagai bonus. Kini, bersama SiKompiCanggihSekaliTemannyaAtun, aku berjanji, akan terus melahirkan banyak “anak”, yang sedikit imut, polos, pemberontak, dewasa. Aku akan melahirkan “anak” yang memiliki banyak karakter. Lalu, akan kujaga mereka baik-baik.

Setelah kubaca kembali. Saat Cinta Dendangkan Luka, “anak” pertamaku. Sudah setahun lalu aku kenalkan pada dunia. Setahun lalu, setelah setahun sebelumnya aku mengenal cinta. Ah! Setelah kubaca kembali, aku merasa menjadi super munafik. Setahun lalu. Banyak sekali petuah yang aku ajarkan untuk “anak”ku. Kata-katanya sederhana. Polos. Lugu. Tapi, sarat akan hikmah. Untuk tidak menyalahi makna cinta. Aku terkejut, ternyata “anak” ini, di usia yang masih muda, memberi banyak pelajaran berharga untukku saat ini, sesaat setelah bertemu lagi dengannya. “Anak”ku kembali di saat yang tepat!

Ah! Aku mencintaimu “anak”ku! Terima kasih! Terima kasih untuk sebuah pengalaman sempurna. Percayalah, aku akan terus menjagamu. Juga saudara-saudaramu. Dan calon saudaramu yang lain. Kalian akan bersatu kelak. Tunggulah! Aku yakin, tak akan lama lagi…

Oya, Nak… Dara titip salam. Katanya, lama tak jumpa denganmu. Aku jawab, kalian pun akan berdekap lagi.


Sejenak dari Clarion, 25 Januari 2010, pukul 22:53:11 Wita

Minggu, 24 Januari 2010

ADA BUKU BARU LHO, KEREN!






Setelah sekian lama menanti, akhirnya buku "Album Cerita Pilihan Aji Bello" berhasil diluncurkan. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Refleksi.

Menu Buku:
Sebatas Penantian (Sultan Sulaiman)
Terminal Daya (Qiyash)
Silanjuk di Salongge (Epiki Fajargoga)
Aji Bello (Fitrawan Umar)
Hercules C-130 (Sultan Sulaiman)
Ana Arung (Chara Aw)
Perjalanan Pulang (ani Dzakiyah)
Bulan kedua di rumah kecil kami (Rasdiyanah Nendenk)
Lelaki Pendiam Penuh Pesona (Fitrawan Umar)
Tatap Surya Seperti Malam (Raidah Intizar)
Saat Cinta Dendangkan Luka (El Zukhrufy)
Namaku Chloe (Asti Eka Ramadani)
Mereka bilang, Aku Gila (Radiyanah Nendenk)
Mentari, Aku Masih Di sini (Otumi Annisa)
Peluh Semesta Waktu (Cheri Tarnad Prodigio)
Dearly Beloved Papa (Muthie Salsabil)
Darah Kematian (Zulya Hamida)
I need You Friend (Nurul)
Brownies itu.. (Yana Yan)
My Mysterious Writer (Qiyash)

Dapatkan Segera di Toko Buku Gramedia dan Toko Buku Terdekat
Atau Hub. FLP UH CENTER 08991824009
Membeli juga berarti Beramal!

ANGGAP INI JAWABAN YANG SELALU KAU CARI







MUNGKIN KITA BISA
Oleh: El Zukhrufy*



Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrgggggggggggghhhhhhhhhhhhh!!

Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Tak bisakah hidup kita berjalan seperti para semut memaknai hidupnya? Berjalan apa adanya. Tanpa berontak. Tanpa luka. Seperti semut-semut itu. Ada hitam, ada merah. Aku menyebut mereka para pejuang kehidupan. Tak peduli kapan harus dipitas tanpa sengaja oleh kaki-kaki para pendosa. Tak peduli jika harus tercabik-cabik hanya karena tak sengaja lewat di atas sebuah tangan seorang manusia. Aku ingin seperti semut. Menjadi pejuang kehidupan. Dan aku perempuan. Tapi, tak selamanya harus sok menjadi manusia super yang tak pernah duka. Aku ingin sesekali menggambarkan kodratku yang telah ditentukan Tuhan. Sesekali menjadi makhluk cengeng. Melankolis.

Pagi ini. Tak biru, apalagi jingga. Kelabu juga tidak. Aku menemukan diriku tak bisa memaknainya. Mungkin, aku bisa. Begitu katamu, pernah suatu saat.

Pagi ini. Tak biru, apalagi jingga. Kelabu juga tidak. Aku memutuskan untuk membaca kedua mata, kedua telinga, sebuah bibir, kedua tangan, juga kedua kaki. Aku memutuskan untuk menjelajahi dirimu, meski harus mencurinya dari kesombongan waktu. Aku sebenarnya harus berterima kasih, kepada seorang gadis hitam manis, di sebuah rumah yang sesak karena dihimpit toko-toko. Karenanya, aku berhasil menghadirkan suara hatimu saat ini. Atau membayangkan lesung pipimu yang samar-samar. Pada suara hatimu, kudapati sekumpulan pelaku hidup yang tidak semuanya aku kenal.

Kenapa kita harus mencari makna? Bukankah akan semakin indah jika semuanya masih samar-samar? Seperti aku yang selalu membayangkan lesung pipimu pagi ini. Atau jika tetap ingin menjadi keras kepala, dan kau merasa harus tahu sebalik makna, tanyakan kepada ayah dan ibumu. Mungkin mereka tahu. Ah, pasti mereka tahu. Tanyakan saja. Jika kau tak sanggup jujur, gunakan jurus kepura-puraan yang telah kita kuasai luar kepala. Nah, setelah itu, beritahu aku apa arti makna yang kau dapat dari ayah dan ibumu. Agar kita sama-sama tenang.

“Mengapa bukan ayah dan ibumu saja? “, protesmu sewot.

“Sudahlah. Lakukan saja apa yang kukatakan!”

“Mengapa?”

Selalu mengapa. Dasar! Sudah kebiasaanmu. Kau. Si penyuka banyak mengapa.

“Mereka sudah terlalu tua dan punya banyak anak dibanding ayah ibumu. Lagipula, mereka terlalu jauh di kampung. Terlalu jauh jika harus mencari makna sejarak itu”, jawabku menang, karena aku tahu kau tak bisa menemukan sanggahan yang tepat.

Dan kau, tak pernah protes atau setuju dengan saranku. Tapi juga tak pernah berani meretas makna pada mereka. Pengecut!

Aku (mungkin) ingin tak peduli lagi dengan apa yang terjadi antara kita. Kau pernah berkata, kita akan menang melawan takdir Tuhan. Aku sepakat. Tapi, itu dulu. Sekarang aku tak ingin lagi seperti itu. Menjadi calon manusia durhaka yang tentu juga menjadi calon bahan bakar penghuni neraka. Aku tak ingin seperti itu. Sekarang aku memilih berjalan bersama takdir Tuhan. Seperti apapun itu. Menyakitkan!

Seseorang berkata padaku, jangan pernah mendikte Tuhan. Karena jika kau memaksakan keinginanmu dan berkeras dengan itu, maka suatu saat kau akan sangat kecewa jika ternyata hal itu bukanlah takdirmu. Ya. Itu sangat benar. Maka, sekarang aku merekonstruksi jalan takdirku. Bersama takdir yang dikehendaki Tuhan.

***

Pada beberapa perbincangan dengan ibu. Hanya satu nama yang ia utarakan. Dia. Selalu dia. Ibu tak pernah menyebut namamu. Wajar saja. Karena ibu tak mengenal namamu. Bertemu saja tidak. Ibu hanya kenal dia. Seseorang yang adalah putra dari Pak Haji yang kini perutnya tak buncit lagi. Dia adalah lelaki yang ibu kenal tiga tahun lalu dan sangat baik hati. Lalu, aku HARUS semakin tak peduli denganmu. Agar kelak aku tak terlalu kecewa. Lalu, apa yang harus kulakukan?

“Kemarin, ibu bertemu dengan Pak Haji. Dia menanyakan kabarmu. Katanya, ingin bertemu lagi dengan si gadis perkasa yang ia temui beberapa tahun lalu. Tapi, ibu cuma bilang, kamu baik-baik saja”, suara ibu terdengar riang saat menyebut kalimat-kalimat itu, terus memburu, tanpa peduli, tanpa mendengar suara hatiku yang koyak karena selalu ingin menyebut namamu.

“Oh…”, akhirnya hanya kata itu yang aku ucapkan untuk menimpali cerita ibu.

Aku tak sanggup berkata apapun. Sampai akhirnya, ibu mengalihkan pembicaraan ke topik lain hingga komunikasi kami terhenti.

Menghadapi semua itu. Lalu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menjadi diriku, seorang pemberontak terhadap kemauan ibu, lalu menjadi si anak kundang yang dikutuk menjadi patung batu? Apakah aku harus menjadi diriku, seorang yang jiwanya selalu ingin bebas tanpa peduli apapun?

Menghadapi semua itu, aku hanya bisa terluka. Tak tahu harus melakukan apa. Tak tahu harus mengadu pada siapa. Ibu? Tidak mungkin. Ayah? Beliau terlalu pendiam. Aku tak pernah sekalipun sekedar berceritera tentang rasa perih dan tersakiti pada ayah. Kakak, atau adik? Ah! Mereka semua lelaki. Tak mungkin mereka tahu tentang rasaku. Aku terbiasa meresapinya sendiri. Mungkin, aku terlalu introvert.

***

Jika kau masih mencoba membeli mimpi, apakah kau akan menitipkan namaku padanya? Di sela ketidakpastian yang pasti, masihkah kita ingin mencari makna?

Depan Makassar Town Square, 24 Januari 2010, pukul 18:12:11 Wita
Aku hanya perempuan, kawan!

*Masih berstatus staf HUMAS FLP SULSEL

Kamis, 21 Januari 2010

DIARY KE-KAMMI-AN





PENGALAMAN LUCU (BACA: MALU-MALUIN) SEORANG AKHWAT

Berikut ini adalah cerita/pengalaman-pengalaman lucu seorang akhwat yang saya rangkum dari berbagai sumber dan peristiwa. Bagi pembaca, silakan menghayati tulisan ini dengan baik. Siapa tahu, Anda termasuk dalam bagian cerita ini. Karena cerita yang saya tulis ini adalah realita, tanpa dibumbui sedikitpun (paling-paling ada sedikit perubahan, karena pelaku utama juga lupa-lupa ingat, hehe… Tapi, insyaAllah, esensinya tanpa cacat…). Silakan membaca! Jangan lupa, berikan komentar Anda…

“JILBAB MERAH”
Maret 2007. Aku lupa tepatnya tanggal berapa. Saat itu, aku memutuskan untuk mengikuti Daurah Marhalah 1 (DM 1) KAMMI. Aku tidak tahu kenapa bisa “terjerumus” ke dalamnya. Yang jelas, hatiku merasa sangat senang saat aku bisa bergabung dengan teman-teman DM 1. Bagiku, saat itu pesona KAMMI benar-benar memikat. Sulit untuk menolak tidak ikut serta. Apalagi, cerita DM 1 sebelumnya dari seorang saudara di pondokan, begitu menarik. Ditambah lagi, lagu MARS KAMMI yang sering didendangkannya, mampu menggugah semangatku. Ya. Apapun yang terjadi, aku harus ikut! Lebay, mode on…
Hari pertama di medan DM 1. Penerimaan materi pagi. Huwah! MEMBOSANKAN! Bagiku, pemateri tidak berhasil membawakan materinya. Atau mungkin materinya yang terlalu berat. Tapi, sebagai seorang pemateri yang baik, seharusnya dapat mengelola manajemen psikoligis audiens dengan baik, dengan ice breaking, misalnya (sekaligus pesan bagi calon-calon pemateri DM 1 masa depan). PENGELOLAAN WACANA dan CARA KOMUNIKASI EFEKTIF. Huh! Bikin pusing. Hampir tidak ada bekas yang tertinggal di kepala. Wajar, kebanyakan tidurnya. Hehe….
Materi selanjutnya. SYUMULIATUL ISLAM. Nah! Ini baru yang namanya pemateri. Perfect! Beliau berhasil membangkitkan semangat Islam untukku, mudah-mudahan peserta yang lain juga sama. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Ini dia kata-kata yang sangat menggugah itu (setelah melalui proses pengeditan dan olah memori dari pelaku) dan pelaku (katanya sih…) akan terus mengingatnya sepanjang hayat. InsyaAllah…
“Saya pernah berada dalam satu forum dengan pihak birokrat kampus. Saat itu, kami membicarakan tentang teroris. Lalu, saya berkata kepada mereka. JIKA ORANG YANG BERJENGGOT DISEBUT TERORIS, JIKA ORANG YANG MEMAKAI CELANA DI ATAS MATA KAKI DISEBUT TERORIS, JIKA ORANG YANG KESEHARIANNYA HANYA DIHABISKAN DI MASJID DISEBUT TERORIS, MAKA SAKSIKANLAH, AKU ADALAH SEORANG TERORIS..!”
Subhanallah! Hatiku bergetar demi mendengar kata-kata itu. Maka semangatku pun berkobar… Sayang, aku lupa nama moderatornya (Gubraaak!). Nda’ nyambungnya deh! Hehe…
>>>>>
Materi tengah malam. Tepatnya jam 12. Fiqh Aksi dan Demonstrasi bede’. Hah?! Demonstrasi ada fiqh-nya?? Bagiku, ini adalah hal aneh. Hmm, kita lihat saja bagaimana fiqh yang dimaksud itu. Kayaknya bakal seru nih!
Tapi, sungguh sial! Penyakit pribadiku kambuh lagi. Sakit gigi. Huh! Siapa suruh punya gigi berlubang? Walhasil, aku tak pernah bisa konsen menerima materi. Waduh! Si tulang paling kuat ini membandel. Kagak nahan! Akhirnya, kuputuskan untuk melapor ke panitia. Salah seorang panitia akhwat (senior sesama pondokan, red) tunggang langgang cari obat. Hasilnya?? Nihil! Bagaimana tidak?! Tengah malam begini, mana ada apotek terdekat yang masih melayani pembeli? Yah, pasrah saja. Tapi, aku juga tidak mau meninggalkan materi ini. Sayang kan…
Well, lima menit pertama masih bisa ditoleransi. Menit berikutnya, aku kembali meringis pelan. Waduh, nih gigi ngga bersahabat banget sih…! Rese’!
Akhirnya, tanpa sadar, aku mulai tertidur, merebahkan kepala di kursi kayu itu. Antara sadar dan tidak, aku masih mendengar pemateri berkoar-koar mengenai aksi-aksi yang pernah dilakukan KAMMI. Dan, disaat setengah jiwaku mulai melayang…
“Ehm! Tolong peserta akhwat yang pake jilbab merah, jangan tidur yaa…”, suara pemateri itu jelas kudengar. Aku kembali tersadar. Semua mata pun tertuju pada seseorang yang memakai jilbab merah. Ada satu orang berjilbab merah, posisinya tepat di seberangku. Sepertinya, akhwat itu tidak merasa bahwa dia yang dimaksud. Fiuh! Untungnya juga bukan aku. Aku (yang masih kesakitan) dan peserta yang lain, senyum-senyum kecil. Terdengar cekikikan dari peserta ikhwan di sebelah hijab. Sepertinya, mereka penasaran dengan akhwat tersebut.
Materi dilanjutkan. Gigiku semakin menunjukkan perlawanan terhadap empunya. Mungkin, para gigi juga lagi semangat mendengar materi, dan bikin aksi sendiri di dunia mulut. Bundooo..! Tolong akuuuu….! Hiks!   
Sepertinya, aku sudah mulai tak sadar, kepalaku makin menurun mendekati bahu, saat aku kembali mendengar…
“Sekali lagi, tolong yang jilbab merah untuk tidak tidur…”.
Suara pemateri itu lagi! Semua mata (minus peserta ikhwan), kembali mencari sosok berjilbab merah. Suasana mulai tidak enak, ribut! Di sekelilingku terdengar suara, Siapa sih?, Yang mana orangnya? Sepertinya, semua orang benar-benar penasaran…
Aku pun berusaha mencari. Dan tatapanku tertuju pada peserta akhwat di seberangku. Ih! Kok, akhwat itu suka banget tidur ya? Mending cuci muka sono! Tuduhku tanpa dosa. Tapi, pemateri itu kembali bersuara..
“Bukan dia. Ya. Yang itu. Yang menoleh ke belakang…”. Waduh! Siapa sih? Aku jadi makin penasaran. Gemes juga!
Tiba-tiba, peserta di sampingku nyeletuk, “Ukhti, sepertinya yang dimaksud kakak itu anti deh. Kan anti juga pake jilbab merah…”, ucap akhwat itu polos.
Tanpa rasa berdosa, aku berusaha meyakinkan diri dengan melihat warna jilbabku…
O, Muna..!* Ternyata, orang yang dimaksud dari tadi adalah aku! Betapa malunya saudara-saudara..! Aku betul-betul tidak menyadari, saat itu aku memakai jilbab warna apa. Sementara mata pemateri dan semua orang tertuju ke arahku, ikhwan-ikhwan di sebelah, tertawa lepas. Moderatornya juga. Ih, TEGANYA! Tiba-tiba aku merasa semua orang yang ada disitu adalah monster yang sangat jahat di muka bumi ini dan harus segera aku musnahkan.
MALU b-g-t!!
Sejak saat itu, teman-teman alumni DM se-angkatan, memanggilku dengan sebutan, JILBAB MERAH….


*O Muna! = Irae Rumae! (versi Bima). Bagi yang tidak tahu artinya, silakan cari sendiri, hehe…

BERSAMBUNG...

Jumat, 15 Januari 2010

”CURHAT SETAN JILID II”






Persembahan untuk para sahabat, FLP-ers!

Salam pena!
Apa kabar, kawan?
Aku tak tahu harus memulai curahan hati ini dari mana. Hmm, kalian tahu rasanya bagaimana kan? Seperti saat kita kebingungan ingin memulai menulis cerpen kita dari mana. Entah memulai dengan memaparkan setting atau dialog. Atau, mungkin puisi menjadi pembuka. Atau, mungkin kau ingin mengawali cerpenmu dengan mengeksplorasi tokoh utamamu habis-habisan. Sudahlah! Itu terserah kau, bukan? Kita masing-masing punya ciri khas, akan memulai tulisan kita darimana. Dan sepertinya, aku memilih mengawali curhat ini dengan pertanyaan. Haha! Aku menganggap ini bagian dari diriku yang menyukai pertanyaan-pertanyaan bodoh setiap hari dan akhirnya bingung karena tak mendapat jawaban pasti. ??!!

Sebenarnya, curhat ini tidak punya maksud apa-apa, jika kalian menanyakan maksud tulisan ini (tapi, bukankah segala sesuatu memiliki maksud tersendiri?! Terserah kau lah, kawan!).

Kawan, izinkan aku berkisah...
Juni 2008. Untuk pertama kalinya aku menceburkan diri di sebuah organisasi kepenulisan, Forum Lingkar Pena. Awalnya, di sebuah mesjid, kutemukan beberapa akhwat berkumpul dalam satu lingkaran (ternyata, mereka lagi rapat!). Nah, berbekal satu kebiasaan bodoh (nyosor dan sok nimbrung di rapatnya orang, hehe..), akhirnya aku diikutsertakan dalam rapat itu, meski awalnya sangat tidak tahu apa-apa tentang itu semua. Cek per cek (Mitha bilang, cek per cek sama dengan satu. Nih, anak mungkin terlalu pintar Matematikanya sewaktu SD, hehe), ternyata rapat tadi adalah pembentukan panitia Bedah Buku Cupiderman 3G karya S. Gegge Mappangewa (Dengar-dengar, beliau ini adalah penulis nasional. Cerpennya udah buanyak dan ada dimana-mana. Tapi sayang, aku sama sekali tak pernah mendengar nama itu, kawan! Cerpen-cerpennya pun, aku tak pernah melihatnya. Payah! Semasa SMA memang aku tak terlalu suka dengan cerpen. Dulu, lebih sering baca buku Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, de el el. Eits! Jangan sok nebak dulu. Ini bukan karena bureng, lho. Ini semacam tuntutan kelas unggulan dan persaingan yang ada di dalamnya. Tapi, tetap aja ilmunya masih tertinggal teman-teman lain, hehe…).

OK, lanjut! Kawan, cek per cek lagi, ternyata yang mengatasnamakan kegiatan ini adalah Forum Lingkar Pena Ranting Universitas Hasanuddin! (FLP ranting Unhas?? Adakah? Sejak kapan? Siapa-siapa orangnya? Ya. Itu adalah pertanyaan wajar masa itu). Saat itu, ekspresi yang paling pas, pasti kaget dan tidak percaya. Dan, yang paling membuat kaget dan lebih tidak percaya lagi, saat aku harus mengetahui kenyataan, bahwa ternyata, FLP ranting Unhas saat itu hanya memiliki satu orang (CAMKAN! SATU!) pengurus! Beliau merangkap sebagai ketua, sekretaris, koordinator divisi, plus anggota (Btw, bayangkan tuh bagaimana ribetnya mengurus organisasi dengan keadaan seperti ini. Pantas, nama FLP ranting Unhas sama sekali tak terdengar). Alamak! Sepertinya ini musibah organisasi, kawan! Ck..ck..ck..

Dan, setelah mengetahui kenyataan pahit itu (haha! Lebay…), kami sebagai panitia bertambah semangat untuk bekerja. Kasihan, jika harus melihat nasib organisasi yang (katanya) mendunia ini berakhir tragis. Maka, kami (belasan akhwat dan “si pengurus tunggal”), dengan berbekal semangat dan beban moral sebagai orang-orang yang berkecimpung di dunia dakwah, melakukan segala cara demi suksesnya acara ini.
Berkorban? Tentu saja. Bukankah tak ada perjuangan tanpa pengorbanan? Tapi, pengorbanan tak terasa jika disertai senyum. Wajar saja. Banyak kisah lucu selama perjuangan itu. Salah satunya karena ada kesalahpahaman “para anak ingusan” yang hanya mengandalkan “si Bapak single parent”. Bayangkan, betapa ribetnya! Haha! Sungguh indah saat-saat itu, kawan! Jika mengingatnya kembali, aku sampai sakit perut dibuatnya…

Hari H tiba. Setelah semua perhatian tercurah untuk Cupiderman. Publikasi? Mantap! Konsumsi? Siip! Acara? Ternyata belum fix. Sekitar 15 menit sebelum acara dimulai, kami kelimpungan cari sukarelawan yang harus tilawah dan baca doa. Ya, Rabb! Untung saja, sebagian besar dari kami berlatarbelakang Lembaga Dakwah Kampus. Jadinya, ikhwa disana yang berhasil “dicomot”. Tapi, ternyata dibalik itu ada kejadian yang agak lucu juga. Karena dari tim panitia hanya ada seorang laki-laki, “si Bapak single parent” itu, maka beliau yang giliran mendapat kesusahan. Beliau harus pasang spanduknya sendiri! Harus naik di atas kursi lagi. Mana bisa, kawan? Kasihan juga. Sebenarnya, semuanya pengen bantu, tapi kemampuan kami terbatas. Lagi-lagi, Lembaga Dakwah Kampus jadi pilihan. Hmm, inisiatif yang sangat tepat!

Bedah buku selesai. Dilanjutkan dengan Musyawarah Besar FLP ranting Unhas. Setelah melalui penyeleksian, dipilihlah dua orang calon ketua. Andi Saputri Mulyanna dan Uswatun Hasanah. Ya. Nanna dan aku. Dan, tentu saja yang terpilih sebagai ketua adalah Nanna. Mungkin, visi dan misiku kurang meyakinkan ya, hehe. Padahal sebenarnya, dalam hati aku juga tidak yakin bisa menjadi ketua yang baik. Ya. Takdir memilihku untuk mengawali sukses di FLP sebagai sekretaris FLP ranting Unhas 2008-2009. Hmm, hitung-hitung merasakan bagaimana jadi sekretaris…

Waktu berlalu. Perjalanan sebagai seorang sekretaris, ternyata tidak selamanya mudah. Sekretaris tidak hanya mengurus persuratan dan semacamnya. Banyak hal lain yang harus diperhatikan. Lelah? Konflik? Pasti. Tapi, cinta dan senyum teman-teman seperjuangan menghapus itu semua. Bagiku, inilah nikmatnya perjuangan. Indahnya kebersamaan dalam lingkaran ukhuwah. Ya. Indah untuk dikenang.

Juni 2009. Setahun sudah. Gelar sekretaris harus dilepas. Senang dan sedih menyatu. Seolah ada beban yang hilang meski ada “beban” baru yang lebih berat. Jadi Dewan Penasehat FLP ranting Unhas sekaligus direkrut sebagai staf humas FLP wilayah Sulsel. Sebenarnya, jika dari awal kita terbiasa dengan suasana perjuangan dan beban yang terasa berat, maka beban-beban yang berikutnya, tak akan menjadi masalah bagi kita. Justru, itu menjadi tantangan. Iya, kan?

Kini. Di bulan-bulan terakhir sebagai mahasiswa di Unhas (insyaAllah…), aku tak tahu sampai berapa lama berada di tempat ini. Jika aku tak bergelar mahasiswa lagi, apakah aku masih bisa berjuang bersama kalian disini? Setidaknya, aku ingin memberikan segala yang terbaik yang aku miliki untuk kalian, jika (mungkin) suatu saat aku harus ke kampung halaman dan tak kembali. Meski sebenarnya, sangat berat jika harus memikirkan itu.

Aku harus mengejar cita-cita dan tak akan selamanya ada di sini, itu sudah prinsip! Meski, kita semua tak akan pernah tahu, TAKDIR AKAN MEMBAWA KITA KEMANA…

Kawan, aku hanya ingin berterima kasih. Kepada kalian semua. Sebagian besar senyum yang kini aku miliki adalah karena kalian. Kalian membuatku menemukan duniaku, dunia yang betul-betul membuatku mengenal diriku. Kalian mengajarku tentang cinta. Karena kalian, aku jadi tahu yang mana yang harus kulakukan dan yang mana yang harus kuhindari. Kalian yang membuatku berubah. Ya. Perubahan menuju yang lebih baik. Kalian mengajariku banyak hal, apa saja. Hal yang tidak aku dapatkan di tempat lain. Kalian memberiku berbagai pengalaman yang indah, lucu, unik, aneh, yang membuatku selalu tersenyum jika mengingatnya. Hei, bayangkan! Ada berapa orang di dunia ini yang, karena jalanan macet, ternyata di dalam mobil malah meracik bakso dan dengan santai menghabiskan lima mangkok bakso?? Haha!

Kalian adalah tempat berbagi pengalaman dan cerita-cerita aneh, yang tentu saja, sebagian besarnya adalah fiktif (Haha! Dasar penulis…). Kalian banyak mengajarkanku tentang menjadi orang yang puitis dan beretorika dimanapun dan kapanpun, dan kita harus rela mendengar kalimat seperti: ANAK-ANAK FLP TERNYATA LEBAY!. Kalian memberiku banyak makna pengorbanan. Meski karena terlalu semangat berkorban, kadang tidak peduli dengan hujan deras. Dan, saat aku ingin berteduh, dengan santai kalian bertanya, KENAPA KI?? (Gubrak!)

Kalian membuatku mengenal beragam karakter manusia dan bagaimana cara menghadapinya. Kalian membuatku mengenal dan bertemu langsung para tokoh-tokoh hebat; Rahmad M. Arsyad, M. Nur Hidayat (penulis “Muslimah Yang Ternoda”), Pak Alwi Rahman, Pak Aswar Hasan, Aan Mansyur, Nur Alim Djalil dan Pak Basri (FAJAR), Kak Idham (Identitas), dan terlebih lagi, Izzatul Jannah. Semua itu adalah kebanggaan, kawan! Kalian juga membuatku “bersahabat” dengan Pak Pembantu Rektor III, Pak Nasaruddin.

Dan, yang lebih dari itu, kalian memberiku semangat untuk terus menulis (sebuah kegiatan yang dahulu sama sekali tidak kutekuni dan ternyata sangat menarik!). Kalian membantuku menghasilkan cerpen, esai dan banyak puisi, lalu mempublikasikannya dengan nama El Zukhrufy. Kalian membuatku lebih sering membaca buku, apa saja. Kalian membuatku menjadi lebih peka terhadap segala keadaan di sekitar, menjadikan keadaan itu sebagai bahan perenungan dan menuangkannnya dengan tulisan. Kalian membuatku menjadi lebih bijak, lebih sedikit dewasa, bahkan saat berdialog dengan kedua orang tuaku (Mereka seolah berkata, anakku yang manja itu telah hilang). Kalian telah membuat orangtuaku bangga menyebutku sebagai anak mereka. Kalian membuatku bangga dengan diriku sendiri.

Ah! Sepertinya, terima kasih tidaklah cukup untuk kalian. Terlalu banyak yang kalian berikan untukku. Semua begitu berharga. Sangat tak ternilai. Tapi, dengan apa harus aku balas semua itu, kawan? Aku tidak tahu. Atau, katakanlah, apa yang kalian ingin dariku. Dan aku akan berusaha mewujudkan itu. Ya. Dengan sekuat tenaga yang aku miliki. Tapi, sebelum itu, aku ingin mempersembahkan sebuah sajak untuk kalian…

Saat aku semakin terus membaca,
Saat aku semakin mencoba terus menulis,
Saat itu, aku semakin ingin jujur,
Saat itu, aku semakin ingin kau tahu,
Aku mencintaimu
Hanya itu…



>>Pondok Istiqomah, 12 Januari 2010, pukul 11.11 Wita