Sabtu, 27 Februari 2010

DESAIN BAJU TERKEREN!!




ANDA KADER KAMMI??? SEGERALAH PESAN!! JANGAN TUNGGU LAMA-LAMA...
BERAMAL DALAM BERJAMAAH, LEBIH BAIK!!


Minggu, 21 Februari 2010

Aku ingin mati, sebentar saja. Hanya malam ini...






Kesah. Aku tak tahu kenapa aku memilihmu untuk membagi keluh kesahku. Hari ini semua terjadi lagi. Kita berbalas puisi. Semua kata menjadi sangat puitis. Semua kata yang seharusnya hanya biasa-biasa saja, menjadi tak biasa. Sarat makna. Makna yang hampir tak bisa kita temui, seperti biasa.

Aku berbagi keluhku…

Aku tak pernah mengerti kenapa ini terjadi lagi. Datang dan pergi. Seringai dan senyum. Rindu dan benci. Semuanya seenaknya saja terjadi tanpa bisa kita pegang kendali. Sial!

“Jangan bermain di ketinggian jika tak ingin TERJATUH!” Itu kata Wawan.

Pesan yang sangat bagus untukku, cukup menggelikan. Wawan hanya tak pernah tahu kalau aku takut ketinggian. Sangat takut. Tapi, aku berterima kasih padanya, dalam hati, karena telah mengingatkanku tentang rasa takut itu. Aku takut ketinggian, Wan! Masih takut!

Tapi, ternyata aku harus menghadapi rasa takut itu. Kau tahu? Kau ternyata justru mengajakku mengarungi ketinggian. Baru mengajak. Tapi, aku sudah terlampau cepat untuk takut, gugup. Aku sama sekali tak pernah mencoba untuk menyukai ketinggian. Payah! Itu kata yang selalu diucap Sultan untukku. Aku memang payah!

Hmmm. Aku sebenarnya hanya ingin mencoba mengerti apa yang terjadi antara kita. Aku semakin tak bisa jauh darimu. Kau seperti bulir-bulir darah yang jika sesaat saja tak sampai ke bilik kiri jantungku, maka matilah aku!

Kenapa aku harus menuruti inginmu? Turut serta dalam “ketinggian” yang kau janjikan. Kenapa aku tak menolak saja dengan mengatakan, “Aku takut ketinggian, Sayang…”? Tapi aku tak bisa. Bahkan menggeleng pun, sumpah, aku tak sanggup. Ada apa? Kenapa aku harus meredam rasa takutku hanya karenamu? Ah! Aku tahu, aku tak akan sampai pada jawaban pertanyaan bodoh ini.

Puisi. Kita berpuisi lagi. Suatu ketika, aku berjanji tak ingin berpuisi lagi. Suatu ketika, aku bersumpah telah membenci puisi seumur hidupku. Tapi, detik ini pun aku masih berpuisi. Kau tahu? Aku benci puisi tapi tak pernah bisa jauh darinya. Yang sesungguhnya, aku benci puisi yang ia kirimkan sebagai nina-bobo untukmu. Atau puisi yang kau kirimkan sebagai selamat-pagi untuknya. Aku benci puisi yang seperti itu! Kalian terlalu jujur berpuisi! Tak peduli bahwa aku ada!

Aku benci puisi kalian! Aku benci kalian berpuisi! Aku benci kalian! Aku benci puisi!

Lalu, apa maumu?


Tidak ada! Hampir tidak ada!

Aku hanya lelah! LELAH, kawan! Kau tahu, kenapa aku menuruti permintaan tentang “ketinggian” itu? Agar saat aku ada dalam ketinggian, maka aku terjatuh, tak pernah kembali, lalu mati! Ya. Seperti itu. Meski sebenarnya, aku tak pernah benar-benar ingin mati. Tapi, sekarang aku ingin mati! Aku bosan dengan lelah. Aku bosan dengan keluhku sendiri.

Apa aku tak boleh lelah? Apa aku tak boleh bosan? Siapa bilang! Semua rasa adalah sah-sah saja. Tak ada yang melarang. Seperti aku sah-sah saja membenci kalian dan puisi. Tak ada yang melarang. Tuhan pun tidak!

Jangan ganggu aku! Jangan hubungi aku!

Aku lelah, kawan! Aku ingin mati, sebentar saja. Hanya malam ini. Bisa kan?


Istiqomah Land, 21 Februari 2010, 20:48:11 Wita
>>Aku baru saja mengiris jariku sendiri. Bodoh! Sepertinya, aku memang butuh mati sekarang...(Aku tahu, kau akan mencariku disini)

Kamis, 11 Februari 2010

TENTANG SESEORANG BERMATA EMPAT








TENTANG SESEORANG BERMATA EMPAT
Oleh: El Zukhrufy


Kita bertemu lagi. Dua pekan setelah perjumpaan terakhir kita, di ujung jalan itu. Aku tersenyum, rindu melihat senyum dari wajah hitam manismu. Aku tersenyum, rindu melihat keempat matamu, dua matamu yang lain tak pernah bisa melihat wajahku dengan jelas tanpa dua matamu yang satunya. Katamu (tanpa dua mata itu), ternyata aku memiliki setitik noda hitam satu senti di atas bibir kiriku. Aku tertawa kala itu.


Suatu saat, aku pernah marah padamu karena kau tak menyadari kedatanganku pada jarak dua meter di depanmu. Tapi, kau memohon maaf, karena benar-benar tak bisa melihatku. Aku tertawa lagi. Aku berhasil menggodamu. Tidak sepertimu, aku sangat bisa menebak dari jarak seratus meter, bahwa jilbaber-ransel-hitam di ujung jalan sana, itu adalah kau. Lalu aku dengan susah payah berusaha mengejarmu, untuk menjajari langkahmu yang sedikit perkasa.


Kali ini, kedua tangan kita berpeluk. Kurasakan jari-jari kasarmu memeluk jari-jariku. Seperti biasa, tidak seperti mereka, kita hampir tak pernah menyertakan cupika-cupiki jika bertemu atau hendak berpisah. Cukup jabat tangan! Atau ucapan salam! Mungkin, karena kita berdua menyadari: ciuman-pipi-itu-tak-pantas-bagi-perempuan-yang-mengaku-setengah-perkasa-seperti-kita. Dan jika pun pipi tirus kita tanpa sengaja harus berpeluk, akan ada soundtrack yang mengiringinya. Lagu itu adalah tawa kita masing-masing, tawa geli.


Kali ini, kedua tangan kita memang berpeluk. Tapi, entah kenapa, tak semesra saat pertemuan terakhir kita. Jabatmu terasa hambar. Tak terasa ada persaudaraan antara kita, setelah hampir tiga tahun kita mengikrarkan susah-senang-kita-bersama. Kali ini, kau hampir tidak pernah menatapku. Aku pun tak bisa menikmati aura keempat matamu seperti beberapa pekan lalu. Ada apa? Kemana dirimu yang lain? Ceriamu kau berikan hanya untuk mereka, tidak untukku. Tak tahukah aku terluka? Bukankah kita pernah mendapat predikat “saudara kembar” dari mereka karena kita tak pernah berpisah? Kali ini, aku menanyakan hal itu. Benarkah kita adalah saudara? Beginikah saudara? Kau bahkan tak menyahut panggilanku! Seperti pura-pura tak mendengar, tuli!


Aku ingin sedikit menyadari, mungkinkah karena aku dengan rela menjauh darimu? Tapi, bukankah sebaiknya kau menanyakan perihal ke”jauh”anku darimu? Bukankah seharusnya saat aku jauh, maka kau mendekatiku? Bukankah seharusnya kau memaafkan setiap salahku? Bukankah sebaiknya kau memberikanku nasihat saat aku terlupa? Bukankah kita telah sepakat dengan semua itu? Bukankah kita adalah saudara?


Aku mencoba me-review kembali tentang kita. Seingatku, aku tak pernah benar-benar dengan sengaja jauh darimu. Seingatku, aku tak pernah benar-benar serius menanggapi kealpaanmu yang hampir menyebabkan semuanya kacau. Seingatku, aku akan menerima segala khilafmu, karena aku sangat paham, begitulah dirimu. Seingatku, aku tak pernah benar-benar marah padamu, aku tak pernah memaknai marahku melewati batas bibirku yang pandai berpura-pura. Seingatku, aku tak akan pernah bisa benci padamu, karena kau telah terlalu baik padaku selama ini. Seingatku, aku sangat paham dengan kesepakatan kita. Seingatku, ATAU AKU YANG TELAH BENAR-BENAR LUPA?


Sahabat, kau sahabat… Kawan, kau kawan… Ibu, kau ibu… Saudara, kau saudara…


Percayalah! Aku tak pernah benar-benar ingin jauh darimu. Aku mencintaimu! Dan saat cintaku tak terbalas kali ini, hatiku perih!

Aku masih ingin banyak belajar tentang keluarga dan persaudaraan di rumah mungilmu…

Masih bisakah aku kesana???


Perintis Kemerdekaan, 9 Februari 2010

Jumat, 05 Februari 2010

NOT-TODAY...








NOT-TODAY…
Oleh: El Zukhrufy



“Sialan!”

“Kau terkutuk!”

“Brengsek!”

Itu kata waktu.

At least, today…

Saat waktu sibuk mengutuk-kutuk dan mengumpat-umpat

aku masih bisa menggambar senyum di wajahku, memberi bangga pada hatiku

pada: setidaknya-kau-pernah-menganggapku-sebagai-tokoh-utama-dalam-ceritamu…


: Kamarku sayang, 4 Februari 2010
"I'm Just Spending My Time"

MAAFKAN AKU SAYANG (untuk “S”)





MAAFKAN AKU, SAYANG…
(untuk “S”)
Oleh: El Zukhrufy




Sayang…

Maafkan aku

Aku telah sengaja tahu tentang rahasiamu

Maafkan aku

Aku telah dengan rela melacak-lacak memori yang kau titipkan malam itu

Maafkan aku

Itu pasti rahasia terbesarmu

Maafkan aku

Lalu apa yang harus kulakukan?

Mungkin kehilanganmu adalah setimpal untukku

Kau berhak marah, Sayang…

Aku pantas kau hindari

Benci aku!

Aku terlalu bodoh dengan segala keingintahuanku…

Maafkan aku, Sayang…

Seandainya bisa, aku tak ingin mengingat apa-apa tentang malam itu: …………………………


: Untuk sebuah kenangan di bukit Tabo-Tabo
(Kau pernah bilang ingin pergi, bukan?)
Pondok Istiqomah, menjelang Isya, 4 Februari 2010

Selasa, 02 Februari 2010

BERI AKU JUDUL (PUISI)





BERI AKU JUDUL
Oleh: El Zukhrufy


Ini adalah titik kulminasi dari sebuah kontemplasi:
Kau menderita akulturasi, mirip aklamasi
Heran!
Aku fluktuatif memang
Seperti grafik kurs mata uang yang dihafal mati anak-anak akuntansi
Tapi kau selalu cerdas melegitimasi ke-manusia-anmu
Begitulah, dasar manusia!
Jangan beri aku kemiskinan
Aku butuh kekayaan kuantitatif dan kualitatif
Hanya itu!
(bila perlu, kau dihalalkan korupsi untuk mendapatkannya)
Oh ya! Mungkin kau tak tahu namaku
Perkenalkan, aku ImanDiHatimu…
Namamu?



>>Jalan Sahabat, (Kontemplasi Awal Februari bersama Mendung), 1 Februari 2010, 7:40:11 Wita
Kemarin dia sms. Aku risau. Apakah ini takdir, Tuhan?

Ini adalah Cerita Singkat Tentang CintaItuSepertiIni





Ini adalah Cerita Singkat Tentang CintaItuSepertiIni
Oleh: Tachibana*


Kawan!
Hari ini aku sangat gembira! AKU MENANG LOMBA! Sebuah pertarungan dari permainan sederhana. Aku berhasil mengalahkan lawan-lawanku. Mereka, perempuan-perempuan lemah. Tema lombanya unik: CintaItuTakButuhPrasangkaApalagiMenerka-nerka. (Sebenarnya, sudah lama aku hafal mati tentang pertarungan ini. Merupakan sebuah ketidakwajaran jika aku tak keluar sebagai juara). Sebagai rasa syukurku, aku akan men-traktirmu di sebuah restoran yang kau suka. Tinggal sebut. Aku akan menemanimu kesana.


Baiklah. Sekarang, kau pesan makanan yang kau mau. Boleh juga pesan makanan mahal yang sama sekali kau benci. Terserah. Pokoknya, aku senang. Kau mau makan apa saja, silakan.


Oh ya, kuberi tahu sesuatu. Kalau tidak salah, di restoran ini tersedia makanan yang sangat istimewa. Harganya mahal! Rasanya juga sangat lezat! Dengar-dengar sih, mirip Nasi Goreng Jakarta Spesial yang bumbu-bumbunya mengutuk lidah. Namanya agak aneh memang, CintaItuLebihMisteriDaripadaMisteriItuSendiri. Pasti kamu berminat. Kupesankan sebelas porsi, agar kau puas.


Sambil menikmati makananmu, dengarkan ceritaku:

Kawan, aku menang lomba! Sangat sederhana.
Jadi skenarionya begini. Selama beberapa tahun ini aku berpura-pura mencintaimu. Aku selalu memandangmu dengan perasaan-orang-jatuh-cinta. Aku selalu menanyakan kabarmu. Aku selalu ke rumahmu. Aku selalu ingin kau di sampingku. Aku selalu membantumu di saat kau butuh bantuan. Aku selalu mengirim sajak-sajak indah tentang cinta hanya untukmu. Aku selalu membuatmu tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Aku selalu memberikan makna cinta yang sedalam-dalamnya untukmu. Sutradara hebat bilang, aktingku sempurna!


Hingga akhirnya. Kau lalu membalas kepura-puraanku dengan penuh kesungguhan. Kau selalu memandangku dengan perasaan-orang-jatuh-cinta. Kau selalu menanyakan kabarku. Kau selalu ke rumahku. Kau selalu mengirim sajak-sajak indah tentang cinta hanya untukku. Kau selalu membuatku tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Kau selalu memberikan makna cinta yang sedalam-dalamnya untukku. Orang-orang bilang, kau cinta mati padaku!


Mendengar orang-orang berkata seperti itu, aku memutuskan untuk memberitahumu tentang lomba itu. Saat kau tahu aku berpura-pura dan ternyata hanya mengikuti lomba, kau lalu pergi dan menghilang, seperti gila. Finally! Itu dia inti lombanya..!


Case Closed!


Sebenarnya, panitia lomba memberikanku waktu tiga tahun untuk membobol misi lomba ini. Karena aku terlalu hebat, aku menyelesaikannya sebelum deadline dan hanya butuh waktu dua tahun lebih tujuh bulan. Sisa lima bulan dari yang seharusnya. Aku dapat bonus! Dapat hadiah, plus melihatmu berwajah bego. Seperti kemarin. Haha! Aku puas, kawan!


Nah, bagaimana? Ceritaku seru, bukan? Oh, ya. Kau belum mengucapkan selamat padaku. Berikan aku tanganmu. Jabat tanganku.


############


Hei! Makananmu masih ada delapan porsi! Kok kamu udah muntah gitu sih? Hargai dong traktiranku! MAHAL TAU’…!!! (Harganya kubayar dengan airmata…)


>>Jalan Sahabat, (Kontemplasi Sambut Februari bersama rintihan Hujan), 31 Januari 2010, 23:21:11 Wita
: Satu bulan lagi, usianya ganjil. Ucapan “SelamatUlangTahunSemogaPanjangUmurdanBahagia” akan kuganti dengan “AkuHanyaAkanMenikahDenganLelakiYangSelaluShalatTepatWaktu,DanMengajiDenganTajwidMeskiTakBerlagu”

*Tachibana = El Zukhrufy