Minggu, 28 Maret 2010

KOTA INI TELAH GILA!






KOTA INI TELAH GILA!
(aku, lelakiku, dan abu-abu)




Mungkin bencana itu diawali pertengahan tahun 2009. Sebuah kabar baru menimpa warga kotaku.

Awalnya, biasa saja. Kehadirannya tak terlalu membuatku penasaran. Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi dengan mereka.

Mereka telah gila! Mereka mulai tertawa sendiri di depan sebuah kotak hitam. Mereka mulai melirik-lirik, lalu tersenyum cekikikan. Gila! Mereka mulai berbincang-bincang antara dinding-dinding yang sebenarnya tak ada, tapi mereka anggap ada.
Aku pernah mendapati dua orang gadis. Mereka duduk di taman favoritku. Ternyata, mereka sedang membicarakan sesuatu, tapi mulutnya tak terlihat berkata-kata. Justru yang mereka keluarkan adalah tawa. Ada apa gerangan dengan tawa itu? Aku mencoba mencari tahu. Kudekati mereka. Yang kutemukan? Abu-Abu. Itulah ternyata yang membuat mereka saling melirik, lalu tersenyum, kemudian tertawa. Kadang-kadang, terdengar suara dari mereka, “kamu kok gitu sih?”, atau “perasaan, aku gak gitu deh!”, atau “kamu serius?”, atau “ah, kamu bisa aja!”, atau “tega banget sih kamu!”. Huh! Menyebalkan! Buang-buang waktu! Tidakkah mereka menyadari, bahwa mereka telah membiarkan satu penyakit berbahaya menjangkiti mereka? Penyakit gila! Sayang sekali, padahal mereka masih muda. Gadis. Perawan.

Maka, telah aku tekadkan. Setelah melihat warga kota-ku hampir semuanya gila, bahkan teman-teman terdekatku, aku tak akan mendekati Abu-Abu. Melirikpun tak sudi. Aku menganggap, Abu-Abu itu menjijikkan, tak pantas didekati. Hampir di semua sudut kota, aku akan menemukan wajah-wajah serupa. Wajah-wajah yang berpotensi menjadi gila. Aku tak ingin jadi gila, kawan!

Aku telah kehilangan lelaki yang kucintai gara-gara kehadiran Abu-Abu. Lelaki itu kini tak mengenaliku, padahal ia pernah menjadi imamku, kami pernah serumah, tinggal bersama, bermimpi jadi pejuang sejati. Tapi, sesuatu membutakannya! Abu-Abu itu! Sialan! Lelaki-ku kini tak pernah sekalipun menyahut panggilanku. Dia pergi, jauh. Semakin jauh. Aku rindu rintihan suara putus-putusnya saat mengaji dii rumah kami. Aku rindu. Aku ingin ia kembali.

Lelakiku. Dia salah satu alasan yang membuatku bertahan di jalan juangku. Dia salah satu alasan kekuatanku menggapai mimpi yang bagi sebagian orang adalah mustahil. Dia yang membuatku betah berlama-lama di taman kota itu. Dia salah satu alasan kenapa aku harus tegar. Dia yang membuatku tersenyum menatap matahari. Lelakiku. Kini ia hilang dengan amarah. Ia pergi bersama dahi yang berkerut dan gigi gemeretuk. Ia tinggalkan sumpah serapah bersama pelukan Abu-Abu…

Hari berikutnya. Akan semakin banyak orang yang terluka karena Abu-Abu. Aku sudah mengumpulkan bukti-bukti. Sudah cukup banyak. Suatu hari, akan kulaporkan ke polisi tentang si jahat Abu-Abu. Dia harus dipenjara! Dia telah memakan banyak korban. Tapi, jika polisi tenang-tenang saja, maka aku akan mengambil tindakan. Akan kubunuh Abu-Abu itu! Dia harus mati!



Makassar, Maret 2010
Kita harus kuat, saudaraku…

Jumat, 26 Maret 2010

This Is The End Where I Begin, Maybe...





Ini sudah klimaks! Misi selesai!

Maret. Semi klimaks-nya adalah awal Januari lalu, saat aku kembali menemukan buku sajak itu. Ada beberapa sajak. Sajakku, sajakmu, sajaknya, sajaknya. Hmm. Ada berutas-utas tali terangkai darinya. Tapi, tak terurai sempurna. Tali-tali itu kusut! Yang satu, telah menemukan ujungnya. Yang lain, tak jelas kemana. Pangkalnya saja tak jelas. Tapi sepertinya utas tali yang satu akan menemukan akhir perjalanannya. Lalu, aku menulis sajak tentang kami. Kau Diantara Wanita. TAK AKAN ADA PENYESALAN!


Mari bertebak-tebakan, mengukir jalanan!

Kau hendak kemana?
Keluar dari gerbang berkarat. Belok kiri. Belok kiri lagi. Lurus. Lurus lagi. Belok kiri. Nah, setelah ini ada dua alternatif. Kau pilih yang mana? Belok kiri atau lurus saja? Jika kau memilih kiri, maka kau hanya akan mengikuti alur jalanan. Sampai kau menemukan belokan kiri yang berkelok-kelok. Kau akan melewati tiga kampung, tiga hutan gelap menakutkan, satu masjid, satu peternakan sapi, satu peternakan kambing, satu perkebunan jagung, satu pemakaman, satu sawah kering, satu kubangan lumpur. Tapi, jika kau memilih lurus, kau akan menemukan banyak belokan kiri dan kanan. Kau akan melewati gedung-gedung tinggi, satu hutan rimbun gelap, dua rumah sakit, satu gereja, dua perkampungan, satu sabana, satu danau jorok, satu turunan, satu masjid kubah hijau, satu lapangan bola, sampai kau menemukan satu turunan tajam. Nah, disini kau akan menemukan dua alternative lagi. Kau mungkin akan memilih turunan tajam, lalu belok kiri, kemudian belok kanan. Atau, lurus saja, lalu memutar tajam ke kanan.

Perjalanan belum selesai. Di akhir jalanan tadi, kau akan menemukan satu-satunya jalan. Nah, lurus saja. Tapi, hati-hati. Ada banyak batu cadas di depanmu, juga pemuda-pemuda yang doyan mabuk-mabukan di rumah hantu. Tak usah pedulikan mereka, bahkan jika mereka melemparimu dengan botol-botol minuman atau mempersembahkan lagu-lagu sumbang. Pelan-pelan saja, karena kau hampir sampai. Sebelumnya, kau harus melewati jembatan lengkung yang agak curam. Lurus. Di belokan kanan terakhir, hanya beberapa meter, di situlah kau harus berhenti.

Nah, menurutmu, sekarang kau ada dimana? Tentu saja di rumahmu, sedang membaca buku. Kau bingung? Baiklah, akan kujelaskan.


Sebenarnya, ini hanya analogi sederhana tentang hidup. Bahwa hidup akan membawamu pada pilihan-pilihan yang rumit. Bercabang-cabang. Kau harus berani memilih, meski kau tak tahu, pada akhir pilihan itu akan membawamu kemana. Bahagia atau tidak. Tapi, kau harus memilih untuk mencapai tujuanmu. Bagaimanapun kau tidak bisa berhenti di tengah jalanan, karena kau akan ditilang polisi, atau kau akan ditabrak, lalu mati. Maka, pilih saja. Jalan terus, atau belok kanan, atau belok kiri, lewati tanjakan atau turunan. Terserah hatimu, tanya hatimu. Mintalah fatwa pada hatimu, benar bukan?


Bagaimana dengan cinta?
Ya, seperti itu juga. Akan banyak pilihan dari sekian banyak pilihan. Orang ini atau orang itu. Yang baik atau jahat. Yang setia atau tidak. Yang periang atau pemalu. Yang sopan atau kurang ajar. Yang menyenangkan atau menjengkelkan. Yang menggemaskan atau tidak. Yang suka tertawa ngakak atau hanya tersenyum malu-malu. Yang gemuk atau kurus. Yang doyan makan atau pura-pura tidak suka makan. Yang begitu atau begini. Yang harus kau percaya, bahwa, yang kau pilih adalah yang paling sempurna. Sepakat? Harus! Maka, jangan menyesal. Tak perlu menangis. Tak perlu terluka. Tak perlu sedih berlarut-larut karena yang kau cintai pergi. Yang terbaik adalah orang yang tulus mencintaimu. Sepakat? Lagi-lagi. Harus!

Mintalah fatwa pada hatimu. Jika orang ini selalu membuatmu tak nyaman, hampir pasti orang ini bukan untukmu. Jika orang itu yang membuatmu selalu damai, maka kau mau apa lagi?

Rumit? Sulit? Susah? Tidak! Tidak pernah seperti itu. Tidak pernah ada yang rumit. Cukup dengan meminta fatwa pada hatimu. Jika kau merasa ini salah, maka benar kau salah. Jika kau merasa itu benar, maka kau adalah benar. Jangan ragu! Gampang kan?

Tentang cinta. Aku tak sepakat jika cinta yang membuat kita terluka. Cinta tak salah. Cinta tak pernah salah. Yang salah adalah kita sendiri. Terlalu melebih-lebihkan perasaan. Terlalu menitipkan perasaan. Terlalu yakin dengan perasaan. Merasa terlalu merasa, Bunda bilang begitu. Bukankah Tuhan telah berpesan, perlakukan perasaanmu sewajarnya. Cinta sewajarnya. Benci sewajarnya. Jangan pernah berlebih-lebihan. Karena setan akan menemanimu. Setan akan memelukmu. Jika sudah seperti itu, maka akan sulit bagimu melepas pelukannya. Terlalu merasa, kecewa, terluka, tersakiti, terpuruk. Ujung-ujungnya, mati!


Jika Tuhan sudah cemburu… Jika kau terlalu cinta padanya, bukan pada-Nya…


Cinta. Jangan pernah menyalahkannya. Jika saja ia bisa berbicara, maka ia akan mengutukmu. Ia akan menelanjangimu. Ia akan membuatmu hina.

Lalu, untuk apa kau terluka? Kau masih bernapas. Dunia belum berakhir.

Buka hati lebar-lebar. Biarkan semuanya datang. Biarkan semuanya mengisi hatimu. Biarkan semuanya memiliki kesempatan. Jangan pelit dengan perasaan. Berikan semuanya memiliki porsi perasaan yang sama darimu. Sewajarnya. Sewajar-wajarnya.


Oemar Bakri mengajarkanku berkata, “Aku mencintaimu”
Kehidupan mengajarkanku berkata, “Aku pernah mencintaimu” (ez, 2009)


Sudah klimaks! Misi selesai!

Nah, sekarang kau ada dimana? Tentu saja, kau sedang berada di depan komputer, membaca tulisanku. Lalu, kau tersenyum puas, atau menggeleng-geleng tak mengerti, atau mengangguk-angguk setuju, atau malu-malu, atau merasa bodoh, atau terserah!

Aku? Aku masih di rumah. Membayangkan tiap lekuk ekspresimu sesaat setelah kau membaca tulisan ini. Membaca buku. Menulis puisi dan cerpen. Me-list agenda-agenda yang semakin tak tentu. Kadang ada, kadang tidak. Kadang padat, kadang kosong. Ini pilihanku. Termasuk, akan wisuda di semester Sembilan. Ya. Payah? Setidaknya, aku sudah menjatuhkan pilihan. Aku tak lelah lagi. Lebih tepatnya, aku tak akan pernah merasa lelah lagi. Senyumku kini dua setengah senti ke kiri dan dua setengah senti ke kanan. Tidak sepertimu, masih begitu-begitu saja, tak ada yang berubah. Cengeng!

Ah, ya! Sekarang, aku sedang bernyanyi. Ini lagu kesukaanku. Mungkin kau juga suka. Kikan “Cokelat”, Dalam Setiaku. Dengarkan!


Setiaku…
Kupersembahkan untukmu
Tak kan pernah terkikis oleh waktu
Setiaku…
Kupersembahkan untukmu
Jangan pernah ragukan aku…


Haha! Sok romantis! Menurutmu?


Makassar, Maret 2010

Rabu, 24 Maret 2010

A, dan tiga huruf setelahnya







A, dan tiga huruf setelahnya.

Itu adalah sebuah nama. Pertama kali mendengarnya, aku akan membayangkan sebuah Negara yang letaknya entah dimana, negeri manusia kulit putih bermata sipit, Jepang atau Korea. Mungkin juga Perancis. Yang jelas, nama itu tak menandakan bahwa ia berasal dari Jerman. Apalagi bumi Arab! Mungkin Belanda? Ah, sudahlah! Yang aku tahu, sejak aku mendengar nama itu, aku jatuh cinta meski tak pernah bertemu muka. Hanya pada sebuah nama. Nama itu, begitu indah menurutku. Satu lagi. Ternyata, si empunya nama adalah asli Indonesia.

A, dan tiga huruf setelahnya.

Aku melihat nama itu di sebuah puisi, di sebuah purnama kesekian tahun lalu. Seorang lelaki pujangga bersayap keabu-abuan dan seorang perempuan pujangga berbibir jingga telah berbalas puisi tentang nama itu. Mereka sangat mengenal nama itu. Sepertinya, si pemilik nama sangat istimewa bagi dua pujangga itu. Aku penasaran.

A, dan tiga huruf setelahnya.

Kali ini, aku menemukan nama itu pada puisimu. Kenapa harus begitu? Kenapa tak namaku saja? Dari dua puluh enam alphabet, sama sekali tak kutemukan rangkaian namaku di gubahan syair-syairmu. Ah! Aku jadi benci pada nama empat huruf itu. Mungkin, jika bertemu dengannya, aku akan membunuhnya. Namanya terlalu banyak menyita perhatian untuk puisimu.

A, dan tiga huruf setelahnya.

Tapi, setidaknya, kini aku tenang. Entah kenapa. Mungkin karena aku merasa, akhirnya kau tidak terluka karenaku. Ya. Setidaknya, bukan aku yang membuatmu menangis. Aku sudah bilang sejak awal, aku tak pernah ingin membuat orang lain terluka.

A, dan tiga huruf setelahnya.

Aku tenang! Sangat. Damai menyusup ke ubun-ubun. Angin seperti sepoi-sepoi menghampiri hatiku. Tidak pernah sedamai ini setelah aku mengenalmu. Mungkin ini adalah murninya rasa dariku. Sebenarnya, aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya untukmu. Kau telah membuatku berubah melawan takdir. Kau membuatku semakin kuat, semakin berontak dengan keadaan yang tak seharusnya aku terima. Tapi, tak akan kusampaikan ini langsung kepadamu. Kau pasti akan bertanya-tanya. Sudah sifatmu begitu. Aku tahu. Maka, kuucapkan terima kasih disini saja. Semoga kau paham. Terima kasih.

A, dan tiga huruf setelahnya.

Cukup. Aku sudah merasa cukup. Aku sangat lega. Selanjutnya, aku akan menjalani hari seperti biasa. Salamku untuk perempuan itu… Aku juga menyayanginya. Dia sangat baik. Percayalah!


(Aku lupa kapan mulai menulis ini)

Diposting di sebuah tempat depan Makassar Town Square, 24 Maret 2010

Selasa, 23 Maret 2010

UNPREDICTABLE!





Di sebuah toko perhiasan. Ada seorang pemuda datang mencari cincin yang terbuat dari emas. Ia mulai mencari si penjual benda yang dimaksud. Pemuda mengarahkan pandangan pada deretan perhiasan. Ia menunjuk satu. Sepertinya ia sangat tertarik. Di mulutnya mengucap kagum. Lalu, bertanya ia kepada si penjual tentang harga cincin itu.


Si penjual berkata bahwa cincin itu tidak dijual karena harganya terlalu mahal. Harganya melangit itu mengakibatkan tak seorang pun bisa menggapai angka itu. Pemuda
tak percaya. Menurutnya, ia sangat bisa membeli cincin itu. Ia pergi dari toko perhiasan, menyusun strategi, bagaimana memenangi tawar-menawar dengan penjual cincin itu. Di hari berikutnya, saat ia kembali. Entah apa yang pemuda itu lakukan. Cincin itu berhasil ia miliki. Seharusnya, cincin itu tak bisa ia beli! Ternyata, cincin itu dihargai hanya dengan seratus rupiah! Hei, ada apa?

***

Menurutmu, pada siapa lagi aku harus berbagi? Tentu bukan padamu.
Hari ini aku datang lagi. Menawarkan senyum, meski tak selalu mendapat balasan. Aku tak sakit hati karena aku paham. Entah kau memaknai apa ini semua.


Siapa yang salah?


Kau menyakitiku lagi. Bukankah semua ini seharusnya hanya kita yang tahu? Tapi ternyata, kau terlalu pembual. Kau ranum di hadapanku, tapi busuk di belakang. Kau mengatakan pada mereka bahwa tidak terjadi apa-apa. Padaku, kau menunjukkan bahwa ada “apa-apa”. Munafik! Jahat! Aku tidak pernah menyangka bahwa kau seperti itu.
Kenapa kau menyakitiku? Bukankah kita telah sepakat dengan semuanya?
Ada apa denganmu? Aku melihat dirimu menjelma iblis yang sangat pandai menipu manusia.

Sepertinya, mulai sekarang, aku akan banyak melakukan “apa-apa”

Tidak menanyakan apa-apa.

Tidak mengabari apa-apa.

Tidak menerima apa-apa.

Tidak memberi apa-apa.

Tidak melakukan apa-apa.

(Mudah-mudahan kau tidak apa-apa dengan beberapa “apa-apa” ini)

***

Mereka menanyakanmu. Akhir-akhir ini, aku sering mendengar mereka menyebut namamu di depanku. Menanyakan kabarmu padaku, atau sedikit berbasa-basi tentangmu, atau bercerita hal-hal lucu dan konyol mengenaimu. Mereka berlomba-lomba. Seolah-olah, mereka ingin menampakkan bahwa mereka juga istimewa bagimu. Aneh! Kenapa harus padaku? Mereka menganggap seolah aku harus tahu semua tentangmu. Hei, aku tak pernah merasa harus tahu. Untuk apa? Bukankah kita tak punya hubungan apa-apa? Kenapa kita seperti tak bisa dipisahkan di hadapan mereka?

***

Seorang gadis berjilbab datang. Gadis ini pernah hampir membunuhku dengan kata-kata di balik senyumnya. Aku pernah dibuatnya takut dengan tatapannya. Nyaliku ciut! Aku merasa hina di depannya. Aku seperti ingin mati. Kali ini, dia datang menanyakanmu, seperti yang mereka lakukan. Alih-alih, ia menanyakan apa yang terjadi antara kita. Menurutnya, aku dan kau: ANEH! Sama-sama aneh!

Harus kujawab apa untuk pertanyaan ini? Aku ingin meminta bantuanmu. Tapi, aku tak yakin. Kau pasti tidak akan menyelesaikan masalah ini. Buktinya? Kau lebih dulu ber-gosip di sejagad duniamu tentang kita. Sepertinya, kau juga mulai doyan memakan bangkai. Aku belum mati, tapi kau sudah mulai mengoyak-koyak bakal bangkaiku. Sial!

***

Apa yang kau maksud? Apa yang kau mau? Sepertinya, kau ingin aku pergi. Tapi, aku melihat tindakan itu sebagai kelemahanmu menjauhiku.
Pesanku: Pelan-pelan saja. Dunia belum berakhir.

***

Maaf! Sepertinya aku harus menjauhimu sebelum kemarahanku memuncak. Jika ingin mencariku, kau tahu tempatnya. Atau, datang saja ke rumah. Aku akan lebih sering berada disana, menghabiskan mimpiku.

***

Aku. Kau. Dia. Tiga kata ini membuatku sakit kepala. Pusing! Kita harus sama-sama mengakhiri ini semua. Karena kita yang sama-sama telah memulai. Sebelum kita sama-sama masuk neraka!


###

Kau!

Aku harus jujur.

Aku menyayangimu.

Sungguh!



Ez. Teras samping Baruga, sesaat setelah menerima uang satu juta, 22 Maret 2010
(Prolognya nggak nyambung!)

Senin, 22 Maret 2010

PERTANYAAN...





PERTANYAAN
(khusus untuk nd)




Sepertinya, beberapa akhir ini, kepalaku akan selalu disesaki oleh pertanyaan-pertanyaan.


Wajar atau tidak?


Aku memulai pagiku dengan kata ini. Aku memulai dialog kita dengan tanya ini. Agar kau tidak bingung, maka akan kubeberkan beberapa fakta. Sebenarnya, tak boleh ada yang tahu tentang ini, meski itu adalah kau. Tapi, aku sudah tak tahan lagi. Setidaknya, ada satu orang yang akan menganggapku masih dalam kewajaran. Aku memilihmu. Wajar atau tidak? Kau tak menjawab pasti. Bagimu, wajar saja. Tapi, kau selipkan kata “tidak wajar” di saat yang lain. Baiklah, aku paham.


Salah atau tidak?


Kadang, aku merasa aku salah. Sangat salah. Tak seharusnya aku begini. Tapi, sisi lainku berkata tidak. Aku hanya jujur berbicara. Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat tepat. Bukankah tidak ada manusia-manusia yang menjadi calon ahli neraka karena jujurnya? Aku yakin, aku tidak salah. Jujur bukan kesalahan, kan?


Keliru atau tidak?


Hampir tidak ada alasan untukku mengatakan ini sebuah kekeliruan. Tapi, untuk yang kedua kalinya, sisiku yang lain mengatakan ini adalah keliru. Aku bingung. Aku dalam kebuntuan. Belum ada jawaban untuk pertanyaan ini. Masih mengambang. Masih sebatas angan seorang manusia. Gadis, apa aku harus mengatakan ini padanya?


Dosa atau tidak?


Ini pertanyaan yang paling tepat, mungkin. Ini pertanyaan terakhir. Sekaligus pertanyaan yang akan menentukan bagaimana dan dimana aku kelak. Bahagia atau tidak. Surga atau neraka. Mungkin aku tak akan merasa ini dosa jika “orang-orang suci” itu tak menjatuhkan justifikasi padaku. Bagi mereka, aku salah. Bagi mereka, aku berdosa. Bagi mereka, aku harus segera bertobat. Mereka semakin menyudutkanku. Dan, Gadis, itu mereka lakukan setiap hari. Aku bisa gila jika menghadapi mereka. Aku seperti bagian dari para pendosa yang siap dihukum mati karena fatwa-fatwa keliru para ulama. Aku tersudut. Aku tercekik. Dan itu aku rasakan sendiri. Gadis, tahukah kau? Inilah lelah yang aku maksud. Inilah lelah yang membuatku ingin mati semalam saja. Aku lelah, Gadis…

Sebenarnya, aku sangat ingin bercerita pada mereka semua tentangku, seperti yang aku lakukan padamu. Tapi, mereka bukan orang yang tepat. Mereka akan menganggap aku pembual. Mereka pasti tak percaya. Kisahku adalah mustahil bagi mereka. Hanya kau yang persis tahu, Gadis. Kau orang yang tepat. Hanya kau yang boleh tahu tentangku. Mereka tak boleh tahu tentang apa yang kudapatkan. Aku harus pandai menjaga apa yang terjadi, agar menjadi pelajaran di masa depanku kelak. Rasulullah berpesan begitu bagi setiap perempuan. Setidaknya, aku tak menyakiti orang lain di belakangnya. Aku tak rela orang itu tersakiti. Orang itu terlalu baik. Kau tahu, kan? Maka, biar aku saja yang terluka.

Tentang dia, mungkin kau ada benarnya. Aku pun merasa begitu.

Gadis, jika suatu hari terjadi sesuatu yang tidak pernah kita inginkan, tolong sampaikan pesanku untuk orang-orang itu. Tolong ceritakan seperti yang aku ceritakan. Tolong bersihkan namaku di depan “orang-orang suci” itu. Jika tak mempan, jika mereka tak percaya dengan kata-katamu, aku masih punya bukti. Buka saja kotak hitam yang kelak aku titipkan padamu. Ia adalah saksinya. Tapi, mungkin ini hanya akan terjadi jika aku dan dia mati. Agar orang-orang itu menyesali satu hal: mereka telah memakan bangkai kami, aku dan dia.


Gadis, terima kasih seluas hatiku untuk waktu yang kau berikan. Terima kasih telah meluangkan keempat matamu untuk melihat bening yang jatuh perlahan. Terima kasih untuk hati yang lapang menerima keadaanku. Terima kasih untuk telinga yang telah mendengar keluhku. Terima kasih untuk bibir yang telah berpetuah tentang hidup. Gadis, kau telah dewasa…

Perjalanan ini memberiku sejuta bahagia. Sekali lagi, terima kasih. Kali ini, untuk pikiran terbaikmu tentangku, meski peluang-peluang untuk berpikir jahat itu sangat ada.


Lain kali, aku akan bercerita lagi. Mudah-mudahan, kau masih ingin mendengar ceritaku…

Terima kasih, Gadis. Aku menyayangimu…



Ez. Istiqomah Land, beberapa saat setelah perjalanan kita ke Pangkep, Maret 2010.
Gadis, lain kali kau harus percaya padaku untuk mengendalikan perjalanan kita. Aku lebih hebat! Tapi, sepertinya, aku memang salah…

Jumat, 05 Maret 2010

PULANG!






PULANG!
(aku, orang itu, dan keluargaku)



Pukul 01:47:11 Wita. Dini hari. Tak seperti biasanya, aku membelalakkan mata pada waktu ini. Biasanya, sudah beberapa bulan ini, mataku akan terjaga pada tepat pukul tiga, lalu kulanjutkan dengan qiyamul lail setelah sebelumnya meng-absen teman-teman liqo agar turut terbangun. Bunda menugaskanku, lebih tepatnya, aku menawarkan diri sebagai alarm para perempuan hebat itu setiap hari, agar terjaga pada sepertiga malam terakhir, mencoba menguatkan ruhiyah, agar tak jatuh di saat beban ujian dan amanah menghimpit dada.

Aku terjaga. Belum saatnya mengusik mimpi perempuan-perempuan yang sore itu tak semuanya kutemui. Hanya Bunda, aku, ukhti A dan ukhti B. Kemarin sore, kami hanya berempat, meski pertemuan hanya sesaat. Kaum-kaum usia dua puluhan yang berlabel intelektual itu secara langsung menyebabkan kami tak saling bertatap muka, membuat kami tak bertemu dengan alasan macet. Hhhhh! Aku tak pernah menganggap ini karena mereka. Aku juga tak menyalahi nasib. Ini kebodohan manusia! Ini takdir Tuhan!

Aku terbangun. Tapi, entah. Ada sesuatu yang memanggil-manggil, mengusik! Ada kabar dari langit! Katanya, seseorang tengah terluka malam ini. Katanya, seseorang itu sedang meringkuk di atas sajadah lusuhnya. Katanya, seseorang itu telah menguras air mata, tenggelam dalam sujud malamnya. Duhai! Ada apa gerangan? Orang itu, aku sangat mengenalnya.

Ada apa, Sayang? Bukankah kemarin kau baik-baik saja?

Kulirik si Hitam Jingga kesayangan yang belum genap sebulan menjadi sahabatku. Disana tertera foto orang itu. Entah, tiba-tiba muncul berita kematian dari foto itu. Aku takut. Sangat takut. Gelisah. Aku tak ingin orang itu mati. Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa benar-benar tahu apa sebab tangisan ini. Orang itu belum mati, tapi aku telah menganggapnya tiada. Aku menangis lagi. Bantalku telah basah dengan leleran air mata dan ingusku. Aku masih menangis. Kupandang foto itu lekat-lekat. Ada apa denganmu? Seharusnya, semuanya baik-baik saja kan? Seperti yang telah selalu kau bilang. Apa kau juga sepertiku sekarang? Terbangun, lalu tiba-tiba menangis tanpa sebab. Apa aku terlalu rapuh?

Langit mengabarkan kematian. Apa orang itu juga terlalu rapuh?

Dadaku sesak. Mataku bengkak. Aku ingin berteriak. Langit gelap. Semua penghuni taman Istiqomah telah lelap. Aku tak ingin membuat mereka terbangun. Kubiarkan saja teriakanku hanya sampai di telinga Tuhan-ku. Tuhan, dengar teriakanku…

Salah. Ini salah siapa? Salahku? Atau salah orang itu? Apa Engkau telah salah, atau takdir-Mu yang telah keliru, Tuhan? Maaf, aku harus bertanya tentang ini. Aku tak bermaksud menggugat-Mu. Tuhan, jika memang ini adalah benar kesalahanku, ambil nyawaku sekarang. Detik ini juga. Jangan biarkan ada orang lain yang mengenalku atau mengingat apa-apa tentangku! Cukup ayah, ibu, kakek, abang, adik, kakak ipar dan keponakanku. Selebihnya, potong memori mereka tentang potret-potretku. Aku hanya telah menyakiti mereka seumur hidupku. Sejak pertama mereka masuk di hidupku, aku hanya bisa menyakiti. Padahal, sudah kubilang pada-Mu Tuhan, AKU TAK PERNAH INGIN MENYAKITI ORANG LAIN! Apalagi orang itu!

Aku ingat rumah mungilku…

Ayah. Ibu. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk kalian. Aku selama ini sepertinya tak pernah memeluk tubuh-tubuh subur itu, yang sepenuhnya kalian wariskan pada bungsu kita.

Ayah… Ibu… Seharusnya kalian tak pernah membiarkanku jauh dari kalian, memilih Makassar sebagai tempat untuk menempuh sebagian sisa hidupku, meski sebenarnya, aku yang telah ngotot harus kesini.

Ayah… Ibu…

Mungkin seharusnya kini, aku tengah berada di dapur. Menyiapkan sarapan nasi goreng spesial untuk kita semua, seperti semasa SMA dulu. Menyuguhkan kopi hangat kesukaan ayah dan abang, teh kesukaan ibu, susu vanilla kesukaanku dan bungsu kita. Aku ingat, kalian semua selalu bilang, nasi goreng buatanku begitu lezat, lalu rumah kita akan dipenuhi tawa kita berlima. Apakah kalian rindu nasi goreng buatanku kini? Ah! Tentu kalian masih bisa menikmatinya. Bukankah ibu lebih jago membuat masakan lezat? Aku hanya tertular sedikit dari kromosom genetik yang diwariskan ibu.

Ayah… Ibu…

Mungkin seharusnya kini, hidupku kuabdikan untuk merawat bungsu kita. Menyuapinya saat ia lapar. Memberi minum saat ia kehausan. Membantunya mengenakan pakaian. Menemaninya nonton acara musik di TV, lalu menyaksikannya mengganti channel yang ia suka. Menyuguhkan susu vanilla kesukaannya. Mengiringnya berjalan-jalan keliling desa bersama kursi roda reotnya, lalu menyebut satu-satu nama tetangga pemilik rumah beserta anggota yang ada di dalamnya, meski aku tahu, ia tak pernah sekalipun lupa tentang ingatan masa kecilnya saat ia masih bisa berlari. Ah! Sebenarnya, ia selalu membanggakanku. Aku tak akan malu lagi memiliki adik lumpuh berkursi roda! Ayah dan ibu telah keliru, adikku! Bukan aku yang seharusnya mereka banggakan. Kau yang harus mendapatkannya! Maafkan aku… Aku tahu, rasa sayangmu untuk ayah dan ibu kita melebihi sayangku untuk mereka.

Mungkin seharusnya kini, aku berada disamping Abang. Menemaninya menentukan siapa gadis yang cocok untuk wajah hitam manisnya. Usia Abang hampir 27 tahun. Seharusnya, dua tahun lalu, ia telah beristri, memberikan ibu cucu pertama. Ibu sudah terlalu tua. Namun, tentu saja ibu tak akan membiarkan abang menikah sebelum bergelar sarjana! Ayolah, Abang! Wujudkan keinginan ibu…


Mungkin seharusnya kini, aku berada disamping Abang. Belajar qira’ah bersama, seperti saat SD dulu, di rumah Kakek. Ba’da maghrib, rumah Kakek selalu dipenuhi anak-anak kelas 1-6 SD untuk belajar qira’ah, mengaji dengan lagu dan nada yang meliuk-liuk tajam. Abang telah berhasil mewarisi ilmu Kakek. Suara Abang sangat merdu jika melantunkan ayat Al-Qur’an. Aku? Selalu merasa putus asa saat tak bisa meniru Kakek, meski hasilnya, desa kita mendapat juara satu saat Cerdas Cermat MTQ Tingkat Kecamatan, karena aku menjawab pertanyaan seputar qira’ah dengan asal-asalan: bayati awal atau bayati akhir.
Aku selalu beralasan, nafasku pendek. Lalu Abang akan berkata, cobalah menghirup nafas panjang di luar rumah seusai shalat subuh, atau masukkan kepalan tanganmu ke mulutmu, atau berteriaklah di dalam air, dan jangan suka makan es dan gorengan. Aku tak percaya, tapi Abang meyakinkanku bahwa itu adalah cara para qori melatih diri. Aku melakukannya selama sepekan. Nafasku mulai panjang sedikit demi sedikit, tapi aku memutuskan untuk menyerah, tak belajar lagi tentang qira’ah. Bagiku, aku cukup tahu saja. Kini, aku menyesal. Seharusnya, aku tak pernah menyerah. Aku iri pada Abang. Suaranya merdu sekali. Aku jatuh cinta pada suara itu, dan aku merindukannya. Tapi, Abang, kini aku masih berlatih, sendirian di dalam kamar, berbekal kaset Nanang Qosim yang kau kirimkan.

Ah! Aku rindu keluargaku…

Ibu. Saat aku kecil, Ibu pernah bercerita tentang Ummul Mukminin, Aisyah r.a. Ibu bilang, Aisyah menikah dengan Rasulullah saat berusia sembilan tahun. Aku sangat tak percaya. Lalu, aku bertanya pada ibu, bolehkah aku menikah jika aku telah menginjak usia sembilan tahun? Ibu hanya tertawa, karena beliau tahu, saat itu aku tak tahu apa arti menikah.

Sejak saat itu, aku ingin menjadi Aisyah. Gadis Rasul yang periang. Sejak saat itu, aku selalu mencari tahu tentang kisahnya. Bagaimana beliau dengan ceria dan senyum penuh kemenangan saat berhasil mengalahkan Rasul dalam lomba lari. Tapi kemudian, Aisyah harus puas untuk dikalahkan saat lomba lari berikutnya. Aku sangat suka dengan kisahnya, saat beliau, dengan terang-terangan membuang makanan di tangannya, di depan tamu-tamu Rasul hanya karena cemburu. Aku sangat suka, saat harus tahu, bahwa Aisyah pernah menjadi panglima perang. Aku ingin seperti itu. Ah! Aku mencintai Aisyah. Aku ingin menjadi Aisyah, karena Rasul meregang nyawa di atas pangkuannya. Ibu, terima kasih telah mengenalkanku pada wanita tegar itu…

Ayah. Bulan Desember lalu, ayah telah resmi pensiun dari pekerjaannya. Mungkin sekarang, ayah tengah asyik dengan cangkul sawahnya, berkutat dengan pupuk-pupuk dan traktor. Bagiku, ayah adalah pendidik sejati, guru sejati yang memiliki murid sejati, yaitu aku. Ayah telah mendaftarkan diri dalam deretan panjang absen para calon haji. Tinggal menunggu giliran, dengan senyum wajah tegasnya. Ini adalah mimpi ayah yang hampir berkarat. Setidaknya, beberapa waktu lagi, mimpi itu akan terwujud.

Ah! Aku rindu keluargaku…

Ayah… Aku ingin pulang. Memelukmu. Kuyakini, hampir semua sifatku adalah cerminan dirimu. Aku selalu melakukan hal yang sama, seperti yang kau lakukan: menyelesaikan masalah dalam diam, seorang diri, membiarkan hanya dirimu dan Tuhan yang tahu masalahmu. Kini, aku melakukan itu. Aku sepertimu, tidak pernah ingin menyakiti orang lain! Apakah kini aku telah melakukannya pada orang itu, Ayah? Orang itu terluka karena diriku kah?

Ayah… Aku ingin pulang saja. Tapi, tolong. Jangan beritahu ibu tentang hal ini. Ibu tentu akan murka. Ibu telah merelakan satu-satunya gadis yang dimilikinya jauh, agar kembali dengan gelar professor. Ayah, bolehkah aku pulang sekarang, tanpa gelar sarjana?

Aku tak ingin berlama-lama disini, Ayah… Aku tak ingin melihat orang itu lagi, terluka karenaku! Orang itu tak seharusnya mengenalku! Ini salahku! Orang itu harus bahagia! Orang itu tak boleh menangis! Orang itu………

Atau, izinkan aku membahagiakannya, Tuhan…



Pondok Istiqomah lantai 2 nomor 6, sebelum fajar tiba, 03:41:11 Wita
Ada kabar dari kawan di Semarang: kita tetap pejuang, sobat!
Esok atau lusa, aku tak akan (ingin) menangis lagi!