Jumat, 16 April 2010

BAHAGIA UNTUK N & S





Akan menikah:
N & S


Kejutan! Sebuah undangan pernikahan berwarna biru tertulis atas namaku. Kutegaskan, namaku! Seumur-umur, aku baru saja mendapatkan undangan pernikahan untukku pribadi. Aku merasa spesial, kawan! Dan, aku merasa lebih spesial karena N adalah teman baikku. Aku mengenalnya. N, perempuan yang sangat baik. Aku jamin, S sangat beruntung memiliki istri sepertinya.

Nah, itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Aku lupa tanggal persisnya. N dan S, telah berani menentukan pilihan hidup mereka: berkeluarga disaat masih berstatus mahasiswa. Salut untuk kalian berdua! Kalian hebat!

Sesaat setelah aku menghadiri acara pernikahan kalian malam itu, aku belajar banyak hal. Bahwa ternyata, jodoh itu bukan dilihat dari kemiripan mata, hidung, bibir: semua tentang kemiripan fisik. Jodoh itu bukan saat kau memakai pakaian berwarna senada dengan si dia. Jodoh itu bukan karena kesamaan firasat. Jodoh itu bukan karena sifat kita yang sama. Jodoh itu bukan karena makanan kesukaan kita yang sama. Jodoh itu bukan karena kesamaan hobi atau profesi. Jodoh itu, bukan karena segala kesamaan yang dipaksakan. Teori jodoh itu cuma satu: ia sepenuhnya di tangan Tuhan dan selamanya tetap misteri.

Maka, seharusnya tak ada ragu, tanya dan tangis jika kita membayangkan si “jodoh” itu. Aku belajar itu dari kalian berdua: N dan S.

Kini, kalian menjemput bahagia. Aku pun bahagia. Sungguh! Seorang bidadari manis
menggemaskan telah melukis senyum untuk kalian. Ini dia:



Selasa, 13 April 2010, pukul 12:30 Wita, beberapa saat setelah adzan dzuhur, di Rumah Sakit Daya. Seorang bayi menghirup udara sesak dunia.

Hulwah El Syifa. Nama yang diputuskan untuknya. Hulwah berarti harum/keharuman; Syifa berarti penawar/obat. Nama yang indah untuk bidadari mungil yang juga indah! Aku mencintainya, juga namanya. Syifa, begitu panggilan si mungil berbobot 2.900 gram itu. Ia adalah pautan sempurna antara ibu dan ayahnya. Mata sipit serupa sang ayah; hidung mancung serupa sang ibu. Sempurna! Bidadari ini adalah jelmaan ibu dan ayah. Entah! Melihat karya agung Sang MahaAgung ini, aku diam-diam mendoakan sesuatu…

N, sahabatku…
Demi pernikahan, kau lepaskan label aktivis “kiri” yang sesungguhnya membuatmu resah. Aku bahagia saat kau memutuskan hal itu. Memilih hengkang dari hijau hitam Makassar Timur bagiku tepat. Meski tak harus jadi orator lagi, kau tetap perempuan cerdas di mataku.

N…
Seperti Lisa, kau pun telah menjadi bidadari. Anti bilang, sempurna sudah dirimu sebagai seorang perempuan: menjadi istri dan ibu. Ah! Tiba-tiba aku merasa kurang sempurna. Sahabat, aku juga ingin menjadi bidadari. Aku juga ingin kelak seseorang bertubuh mungil memanggilku “Bunda” (semoga Tuhan memberikan kesempatan).

S, suami sahabatku…
Bagiku, kau sangat beruntung sebagai lelaki. Kau kini telah memiliki dua bidadari dalam pelukanmu. Apa lagi yang hendak kau kufurkan? Dua bidadari itu sangat indah di mataku. Jaga mereka baik-baik. Mereka amanah. Kau bertanggung jawab atas masa depan mereka. N harus bangga memiliki suami sepertimu. Dari cerita-ceritanya, aku tahu, kau adalah lelaki yang “pasrah dalam kejantananmu”. Mungkin sebagian sifatmu telah diwarnai oleh warna-warna partai merah yang membuatmu berhasil duduk di kursi panas DPR. Kau sangat demokratis sebagai suami dan seorang bapak.

N dan S…
Untuk kalian berdua. Selamat berbahagia! Aku merasakan euphoria itu. Senyum-senyum mengembang di segala sudut rumahmu sore itu. Lagi-lagi, entah! Aku hanya bisa berkata dalam hati: kapan?

---- Untuk Nuby dan Salam: aku seperti kehabisan kata-kata untuk mewakili kebahagiaan ini. Aku belajar memaknai hidup dari kalian. Doakan aku…

Rabu, 14 April 2010

JEJAK






JEJAK
(aku, kau, masa depanku)


Berjejak-jejak kata telah kau jejakkan di atas jejak-jejak orang lain
Tak tahukah, jejak-jejak yang kau jejakkan telah menimpa jejak-jejak dari yang meninggalkan jejak?
(EZ. Makassar, 2009)


Aku benci jejak!
Beberapa hari yang lalu, aku berusaha mencarimu di rumah-rumah kata. Melewati beberapa huruf, terutama huruf N dan L. Tetap tak kutemukan. Dua huruf itu berkata, kau kini berada di suatu tempat di antara dinding-dinding Abu-Abu yang tak bisa kugapai. Aku rindu, Sayangku. Kenapa tak kau tampakkan saja dirimu seperti yang dulu?

Bercerita tentang jejak. Anganku membawaku pada sisi dimana aku berada. Bayangan masa depan beberapa bulan lagi mau tidak mau mencekik naluriku. Tidak bisa! Aku yakin, itu tak akan terjadi. Tapi, kau selalu berkata bahwa itu sangat mungkin. Apa yang membuatmu yakin?

Aku melihat jejakmu setelah merahku mendobrak-dobrak pintu warasku. Apa aku gila? Sangat mungkin, iya. Jejakmu tanpa sengaja mewarnai jejak kata yang hendak kutuliskan dalam sebuah bait puisi. Kenapa bisa? Nah, itu dia masalahnya. Katamu, jejakku dan jejakmu akan selalu sama. Aku heran, bagaimana bisa sama jika ukuran kaki kita tak sama?

Aku selalu bilang bahwa kita tak pernah sama. Kau selalu bilang, kita sama! Mata kita. Hidung kita. Bibir kita. Ekspresi kita. Senang kita. Sedih kita. Yang paling penting, hati kita. Ah! Itu semua omong kosong, Sayang! Aku tetap tak percaya.

Bercerita tentang jejak dan masa depan. Jika kita tak berhenti berbicara, maka kewarasan segera akan hilang dari otak kita. Kita akan menemukan sisi kemuakan pada labium mulut kita masing-masing. Karena kita akan bosan. Bicara tentang yang itu-itu saja. Sudah kubilang, kau harus wajar-wajar saja. Jangan mengada-ada.

Aku menciptakan jejak yang kemudian kubenci. Kini, aku tak akan melakukannya. Kau sudah tahu semua tentangku. Mungkin juga tentang perasaan yang akan kurasakan enam bulan lagi. Kau telah mengenal diriku kan? Tentang ketakutanku. Tentang kesukaanku. Tentang bodohku. Tentang egoku. Tentang bebasku. Tentang konyolku. Tentang sendiriku. Tapi, aku masih yakin tentang satu hal, kau tak tahu tentang masa depanku. Kecuali jika kau mengambil tindakan dari sekarang.

Jejak-jejak berserakan. Aku sangat ingin memungutnya. Lalu membuangnya jauh dari jarak maksimal pandangan mataku.

Kau terus saja beranalogi. Aku pusing! Hati-hati, Sayang. Nanti ramalan-ramalan palsu itu akan mencekik kewarasanmu perlahan-lahan. Santai saja. Rileks.

Mau tidak mau, aku harus memikirkan segala tingkah anehmu. Terpaksa. Ah! Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tak bisa mengendalikan kehendak Tuhan. Semua lakon yang tak wajar, menjadi aneh bagi naluriku, lalu mencabik dan mengoyak kewarasanku yang tersisa. Aku pusing! Mungkin kau memang utusan dunia untuk menciptakan beban untukku?

Aku benci jejak!
Cukup sampai disini. Tak akan kuceritakan tentangnya lagi. Entah! Selama hidupku, aku pernah membayangkan sekali saja, kau ada di samping kiriku, memberikan senyum bibir tipismu sambil mengerling sebelah mata. Semua itu terpaksa membuatku tersenyum dan harus menatapmu hanya dengan ujung mataku. Aku tak akan menatapmu dengan kedua mataku yang hina. Karena sekali lagi, ini tentang sebuah ketidakyakinan! (EZ)


EZ. Daya, 13 April 2010, 00:29:11 Wita

Selasa, 06 April 2010

SKENARIO TUHAN UNTUK KITA





Kau ingat pertemuan pertama kita?

Scene 1
Aku melihatmu hanya melewati tempat dudukku. Lalu kau memperkenalkan namamu pada mereka. Saat itu, aku tak sengaja tahu namamu. Kau berbicara lantang. Tapi tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Kau belum terlalu menarik. Tapi dalam hati aku berjanji, aku akan bertemu lagi denganmu, suatu saat, dan kau akan sedikit belajar untuk mencintaiku.

Scene 2

Temanku selalu menyebut namamu. Aku bilang padanya, aku pernah melihatmu, saat tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Temanku tak percaya. Tapi dia bilang, aku bisa kembali bertemu denganmu. Ya. Tentu saja. Aku datang ke tempat itu untuk memastikan. Ternyata, kau lebih dulu pulang ke rumahmu. Aku tak terlalu kecewa. Setting ini terjadi di balik podium keimanan suara merdumu.

Scene 3
Tersiar kabar, kau akan mendatangi kampungku. Kepala desa mengundangmu. Aku ingin memastikan jika itu adalah dirimu. Lalu, kudapati wajahmu asyik membaca buku di kantor desa. Entah kenapa, aku tersenyum girang. Terlalu girang. Hingga orang-orang disampingku menatap curiga. Tatapan dan senyum itu menjadi multi-tafsir.

Scene 4
Aku melihat teman-temanku mengadakan acara makan-makan. Sebenarnya, aku hanya ingin lewat saja. Tapi, mereka memaksaku ikut serta. Aku menurut, hitung-hitung makan gratis. Tak berapa lama, dirimu ikut serta. Kenapa bisa? Ternyata, kau adalah teman dari teman-temanku. Kejutan! Akhirnya, untuk pertama kalinya kau mengenalku, menyebut dan memanggil namaku. Tapi, apakah aku senang? Hmm. Ini adalah awal tersampainya janji yang kuucap saat pertama kali kita bertemu.

Scene 5
Karena kau adalah teman dari temanku, aku pun menjadi temanmu. Kita semakin sering bertemu. Bertanya, apa kabar? Hmm, sedikit indah! Bentuk-bentuk unik dari sebuah perhatian, bergayung sambut. Mungkin, aku dan dirimu sedikit tersesat! Teman-teman kita tak pernah menyadari itu. Untung saja! Padahal Tuhan tahu, Sayang…

Scene 6
Di sebuah lorong rahasia, hanya kita yang tahu. Aku memberanikan diri memegang tanganmu. Kau mengelak, pura-pura. Aku tersenyum, ini baru awal. Aku mencoba mengerti. Mungkin masih terlalu dini.

Scene 7
Sifatmu mulai melunak. Kau tidak lagi mengelak saat aku memegang tanganmu, meremas jari-jarimu, menyusuri garis-garis tanganmu. Kau hanya diam, memang. Tapi setidaknya, ini awal yang baik. Aku bangga. Meski teman-teman kita tak pernah tahu. Kita menikmati berdua. Dalam sepersekian menit, aku tak lagi memulai meremas jemarimu. Kali ini, kau yang memulai. Bahkan, kau mencoba untuk memelukku. Aku mengelak, seperti yang pernah kau lakukan. Bagiku, ini sudah terlalu jauh. Jangan sampai terlalu jauh.

Scene 8
Aku kaget! Tiba-tiba saja kau bilang cinta. Tapi, aku tak menjawab. Apa ini? Sebenarnya, aku tak butuh cinta. Aku hanya ingin janjiku saat pertemuan pertama kita terwujud. Itu saja. Maaf! Hanya itu yang kuinginkan, tak pernah lebih. Aku harus melakukan sesuatu: kau harus belajar membenciku. Maka aku meninggalkanmu. Aku menghindarimu. Kau mencariku, seperti butuh. Kau mulai lelah, lalu mengumpat-umpat namaku. Aku sedikit tenang, setidaknya kau mulai terlihat membenciku. Bukankah semuanya harus berakhir sekarang? Kini, kita (harus) saling membenci, Sayangku! Haha!


E.Z. Istiqomah Land, 22 Februari 2010, 9:10:11 Wita
Aku selalu berharap, skenario kita adalah yang paling indah di dunia
Ternyata kau dan dia sudah begitu lama berbagi puisi. Hmm!

DUA PERJALANAN.





Perjalanan tentang seseorang yang bagi mereka adalah pemuja Tuhan


Tak kutemukan alasan kenapa
Postur pendek-ringkih-kurus miliknya mewarnakan si denyut merah jadi jingga
Sambil memeluk dagu, aku mendengar suara “Kami melihat Tuhan disini”
Astaga! Seharusnya aku malu saat menyadari bahwa aku tak shalat Isya sebelum jam sembilan!
Aku harus cepat-cepat berwudhu! Sekarang sudah jam dua pagi!



Perjalanan tentang Aisyah abad 21

Sepertinya, aku gila!
Pukul dua ini aku menemukan banyak jejak merah berserakan --- ada jingga menggeliat sembunyi di ketiak hutan Maros yang mulai di rintik-rintiki hujan
Tak kutemukan alasan kenapa
Impresi-ku menunjukkan ketakpeduliannya saat kujamah si denyut merah milikku: aaaagggrrrhhhh!
Seratus delapan puluh mililiterhage. Sesak. Mungkin merah-ku mulai hitam?
Lalu kudapati; bapak, jejak, nama, ragu, tanya, mimpi, iman, agama, langit, awan, hujan, waktu, rumah, surga, janji (rangkaian konsep yang menyatu menjadi alturisme)
Astaga! Seharusnya aku benar-benar menyadari bahwa aku sangat mirip dengan Aisyah, si gadis Muhammad

--------------------------------
Ini hanya legitimasi!
Kalian sangat salah menganggapnya pemuja Tuhan, tapi aku tetap Aisyah abad 21



---jelang pukul tiga pagi, di kamar sempit yang terasa lapangan bola: Tuhan-ku mulai cemburu---

Sabtu, 03 April 2010

Tentang Kekasihku: Dia,





Tentang Kekasihku: Dia,
Oleh: El Zukhrufy


hhhhhhh…!!

Kawan, ada yang kurang dalam kisah pertemanan dan persahabatan-ku dengannya: tak ada sapa, seperti yang selalu dia lontarkan pada bumibumi…

Dia,

adalah kekasihku yang pelupa…

Lupa dengan bunga-bunga yang pernah dia kirim di depan gerbang rumahku…

Lupa dengan nyanyian yang sering dia dendangkan sebelum tidurku --nina bobo yang selalu mengantar tidurku dengan senyum...

Lupa dengan sebungkus nasi kuning yang selalu dia antarkan untuk sarapan pagiku...


Ah! mungkin aku juga harus berpura-pura menjadi pelupa..

karena aku adalah dia

— kekasihku yang pelupa…

(aku tersakiti karena penyakit lupa-mu)