Kamis, 24 Juni 2010

L,A.R,A





Vetra,
Telah lama sekali aku tak menyapamu. Aku rindu, setelah pembicaraan-sok-dewasa kita di lorong hantu. Tentang inisial yang sanggup membuat kita seperti permaisuri yang setiap langkahnya telah diatur agar tak terlihat cacat. Seperti hidup ini tak menyediakan pilihan. Hmm. Aku ingin kau tahu, aku sangat ingin bertemu denganmu sekarang.

Vetra,
Satu inisial datang lagi malam ini. Kau ingat dia kan? Pesan singkat dua karakter yang ia kirimkan beberapa hari lalu, sampai saat ini belum kubalas. Masalahnya aku bingung harus berbuat apa. Aku takut suatu saat akan menyesal. Akhirnya satu pesan singkat datang lagi. Kali ini menagih balasan. Tak juga kubalas. Ah! Aku semakin takut.

Aku takut membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Menurutmu, apakah aku harus percaya pada sebuah janji di ujung jalan itu? Bukankah itu sebuah kebetulan saja? Apakah lelaki-perempuan dewasa itu serius? Apakah dua inisial bisa bersatu dengan satu [kali] jabatan tangan?

Rumit. Ini tentu sangat rumit. Aku sudah bilang, aku belum terlalu dewasa untuk menghadapi situasi ini. Aku selama ini hanya pura-pura bijak. Tapi, lelaki-perempuan itu tidak mengerti. Mungkin aku harus kembali minum susu dot atau memakai kereta sebagai alat bantu untukku menjelajahi sisi-sisi rumah. Mungkin aku harus kembali memakai popok atau menodai lantai-lantai rumah dengan kotoran hasil ekskresi dan pencernaanku. Aku masih terlalu belia.

Seperti seseorang yang pernah kau ceritakan di penghujung tahun lalu. Satu —atau dua, atau tiga inisial yang membuat kepala kita hampir pecah. Apakah dia benar-benar Ada? Atau akan kembali menjadi TidakAda? Atau sebenarnya TidakPernahAda?

KITA [tak] PUNYA PILIHAN!

Vetra,
Apa kabarmu? Semoga kita bertemu lagi. Aku menunggumu di stadion olahraga tempat kita menyaksikan tim jagoan putih. []

Selasa, 22 Juni 2010

SETAPAK JALAN-SEPENGGAL RASA-SEKEPING HATI






Tak peduli apa yang akan terjadi di ujung jalan sana; mungkin mati menyapa kita
Yang perlu kita lakukan adalah tersenyum lebih sering dan berdoa lebih banyak sebelum meninggalkan orang-orang yang kita sayangi…


??? ??? ???

Musibah beruntun. Pagi ini, sebelum matahari betul-betul setubuhi kulit. Saat aku ingin menjadi sutradara jalanan dengan berbekal helm hitam lima ribuan, dua lelaki menghadang tepat di tengah jalan kami. Maka terjadilah! Ujung kendaraanku bertemu dengan ujung kendaraannya. Sepertinya, keduanya sangat ingin berkenalan sesuai kehendak Tuhan. Kami akhirnya pasrah. Empat manusia terbaring di sisi jalanan samping jembatan. Temanku harus merogoh koceknya, mengeluarkan beberapa lembar uang biru, setelah sebelumnya harus menampung omelan dan sungutan para pengguna jalan. Mungkin setelah itu, dompetnya benar-benar kering seperti cuaca bulan ini. Sebagian isinya yang lain telah ia gunakan untuk membiayai Rumah Sakit tempatku dirawat semalam (duabotol infus, tes laboratorium dan obat-obatan), juga sepaket terang bulan yang digunakannya untuk membujukku makan. Aku akan menggantinya, padahal menjelang tanggal tua seperti ini, dompet hitam pemberian ibuku pun berlibur di gurun pasir. Kerontang. Musibah beruntun hari ini. Akhirnya, setiba di kampus langkah kakiku terseret-seret. Aku menjadi lebih tua dari usiaku. Aku menjadi nenek-nenek di usia menjelang duadua. Kakiku memar. Aku kesusahan menaiki anak-anak tangga. Musibah beruntun. Aku merasa mulai bersahabat dengan kematian.

Tuhan Menciptakan butir asin bening bukan sebagai bukti kelemahan bagi perempuan. Justru dengan menangis, ia bisa menyiapkan dirinya untuk semakin kuat. Maka beruntunglah perempuan yang sering menangis bahkan pada kesendiriannya. Ah! Ternyata aku memang cengeng. Aku selama ini pura-pura kuat.

Entah! Serasa ada sesuatu yang memaksaku menyeduh perih dalam kesepian di bilik dapur, apalagi diiringi instrumental dan doa-doa yang pernah kau sampaikan meski tanpa sepengetahuanku. Senja pernah berbisik padaku bahwa kau menyayangiku. Benarkah? Sayang, aku menangis lagi malam ini.

Diam itu haram. Rasa memang bisa ditegaskan. Dengan tatapan, suara, atau dekapan. Tapi yang terpenting adalah, rasa butuh penjelasan. Cukup satu kata “Ya” atau “Tidak”. Tak perlu ada kata “Bahkan”, “Jika”, “Seandainya” atau “Mungkin”. Namun aku sedikit berkhianat. Aku memang berkata “Ya” dengan “Tetapi” sebagai syarat. Mungkin kau ingin protes. Tak usah bertanya. Anggap saja ini bagian dari ketakutanku pada takdir Tuhan.

“Ya” Aku mencintaimu! “Tetapi…”

Apakah kau juga merasakannya?
Ada harap yang mengakar pada pandangan yang dipaksa menunduk, atau pada langkah kaki kita yang beriringan di antara malaikatmalaikat hitam, atau pada suara-suara yang kian melemah, atau pada lamanya sujud yang memberi noda hitam di jidat lelaki itu.

Aku menuangkan kanal di kedua mataku.

Sayup kudengar namamu di sela-sela takbir dan sujud terakhir dua rakaatku. Juga pada tilawah satu juz per hari.

Apakah semuanya benar-benar sudah jelas? Jejak-jejak membersamai waktu yang makin menua. Rindu mendekap rindu. Ada rasa menggapai-gapai pada ketidakpastian. Empat nama. Dua pusara. Satu obituari. Telah kutemukan, hanya menunggu waktu. Sayang… Aku merasa sangat bersalah kini.

Ah! Ternyata aku tak benar-benar sanggup membayangkannya.
Aku mencoba menerka apa yang kini kau lakukan. Kau mengunjungi tempat-tempat yang kebanyakan tak pernah aku kunjungi. Akan ada bunga-bunga bertebaran di jalan poros itu yang menyebabkannya kemuning. Kau salah satu penebarnya. Aku membayangkanmu tersenyum dan tertawa lepas dengan segala kegembiraanmu. Perjuanganmu mungkin telah usai [Aku menangis, Sayang…]. Setelah itu aku yakin sesegera mungkin kau akan membereskan perlengkapan rumahmu untuk pergi jauh ke bumi lain, meninggalkan semuanya termasuk aku. Tapi! Aku tak ingin kau pindah rumah. Aku tak ingin merasa rindu lagi. Kenapa kau membiarkan aku mengetahui kepergianmu? Kenapa tak menghilang saja tiba-tiba agar aku tak merasa sakit? Lain kali, jika ingin pindah rumah, pergi saja. Tak usah menanyakan persetujuanku. Ambil semua sertifikat tanah yang kita punya. Aku ikhlaskan semua untukmu.

Aku memang tak bisa melakukan apa-apa, bahkan memaksamu untuk tetap disini. Ini hidupmu. Kau kubiarkan bebas, karena pada dasarnya aku bukan siapa-siapa, meski kita telah satu rumah. Ya. Apa rasa juga perlu kemandirian? Lalu apa arti kedewasaan? Menurutku, ia bukan terletak pada usia atau uban dan bijak yang selalu ditunjukkan para pelaku hidup. Dan, apa yang kulakukan? Hanya bisa memeluk handphone, mengirimimu sebuah pesan singkat yang entah dibalas atau tidak. Tapi aku tetap melakukannya, memeluk erat benda itu. Sesekali mengecupnya hangat, menganggapnya adalah kamu. Hitam mungil berbalut jingga.

Masa lalu!

Apakah aku-kamu-dia benar-benar telah dewasa? Aku rasa tidak. Sangat yakin tidak. Buktinya, sampai sekarang kita tak pernah berani mengambil keputusan. Bahkan berkata “ya” atau “tidak”. Kita hanya anakanak hijau yang masih ingusan. Untuk satu kata saja, kita perlu memikirkan berhari-hari, atau curhat kesana-sini. Juga untuk kejujuran yang kita pertegas dengan sesaknya dada yang mulai jenuh, membuat kita seperti pasien koma di rumah sakit. Tak jelas, akan mati atau tetap hidup. Dan aku yakin, pembicaraan kita tak akan pernah selesai. Seperti harapan seperempat gelas cappuccino hangat yang tak tuntas kuminum kemarin malam.

Ya! Biarlah, begini saja…

Mungkin ini sebuah kekeliruan. Konspirasi dosa yang selalu bisa dilegitimasi. Aku tak pernah bermaksud menyakiti hati seorang perempuan. Tentang warna yang kerap kita wacanakan, aku harap aku yang salah. Maafkan aku…

Mungkin!

Aku sepertinya memilih membersamai sakitku sampai menuju mati tanpa ada penjelasan.
Ya! Biarlah, begini saja… (AdZ, 19 Juni 2010)

Selasa, 08 Juni 2010

(BOSAN) AKU BERBICARA TENTANG PALESTINA





(BOSAN) AKU BERBICARA TENTANG PALESTINA
Oleh: Uswatun Hasanah M.S.


Awan kelam pun bergumpal meninggi
Payungi indahnya katulistiwa
Namun hanya kegelapan yang hadir
Membawa kedukaan tak jua reda

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi

Makarpun lingkari indahnya negeri
Tambahkan kesengsaraan yang tak hilang
Namun janji Allah datanglah pasti
Kembalikan cahaya surya nan cemerlang

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi

Cahya di sana tersebar kemilaunya
Dari balik wajah cerah nan berseri
Telah kudengar deru gemuruh suara
Takbir t’lah meninggi di sana

Ayolah kawan bina tali ukhuwah
Tegakkan bersama cahya Al-Qur'an
Jangan hanya dengan keluh dan kesah
Sambutlah syahid tujuan

Hari demi hari makarpun bicara
Lemparkan ke setiap sudut kehidupan
Peluh campur debu darah penuh mesiu
Menghiasi wajah negeriku yang membisu
(Izzatul Islam : Negeri yang Terluka)



Beberapa hari lalu, aku mendapat pesan singkat (sebenarnya, tak cukup singkat untuk ukuran sebuah pesan biasa, —tiga karakter!). Pesan itu dari Ketua FLP Sulsel yang merupakan ultimatum dari FLP Pusat. Isinya, kurang lebih begini: kami semua, anggota FLP Sulsel, diwajibkan menulis apapun tentang Palestina untuk kemudian di”sumbang”kan di media cetak manapun. Pokoknya, misi FLP untuk menyadarkan setiap orang bahwa KITA SEMUA HARUS PEDULI DENGAN PALESTINA, KITA TAK BOLEH MENUTUP MATA TENTANG PALESTINA!

Sesaat setelah mendapat pesan singkat itu, aku tersenyum. Aku senang. Sangat senang. Akhirnya, aku dan teman-teman bisa sedikit berbuat untuk negeri kandang syuhada sana. Ya. Aku akan berjuang dengan salah satu senjataku: pena! Lalu aku membayangkan betapa banyaknya kata-kata yang akan tertoreh untuk tempat yang terluka itu.

Tapi kemudian aku tersenyum miris, hanya beberapa saat setelah niat mulia itu hendak kuwujudkan. Entah! Melihat sebuah handphone salah seorang rekan tergeletak manis di tangannya, membuatku berkecil hati. Ah, mampukah kata-kata yang hendak kami “dendang”kan pada ujung-ujung jari kami akan membantu anak-anak hijau Palestina?


AKTIVIS DAKWAH DAN JERITAN MANUSIA-MANUSIA BISU

Selama ini, aku sering sekali membaca berbagai teori tentang Palestina yang digubah para aktivis dakwah di sekitarku. Entah tentang sejarah, puisi, cerpen, esai, opini, artikel, berita, buku, novel, novelette. Semuanya ada dimana-mana; di blog, koran, majalah, tabloid, facebook, friendster, televisi dan kawan-kawan media lain. Bahkan sudah berbanyak-banyak aksi yang dilakukan untuk mengajak semua orang agar peduli dengan Palestina; aksi damai, munasharah, intifadhah, atau penggalangan dana. Hampir semuanya pernah kuikuti. Hampir semua aksi bahkan memacetkan jalanan karena jumlah kami yang mem-bludak. Hampir semua aksi membuatku meneteskan airmata, membuatku semakin ingin kesana, melihat langsung penderitaan Palestina, untuk sekadar memeluk dan menghapus darah mengucur di pipi bocah-bocah katapel.

Tapi, lagi-lagi, sejak aku paham apa yang sebenarnya harus kulakukan. Sesaat setelah aksi peduli Palestina berakhir, hatiku kembali menangis saat mengingat merek minuman yang disuguhkan panitia acara dakwah kampus untuk pematerinya. Ah! Bahkan, di agenda dakwah pun, kita benar-benar (lupa) mencintai Palestina! Mungkin, manusia memang ditakdirkan menjadi pelupa…

Ayolah kawan bina tali ukhuwah
Tegakkan bersama cahya Al-Qur'an
Jangan hanya dengan keluh dan kesah
Sambutlah syahid tujuan

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi



Ah! Aku teringat saat menjalani proses Daurah Marhalah I KAMMI Unhas, lepas tiga tahun lalu. Panitia menugaskan menghafal Surah ash-Shaaf ayat 1-5 beserta terjemahannya. Ada satu ayat yang membuatku merinding lalu kemudian menjadikanku penakut, tak berani mengatakan apa-apa.


“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS ash-Shaaf: 3)



Selama perjalanan berdakwah, ayat ini kemudian sering dilontarkan teman-teman seperjuanganku. Jika mereka mendendangkan “fatwa” ini, aku merasa bukan apa-apa. Sudahkah aku melakukan itu: tidak mengatakan apa yang tidak aku kerjakan? Apakah Allah membenciku? Bagaimana dengan mereka yang ber”fatwa” itu?

Lalu, aku miris kembali. Aku ingat saat berkunjung ke kamar mereka; melihat bedak, pelembab, lotion, deodorant, pengharum ruangan. Aku ingat saat memasuki kamar mandi mereka; melihat sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, pembersih muka, luluran. Aku ingat saat melihat rak makanan mereka; air minum botol, snack, cokelat, kacang, roti. Hatiku menangis, perih.



Bahwa pada saat mereka berteriak-teriak di pinggir jalan sebagai pahlawan kemanusiaan, ternyata mereka adalah pembunuh berdarah dingin di sudut-sudut kamar mereka. Bahwa saat para aktivis dakwah menikmati fasilitas dunia yang dibeli dengan uang mereka, ternyata di belahan dunia lain, darah tengah mengucur. Bahwa saat mereka mengisi kekosongan perut pun (mungkin karena sibuk mengurus dakwah), ternyata perut-perut bocah katapel tengah terhujani peluru. Ya Allah, amat besarkah benci yang Engkau berikan pada kami karena tindakan yang (tidak) kami sadari sepenuhnya?


Kau tak paham?
Begini, akan kujelaskan.
Setiap kau memakai pakaian baru, maka itu berarti sekelupas kulit bocah-bocah ingus tengah menganga di Palestina
Setiap sepatu baru yang kau jejakkan, itu berarti setengah kaki seorang pemuda tengah tergores tank-tank busuk para zionis bermuka monyet. Itu terjadi di Palestina!
Setiap bongkah paha ayam yang kau kunyah, itu berarti sepotong paha manusia seumuran ibu-ibumu tengah tersobek peluru-peluru canggih buatan Negara adidaya. Itu terjadi di Palestina!
Setiap minuman bersoda yang kau tenggak setiap malam sebelum terlelap, itu berarti beribu liter darah tengah tumpah hanya untuk mempertahankan setiap jengkal tanah. Itu terjadi di Palestina!
Setiap pemoles muka dan bibir yang kau habiskan, itu berarti ada muka dan bibir para wanita-wanita mulia tengah tergerus oleh laras panjang senjata para monyet-monyet putih setengah perkasa. Itu terjadi di Palestina!


Bagian puisi ini pernah kubacakan pada aksi munasharah Palestina. Aku puas, meskipun tak terlalu puas karena hanya sekitar 6000 orang yang mendengar puisi ini, itupun jika mereka paham maksud puisiku. Setidaknya, ini kulakukan agar kita tidak menjadi orang yang dibenci Tuhan kita sendiri. Aku tak ingin para da’i dibenci Allah. Jika Allah sudah membenci, maka pada siapa lagi kita berharap?


MULAI SEKARANG!

Pertengahan tahun 2007 adalah awal perlawananku terhadap Israel. Saat itu senior pondokan berceloteh, “Lho, kok Atun pake produk ini? Kan harus di-boikot?” Aku bingung, lalu menjawab,”Trus, pake yang mana dong? Dari dulu Atun udah pake yang ini. Ntar pake yang lain malah gak cocok” Dengan sabar dan senyum manis, senior ini mengeluarkan kata yang tak pernah kuduga,”Daripada mukanya ntar hitam di akhirat, pilih mana?”

Subhanallah, sungguh! Kata-kata tanpa dalil itu menjadi sihir yang mempengaruhiku sampai sekarang. Sejak itu, aku buang apa yang harus kubuang. Semuanya! Aku mencari tahu tentang semua yang harus ku-boikot. Perlahan-lahan, kudapatkan kenikmatan saat meninggalkan barang-barang “haram” itu.

Untuk para aktivis dakwah, aku sarankan untuk memulai dari sekarang. Jika tak bisa menuntaskan perubahan yang terlalu cepat, pelan-pelan saja. Mulai dari hal-hal kecil. Mungkin bisa mengganti merek minuman atau makanan favorit —percayalah, masih banyak makanan/minuman lain yang lebih enak. Dunia ini menyiapkan apapun yang bisa kita gunakan tanpa harus mengorbankan saudara kita sesama Muslim. Jika merasa sulit melakukannya, ingatlah ash-Shaaf ayat 3. Agar kita termasuk dalam orang-orang yang beriman. Agar Allah tak membenci kita. Semoga Allah menyayangi dan membalas amal serta niat baik kita.

Hari demi hari makarpun bicara
Lemparkan ke setiap sudut kehidupan
Peluh campur debu darah penuh mesiu
Menghiasi wajah negeriku yang membisu…



Maka, aku (tak) bosan lagi berbicara tentang Palestina! (AdZ) (08/06/2010, 08:11)


PS. Kelak, aku akan berkunjung ke negeri itu bersama seorang wartawan Palestina…

Senin, 07 Juni 2010

CINTA TERGESA-GESA YANG KESEKIAN KALINYA...




ada cinta yang kutemukan tiba-tiba di ujung jalan itu...
senyum yang sama kulihat kembali: gigi putih berjejer rapi....
padanya aku mengingat sesuatu, ia bersamaku pada podium keimanan yang mengajak kami berlomba...
hitam itu seharusnya hanya ada pada kelabu....
hitam yang menjadikan hitam memutih....

"aku rindu suaramu...."

"benarkah??? maaf. aku mengantuk"

Seharusnya ia mengantarku melewati jembatan putih kelabu yang membuatku takut. tapi Lagi-lagi ketinggian mengajakku enggan bernafas. Aku ingin bersamanya menggapai ujung jalan itu; tak ia lakukan!

Kami hanya bertukar nomor telepon lalu berjanji akan bertemu lagi. Esok pagi, SemOga!

Tuhan!!!

Ada lagi cinta tergesa-gesa yang ku rasakan kesekian kalinya.....(AdZ)

--tulisan ini untuk seorang "imam" yang kelak datang ke rumahku--
(dapat juga dibaca di facebook: syahribulan muchtar)