Rabu, 23 Maret 2011

Girl is Crying


Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang perempuan.

“Jika kau melihatku menangis, apa yang akan kau lakukan?”

Saya bingung. Saya ingin menjawab, bahwa saya akan memeluknya. Tapi saya ragu. Lalu saya tidak menjawab apa-apa.

Dan perempuan ini mungkin tahu tentang kebingungan ini. Dia akhirnya berkata, “Jika aku menangis, kau tak perlu berusaha untuk memelukku atau menghiburku.” Saya kaget, tapi ia melanjutkan, “Kau hanya perlu menjauhiku, berpura-pura tak melihatku. Dan jika sesaat setelah itu kau ingin menemuiku, bertindaklah seolah tak terjadi apa-apa. Bertindaklah seperti biasa.”

Ia diam, tapi dilanjutkannya lagi kata-katanya.

“Kelak, aku akan menceritakan kepadamu, kenapa aku menangis. Dan jika saat itu tiba, aku bahkan tak memerlukan pelukanmu.”
###

Senin, 21 Maret 2011

TULISAN INI HANYA UNTUKMU, YANG BERBAJU BIRU

Kau ingat sesuatu di rumah itu? Ah, tentu kau sangat tahu rumah itu. Bukankah kau yang sekarang memegang kuncinya?

Tapi, bukan rumah itu yang sedang kubicarakan. Maksudku, tentang sesuatu di rumah itu, juga para penghuninya yang sangat senang datang dan pergi kapanpun mereka mau.
Para penghuni yang aku maksud adalah aku dan dia ―yang kini entah dimana.

Ada sesuatu antara aku dan dia. Itu benar. Sesuatu itu aku sebut cinta. Itu benar, sangat benar. Para penghuni lain ternyata juga sangat senang membicarakan sesuatu itu, apatah lagi dirimu. Aku pernah mendengarmu berbicara pada cahaya tentang sesuatu itu. Sesuatu yang aku sebut cinta.

Ada sesuatu antara aku dan dia. Lalu para penghuni di kamar lain, juga di lantai lain, mendadak sibuk oleh sesuatu ini. Kau juga. Kulihat kalian seolah sepakat untuk membahas sesuatu itu. Entah di kamar ke sekian atau di lantai ke sekian. Aku mendengar semua itu. Tentu sambil tersenyum. Lalu dia bagaimana? Ah, dia selalu tak mau ambil pusing. Sepertinya dia memang tak pernah mau pusing. Aku juga.

Itu benar, sangat benar.

Tapi rupanya ada kekeliruan tentang sesuatu itu.

Lalu dia pergi. Aku tidak, karena belum saatnya. Tapi aku akan pergi kelak, kau pun begitu. Hanya saja kita masih di rumah ini. Itu benar. Dan bagaimana dengan sesuatu itu?

Sesuatu itu, aku kira, tak pernah terdengar lagi. Rupanya penghuni lain masih ingin berkisah tentang itu. Aku masih seperti dulu, tersenyum saja. Tapi aku heran, kau tak seperti penghuni lain itu. Mulutmu lebih sering membisu. Mungkin karena kau yang memegang kunci rumah itu? Hm, sudahlah.

Hei, dirimu yang berbaju biru. Kunasihati kau. Jangan mendekati dua cahaya pada tikungan tajam yang mendaki itu, nanti otakmu akan terberai. []

Jumat, 18 Maret 2011

SIAPA YANG MENGETIK NASKAH PROKLAMASI?

Masih cerita tentang anak-anak. Tentang kepolosan mereka. Ini adalah kisah nyata kekasih saya semasa ia KKN. Saat itu, ia mempunyai program penyuluhan kesehatan di sebuah Sekolah Dasar yang lumayan jauh dari poskonya.

Di sebuah kelas, di sela-sela penyuluhan, kekasih saya ini iseng bertanya pada seorang anak yang berada di deretan bangku depan.

“Dek, siapa yang mengetik naskah proklamasi?”

Salah seorang anak yang berada di bangku depan, entah kenapa, menjawab dengan gaya marah-marah, seolah kekasih saya ini telah menuduhnya mencuri, kepalanya menggeleng dan tangannya menampik:
“Ih, bukan saya! Bukan saya!”

Lalu, meledaklah tawa para mahasiswa KKN di tempat itu, juga kekasih saya yang mengajukan pertanyaan tadi.
Sepertinya, si anak ini menderita penyakit Over pede-kitis dan Merasabangets gitulohhhhhh.

JAWABAN ANAK-ANAK DAN MASA DEPAN MEREKA


Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama, alamat, karakter, dan lain-lain, itu di luar tanggung jawab saya sebagai pengarang cerita. Jika Pembaca tertawa atau tersenyum, tidak ada larangan. Tapi jika Pembaca protes, maka silakan ajukan ke nomor yang tertera di bawah kaki Anda (huwahaha *ketawatikus). Silakan menikmati!

###


Di sebuah kelas. Para murid sedang serius memelajari bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam. Dan saat itu, Bu Guru sedang membahas tentang macam-macam pembangkit listrik.

Bu Guru bertanya, “Anak-Anak, ada yang tahu kepanjangan dari PLTU?”
Para murid mulai ribut, sibuk berspekulasi dengan jawaban masing-masing.

Seisi kelas gaduh oleh tawa ketika murid pertama menjawab, “Pembangkit Listrik Tenaga Udara, Bu!”

Ini tipe anak jayus, bermasa depan sebagai komedian, setara dengan Indro Warkop, Sule, dan kawan-kawan. Anak ini juga bisa direkomendasikan untuk jadi polisi.

Murid lain menjawab dengan serius dan bijaksana, “Yang benar, Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Bu!”
Jawaban tipe anak cerdas, pintar, selalu ranking satu, jika pengumuman juara kelas berdiri di garda depan.

Anak tipe ini memiliki masa depan sebagai ilmuwan, peraih nobel, atau bisa jadi presiden.

Tiba-tiba, seorang murid berdiri dengan gaya diplomatis setelah sebelumnya menatap satu-satu seluruh kelas, termasuk Bu Guru. Dengan percaya diri, ia menjawab, “PLTU itu adalah kepanjangan dari, yang saya yakini sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Uang, Bu Guru…” lalu ia mengambil posisi duduk dengan tenang sambil melanjutkan, “di dunia ini, tak akan ada pembangkit listrik tanpa uang. Saya yakin itu”

Nah, anak ini bisa dipastikan memiliki masa depan sebagai politikus, seperti yang banyak terdapat di Negara Indonesia.
###

Kamis, 10 Maret 2011

PENCURI DALAM BEBERAPA LAYAR KECEMASAN PEREMPUAN

Kali ini, saya ingin menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa semalam. Jadi begini, malam ini saya baru tahu bahwa ternyata semalam terdapat kejadian pencurian di pondokan putri. Ya. Tepat di sebelah pondok Istiqomah, tempat tinggal saya. Saat saya asyik bergumul dengan pikiran, Andi―tetangga kamar saya, datang dengan semangat menggebu-gebu.

Andi : Kak, tau gak sih? Semalam ada pencuri di pondokan sebelah.
Saya : Ah, masa sih?
Andi : Iya, Kak.
Tiba-tiba, Daya datang tergesa. Pasti dia mendengar gosip barusan.
Daya : Gimana, gimana? Ceritain dong… (muka melas)
Andi : (pasang muka serius) Jadi, pagi jam tiga, si pemilik kamar bangun. Trus tiba-tiba, dia mendapati pintu kamarnya terbuka lebar. Ternyata laptop, tas, uang dan barang-barang lainnya hilang dari kamarnya. Untung saja, dia tidak di-apa-apa-kan sama pencurinya.
Saya : Hm, baguslah.
Daya : Dia lupa kunci kamarnya kali.
Andi : Iya, mungkin saja.
Saya : Wah, jadi parno nih.
Andi : He-eh.
Saya : (sok bijak seperti biasa) Pokoknya kita harus lebih waspada nih. Kalian itu, kalo malam lebih sering lupa tutup pintu. Pintu depan tidak terkunci, pintu belakang terbuka. Pokoknya mulai sekarang, pastikan semuanya terkunci sebelum kita semua tidur. Oke?
Andi : Iya, betul itu, Kak. Tapi untung ya, pencurinya gak sadis.
Pada diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Daya : Eh, jangan salah. Ada lho, yang sadis. Di lingkungan pondokan kampus lain.
………… (ceritanya Daya)

Scene 1
Di sebuah pondokan putri.
Deskripsi pondokan: pintu yang menghadap langsung ke dunia luar (maksudnya tanpa pintu utama), jendela kaca besar tanpa-besi-pengaman yang berdampingan langsung dengan pintu kamar. Jadi, jika jendela terbuka, otomatis pintu bisa gampang dibuka dengan memasukkan tangan lewat jendela.
Malam mencekam. Terdengar suara ribut di depan pintu kamar. Cewek pemilik kamar terjaga.

Pemilik kamar : Siapa itu?
Diam tanpa jawaban. Suara ribut terhenti.
Pemilik kamar: Siapa itu? (dengan suara lebih tegas)

Tiba-tiba. Praaaaaaannnngggggggg! Kaca jendela dipukul oleh tangan yang memegang pisau. Si pemilik kamar gugup tapi bersiap dengan sapu yang ada di tangan. Pembawaan si cewek pemilik kamar sangat tenang. Lalu, setelah rileks, pemilik kamar pun beraksi. Ia memukul sang pencuri dengan bertubi-tubi menggunakan sapu sambil berteriak minta tolong. Dan, pencuri pun kabur…
…………… (cerita selesai)

Andi : Wah, ngeri juga ya? Pake pisau segala. Hiii…
Daya : Masih ada lagi yang lain lho, yang lebih seru.
Saya : Iyakah? Gimana?
Daya : Begini…
……………… (ceritanya Daya)

Scene 2
Malam. Di sebuah rumah yang disewakan secara patungan oleh beberapa cewek. Melati (nama samaran) akan pulang ke rumah itu setelah mendapat pemberitahuan dari semua teman serumah bahwa hanya ia yang akan mendiami rumah malam itu. Saat ia membuka pintu, ternyata pintu dalam keadaan tak terkunci. Lalu ia masuk. Ia lebih heran lagi, karena melihat lantai rumah yang kotor. Saat ia tiba di lantai dua, ia kaget. Terdapat seorang lelaki yang sedang asyik mengacak barang di rumah itu. Lelaki itu membelakanginya. Karena itu, si pencuri tak menyadari bahwa ada Melati di belakangnya.

Melati : Oe! (suaranya santai)

Maling berbalik. Hendak kabur, namun keburu ditahan sama cewek pemberani ini. Lalu, terjadilah baku hantam antara mereka. Melati menggunakan apapun untuk mempertahankan diri. Segala barang yang ia temukan, ia lemparkan pada maling payah itu: guci, meja, kursi, semuanya. Otomatis, ruangan menjadi berantakan. Cukup lama adegan ini terjadi. Lalu, saat Melati lelah dan tenaganya hampir habis, napas pun ngos-ngos-an…

Melati : Bunuh saja saya, tapi tolong jangan nodai saya.
Dan ia, pingsan.
Saat tersadar, Melati berada di rumah sakit dalam keadaan babak-belur. Biru disana-sini.

Melati : Saya diapakan sama pencuri itu?
Seseorang : Tenang, Dek. Kamu tidak apa-apa. Saat kami tiba disana, pencuri itu dalam keadaan pingsan juga.
Melati : Oh, ya? (tersenyum penuh kebanggaan)
………………… (cerita selesai)

Andi : Haha! Kasihan juga pencurinya ya.
Daya : Itu mah, namanya payah. Tapi, salut banget deh buat cewek itu.
Saya : (lagi-lagi, dengan lagak sok bijak) Makanya, jadi cewek itu harus kuat. Jangan terlalu lemah. Cewek itu harus menunjukkan di dunia luar, maksudnya para lelaki, bahwa mereka tidak dapat diganggu. Belajar bela diri lah.
Andi : Wah, saya gak bisa bayangin kalo ntar saya dalam kondisi seperti itu. Saya bakal gimana ya? Kayaknya bakal teriak aja deh.
Daya : (muka-iseng-dan-pengen-ditonjok) Atau suruh masuk aja pencurinya. Haha!


……………… (cerita khayalan, bertiga)

Scene aneh
Malam. Grasak-grusuk di luar kamar.
Pemilik kamar: Siapa di luar? Pencuri ya?
Pencuri: Iya.
Pemilik kamar : O, mari. Silakan masuk.
Pencuri : Makasih.
Pemilik kamar : Mari, silakan duduk.
Sama-sama duduk manis. Berhadapan.
Pemilik kamar : Jadi, kemari mau mencuri apa? Barang seharga berapa yang ingin Mas curi?
Pencuri : Bla bla bla (sambil nunjuk ini-itu. Tangan bergerak semangat, mirip orang yang pidato)
Pemilik kamar : Oke, silakan. Emm, kalo masih kurang, masih ada kok di kamar sebelah. Ada ini dan itu.. Mau?
###

Haha! Dasar jobless. Parno-parno gini, masih sempat aja nge-lucu. Ntar giliran dapat skenarionya yang nyata (amit-amit deh), baru tahu rasa.(el)

Bersama rekan Istiqomers. Malam Kamis. 2011.

Rabu, 09 Maret 2011

SOLILOQUY



Pagi. Kepala pening. Leher kaku. Lihat Lithium. Baca. Mikir. Baca. Nulis.
###

Satu yang ingin kulakukan.
Apa?
Aku ingin menikah.
Hah?
Me-ni-kah.
Hei, apa yang kau pikirkan? Kenapa bisa tiba-tiba? Apa alasanmu?
Ya. Menikah. Ingin saja. Kalau bisa besok. Dan tanpa alasan apapun.
Dasar bodoh! Gila! Edan! Sepertinya kamu kerasukan!
Ya. Mungkin memang ada iblis di hatiku. Tapi aku ingin menikah.
Tidak bisa! Ungkapkan dahulu empat puluh alasan padaku agar kau bisa menikah besok.
Sudah kubilang tak ada alasan. Aku hanya ingin menikah. Titik!
Dasar gila! Waraskan dirimu. Ini juga tubuhku. Dan aku tak ingin menikah besok. Titik! (el)


Atas nama ketidakwarasan. 2011.

Senin, 07 Maret 2011

MENIKMATI KEJUJURAN



Petang. Ia selalu dimaknai dengan corak kemerahan di dunia tepi barat.

Entah kenapa, petang selalu memberi makna berbeda padaku. Kadang cemas, kadang takut, kadang gelisah. Dan petang ini, kembali hadir suatu rasa berbeda.

Hari ini aku tak ingin mengingat apapun. Cukuplah kesibukan dan kepercayaan orang menyita waktuku hari ini. Aku harus berjalan mondar-mandir di empat distrik yang berbeda, berbekal waktu yang terasa menipis untukku. Tak cukup lagi untuk sekadar mengingat janji, yang bahkan baru di-sah-kan beberapa jam lalu. Ponselku bahkan tak sempat dimanjakan dengan charger-an. Ia selalu dalam kondisi kritis. Kasihan juga aku padanya. Hari ini, ia setia menyodorkan panggilan dan beribu pesan singkat, serta alarm-alarm pengingat janji. Harus kupenuhi. Ya. Karena aku di dunia ini hanyalah seorang. Aku hanya kumpulan definisi yang sama sekali berbeda dengan yang lain. Maka, jika orang-orang membutuhkan aku, ya hanya aku saja yang bisa memenuhi kebutuhan itu. Maka aku, tanpa ba-bi-bu, akan memenuhi panggilan “Segera kesini” atau “Bagaimana ini? Kami membutuhkanmu disini. Kemarilah!”.

Dan kini aku disini. Bergumul dengan berbagai perasaan yang membentuk tanda positif-negatif. Versus. Bahagia dan gelisah di sisi berbeda. Mungkin karena aku kelelahan. Ya, begitu lelah. Leherku kaku karena harus menopang ransel yang berisi penuh: Lithium, pakaian kotor, buku. Tapi disini, aku harus tersenyum, demi sebuah cinta.


Lalu.
...................

Aku bermimpi. Menuju masa menemukan sebuah warna. Seharusnya ini tak terjadi. Aku telah melakukan kesalahan disini. Kesalahan besar yang tak akan termaafkan bagi beberapa manusia. Juga orang-orang berhati polos dan lugu di seberang sana. Tuhan, harus aku bagaimanakan diri dan hidupku?


Aku menemukan sebuah kejujuran.

Dengan warna berbeda.

Mungkin warna-ku.

Tapi bukan aku.

Ah!


Rasanya aku ingin segera pergi dari mimpi ini. Tapi petang belum usai. Sekian banyak mata akan menatapku heran jika aku segera minggat. Terutama sepasang mata itu. Tatapan itu akan melegitimasi hati untuk menguatkan intuisi. Aku memilih diam. Tak kemana-mana. Padahal distrik lain telah menanti.

Ya. Aku nikmati saja kejujuran ini. Meski aku tahu, itu kejujuran yang memiliki makna berbeda. Jadi, kenapa harus merasa aneh jika memang berbeda? Bukankah kau juga memiliki kejujuran yang lain? Mungkin saja serupa kejujuran yang kau dengar.

Dan petang masih memberi makna berbeda untukku. Mungkin petang lebih baik kusebut “hantu”.

Cepatlah pulang. Sudah hampir malam. Aku menunggumu.

Itu pesan darinya. Ya. Aku akan pulang malam ini.

Maaf, sekarang aku tak bisa berlari secepat dahulu. []

Hari ini. Distrik tiga. 2011.

About Missing You

Some search, never finding a way
Before long, they waste away
I found you, something told me to stay
I gave in, to selfish ways
And how I miss someone to hold
When hope begins to fade...

...............

'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again, oh no
Once again

'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again, oh no
Once again

(Lyric By: Avenged Sevenfold "Dear God")

Rabu, 02 Maret 2011

MAHASISWA, OH MAHASISWA…



Mahasiswa.

Dulu saat mendengar kata ini selama SMA, saya seperti kerasukan sesuatu. Sepertinya kata ini memiliki makna yang mendalam untuk saya. Mahasiswa, bagi saya adalah pejuang yang sangat intelektual. Mahasiswa itu tentu lebih pintar dari anak SMA seperti saya saat itu. Apalagi saat saya melihat mereka memakai jas almamater mereka. Waduh, saya jadi tambah kesemsem, hehe.

Saat saya kemudian berstatus mahasiswa awal tahun 2006, saya merasa istimewa. Ditambah pengaruh masa-masa pengkaderan, senior-senior saya ramai-ramai men-doktrin saya dengan kata-kata asing yang kemudian sukses menyihir saya. Katanya, mahasiswa itu agent of control, moral force, agent of change, social control, dan lain-lain, dan lain-lain. Sungguh, kata-kata itu berhasil menyatu dengan jiwa saya. Lalu saya bertekad, saya akan menjadi tokoh yang melakoni kata-kata itu.

Awalnya, saya mengira, semua mahasiswa akan seperti saya (maksudnya, memiliki tekad mulia seperti di atas). Nyatanya tidak. Slogan berbahasa asing itu, rupanya hanya dihafal dan dijadikan jawaban manis jika senior bertanya tentang tugas mahasiswa dalam masyarakat. Tidak semua orang harus seperti saya, dan saya menghargai itu. Mahasiswa tak harus seperti dalam teori, menjadi agent ini-agent itu. Terserah mereka ingin menjadi apa.

Tapi, kemudian ada sesuatu hal yang membuat saya geregetan sama yang namanya mahasiswa―meski tak semuanya begitu. Mahasiswa yang saya kenal sekarang adalah pengemis! Sekali lagi, pengemis!


Suatu hari, angkot yang saya tumpangi harus berhenti di lampu merah di depan Pintu 1 Unhas, kampus saya. Di jalan itu, saya melihat segerombol mahasiswa ber-jas almamater Unhas. Satu-satu dari mereka menghampiri angkot dan kendaraan yang berhenti. Mereka terlihat menyodorkan kardus yang bertuliskan “PENGGALANGAN DANA UNTUK KORBAN BENCANA MERAPI, MENTAWAI DAN WASIOR”. Wah, sangat mulia niat mereka. Berhari-hari setelah kejadian itu, di bagian lampu merah di jalan lain, para mahasiswa juga turut melakukan aksi yang mulia ini. Mungkin, ini yang dimaksud senior saya sebagai tugas mahasiswa itu.

Tapi, kemudian ada sesuatu hal yang membuat saya geregetan sama yang namanya mahasiswa―meski tak semuanya begitu. Mahasiswa yang saya kenal sekarang adalah pengemis! Sekali lagi, pengemis!



Suatu hari yang lain, kembali saya melewati lampu merah Pintu 1 Unhas. Kali ini menjelang malam, dan setelah bencana-bencana alam berlalu. Lagi-lagi saya melihat beberapa mahasiswa berbondong-bondong menyodorkan kardus. Dalam hati saya berkata, “Ada bencana apa lagi ya? Dimana? Kok saya gak tahu? Hm, begini nih ruginya gak ada televisi di rumah.” Tapi, saya shock ketika melihat sekilas tulisan di sisi kardus itu: “PENCARIAN DANA MALAM SENI FAKULTAS…”

Yanpari!*

Jantung saya serasa berhenti berdetak. Apa yang terjadi? Kenapa bisa mahasiswa seperti itu? Kenapa harus mengemis di jalanan hanya untuk itu? Apa mereka sudah kehabisan akal untuk mendapatkan uang agar kegiatan “bersenang-senang” itu berjalan lancar? Apa masyarakat harus mengeluarkan uang hanya untuk satu malam itu? Bukankah masih banyak yang menanti belas-kasih kita di luar sana? Apa masyarakat harus tahu “penderitaan” mahasiswa? Apa yang terjadi kemudian, jika para mahasiswa ini lulus dari kampus? Apa mereka akan mengemis juga, menyodorkan kardus di jalanan dengan bertuliskan: PENCARIAN DANA UNTUK SARJANA YANG BELUM DAPAT KERJA? Mana ke-inteletual-an mereka? Kenapa mereka tak berpikir kretif saja mencari dana? Kenapa harus di jalan? Kenapa harus terkesan menjadi pengemis? Kenapa kenapa kenapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa????

Saya heran. Sungguh sangat heran. Mana moral-force itu? Mana agent of change itu?

Entah kenapa, sejenak setelah menyaksikan kardus yang disodorkan itu, saya sangat malu berstatus mahasiswa. Bisa saja, karena hanya beberapa “pengemis intelektual” itu, saya juga mendapat status yang sama dari masyarakat. Setiap orang bisa saja meng-generalisasikan mahasiswa sebagai pengemis jalanan. Dan saya tidak tahu, harus berkata apa sekarang. Saya bukan SBY yang hanya bisa berkata, “Saya benar-benar prihatin…”

Mahasiswa, oh mahasiswa… (el)

*yanpari! = Ya, Tuhan! (Jepang)


Makassar. 2011.

Selasa, 01 Maret 2011

SENYUM SEBATANG COKLAT

Saya tiba-tiba mengingat sesuatu di suatu tempat. Waktu itu saya memberikan sepotong kue coklat untuk seseorang. Alasannya? Bukan apa-apa, saya ingin memberi saja. Karena saya merasa, orang itu terlalu banyak memberi juga untuk saya. Ya, terlalu banyak. Sangat banyak, malah. Bahkan, ia memberi sesuatu yang tidak saya harapkan, namun ternyata saya butuhkan di saat yang sama.

Bukan apa-apa. Saya ingin memberi saja.

Karena ia orang yang sangat baik. Karena sebelum kami bertemu, ia meminta diberikan sepotong kue. Jadi, kuberikan saja. Bukan karena apa-apa. Terlebih lagi, saya cukup menikmati senyumnya. Saat menerima sepotong coklat itu, ia berkata malu-malu, “Makasih, ya”. Hm, saya bahagia karena itu.

Ya. Itu saja. Bukan apa-apa.

Jadi, menurutmu, saya memberikan sepotong kue itu karena “Bukan apa-apa, saya ingin memberi saja”?


Makassar. 2011.

JALANAN YANG MEMBUAT SAYA SEPERTI SELALU JATUH CINTA

(untuk mereka yang menyukai jalanan dan sebagian besar hidupnya adalah “jalanan”)

Hanya ingin berbagi tentang cerita ini.
Pernahkah Anda merasa nyaman dan ingin berlama-lama pada sebuah jalanan yang Anda jumpai? Saya hampir selalu merasakan itu. Tentu saja. Karena hidup saya sekarang sebagian besarnya adalah melewati jalan yang sama. Dan jika saya melewati jalanan ini, saya selalu merasa istimewa dan…jatuh cinta. Saya akan berusaha untuk melewati moment yang sebaik-baiknya di rengkuhan bahu jalanan ini.

Jalanan Camba
Ini adalah jalanan ekstrim yang menghubungkan beberapa kabupaten di Sulsel. Sangat berkelok-kelok dan menegangkan. Tapi seru. Bagi orang-orang yang menderita penyakit “mabok perjalanan”, mungkin akan berkata bahwa jalan ini adalah hantu yang menyeramkan. Bagaimana tidak, begitu banyak tikungan tajam, juga jurang yang tersenyum manis menanti mangsa di sisi jalanan ini. Kendaraan yang bergerak zig-zag akan menguras isi perut para “pesakit” itu. Dan saya? Hm, saya hanya cukup menutup mata, mengikuti irama tarian kendaraan, sambil sesekali menikmati indahnya alam ciptaan SangMaha. Goncangan kendaraan pada jalanan ini serupa irama debaran hati saat saya berhadapan dengan kekasih yang mana coba? (ini adalah resiko jadi penulis, sedikit romantis, haha). Oya, jalanan ini pertama kali saya lalui saat berstatus Maba, akhir tahun 2006.

Jalanan Sinjai Utara – Sinjai Selatan
Saya mengenalnya akhir tahun lalu, tepatnya di bulan favorit saya, Oktober. Berada disini rasanya seperti perasaan orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, love at the first sight. Kenapa? Saya sebenarnya (sejak bertemu dengan jalanan Camba), sangat ingin mencoba menaklukkan jalanan berkelok-mendaki-berjurang dengan mengendarai motor. Ceritanya, saya tertantang, apakah saya cukup tangguh menghadapinya. Nah, jalanan ini adalah tempat pertama untuk membuktikan kemampuan saya sebagai Valentina Rossa *tentang ini, saya akan menulis secara lengkap kapan-kapan, hehe*. Ternyata, cukup menegangkan. Suatu saat, saya akan melakukan hal yang sama pada jalanan Camba tadi. Karena setidaknya, saya menganggap, jalanan ini adalah miniatur “si pendekap jurang”, jalanan Camba yang sangat manis, seksi dan menggoda itu. :D

Jalanan Poros Maros – Pangkep
Bisa dibilang, jalanan ini adalah trek lurus yang gak ribet dan gak neko-neko. Tapi, bukan berarti tanpa tantangan, lho. Jalanan ini adalah jalanan terjauh pertama yang saya lalui seorang diri dengan mengendarai motor. Ini terjadi di awal bulan Agustus tahun lalu saat saya akan menghadiri pernikahan senior di Pangkep dan dikontrak sebagai fotografer. Saya ingat sekali, itu terjadi di hari Jumat, selepas siang. Seperti hati yang tak salah memilih cinta meski hanya pada pandangan pertama, saya cukup bangga karena sama sekali tidak tersesat sampai di tempat tujuan. Tantangan selama perjalanan adalah berburu angin, menggenggam kecepatan dan melaju. Serasa melayang. Seperti terbang bersama kekasih di nirwana. Halah!

Jalanan “awan”: Flyover
Mengendarai motor di jalanan ini benar-benar serasa terbang. Karena saat berada di pangkuannya, saya merasa memiliki sayap: berada lebih tinggi dari gedung-gedung di sekitarnya. Jalanan ini bagi saya adalah ikon pembangunan Kota Daeng menuju persaingan dengan Ibu Kota. Awalnya, saya menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap proyek pembangunan jalan yang memakan waktu sekitar tiga tahun ini. Saya kira, bakal seperti Jembatan Semanggi sono noh. Eh, jadinya malah begitu doang. Pake ambil waktu sampe tiga tahun segala lagi (kayaknya saya harus siap ditimpuk beton sama anak teknik Sipil nih. Emang jalanin proyek gitu kayak gigit jari doang, Tun? Sekate-kate aje, Lu. Hehe). Hm, tapi sebenarnya jalanan ini bikin saya geleng-geleng kepala saat melewatinya, terutama jika kebetulan lewat saat malam apalagi malam Ahad (maaf, istilahnya harus berganti. Ini karena saya hanya ingin terbiasa dan menunjukkan keIslaman saya). Pada malam yang katanya panjang itu, flyover akan diramaikan oleh anak muda berpacaran atau sekadar menikmati pemandangan lalu-lintas di bawahnya. Mungkin tentang ini, saya akan menceritakan secara rinci di lain waktu.

Jalan Sahabat
Nah, ini adalah jalan dimana saya menancapkan bangunan istana saya yang sudah berumur hampir lima tahun ini. Bahasanya ribet yak? Maksud saya, di jalan inilah letak pondokan saya, Istiqomah yang saaaaaaaangaaat saya……. (terserah deh, lanjutannya apa, hehe). Saya merasa, jalanan ini memiliki aroma tersendiri: perjuangan dan kepedihan para pejuang dari kampung, mahasiswa. Di jalan ini begitu banyak mutiara kehidupan yang saya dapatkan, termasuk melihat darah bercucuran dari kepala seorang bapak karena disabet senjata oleh orang yang tak bertanggungjawab. Bagi saya, itu pengalaman yang sangat “istimewa” karena saya hampir parno, tidak mau kemana-mana. Tapi, ibarat kekasih, seburuk apapun dia, jika sudah cinta, ya cinta saja. Tak bisa lepas. Begitulah arti Jalan Sahabat bagi saya.

“Jalan Gugur”

This is it! Nama lainnya adalah Autumn Street (teman saya bilang, nama yang cocok adalah Lorong SanChai, karena mirip sebuah lorong di Serial Meteor Garden). Jika Anda mencari dimana jalan ini berada, saya bisa pastikan anda akan kebingungan-hampir-mati, hehe. Sebenarnya, jalan ini tidak memiliki nama secara resmi, hanya saya saja yang memberinya nama. Jalan Gugur. Kenapa? Karena di jalan ini, sangat banyak dijumpai daun-daun gugur. Sejak pertama melihat jalan ini, saya baru menyadari bahwa saya ternyata sangat menyukai saat dimana daun-daun terlepas dari kehidupannya. Apalagi jika daun-daun itu jatuh tepat di hadapan saya, perlahan, ibarat geliat ulat hijau. Lalu saat itu akan terjadi yang lumayan dramatis: saya berlagak bermain film romantis, mencoba meraih daun jatuh itu. Hoho.

Dari sekian jalanan yang saya sukai di atas, Jalan Gugur adalah jalan yang paaaaaaaaaaaaaaaaaaaaliiiiiiiiing saya cintai. Karena ia ibarat kekasih yang sanggup memberi kedamaian, keteduhan dan rasa sayang yang mendalam. Saat saya melewati jalan ini, saya akan dengan senang hati menghabiskan waktu berlama-lama dalam pelukannya. Jika saya hendak ke suatu tempat yang mengharuskan jalan kaki, saya akan berusaha mencari alasan pada diri sendiri untuk melewati jalan ini. Meski jaraknya akan lebih jauh dan memakan waktu lama. Saking cintanya gitu lho. Lain kali saya akan memperlihatkan scenary dari “kekasih” saya ini. Cakep pokoknya, hehe. Hm, sebenarnya, ada hal lain yang membuat saya semakin menetapkan sense of belonging untuk jalan ini. Saya memiliki kenangan yang tidak bisa saya lupakan di tempat ini dan tidak bisa saya ceritakan lebih detail (sebagiannya telah termuat dalam sebuah sajak tahun lalu). Teman-teman terdekat saya sangat tahu kisah cinta saya dengan jalan ini. Jalan Gugur membuat saya semakin ingin ke Jepang untuk menyaksikan aki, musim gugur disana. :)

===
Oke, mungkin hanya sampai disini cerita tentang “kekasih” yang ada dalam hidup saya. Mengenal mereka memberi saya arti berlimpah. Mereka sangat berharga. Cinta antara kami bukan hanya tentang rasa. Juga tentang memaknai hidup. Jalanan adalah miniatur kehidupan. Kekasihku adalah kehidupanku. Saya mencintai mereka. Esok, saya akan bertemu mereka lagi. Nah, bagaimana dengan kekasih Anda? :)

Copyright © HasanCakep. Februari 2011.