Minggu, 24 April 2011

Untukmu, siapapun dirimu



Hai, apa kabarmu disana?

Aku merasa kamu sedang tak baik-baik saja. Sebab tanpa alasan yang jelas, aku disini sedang tak baik-baik saja. Mungkin kita sedang saling memikirkan. Atau merindukan.

Tapi tak apa jika aku merindukanmu. Aku tak merasa perlu bertemu. Karena memang sekarang aku sedang tak ingin bertemu kamu, mengetahui siapa kamu, dimana kamu. Aku ingin kamu tetap begitu, dengan segala kemisteriusan Tuhan. Aku ingin kamu tetap begitu, seolah sembunyi dengan segala bentuk tabir.

Untukmu, kamu tak perlu khawatir dengan keadaan ini. Mau bagaimanapun, suatu saat jika kamu menampakkan wujudmu padaku, aku pasti akan mengatakan cinta padamu. Itu sudah pasti. Ya. Jangan ragu. Aku cinta padamu.

Lalu, bagaimana dengan yang lain: seseorang yang disini dan disana?

Ah. Bukankah sudah kubilang kamu tak perlu khawatir? Tenanglah. Kamu memang perlu tahu satu hal tentangku: aku sesungguhnya tak pernah jatuh cinta, Sayang.
Kamu pernah dengar tentang jenis-jenis perasaan cinta? Ada tiga perasaan cinta yang tak ingin kumiliki untukmu. Cinta karena iba, cinta karena terima kasih, atau cinta karena kagum.

Jika kamu mendapati seseorang yang terluka, atau terkena musibah, atau terlihat menyedihkan ―jika kamu merasa cinta, mungkin itu karena kamu hanya kasihan padanya.

Jika kamu mendapati seseorang yang berbuat sangat baik kepadamu karena menolongmu dalam sebuah kesulitan yang tak bisa kamu hadapi seorang diri ―jika kamu merasa
cinta, mungkin itu karena kamu hanya ingin berterima kasih.

Jika kamu mendapati seseorang yang membuatmu terpesona, karena kepintarannya, karena kecerdasannya, karena prestasinya, karena pengetahuannya ―jika kamu merasa cinta, mungkin itu karena kamu hanya kagum padanya.

Untukmu, aku tak ingin merasakan cinta yang seperti itu.

Sudah kutelusuri kesendirian, ternyata hanya tiga cinta itu yang aku rasakan selama ini. Terlalu sering aku merasakan itu. Dengan yang ini dan yang itu, ternyata aku tak cinta. Sesungguhnya, aku pada mereka, hanya merasa kasihan, berterima kasih atau kagum.

Untukmu, aku tak ingin merasakan cinta yang seperti itu. Aku ingin sungguh-sungguh mencintaimu. Tanpa peduli kamu miskin, bodoh, cacat, buruk rupa, buruk prilaku. Aku ingin kamu masih berada dalam tabir, agar aku tak pernah tahu. Agar tak ada tendensi.

Aku ingin kamu adalah seseorang yang tak pernah kukenal. Aku tak ingin mencoba mereka-reka dirimu seseorang dengan wajah yang seperti apa.

Untukmu, jangan percaya pada angin.

Aku sebenarnya tak pernah jatuh cinta.

Rabu, 20 April 2011

Ini bukan kopdar kok, CUMA jalan-jalan ^^


Semalam tadi saya tak mimpi apa-apa. Inginnya memimpikan, sekadar membayangkan, bagaimana rasanya jika saya melewati hari ini.

Sungguh tak biasa. Sudah bertahun-tahun, saya tak seperti ini: mandi sebelum pukul enam pagi! Tahu, apa alasannya? Sebenarnya sangat biasa, karena saya akan jalan-jalan bersama teman-teman. Tapi, ini menjadi tak biasa (tak biasa = istimewa) karena teman-teman yang saya maksud adalah Bloofers Makassar! *lompat-lompat

Bagi saya, rencana jalan-jalan ini berawal dari sebuah “kecelakaan”. Saat itu, saya bersama salah satu Bloofer―Kak Pipi, janjian untuk hunting buku di Gramedia. Nah, karena saya memang orangnya suka iseng dan membuat orang iri (hehe), saya mengusulkan ke Kak Pipi untuk menghebohkan rencana ini ke grup Bloof. Sebenarnya, niat saya mulia (wakakak *ketawa guling), siapa tahu ada teman Bloofer Makassar yang bisa ikutan. Kan jadinya kita bisa ketemu lagi setelah sekian lama berpisah (haha, padahal baru sepekan yang lalu kita kopdar. Kisahnya bisa dibaca disini postingan-postingan sebelumnya). Ternyata, respon Bloofer Makassar sangat mengejutkan! Khususnya Mas NitNot. Kakak kami ini justru mengajak kami jalan-jalan ke Bendungan Bili-Bili buat foto-foto. Cihui! Langsung saja, tanpa mikir-mikir, saya bilang: mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu….!!! (“u” nya kebanyakan ya?). Yes! Mas Nit Not yang baik hati itu bersedia (baca: mengajukan diri) menjadi fasilitator. Itu artinya, kita bakal ke Bili-Bili dengan mobilnya Mas Nit Not. Itu artinya, kita kesana tak pakai ongkos! Haha.

Akhirnya, jalan-jalan lagi! Bareng Bloofers! Saya suka jalan-jalan! Saya suka Bloofers! ^^

Kembali ke persiapan sebelum berangkat.

Saat saya asyik-masyuk mondar-mandir kesana-kemari mirip setrikaan, tiba-tiba Kak Pipi sms. Katanya, Mas Nit Not sudah start dari Sudiang. Apaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!??? Ekspress banget Mas Nit Not. Tapi sebenarnya, tak salah juga. Kita memang janjian ketemuan di pintu 1 pukul enam pagi. Jadilah, saya terburu-buru seperti biasa, hehe. Dan dengan berbagai alasan (sebenarnya cuma satu: pete-pete kampus belum pada nongol *padahal saya merasa karena saya terlambat), dijemputlah saya oleh Mas Nit Not, Kak Pipi dan Eka. Perasaan dingin di badan tiba-tiba hilang karena melihat senyuman hangat mereka (halah, gombal, euy!). Selamat paaaagiiiii! :D

Segara meluncur. Masih ada Bloofer lain yang bakal dijemput: Halim Si Cyber, Lathifah, Fadli dan Gafur. Rupanya Mas Nit Not adalah fasilitator yang baik. Buktinya, di dalam mobil sudah tersedia roti dan minuman. Kirain, nasi kuning, hehe. Hm, pagi-pagi belum sarapan, akhirnya makan roti. Seeeedaaaaap! Oishi! Makasih baaaaanyaaaaak yaaaa, Mas Nit Not… ^^

Jalanan pagi lumayan sepi. Saya sangat suka jalanan yang seperti ini, karena itu berarti kita bisa balapan, dan yang lebih penting, dunia terasa milik empat orang yang di dalam mobil (haha).

Alur perjalanan yang pertama adalah Jalan Pongtiku, tempat Halim bersemayam (hehe). Di Pongtiku, rupanya Halim belum muncul-muncul. Cukup lama kami menunggu. Saya curiga, mungkin Halim tidur lagi (hehe). Dan, Halim datang. Kami menuju lokasi selanjutnya: Coto Dewi. Kenapa di Coto Dewi? Karena disana ada Lathifah yang menunggu kami sambil makan coto gara-gara kami kelamaan (bayangin, makan coto pagi-pagi, haha). Lathifah sudah ditemukan (emang korban penculikan?), selanjutnya giliran Fadli dan Gafur. Dan kami menemukan mereka di seberang lampu merah (tolong jangan berpikiran negatif ya, mereka orang baik-baik kok, haha).

Jalan…dan jalan…

Setelah hampir kesasar, akhirnya kami sampai di lokasi. Tempatnya, subhanallah! Indaaaaaaaaaaaaaaaaah sangat! Huwaa, senangnya! :D

Karena belum makan, kami memutuskan untuk makan dulu sebelum berkeliling untuk mengabadikan gaya-gaya keren kami (huek). Dan betapa senangnya, Kawan. Saya menemukan sesuatu yang selama ini saya cari: IKAN NILA BAKAR! Horrrreeee! *jingkrak

Nah, sepertinya saya sudah lelah bercerita. Speechless. Mungkin saking senangnya dengan semua yang terjadi hari ini. Biar lebih afdhol, cekidot gambarnya saja ya. Oke?

Salam satu jiwa untuk para Bloofers sedunia: Indonesia, Sudan, Amerika dan… (dimana lagi ya?)

 Roti dari Mas NitNot

Tempatnya indah, kan? Ada perahu di tengah sana. 

Tiga Ranger: Ranger Gafur, Ranger NitNot, Ranger Fadli  ^^

Dua jagoan beraksi: Mas NitNot dan Hasan Cakep. Dua penjahatnya di belakang: Fadli dan Gafur


 Bloofers versi lengkap

Korban dan pelaku

Mas NitNot bilang, kita salah jurusan. Seharusnya, jadi model semua, haha.

Pose keren! :D

PS:
• Kenapa Mas Nit Not pengen jalan-jalan terus bareng Bloofers? Karena masa cuti beliau akan segera berakhir. Beberapa hari lagi akan kembali ke tempat kerja di Sumbawa
• Bloofers Makassar yang pernah kopdar di Popsa tapi tidak datang: Kak Yuni, Kak Arman, Kak Anto.
• Untuk Bloofer Bandung, Jakarta, Aceh, Jogja, dan yang lain: ayo, ikuti langkah kami! Hehe.

Senin, 18 April 2011

Malam ini, saya ke Maros, Chechnya dan Unair bersama Seseorang-yang-ini, tak lebih dari 60 menit



Sedikit gelisah. Pegang Lithium-genggam. Write message.

Assalam..
Maaf dok, bisa saya konsul malam ini?
Dari uswatun

Sent to dr Burhanuddin. Menunggu balasan hingga kurang dari 30 menit.
New SIM1 text message. SIM1 message from dr Burhanuddin.
Message body. From: dr Burhanuddin. 15:04:2011. 15:21.

Ya, sy tunggu anandaku.
Wass. BB

@@@

Pukul 19.47. Di Perumahan Dosen Unhas, blok R, rumah paling pojok dengan nuansa gelap, tak ada lampu jalan.

Saya bersama Kaze-chan masuk. Di dalam, ruang tamu, sudah ada dua orang: seorang lelaki-kemeja dengan usia kisaran 30 dan seorang perempuan-kerudung berusia sekitaran 20 (yang jelas lebih muda dari saya, tapi terlihat lebih tua). Sekarang giliran lelaki-kemeja itu yang dilayani oleh lelaki-tua-bersarung. Sesekali terdengar kata pasien, resusitasi, cedera kepala, postab (yang ini mungkin salah dengar, hehe). Terlihat sebuah lembaran-lembaran mirip proposal di tangan lelaki-kemeja. Mungkin 30-an lembar. Diskusi mereka lumayan asyik. Saya juga turut menyimak. Ini memang kesukaan saya: menyimak meski tak paham. Sementara saya dan perempuan-kerudung sibuk berbisik-bisik.

Dari mana? STIKES NANI. Akper? Bukan, STIKES NANI. Oh, err, maksud saya, Keperawatan? Iya. Angkatan berapa? 2007. Tuh, kan, lebih muda. (Di tangannya terlihat berlembar-lembar kertas juga. Hm, persiapan yang bagus). Judulnya apa? (Perempuan-kerudung menyodorkan lembaran kertas dengan tulisan USULAN PENELITIAN. Ada kata yang menarik hingga saya membolak-balik lembaran itu agak lama: manula, asupan gizi. Judul yang mirip!)

Jadi panggilannya siapa? (Setelah melihat nama di lembaran kertas itu). Indra atau Yani? Kaze-chan berbisik: Ayan. Indra, Kak. Oo.

Lelaki-kemeja selesai dan pamit. Giliran perempuan-kerudung. Saya masih menunggu. Terdengar kata “Sudah bagus, kau maju saja”. Setelah itu, perempuan-kerudung pamit. Wow, ekspress! Tak sampai lima menit! Saya semakin deg-degan. Tinggal tiga orang di ruangan ini: lelaki-tua-bersarung, Kaze-chan dan saya.

(Saya mendekat ke arah lelaki-tua-bersarung, menyodorkan lembaran kertas, tepatnya empat lembar kertas yang di-klip satu kali di kiri atas). Maaf, Dok, cuma ini. (Cengengesan). Tidak apa-apa, daripada tidak ada sama sekali. (Padahal, sebelum meninggalkan rumah, saya berpikir tak akan membawa lembaran apapun. Saya ingat, Yuki-chan mem-print-kan lembaran ini menggunakan printernya. Saya merepotkan orang lagi kali ini).


“Rancangan judul saya,” sedikit gugup, “Gambaran presentase kejadian blablablabla………”

Masih gugup. Kening lelaki-tua-bersarung mengkerut.

“Kau mau bikin novel ya? Judulnya kok panjang sekali?” Mampus! Skak mat!

Kesurupan dunia nulis, Dok.

“Judulmu begini saja: Investasi cacing dan blablablablabla……..” Mengangguk setuju.

“Terus, kau juga tidak usah meneliti di panti jompo. Terlalu gampang kalau begitu. Lagipula, nanti kau tidak akan mendapat tujuanmu. Sudah terlalu banyak yang menjadikan panti sebagai lokasi penelitian. Kalau terlalu gampang, untuk apa kau meneliti?” Mengangguk setuju lagi. Kok tidak kepikiran ya?

“Nanti kau ke Maros saja. Tidak usah banyak-banyak lah, sampelmu cukup 20 atau 30 orang. Coba ke Puskesmas X. Kalau sudah sampai disana, bilang saja utusan saya. Kepala Puskesmasnya kebetulan “anak” saya. Atau, coba cari dua Puskesmas lain. Sebagai jaga-jaga”

“Kalau kau meneliti di tempat seperti itu (desa), lebih bagus lagi. Disana, para manula masih berjalan-jalan tanpa menggunakan alas kaki. Manula yang tinggal dengan keluarga (anak-anak dan cucu) masih besar kemungkinan kesehatannya tidak terjaga. Kalau di panti, makanan mereka terjaga, tiga kali sehari. Mereka memakai alas kaki. Kukunya dipotong tiap tiga kali seminggu. Kalau sudah begitu, apa yang bisa kau dapat?”

Saya tersentuh dengan kata-kata “Manula yang tinggal dengan keluarga (anak-anak dan cucu) masih besar kemungkinan kesehatannya tidak terjaga”.

“Saya sudah baca sekilas. Sudah bagus. Nanti kau bikin yang bagus ya. Jangan seperti bikin novel,” lelaki-tua-bersarung ini berkata sambil menunjuk kertas yang saya serahkan tadi. Kami tersenyum. Lalu beliau mengambil sebuah rancangan penelitian salah satu mahasiswa S3-nya. “Coba lihat judul ini. Apa kau bisa mengerti?”. Saya mencoba membacanya. Sumpah, saya sama sekali tidak mengerti.

“Bahasa penelitian itu, miskin. Tidak seperti novel”. Saya cengengesan lagi.
“Memang lagi ada proyek bikin novel, sih, Dok”

Lalu, tiba-tiba alur pembicaraan kami berganti menjadi dunia tulis-menulis. Sebuah kenyataan yang baru saya ketahui: rupanya dosen kesayanganku ini juga suka menulis!

“Saya juga suka menulis. Sekarang sebenarnya saya lagi menulis novel. Sudah seratusan halaman. Tapi saya tidak melanjutkannya sekarang, karena komputer rusak. Saya punya banyak koleksi novel. Novel yang saya tulis sekarang bukan novel remaja. Saya lebih suka novel petualangan”

Lalu, beliau terus bercerita tentang bagaimana dulu ia menjadi redaktur majalah. Bekerja dalam proyek penerbitan majalah hampir seorang diri: mencari bahan, meng-edit, mencetak, mendistribusi. Semua dilakukan hampir seorang diri. Tapi, beliau tetap melakukannya. Demi Islam yang lebih baik di lingkungannya. Nirlaba.
Wow! Nafas saya naik turun mendengar kata-katanya. Tambah cinta saya sama seseorang-yang-ini. Saya merasa satu jiwa dengannya.

Dan entah kenapa, kami membahas mengenai tingkat harapan hidup manusia di dunia. Lelaki-tua-bersarung menyebut kata yang pernah kudengar beberapa tahun lalu: Chechnya. Saya mencoba mengingat, dimana tempat itu. Setelah beliau menyebut Rusia, barulah saya menyadari. Chechnya adalah salah satu tempat yang ada di Rusia, Negara yang saya ketahui sebagai Negara komunis. Chechnya adalah tempat berkumpulnya kaum Islam.

Lelaki-tua-bersarung lalu bercerita. Beberapa saat lalu, beliau mendengar berita bahwa tingkat harapan hidup disana sangat tinggi.

“Orang-orang Chechnya, di usia 170 tahun, masih sanggup mendaki gunung. Usia mereka adalah usia nabi-nabi”

“Berarti, tingkat harapan hidup disana lebih tinggi dari Jepang, Dok?”

“Ya. Itu karena Muslim Chechnya sangat rajin berpuasa Senin-Kamis. Mereka muslim yang taat. Perempuan disana harus berjilbab. Mereka muslim yang kuat. Karena sanggup bertahan di tengah pemerintahan komunis”

Saya mencerna satu-satu kata lelaki-tua-bersarung ini. Mereka muslim yang kuat. Karena sanggup bertahan di tengah pemerintahan komunis. Subhanallah! Di alam bawah sadar, saya bertekad untuk mengunjungi tempat itu suatu saat nanti.


Pembicaraan kami kembali ke topik penelitian. Beliau menjelaskan tentang banyak hal yang semakin membuka pikiran saya. Tentang lokasi penelitian.

“Silakan turun ke lapangan, bekerja (meneliti) dengan baik. Semua sudah beres, kan?”

“Iya, Dok.” Saya tersenyum puas.

“Cuma ada satu.” Beliau diam sejenak, saya tegang. Ada apa ini?

“Kau harus hati-hati kesana. Karena mau bagaimanapun, kau itu anakku. Saya pernah menyaksikan dua “anak” saya dilindas truk. Mereka parah. Salah seorang dari mereka meninggal sebelum sempat sampai di rumah sakit. Saya dokter, maka saya mencoba memeriksa kondisinya yang saat itu menggelepar. Saya bilang pada petugas Puskesmas, anak ini sudah tidak punya harapan. Bawa saja ke rumah sakit sebagai langkah formalitas. Dan memang, sebelum sampai, anak itu meninggal.

Lokasimu meneliti itu berada di jalan poros. Kendaraan ramai lalu-lalang. Apalagi mobil-mobil besar. Jadi, hati-hati saja disana. Baru-baru saja, saya mengutus empat “anak” saya ke Barru. Mereka baru saja kembali ke Makassar malam ini. Saya bersyukur sekali mereka selamat”

Kawan, betapa baiknya lelaki tua ini. Saya speechless.

Kami diam sejenak, menekuri pikiran masing-masing. Saya melirik Kaze-chan. Sepertinya, dia juga menikmati pembicaraan kami dan mulai mengagumi Bapak saya ini.

“Nanti kau lanjut saja sampai S2, S3…”
 Apa???

“Tapi tidak usah di Sulawesi. Kau lanjut di Jawa saja. Di Unair”
Hah???

“Kau nanti tidak usah ambil Kesmas lagi, antropologi saja. Saya punya sahabat baik yang ahli antropologi. Seorang professor dari Polandia. Beliau Guru Besar di Unair. Beliau dulu dosen pembimbing disertasi saya. Di Indonesia, baru ada dua ahli antropologi. Salah satunya beliau ini. Kalau kau mau, saya bisa rekomendasikan kau kesana. Mudah-mudahan, kita masih hidup saat itu”

Allahu Akbar! Saya tidak bisa berkata apa-apa. Ini adalah kesyukuran bagi saya. Ingin sekali saya mencium tangan orang ini.

Lalu, setelah mengalihkan pembicaraan tentang dunia menulis, sedikit becanda, juga membahas buku-buku dan budaya, saya pamit karena takut dengan suara anjing yang menakutkan di luar sana. Dalam hati, saya berjanji untuk menunaikan studi secepatnya, agar bisa mewujudkan kata-kata lelaki-tua-bersarung itu. Saya bersyukur, sangat bersyukur. Bahwa tak ada mahasiswa lain yang datang setelahku sehingga membuat kami bisa berdiskusi seperti saat ini. Seandainya saya tidak enak dengan Kaze-chan yang menunggu, seandainya tak ada suara anjing, seandainya tak ingat memakai motor pinjaman, seandainya saya tidak memikirkan bahwa beliau harus beristirahat, tentu saya akan terus menemukan tema lain sebagai bahan diskusi kami. Karena sungguh, bersamanya membuat kepala saya kaya. Bersamanya membuat saya merasa mengelilingi dunia.

Meski beliau hanya mengajak saya ke Maros, Chechnya dan Unair dalam waktu yang tak lebih dari 60 menit.

Saat saya di luar halaman, saya melihat pintu rumahnya ditutup dan lampu dipadamkan. Itu tandanya, saya adalah mahasiswa terakhir yang diterimanya malam ini.

Di perjalanan pulang, saya tak henti tersenyum dan bersyukur. Di perjalanan pulang, Kaze-chan tak henti berkata, kau beruntung memiliki dosen sepertinya.

Ya. Itu karena Tuhan menyayangiku. (QS 55:55)

Minggu, 17 April 2011

Seseorang yang [baru] aku temukan



Aku tak punya firasat apa-apa untuk hari itu. Yang jelas, hari itu berkah. Aku benar tak menyangka akan menemukan sesuatu.

Angin mengiringiku berjalan. Di sebelah sana, ada siluet yang seolah memanggil.

Saat mendekat terlihat senyum yang mencair karena hari tak hujan dan tak panas. Meski di sebelah sana yang lain, ada iblis yang terlalu asyik menelan udara berwarna kelabu. Tak apa.

Sebenarnya aku belum pernah melihat sosok lembut ini. Tapi semakin mendekatinya, aku merasa telah sangat mengetahui siapa dia, seolah dia adalah kekasihku yang telah lama tak kujumpai.

Hei! Tahukah?

Baru semenit (ah, sekian detik) aku sudah membicarakan apapun dengannya. Apapun. Aku bahkan menceritakan hal-hal yang tak pernah kuceritakan pada angin sekalipun.

Kenapa bisa?

Mungkin aku jatuh hati padanya.

Jangan heran. Ini beda, Kawan! Jangan menyebut ini “love at the first sight”. Ah, aku tak pernah sepakat dengan istilah itu. Ini beda! Karena aku merasa telah mengenalnya. Aku merasa pernah menjalani sebagian besar hari bersamanya.

Dia juga baik. Seperti Mika bagi Indi. Sungguh. Belum lagi senyumnya. Damai. Aku menyukai setiap lekuk pribadinya.

Dia sangat biasa. Tidak tampan. Tidak memiliki lesung pipi. Tidak suka bicara. Tapi jika dia bicara, aku sangat suka mendengarnya. Aku selalu menunggu detik-detik dia mengeluarkan suaranya yang sangat biasa. Sayangnya, suaranya kecil. Aku harus bisa mendengar baik-baik suaranya. Tak jarang, dia harus mengulangi kata-katanya untukku. Dan itu membuatku sedikit tak enak. Tapi aku tetap bahagia begitu.

Ini bukan tentang sesuatu yang menjadi pujaan para serakah. Bukan.

Kau tahu kan, Kawan, ada perasaan yang seolah telah lama tertimbun sebelum bertemu dengannya bahkan untuk pertama kalinya? Kenapa bisa?

Makanya, kini aku disini, merasa kosong saat dia hilang dari terkaman kedua pupilku. Dan aku tahu, terkaman itu mungkin untuk terakhir kalinya. Sungguh, aku sedih. Tapi sebelum dia benar-benar pergi, dia sempat berusaha membahagiakanku, membuatku tersenyum. Ah, seandainya dia tahu kebahagiaan itu membuat hatiku gerimis.

Ya. Aku berpisah dengannya. Mungkin tak akan bertemu lagi. Sebelum itu, aku sempat mengajukan beberapa pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan tapi tak pernah bisa menyampaikannya. Aku puas dengan jawaban itu. At least, I did it.

Kami berbeda arah. Dia pergi.

Aku sedih, tapi tak bisa menangis.

Karena entah, aku yakin, akan bertemu lagi dengannya. Disana. Tempat bintang-bintang bersatu.

Rabu, 13 April 2011

Tears For You


Air mata ini jatuh tanpa henti

Aku selalu mengucapkan "terima kasih" ketika membuka lembaran album foto yang lama
Selalu, selalu dalam hatiku, ada seseorang yang membesarkan hatiku
Setiap hari, baik cerah maupun hujan, senyum itu terus ada diwajahmu
Bahkan ketika ingatanku sudah mulai samar akan dirimu, tapi aku mampu kembalikan ingatan itu
Hingga suatu hari ketika aku mencoba mengingatmu lagi, air mata ini jatuh tanpa henti
Aku berharap pada bintang agar bisa menyatukan kita lagi, dan hal ini sudah menjadi kebiasaan bagiku
Ketika kulihat langit saat matahari terbenam, aku mencarimu didalam pikiranku
Kapanpun ketika aku merasa sedih atau senang, aku selalu berusaha mengingat senyum itu lagi
Jika saja sekarang kau bisa melihatku dari tempatmu berada,
Aku percaya suatu hari kita akan bertemu dan bersama-sama lagi
Setiap hari, baik cerah maupun hujan, senyum itu terus ada diwajahmu
Bahkan ketika ingatanku sudah mulai samar akan dirimu,

Aku akan kesepian, aku akan merindukanmu
Setiap saat memikirkanmu, air mata ini jatuh tanpa henti
Aku ingin melihatmu, aku ingin melihatmu
Setiap saat memikirkanmu,
Air mata ini jatuh tanpa henti




Versi Jepang:

Nada Sou Sou
furui arubamu mekuri, "arigatou"tte tsubuyaita
itsumo itsumo mune no naka, hagemashite kureru hito yo
harewataru hi mo ame no hi mo, ukabu ano egao
omoide tooku asetemo
omokage sagashite
yomigaeru hi wa nada sou sou
ichibanboshi ni inoru, sorega watashi no kuse ni nari
yuugure ni miageru sora, kokoro ippai anata sagasu
kanashimi nimo yorokobi nimo, omou ano egao
anata no basho kara watashi ga mietara
kitto itsuka aeru to shinji, ikiteyuku
harewataru hi mo ame no hi mo, ukabu ano egao
omoide tooku asetemo
samishikute, koishikute
kimi e no omoi, nada sou sou
aitakute, aitakute
kimi e no omoi,
Nada Sou Sou




Note:
Lagu ini adalah Soundtrack dari Film Jepang "Tears For You" yang diperankan oleh Satoshi Tsumabuki dan Masami Nagasawa. Bercerita tentang dua orang saudara tiri yang memiliki kemalangan hidup. Film ini sebenarnya terinspirasi dari lagu "Nada Sou Sou" yang terkenal di Kepulauan Okinawa, dinyanyikan oleh Natsukawa Rimi. Sepertinya, Nada Sou Sou adalah lagu tradisional disana. Menyaksikan film ini menghadirkan haru dan empati bagi orang-orang yang bernasib sama seperti kedua tokoh utama ini. Ada yang lucu pada akhir film ini, yaitu dialog antara Yota dan Kaoru semasa kecil. Berikut dialog itu:

Kaoru: Nanti Kaoru...ketika sudah besar, aku ingin menjadi istrimu! Boleh tidak?

Yota: Tentu saja tidak boleh!

Kaoru: Kenapa? Kau ini bodoh yah?

Yota: Masa kau tidak tahu?

Kaoru: Hah?

Yota: Adik dan kakak tidak boleh menikah.

Kaoru: Kenapa?

Yota: Hmm... Hmm... Aku tidak tahu.

Kaoru: Kenapa?

Yota: Aku tidak tahu.

Kaoru: Kenapa?!

Yota: Aku tidak tahu!
###

Nah. Jika kelak kita jadi orang tua, jawaban seperti apa yang akan kita berikan kepada anak-anak kita untuk pertanyaan seperti ini? :)

Oya. Bagi yang ingin menikmati lagunya, silakan download disini: Nada Sou Sou - Namida - Natsukawa Rimi.mp3

Senin, 11 April 2011

KATA-KATA BLOOFERS



Makassar, 9 April 2011

Assalamu’alaikum wr wb.
Salam kenal dan salam hangat untuk para Bloofers.

Untuk pertama kalinya, saya ingin angkat jempol, empat sekaligus buat Bang Fadli. Berkat usaha dan kesabarannya, akhirnya kopdar Bloofers kedua di Makassar kesampaian juga.

Sebelumnya sempat iri juga dengan kopdar yang dilaksanakan di Bandung. Tapi itu semua kini telah terbayar. Terima kasih lagi buat Bang Fadli.

Awalnya, saya tidak pernah tahu apa itu Bloof. Sampai hari itu tiba.

Seorang teman (baca: Zulham) membuatku tersesat di salah satu group (baca: Bloof).
Semua terasa asing. Mulai dari peruntukannya, orang-orang di dalamnya. Yang lebih heran lagi, admin-nya jauh banget. Ada di pulau Jawa dan Sumatera. Aneh kan.

Tapi setelah beberapa hari bertandang, bagus juga. Waktu itu saya terdaftar sebagai anggota ke-32. Masih terbilang sedikit.

Bloof seakan punya mantra dan sihir. Sehingga saya harus berkunjung terus. Tak pernah bosan berkunjung. Lagi, lagi dan lagi.

Selain itu, setelah bergabung di Bloof, saya jadi keranjingan nulis. Bahkan bisa tiap hari, terus posting di blog. Aneh kan.

Saya jadi bertanya-tanya sendiri, Bloof ini dahsyat juga. Mantap deh. Apalagi di dalamnya ada orang-orang yang asyik. Punya banyak ide. Juga postingan yang inspiratif.

Salut buat para Bloofers.

Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada orang yang membuatku tersesat.

Dan kepada para Bloofers, salam persahabatan.

@@@
Kata-kata di atas ditulis oleh Kak Arman Rahim, yang kebetulan bukunya menjadi milik saya, hehe. Dari awal, saya memang naksir sama bukunya. Saat undian dikocok (apan sih?), saya benar-benar mendapatkannya. Benar-benar kekuatan doa deh. :D
Untuk Bloofers yang lain, postingin juga yaa…
Oya, saya juga ingin berterima kasih buat orang yang membuatku tersesat di Bloof. *lirik seseorang, hoho.
Eh, dibawah ini saya sertakan gambar yang bersangkutan.



Yang Dikenang Saat Kopdar Bloofers

 ini suratnya bang qefy, yang dibacain mbak patmah :)


buku-buku yang dikumpulin Bloofer



disini tongkrongannya :)




wah, kurang dua orang nih: Kak Arman dan Halim



ini sunset belakang Popsa... :)

Oke. That's all, Folks. Yang jelas, ngumpul bareng Bloofers gak terlupakan deh. Semoga pertemanan ini bermanfaat untuk siapapun. Bye!

-Hasan Cakep-

Sabtu, 09 April 2011

BLOOFERS MAKASSAR NGOPDAR!

O, mai Gad! Gini ya rasanya kopdar? *helloow, biasa aja deh, Tun… wkwk

Ya. Akhirnya, hari ini tiba juga. Setelah sekian lama (ini versi lebay, hehe) direncanakan, kopdar Bloofers Makassar jadi juga. Bloofers itu apaan sih? Itu lho, orang-orang yang pada gabung di Bloof *distak! Trus, Bloof itu apa? Bloof itu, singkatan dari Blog Of Friendship: tempat berkumpulnya para blogger yang ada di Indonesia. Gitu… *haha, ngaco!

Pertama kali saya bergabung di Bloof setelah dipapah dengan susah payah oleh Kak Yuni. Lewat akun facebook, Kak Yuni membuat saya tergabung dengan grup aneh bernama Bloof. Maka, jadilah saya bagian dari Bloofers. Pas di-cek, ternyata (subhanallah) asyik banget. Sumpah! Anggota yang sudah tergabung sudah 600-an. Trus, mereka dari berbagai daerah pula. Akhirnya, setidaknya, saya mempunyai teman di seluruh penjuru nusantara (secara tidak langsung). Cihuyy!

Hm, penjelasan tentang Bloof, besok-besok saja ya, soalnya saya harus menyelesaikan tulisan tentang Kopdar ini, mumpung belum dilempar botol oleh para fans (baca: Bloofers Makassar) yang hadir pada kopdar sore tadi. Sepertinya, mereka sudah tak sabar. Hoho.

Oke. Balik ke kopdar ya.

Rencananya ke Kampoeng Popsa (tempat kopdar Bloofers) bareng Kak Yuni. Trus, kita sms-an. Kak Yuni bilang, berangkatnya bareng Bloofers yang lain. Asyik juga tuh! Sebelum ke lokasi, saya bakal ketemu dengan Bloofers lain! Horree! Dan mereka adalah (jeeeng jeeng): Kak Patma dan Kak Phipi. Kak Patma sebenarnya asli Bugis, tapi besar di Jayapura, kuliah di Nitro Makassar, trus kerja di Bandung (nah, lho..). Kalo Kak Phipi, sekarang masih berstatus Coass di Fakultas Kedokteran Unhas. Kurang lebih, begini gambaran pertemuan saya dengan mereka.

Saya duduk di warung makan Top Mode, nungguin Kak Yuni. Ada telpon masuk: nomor baru, yang punya namanya Phipi. Katanya udah tiba di depan Top Mode. Maka kami bertemu. Cerita-cerita dikit sambil nunggu Kak Yuni. Kak Yuni datang (nunggunya lumayan lama, lho. Kak Yuni memang salah. Haha, piss deng). Kami naik pete-pete 07 menuju Mall Panakkukang, karena disana, Kak Patma telah menunggu). Turun dari pete-pete, kami naik bentor. Satu bentor bertiba, Comrade! Bayangin tuh! Otomatis, saya yang duduk di tengah dan sedikit menjorok ke depan (kalo si tukang ojeg ini rem mendadak, kayaknya saya bisa mampus. Tapi, sensasinya keren, lho). Sampai di depan MP, ketemu Kak Patma. Eh, rupanya beliau lupa beli buku. Naik di Gramedia lantai 3, temenin Kak Patma beli buku. Turun. Cari taksi ke Popsa. Di taksi, cerita super macam-macam. Lewat jalan Pettarani, trus masuk ke Pelita Raya, trus lewat Sunggai Saddang, truuuus, truuuus (ini karena saya lupa nama jalannya, hehe) tiba-tiba sampai deh di jalan Ujung Pandang, depan Popsa.

Nah. Sesampainya disana, ternyata Bloofers yang lain sudah pada ngumpul. Sedikit basa-basi dulu meskipun belum saling kenal. Trus, kami bertiga (saya, Kak Yuni dan Kak Phipi) ke Mushola dulu karena belum shalat Ashar. Saat kami kembali, di meja kami sudah terhidang santapan lezat, hehe. Lalu acara dibuka oleh Fadhli, si penanggung jawab acara ini. Supaya lebih afdhol, cekidot gambarnya saja yaaaa… :D
(liat di grup Bloof aja ya, maap. Sinyalnya gaj ngedukung nih. Hiks. T.T)
 
Eh, ada satu fakta yang sangat menggembirakan, lho. Waktu kita sudah mau cabut dari Popsa, sebenarnya saya memikirkan sesuatu: makanan saya belum dibayar. Trus, karena teman-teman pada santai meninggalkan lokasi, saya juga ikut-ikutan saja. Eee, pas di mobil, saya dapat SMS-nya Fadhli. Ini isinya:

Astaghfirullah, hahahaha, sy bru nyadar klw td makanan sy dibayarin mas nitnot, astaga, gara2 disuruh jagain tas, sy lupa klw di popsa lgsng byar, hahah, malu, sorry mas nitnot 

Haha! Seisi mobil ketawa. Iya ya? Baru pada nyadar.
Over all, saya sangat suka pertemuan dengan orang-orang baru ini. Semoga bisa sampai selamanya, tetap bahagia (kayak pilem-pilem ajah). Sampai ketemu ya, Bloofers. Thanks for: Kak Patma, Eka, Kak Ratih, Kak Yuni, Kak Phipi, Kak Nitnot, Fadhli, Halim dan Kak Anto. Love you all. :D


PS:
• Tongkrongan kita ternyata keren banget. Sumpah! Kak Patma saja hampir tak henti-henti memujinya (karena di Bandung gak ada lautnya, hehe)
• Waktu tukeran buku catcil, saya kebagian bukunya Kak Arman, buku yang saya naksir sejak dikeluarkan dari ranselnya. Alhamdulillah!
• Pengen ketemu lagi dengan Bloofers. Kalo bisa, yang se-Indonesia, hehe. 
 
So Long,
Hasan Cakep.

Chocochip di wajah



Ini dialog antara saya dengan teman pondokan.

Dia : Menatap wajah saya lekat-lekat.
Saya : Heran. Nge-rasa weird gitu.
Dia : Ternyata Kak Atun punya chocochip juga ya?
Saya : Hah? Apa-an tuh? Gak ngerti.
Dia : Nih. Nunjuk bagian atas bibir kiri. Kayak temanku. Ini yang bikin manis.
Saya : Sok mengernyitkan alis.
----------------

Jadi, paling tidak terjemahannya begini: Saya punya chocochip di wajah, dan ini yang membuat saya terlihat manis. Huwahuwahuwa :D

Ge-eR! Narsis!

Serius [gak sih] mau jadi wartawan?



Beberapa hari yang lalu, saya mendapat job dari seorang teman untuk meliput berita sebuah kegiatan. Tentu saja dengan senang hati saya terima. Ini yang saya tunggu-tunggu: turun langsung ke lapangan (emang dari ketinggian berapa?). Lalu, saya menuju TKP sekitar pukul delapan malam. Karena akan bermalam di lokasi, maka bekal mantap disiapkan (sebenarnya gak mantap-mantap amat tuh): Alqur’an, Al-Ma’tsurat, Lithium (netbook kesayangan gue, hehe), pakaian ganti buat besok, alat mandi, buku catatan kecil, kaos kaki (karena hujannya mulai tumbuh dewasa, Bro), jaket kesayangan, plus motor pinjaman dari tetangga kompleks (artinya, jarak per-tetangga-an kami lumayan jauh).
Dan berangkatlah saya.

Tiba di lokasi, saya ketemu teman yang memberikan job ini.

Dia : Oke, kamu langsung saja. Tugas kamu di lantai sana. Nunjuk lantai dua. Dan disana. Nunjuk masjid.
Saya : Wajah innocent. Saya ngapain disana? (pertanyaan bodoh! Tentu saja meliput berita!)
Dia : Mukanya sabaaarrrr banget. Catat semua yang mereka bicarakan. Oke?
Saya : ???!! Bingung, tambah oon. Semuanya?? (emangnya kurang jelas ya?)
Dia : Yep! Masih muka sabar. Duh, ngerti banget nih orang. Ntar kalo udah selesai, langsung ke kamar saja, disana. Nunjuk sebuah kamar. Kamu tidur disana bersama teman-teman yang lain.
Saya : …….. (gak jelas mikir apa)
Dia : Eh, udah makan?
Saya : Udah.
Dia : Serius? Makan dimana?
Saya : Iyya. Tadi makan di warung.
Dia : Oh, baiklah. Selamat bekerja. Beritanya dikumpul besok ya. Pergi.
Saya : Manyun. Menatap punggungnya berlalu. Bingung. Meresapi hujan yang lamat-lamat mulai membuat dingin (halah, mulai deh!)

Di ruangan lantai dua. Kegiatan sudah mulai. Pesertanya mulai ramai. Saya siap-siap mencacat. Tapi… Ampun dah! Saya tidak membawa pulpen! Begini nih, kalau sudah jarang ngampus. Akhirnya, celingukan cari pulpen. Tanya sana-sini, tidak ada (ya iyalah, masa nanya pulpen di bagian keamanan! Kalo pentungan ada! Nasi goreng juga! @$*^&%^$#%$%$%$%!!). Tiba-tiba, saya mengingat sesuatu yang berwajah tampan: Lithium-ku! Aha! Buka ransel, ambil Lithium Cakep. Geser tombol power. Lithium nyala. Di-refresh. Tapi, ada pemberitahuan di bagian battery-nya: 10% remaining! Ommalek! Ah, masih ada harapan. Charger. Buka brankas charger-nya Si Cakep. O, no! Guess what: charger-nya tak ada, saya lupa membawanya. Omona! Wadehek of dis?

Saya lemas. Layu, tak berkembang. How poor I am. Malang sekali, Comrade. I just feel SO LAME. Tapi, saya tidak akan putus asa. Harapan masih ada. Mata saya tertuju pada seorang fotografer yang asyik mengambil gambar. Pikiran jahat datang. Bibir saya sedikit mekar. Saat si fotografer hendak keluar ruangan, saya mencegatnya, dengan muka yang sangat konyol.

Saya : Misi, Kak. Malu-malu. Errrr, saya bisa pinjam pulpennya gak?
Dia : Mukanya nyenengin banget. Ramah. O, bisa. Membuka ransel, ambil pulpen. Nih. Pake senyum loh, hehe.
Saya : Errr, tapi saya… (sok gugup dan gak enak hati) make-nya mungkin agak lama, Kak.
Dia : O, gak pa-pa. Ntar kasi aja ke tim media yang di ruangan sebelah ya.
Saya : Mmm, sebenarnya, saya juga dari tim media, Kak.
Dia : O, ya? Ekspresi sangat tak percaya. Mungkin dalam hatinya berkata, “Gak persiapan banget nih, anak”. Temannya siapa?
Saya : A***, Kak.
Dia : Ooo. Diam sejenak. Ingin pergi. Eh, ada kendala?
Saya : Gak ada, Kak. Cuma ini. Nunjuk pulpen.
Dia : Ooo, Cuma PUL-PEN… Kata “pulpen” diucapkan dengan tekanan. Wajahnya bikin saya pengen malu (Hoho, malu kok pengen?)
Saya : Hehe. Nyengir manis (hueekk!)
--------------------------------

Dan begitulah. Mengingat kejadian itu, saya ketawa-ketawa sendiri. Awalnya merasa mantap mendapat kepercayaan jadi jurnalis. Ternyata rumit juga. Tapi saya berusaha enjoy, karena ini yang saya mau. Kayak semacam passion lah. Hehe.

Beberapa hari berikutnya, saya bertemu dengan fotografer itu. Mumpung ketemu, saya ingin mengembalikan pulpennya, karena waktu itu kelupaan.

Saya : Kak, saya mau kembaliin pulpennya. Kayaknya spesial ya. Nunjuk pulpen, karena ada tulisan Malaysia-nya.
Dia : O, iya. Pulpennya gak dipake kan?
Saya : He-eh. Jelek soalnya. Tintanya bermasalah. Waktu itu, teman saya si A*** meminjamkan pulpennya. Jadinya, si “pulpen Malaysia” ini tidak tergunakan.
Dia : Memang. Buatan Malaysia sih, coba buatan Indonesia. Nyengir.
Saya : Senyum-senyum. Pengen ketawa sebenarnya. Pembenarannya boleh juga.
-----------------------

:D
So long,
Hasan Cakep.

Tidak cocok dengan payung

Blablabla…………………… (habis ngomong apa, Tun?) *angkat bahu

Tapi, saya memang gak suka payung. Kalo hujan, saya lebih suka berlari-lari menghindarinya, daripada berjalan santai dengan memegang payung. Alasannya:

1. Kalo hujan deras, trus pake payung, sama aja bohong. Tetap saja ada bagian tubuh saya yang basah. Misalnya, lengan dan telapak kaki sampai lutut. Ggrrhh.
2. Kalo hujannya disertai angin kencang, payung akan oleng sana oleng sini, trus patah. Atau paling parah, payungnya terbang. Ih, gak banget deh. Malas!
3. Megang payung itu bikin capek, tangan pegel. Saya lebih suka membawa tentengan lain daripada payung.
4. Pokoknya saya tidak suka payung! Titik! (perlu ya, ngotot gitu?)
---------------------

Dulu, waktu semester-semester awal, saya sangat “suka” beli payung. Kenapa suka? Karena saya pelupa. Ya. Saya sangat suka melupakan sesuatu bernama payung. Biasanya kan, saat kuliah di kelas, payungnya saya simpan di kolong tempat duduk. Eeehhh, pulangnya saya lupa. Ya udah, besok-besok beli lagi. Trus, besok-besoknya lupa lagi. Begitu terus. Dulu, setiap musim hujan, saya bisa beli payung sampai lima kali! Dengan berbagai model dan warna. Hebat kan? Belum lagi kalo patah karena angin atau dipinjam. Uhhh, geregetan!

Kalo sekarang, beda! Saya tidak lagi mengenal payung jika musim hujan. Udah malas soalnya! Rese’ aja, gitu. Pelindung hujan bagi saya, adalah JAKET! Tinggal dibentangkan di atas kepala dengan kedua tangan, jadi deh, saya dan ransel sudah merasa sangat terlindung. Meskipun tetap basah, tapi bagi saya, basah tipe ini adalah basah yang elegan (emang ada, ya, basah elegan?). Ini salah satu alasan saya kenapa selalu memakai jaket: pelindung hujan dan panas, bukan payung!
Ho-oh.

Kamis, 07 April 2011

BUIH MENJADI PERMADANI

Sore ini ada undangan rapat yang lokasinya lumayan jauh dari pondokan. Hujan masih mendera. Tapi, agenda harus tetap jalan. 
 
Lokasi rapatnya di jalan Dr. Sam Ratulangi, makanya mengharuskan menggunakan pete-pete 05 (bahasa kerennya angkot versi Makassar, -red), trus naik pete-pete lain lagi buat nyambung dari perempatan jalan Gunung Bawakaraeng dengan jalan Jendral Sudirman (kalo gak salah, hehe). 
 
Nah,di perjalanan di atas pete-pete 05, ada sebuah lagu familiar yang diputar. Judulnya, Buih Jadi Permadani. Yang nyanyi Exist, band dari Malaysia. Trus, kenapa saya posting tentang ini?
 
Hm. Lagu ini mengingatkan saya tentang seseorang. Yang mana tuh? Hoho, orangnya spesial. Kenapa spesial? Karena saya sangat tak menduga bahwa beliau yang hitam manis ini sangat menyukai lagu "model" ini.
Serius! Wajah boleh sangar, tapi hati...suit-suit. Siapa dia? "Abang"ku! *ngeeeekkk!
 
Biar lebih adem, nih saya sajikan lirik lagu itu:

Dinginnya angin malam ini menyapa tubuhku
Namun tidak dapat dinginkan hatiku yang kau hangatkan
Terasa kecapaian keletihanku ini dengan sikapmu
Apakah karena aku insan kekurangan mudahnya kau mainkan

Reff:
Siapalah aku ini untuk meminta buih yang memutih
Menjadi permadani seperti mana yang tertulis dalam novel cinta
Juga mustahil bagiku menggapai bintang di langit
Menjadikan hantaran syarat untuk milikimu
Semua itu sungguh aku tak kan mampu

Selama kuduga kena jatuh cinta
Insan sepertimu seanggun bidadari
Seharusnya aku dinginkan diriku
Sebelum tirai kamar aku buka untuk mengintaimu



Gimana? Lebay kan? :D

Rabu, 06 April 2011

Mereka tetap saja datang.

Ada sesuatu yang mengetuk pintu keteguhan hati. Kemarin, aku sudah memutuskan, sangat penuh tekad, untuk pergi secepatnya. Ya. Aku sangat yakin, tak akan ada lagi seseorang atau beberapa orang yang akan memanggilku. Tapi aku salah. Beberapa panggilan datang lagi di saat aku dalam posisi menunggu seseorang. Aku shock. Kaget. Ini terlalu tiba-tiba.

Untung aku punya kaki yang kuat. Seandainya tidak, dari tadi aku telah tumbang di sisi jalan ini. Selintas berlalu, suara laki-laki itu telah sungguh mengagetkanku. Aku ingin kau ada disini, katanya. Ah, kenapa aku? Kenapa dia tak meyakinkan hatinya bahwa pilihannya salah? Aku berpikir. Sebenarnya ada apa dengan diriku? Bukankah aku selama ini hanya selalu membuat beberapa orang menunggu? Aku hampir tak pernah menepati janji-janji itu. Ingin sekali kukatakan padanya beberapa fakta: aku adalah pembohong, aku adalah pembual, aku adalah seseorang yang selalu membuat menunggu, aku adalah seseorang yang terlalu besar angan.

Ya. Aku adalah seseorang yang buruk rupa, juga prilaku.

Andai kau tahu saja. Aku tidak seperti yang kau kira. Selama ini, aku hanya pura-pura manis. Aku bodoh. Aku tolol. Pembohong tolol. Keparat bodoh. Maka jangan memanggilku. Hapus saja nomor yang tercatat di ponselmu. Kalau bisa, hapus juga nama dan rupaku dari memorimu.
@@@

Sementara di belahan bumi lain, ada rumah berwarna biru yang selalu menanti aku pulang. Ada dua kepala yang setengah mati menahan rindu untukku. Mereka yang selalu khawatir. Mereka yang selalu berdoa. Lagi-lagi aku salah. Bahkan dalam tidurku, aku tak lagi pernah memimpikan mereka. Yang kumimpikan justru laki-laki dengan kursi roda. Aku hampir melupakan dua kepala itu, yang setia memelukku saat aku kedinginan. Sudah kujanjikan untuk segera kesana, berkali-kali, yang membuat mereka selalu percaya. Ah, aku benar-benar pembohong tolol [bahkan kepada dua kepala itu!]. Apa kata mereka jika aku memutuskan untuk pergi?
@@@

Tuhan, bukankah aku sudah berjanji? Tuhan, bukankah aku sudah meminta? Tuhan, bukankah sudah kuputuskan, dengan sebenar-benarnya keputusan? Tuhan, kenapa begini lagi, kenapa berganti arah lagi? Tuhan, bukankah KauMendengar? Tuhan, apakah maksud dari sesuatu ini?
Tuhan, lain kali, aku tak akan meminta untuk sesuatu yang aku inginkan.
@@@

Ada lelaki lain yang memanggilku. Tuhan, lihatlah, aku akan kesana, memenuhi panggilan itu. Jika tak terkabul lagi keinginanku, lindungi saja aku, Tuhan. Itu cukup. Sangat cukup.
@@@

H dan M. Dua huruf yang membuatku benar-benar jatuh cinta.

Minggu, 03 April 2011

ALIAS



Agar kalian tahu saja.
Selama saya menghabiskan sebagian hidup yang entah sampai kapan di Makassar, saya baru menyadari bahwa sudah begitu banyak “nama lain” yang saya miliki. Dan namalain ini saya dapatkan dari teman-teman saya. Berikut saya paparkan nama-nama itu, sekaligus alasan dari mereka.

Uswah
Panggilan ini pertama kali saya dengar dari teman sekelas saya di kampus, namanya Ayu. Katanya, panggilan saya yang sekarang itu gak asyik, apalagi mirip nama salah satu tokoh di Si Doel Anak Sekolahan. Sebagian teman yang lain akhirnya ikut-ikutan. Malah ada yang menambahkan alasan, bahwa panggilan saya sejak kecil itu tidak ada artinya jika diArabkan. Uswah, lebih cocok. Baiklah, saya terima saja.

Hasan
Nah, saat dipanggil seperti ini, saya ketawa setengah hidup. Sampe hampir keluar air mata saya. Panggilan ini saya dapat dari teman se-pondokan. Alasannya? Karena menurut mereka, saya lebih ke-Hasan-Hasan-an daripada kesana-kemari *ngaco nih, tapi mengerti sajalah, hehe*. Bagi saya tidak ada salahnya, lagipula saya memang bisa saja dipanggil seperti itu. Kan masih termasuk dalam nama saya yang “fenomenal” ini. Lebay!

Anthony
Yang ini, kasusnya hampir mirip dengan yang di atas. Cuma saja, panggilan ini adalah penghargaan dari permaisuri-permaisuri saya (Anty, Mala, Tini, Orin, Bunda Nenny, Wana Bobo, dan Mami Sarna) di posko KKN hampir dua tahun lalu. Alasannya, sama dengan si “Hasan” itu. Ditambah lagi, bagi mereka saya sama sekali tidak bisa berdandan. Apalagi saat bertugas di tempat KKN, saya adalah satu-satunya ojeg cantik disana. Ya sudahlah, lagi-lagi saya terima dengan senang hati. Duh, jadi kangen sama mereka.


Bintang Rubi
Ini adalah panggilan yang sangat saya suka. Saya dapat nama indah ini dari… (bagusnya saya sebut apa ya?). Hm. Perempuan ini adalah seorang adik yang sangat bisa saya terima sebagai sahabat. Dia adalah Ridho. Saya sebenarnya agak gak-enak-hati setelah mengetahui kenapa sampai nama ini tersemat di diri saya. Karena ini menyangkut persepsi Ridho untuk saya. Tapi, yang jelas, saya suka. Sangat suka. Arigatoo, Ridho-chan.

Valentina Rossa
Nah, kalo yang ini betul-betul bikin saya ngakak. Yang pertama kali memberi nama ini adalah Partner saya, namanya Hawa. Dia lebih muda dua tahun dari saya. Beberapa waktu yang lalu, kami sangat sering menghabiskan waktu di jalan, mengendarai motor. Dan tebak saja, pasti saya yang diberikan kemudi meski dia pemilik motor itu. Saat kami misalnya sampai di tempat tujuan, entah kenapa saya hampir selalu melihat wajah pucat dari Partner ini. Kurang lebih, dialog kami begini:

“Partner, muka kamu kenapa?”
(Tarik napas pelan, agak shock). “Hm, saya deg-deg-an, Kak”
“Lho, kok bisa?” Heran.
“Habis, Kakak caranya ngebut gitu. Saya stress di belakang”
“Haha. Kok gak bilang-bilang? Saya kan bisa saja pelan-pelan kalo Partner bilang”
“Bilang-bilang apanya? Helm saya kayaknya hampir lepas dari tadi”
Esoknya, sebelum kembali mengarungi jalanan, Partner-ku berkata, ”Hei, Valentina Rossa, hati-hati ya”. Dan kuping saya tegak.

Hoho, Valentina Rossa?? Kedengarannya asyik juga. Eh, tapi ngomong-ngomong, kalo si Partner ini stress kalo saya yang nyetir, kenapa bukan dia saja ya yang nyetir? *mukabingung, garuk-garuk gigi. Wah, kacau nih anak!*

Princess
Tak perlu kaget. Atau mengira saya keliru menulis nama diatas. Atau protes dengan nama ini. Tapi, sungguh, saya mendapat panggilan ini dari teman saya. Entah sejak kapan dan apa alasannya, teman yang satu ini asyik saja memanggil saya dengan nama ini, sementara teman-teman yang lain telah siap-siap menyediakan ember untuk muntah demi mendengarnya. Si teman saya yang imut dan manis ini sebenarnya lucu dan nge-gemes-in. Orangnya suka ber-lebay-lebay. Namanya Uni. Dia lebih muda dua tahun dari saya.

Bu Presiden
Nah. Ini nama spontan dari “anak-anak” saya. Saya mencoba menebak, alasan mereka memanggil dengan nama ini, mungkin karena saya terlihat bijak dan berwibawa di hadapan mereka (hueeek!) sekaligus terlihat sangat tua (wkwk). Ya. Kayaknya memang seperti itu. Ada yang unik jika saya bertemu atau berpisah dari “anak-anak” ini: mereka akan sibuk menyalami tangan saya. Seolah saya orang tua, dengan menempelkan tangan di dahi mereka. Halah, ada-ada saja.

Mbak El
Sebelum lanjut, saya ingin senyum-senyum dulu.
Nama ini bagi saya, nama yang sedikit lucu untuk saya. Karena nama ini mengingatkan pada sebuah film: Ketika Cinta Bertasbih. Itu lho, yang terkenal itu. Ingat kan? Di film itu ada tokoh yang namanya Eliana yang diperankan oleh DJ Alice Norin (btw, saya kok, sampe sekarang gak percaya ya, kalo ini orang pintar nge-DJ. Ada yang bisa buktikan ke saya? Hm, gak penting deh kayaknya). Si tokoh utama yang namanya Azzam sepertinya sering sekali memanggil Eliana ini dengan sebutan “Mbak El”.
Nah, karena saya penulis dan memakai nama “El Zukhrufy” sebagai nama pena, jadilah Saudara Adi sebagai Ketua FLP Unhas memanggil saya “Mbak El”. Karena saat itu kami sedang beramai-ramai, hampir semua yang ada disitu ikut-ikutan memanggil dengan nama itu. Dengar panggilan Mbak El, saya merasa tua deh *padahal, memang yang paling tua saat itu, hehe*. Tapi, saya senang, siapa tahu bisa nebeng terkenal. Hahai! :D

===
Last but not least, teman-teman dan nama-nama di atas, sangat berarti bagi saya. Bagi saya, mereka adalah milik yang harus saya jaga. Eh, sebenarnya saya masih punya namalain lho di luar sana. Tapi, kok saya jadi kayak kolektor nama ya? Hehe.
Sekian untuk tulisan kali ini. Sampai jumpa!

Jumat, 01 April 2011

Terserah gue dong!


Eh, elo nulis apa aja sih? Gak mutu banget. Ngapain coba, nulis yang gak jelas kayak gitu. Siapa juga yang mau tau perasaan en pengalaman elo? Penting gak buat gue?


Hellooooowww…!! Blog, blog gue… Tulisan, tulisan gue… Terserah gue dong!

###
Eh, kamu gila ya? Kok bicara sendiri?


Hellooooowww…!! Otak, otak gue… Mulut, mulut gue… Terserah gue dong!

###
SINTING!

Tadi


Kita baru bertemu lagi setelah lumayan lama. Tapi cepat sekali kau pergi. Padahal aku masih ingin kau memelukku. Juga sedikit membahas pertanyaanmu yang sangat lucu itu. O, kita pasti akan terpingkal karena membicarakannya.
Kapan ya kita bertemu lagi? Aku ingin ke rumahmu.

###
Kemarin, 20 Maret.

Seseorang-yang-ini dan seseorang-yang-itu



Sstt! Diamlah. Tak usah berisik. Saya ingin bercerita sekarang.
Ini tentang dua orang. Kunamakan mereka seseorang-yang-ini dan seseorang-yang-itu. Sebenarnya saya sama sekali tak akan pernah menceritakan tentang mereka pada siapapun dan dimanapun. Tapi, mumpung mereka tak ada disini, maka ini sudah termasuk aman bagi saya. Tapi berjanjilah untuk tidak membicarakan tentang tulisan ini pada mereka jika kau menjumpai salah satunya.

Seseorang-yang-itu
Bicaranya singkat tapi sangat berisi. Dia adalah tipe Rangga-nya AADC. Sengak. Selalu berusaha untuk menghina dan meremehkan seseorang-yang-menulis-ini. Dia hampir tak pernah memuji keberhasilan saya. Saya hampir tak pernah tahu apa maksud setiap kata-katanya. Prestasinya segudang. Dia jenis orang yang akan menangis jika waktunya terbuang percuma meski beberapa detik. Dia akan marah jika saya terlambat menepati janji atau membuatnya menunggu. Bagi saya, dia sangat disiplin. Waktu dan dia ibarat sistem tata surya. Jika salah satu planet tergeser dari posisinya, maka hancurlah dunia. Saat ingin mencapai sesuatu, maka saya akan mendapat semacam deadline darinya. Namun sayang. Waktu yang dia berikan justru terbuang percuma oleh saya. Akhirnya, hancurlah tata surya yang susah payah ia rancang. Begitu berbahayanya orang seperti saya bagi seseorang-yang-itu. Saya tidak bebas jika bersamanya. Rasanya selalu tercekik. Tapi kami tetap berteman. Meski saya selalu terganggu dengan ke-sengak-annya dan dia selalu terganggu dengan keteledoran saya memaknai waktu, entah kenapa kami masih bisa saling berbagi rasa: cinta dan sayang.


Seseorang-yang-ini
Juga memiliki banyak prestasi. Sama hebatnya dengan seseorang-yang-itu. Tapi setidaknya tak sengak seperti seseorang-yang-itu. Ia selalu memberi semangat pada siapapun. Ia selalu bisa membuat orang lain yakin dengan kata: KAMU PASTI BISA! Ia tak bisa berbicara singkat, selalu panjang-lebar-kesana-kemari-dan-puitis. Ia sering membuang waktu tapi itu bukan berarti ia pemalas. Ia hanya perlu berpikir saja, dan itu menandakan ia tak secepat seseorang-yang-itu. Saya nyaman dengan seseorang-yang-ini karena kesukaannya dengan sesuatu yang spontan dan memberi saya banyak kejutan. Ia sangat bisa mempercayai saya dalam hal apapun, yang bahkan saya tak percaya bisa melakukannya. Ia tak pernah takut akan terjadi kekacauan jika saya melakukan sesuatu yang saya tidak tahu sebelumnya. Mungkin karena itu, saya selalu bisa menceritakan hal apapun padanya. Saya mempercayakan padanya sebuah tabung tentang perasaan dan sedikit rahasia saya. Ia paling tahu bagaimana membangkitkan rasa percaya diri saya. Bersamanya, saya merasa bebas tanpa kekangan waktu. Kami biasa berlama-lama membahas apapun, sampai bibir dan mata sama-sama lelah. Hal ini yang membuat saya selalu mengingatnya.
***

Saya mengenal kedua orang ini disaat yang sama. Saya sempat bertanya pada diri sendiri: kenapa tak menghindar saja dari seseorang-yang-itu, yang selalu menjengkelkan? Bukankah hidup akan terasa indah jika terus bersama seseorang-yang-ini? Tapi kemudian saya berpikir. Ibarat seekor burung, saya tak bisa selamanya hanya terbang: saya butuh sangkar untuk persinggahan, untuk istirahat, untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa terbang lagi. Untuk orang seperti saya, tentu akan sangat membosankan jika selalu dipuji dan disanjung. Akan lebih bermakna hidup saya jika sesekali dihantam dengan perkataan dan perlakuan pedih dari seseorang seperti seseorang-yang-itu. Saya bersyukur mengenal mereka. Mereka adalah dua paduan antara merah dan putih yang kemudian menjadi merah jambu, warna yang dipuja-puja para insan yang jatuh cinta. Mereka seperti pelangi sehabis hujan. Indah. Selalu indah. Rasa ini tak bisa diungkapkan lagi dengan kata-kata yang lain. Sejak mengenal mereka, saya selalu ingin bertemu untuk mengucapkan beribu terima kasih. Mereka telah membesarkan hati saya. Membangkitkan dengan cara yang berbeda. Jika mengingat mereka, saya berdoa agar segala kebaikan hanya untuk mereka. Saya menyayangi mereka. Sungguh.
###

Untukmu, salam penuh cinta.