Selasa, 27 September 2011

Rindu yang tak boleh



Semua sudah jelas. Kita sudah berusaha teguh pada prinsip masing-masing.

Ha! Tapi ternyata tak seperti yang kuharapkan. Seharusnya tidak terjadi seperti ini. Kau memulainya! 

Kembali menciptakan setitik riak yang tak seharusnya ada. Maka untuk satu hal ini, akulah pemenangnya. Ya. Aku yang menang, karena aku yang lebih tangguh.

Kerasnya hati seseorang tergantung pada teguhnya memegang prinsip. Orang seperti ini tak akan goyah terhadap godaan apapun. Nah, seperti yang kutahu darimu sejak dulu, kau adalah jiwa yang rapuh. Buktinya, kau telah memulai “permainan” yang terlarang untukmu, sangat terlarang. Ini tak boleh! Ini tak boleh!

Tapi toh, aku berusaha menganggap bahwa ini adalah hal yang wajar. Aku berharap, semoga Tuhan tak mencatat ini sebagai dosa. Aku berharap, semoga hatimu tak sebegitu hitam.

Tahukah?

Kau kukenal sebagai malaikat. Maka jangan membuat noda sedikitpun di mataku. Jangan menumpahkan tinta pada kertas putih itu. Jikapun kau hendak melakukan kesalahan, lakukan itu tanpa sepengetahuanku. Tidak ada yang tahu apa arti dirimu untukku. Bahkan kau sendiri.

Apakah itu rindu?

Mudah-mudahan bukan. Rindu itu tak boleh. Rindu itu akan bermakna lain. Tak boleh! Tak boleh! Aku tak ingin Tuhan murka. Aku tak ingin dimurkai. Lebih-lebih, aku tak ingin kau celaka. Maka tepiskan rindu itu. Buang jauh-jauh saja. Kau pasti bisa. Pasti bisa! Seperti kata-kata yang selalu kau gumamkan.
Dan berbahagialah. Kau harus bahagia, karena aku selalu mendoakanmu begitu. Berbahagialah, bersama siapapun yang ada di dekatmu saat ini dan kapanpun. Berbahagialah, tanpa sedikitpun ada rasa rindu (yang tak boleh) itu.


@@@
Kandea, 2011.

Pulang untuk apa?

 

Aku mencintai hidupku. Aku mencintai bagaimana cara hidup membuatku merasakan berbagai rasa, bahkan dalam waktu yang bersamaan. Aku suka hidupku yang penuh dengan kejutan.

Untuk beberapa waktu, aku tak berencana untuk kembali pulang. Ada banyak hal yang harus kulakukan. Masih ada banyak “pekerjaan” yang harus diselesaikan. Tapi hidupku memang memberi cara berbeda untuk sebuah “kejutan”. Ya. Dan akhirnya, dalam waktu dekat, aku akan (baca: harus) pulang. Meski hanya untuk beberapa hari saja.

Banyak yang bertanya, untuk apa pulang? Mungkin pertanyaan itu berwujud karena terkesan mendadak. Aku pun tak menyangka, bahwa aku harus “kesana” lagi. Maka, jawabanku “Aku hanya ingin pulang saja”.
Banyak spekulasi, yang tak sepenuhnya aku suka. Banyak yang menduga, untuk apa “kepulangan” itu. “Aku ingin bertemu seseorang,” kataku. “Ciyeee, siapa nih?” Ya. Berbagai “spekulasi” muncul.

Haruskah dijawab? Haruskah kau tahu?

Aku sebenarnya tak ingin pulang. Tapi hidup kembali memberikanku kejutan. Aku sebenarnya tak ingin mencatat angka “4” untuk kembali ke kampung halaman. Jika perlu, hanya “2” atau “3”. “4” terlalu banyak, terlalu sering.

Lalu, pulang untuk apa?

Aku pulang kali ini, untuk bertemu seseorang. Ia yang sangat berharga untuk hidupku. Ia berencana akan pergi jauh. Dan kepergian ini bagiku terlalu mendadak. Ini kali pertama ia akan pergi jauh, sangat jauh, untuk waktu yang lama. Meski saat ini kami telah terbiasa untuk berjauhan, tapi untuk kali ini, aku merasa jarak yang akan kami miliki (sesaat lagi) terlampau jauh. Dan sebelum ia pergi, aku ingin melihatnya. Aku ingin menitipkan beberapa harapan, meminta maaf, mengatakan bahwa aku menyayanginya, dan aku akan sangat merindukannya lebih dari kapanpun selama ini. Aku ingin mengatakan padanyan beberapa kalimat yang tak pernah aku ucapkan selama ini, selama aku menyadari bahwa ia adalah lelaki terbaik. Betapa beruntungnya perempuan yang memilikinya. Dan perempuan itu, aku.

Alasan satu-satunya adalah hal yang aku sebut di atas. Tapi jika diizinkan untuk menambah alasan dan mengurutkannya, maka masih ada alasan lain. Ya. Agar aku tak pulang hanya untuk satu hal saja, maka alasan selanjutnya adalah harus penting juga: membimbing (baca: memaksa) seseorang untuk segera menikah. Ini harus kulakukan. Karena aku terlampau khawatir dengan hidupnya yang akhir-akhir ini. Bagiku ini beban. Jika mungkin, maka hal ini harus terwujud, sebelum hal-hal buruk yang kubayangkan terjadi. Semoga tidak.

Alasan lain?

Ada sesuatu yang harus kujelaskan. Tentang beberapa rencana. Tentang “murid-murid baru” yang kumiliki, mereka yang bercita-cita melahirkan sebuah buku. Tentang satu tahun yang ingin aku lalui di bumi lain. Tentang pandangan-pandangan hidup. Tentang keinginan bertahan. Tentang bertarung sendirian untuk sebuah perlawanan. Tentang sebuah cerita yang akan dirangkai.

Semoga saat pulang, semuanya sempat terbahasakan. Semoga aku tak bisu.

Sampai jumpa! Kita tak akan pernah tahu, kapan kita akan bertemu lagi. Maka aku tak bisa menjanjikan apapun.