Minggu, 05 Februari 2012

Memaknai nama dan Rasulullah (Sebuah “Kado” Milad)*

 
Nama saya Uswatun Hasanah.
Dulu, sewaktu SD, di buku-buku tugas dan raport, sebenarnya nama saya sempat mengalami “penyimpangan”. Ya. Hampir saja saya menyesalinya seumur hidup seandainya Abang saya yang tampan itu tidak membenarkannya. Waktu itu, saya selalu menulis nama saya seperti ini: Uswatun Khasanah. Dan Abang saya berkata, “Hei, nama kamu itu seharusnya begini…” katanya sambil menghapus huruf K. “Nah, begini baru ada maknanya: Contoh yang baik…” ucapnya tersenyum bangga. Saya sih manyun-manyun aja. Maklum masih imut-imut. :)
Beberapa tahun kemudian, setelah saya mulai mengerti beberapa hal, saya kemudian merasakan “sesuatu”: saya tidak suka dengan nama saya.
Pertama. Karena nama itu terlalu popular (kalau tidak ingin dibilang pasaran) di kampung saya.
Kedua. Karena nama panggilan saya “Atun”, saya jadi senewen. Kemana-mana, jika berkenalan dengan orang-orang baru, mereka pasti tersenyum sembari mengingatkan saya pada tokoh perempuan gendut dalam Indonesian-never-ending-sinetron: Si Doel Anak Sekolahan. Lalu mereka berkata, “Eh. Kok Atun yang ini gak gemuk ya? Haha.” Saya protes dalam hati. Serasa ingin hilang dari bumi.
Well, baru kali ini saya mengutarakan kejengkelan saya tentang kisah itu. Selama ini saya menyimpannya dengan rapi dalam ingatan saya sendiri. Haha. ;)
Lanjut…
Di rumah, saya bertanya kepada orangtua saya, bagaimana asal-usul nama fenomenal saya ini (ngomong-ngomong, saya juga heran sendiri, anak seumuran saya waktu itu kira-kira usia delapan tahun, kok sempat-sempatnya bertanya tentang asal-usul sebuah nama). Kemudian, Mama bercerita sedikit panjang-lebar. Nah, dari situlah saya baru tahu bahwa ternyata (jeeengggg, jeeenggg) nama saya adalah “titipan” dari nenek Mama (atau dengan kata lain, beliau adalah ibu nenek saya, haha). Jauh sekali asal nama saya ini, saudara! Ckck. Katanya, nenek Mama ini mendapatkan nama ini ketika membaca Alquran, semasa Mama sedang mengandung saya.
“Trus, arti nama saya apa, Ma?”
“Contoh (teladan) yang baik…”
“Oooo…”
“Yang perlu kau ketahui, nama adalah doa, Nak…”
Ketika itu, saya tidak kepikiran apa-apa, selain merasa bahwa nama saya memiliki arti yang bagus, bukan indah. Polos sekali. :/
Dan setelah itu, saya melupakan “tragedi” membenci nama ini. Sampai beberapa tahun kemudian.
---------------
Beranjak remaja, ketika saya SMA dan menyadari bahwa saya sedikit “badung”, saya kembali merasakan nuansa tidak-menyukai-nama-saya-sendiri. Bagaimana tidak? Sayang sekali jika nama seindah itu harus dimiliki oleh seorang seperti saya (halah, lebay sekali!). Apalagi ketika suatu hari, teman sekaligus keluarga jauh saya (namanya Imamul Arif), dengan segala keanggunannya, memajang sebuah puisi “santer” di mading sekolah. Judulnya sangat-sangat provokatif sehingga menimbulkan desas-desus dan menjadi bahan santapan gossip tersedap bagi kelompok penggosip, hehe. Coba simak: “Jadikan Imamul Arif Uswatun Hasanah”!
Waktu itu, jelas saya salting (ini bukan bahasa Inggris yang artinya “penggaraman”, sodara). Tapi, si Imam ini berhasil membuat saya sedikit berpikir: alangkah mulia sekali niat pemuda-hitam-manis ini. Apalagi bait-bait sederhana itu mampu menyentuh jiwa “badung” saya (sayang sekali saya lupa isi paragraf puisi itu). Saya terpikir, sudahkah saya menjadi seperti nama itu?
Meskipun, ketika ada penceramah menyebut kata “uswatun hasanah” dalam khutbahnya, saya bangga-bangga sendiri, gak jelas banget, sambil senyam-senyum, angkat kerah baju, dan sok tidak menyadari bahwa semua mata tertuju padaku. XD
-------------
12 Rabiul Awal 1433 H, hari ini.
Hari ini adalah hari untuk mengingat bagaimana kelahiran Nabi Muhammad, Rasulullah Kekasih Allah (duh, saya merinding menulis ini. Alangkah beruntungnya seseorang yang menjadi Kekasih Tuhan). Banyak hikmah/ibrah yang bisa dipetik dari peristiwa ini, terutama bagi mereka yang menyempatkan diri membaca sirah Rasul. Siang tadi, saya menangis membacanya.
Well, merenungi maulid Rasul, saya (lagi-lagi) teringat dengan sebutan “uswatun hasanah” yang “kebetulan” menjadi nama saya.
Saya merenung, sembari hati saya menangis, betapa jauh diri saya seperti doa yang terucap 23 tahun yang lalu, ketika saya lahir. Tiba-tiba, saya menjadi begitu berat sangat berat, memikul nama ini.
Tapi sungguh, setiap hari saya selalu berusaha “menuju” nama itu. Saya ingin sekali menjadi orang baik, seperti yang disabdakan Rasul, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain”. Saya ingin sekali menjadi seseorang yang selalu bisa membuat orang lain tersenyum bukan terluka. Saya selalu ingin menjadi orang yang selalu dirindukan karena kebaikan saya bukan dilupakan. Saya ingin selalu bisa membantu orang lain, semampu saya, sesempat saya bukan merepotkan. Saya ingin orang lain bahagia ─bukan bersedih. Saya ingin memiliki hati yang lembut ─bukan pemarah seperti ini.
Seperti Rasul yang tetap mencintai, meski selalu dihina.
Seperti Rasul yang selalu mesra bersama Allah, meski beliau pasti masuk surga.
Seperti Rasul yang penyayang, meski jiwanya selalu terancam untuk dibunuh.
Seperti Rasul yang peduli, yang pada masa-masa sekaratnya, masih sempat mengingat ummatnya…
--------
Rindu aku padamu, Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu, Ya Rasul
Serasa dikau disini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya surga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja…

-Mks, 5/2/2012 (12 Rabiul Awal 1433 H)-
*Seandainya tulisan ini bisa dijadikan kado untuk Rasulullah saw…