Minggu, 16 Januari 2011

AHLI SURGA, AHLI NERAKA DAN KETETAPAN ALLAH (SEBUAH PERSEPSI)




Kisah 1:
Alkisah, ada seorang perempuan yang selama hidupnya hanya dihabiskan hanya untuk bermaksiat. Baginya, tiada hari tanpa maksiat. Ya. Perempuan ini adalah pelacur. Mungkin pelacur kelas mahal di zamannya. Mungkin bayaran yang ia dapat telah membuatnya menyelam dalam lautan harta. Mungkin saja.
Hingga suatu hari, saat ia pulang dari “kantor”nya, ia melihat seekor anjing yang teramat kelaparan di tengah kota. Wajah anjing terlihat sangat memelas dan sangat menderita. Dan perempuan pelacur ini tak tega. Ia iba pada anjing itu. Lalu, tanpa ba-bi-bu, pelacur ini memberikan roti dan susu pada hewan malang itu. Sambil mengelus manja anjing itu, pelacur tersenyum. Mungkin ia merasa senang telah melakukan satu kebaikan di hari itu.
Dan, tahukah Anda? Di akhirat, perempuan itu mendapat tempat yang indah di sisiNya. Ya. Ia masuk surga.

Kisah 2:
Di sebuah rumah berlantai dua, tinggallah dua orang lelaki bersaudara yang sangat berbeda kepribadian. Yang satu ahli ibadah. Satunya lagi ahli maksiat. Ahli ibadah berkuasa penuh pada lantai dua. Sedang si ahli maksiat bersenang-senang di lantai dasar. Tidak dipungkiri, mereka sangatlah berbeda. Sementara sang ahli ibadah bermunajat pada Tuhannya sepanjang hari, disaat yang sama si ahli maksiat menjalani hari-harinya dengan penuh dosa.
Dan suatu saat. Mereka tiba pada titik jenuh masing-masing. Ahli ibadah merasa bahwa ibadah yang dilakukannya sudah cukup. Maka ia berniat untuk mencoba apa yang dilakukan saudaranya hanya sekali saja . mungkin sejadar coba-coba, bagaimana rasanya melakukan sebuah dosa. Dan ia berjalan menuju tangga, hendak ke lantai satu, tempat penuh maksiat bagi saudaranya.
Disaat yang sama, si ahli maksiat merenung. Ia merasa lelah dengan dosa-dosanya. Ia merasa kotor. Seolah dia bukanlah manusia, melainkan kubangan lumpur. Ia berniat untuk melakukan taubat. Ia sungguh-sungguh. Lalu dengan langkah mantap, ia menuju tempat sang ahli ibadah untuk meraup pahala yang dijanjikan Tuhannya. Dan saat ia sedang khusyu’ bersama ibadahnya, sesuatu terjadi. Gempa yang lumayan besar melanda rumahnya.

Dua ironi. Sang ahli ibadah meninggal dipeluk maksiat. Si ahli maksiat justru menghadap malaikat maut dengan senyum terindahnya.

Dua ironi. Ahli ibadah akhirnya masuk neraka. Ahli maksiat justru masuk surga.
Nah, apa yang bisa kita petik dari kisah di atas?


Jika kita berpikir, mungkin akan terlintas seperti ini: bahwa Allah, Tuhan kita, sangatlah tidak adil (na’udzubillah, tolong disingkirkan pikiran seperti itu). Jika diibaratkan sebagai seorang manusia, bukankah itu ciri seseorang yang plin-plan? Bukankah itu berarti ada dualisme? Bagaimana bisa seorang pelacur yang selama hidupnya hanya bermandikan maksiat bisa masuk surga hanya karena memberi makan seekor anjing? Atau, bagaimana mungkin ahli ibadah yang seluruh hidupnya hanya mengabdi sebagai hamba yang baik justru masuk neraka?


Saya hanya bisa mengambil kesimpulan sebatas pengetahuan saya. Bahwa mungkin Allah hendak membiarkan kita bebas untuk mengambil hikmah atas kisah-kisah tersebut. Bahwa kita sebagai manusia hendaknya selalu melakukan sepanjang hidup kita, sepanjang kita bisa. Ya. Selalu berbuat kebaikan. Dan jangan sampai salah mengambil makna dari kisah di atas. Jangan sampai hidup kita hanya dipenuhi dosa lalu bertobat di ujung hidup yang kita tidak tahu kapan itu terjadi, hanya gara-gara membaca kisah pelacur itu. Jangan sampai kita seperti si ahli ibadah yang bosan melakukan kebaikan lalu akhirnya masuk neraka. Na’udzubillahi min dzalik! Dan disinilah dibutuhkan keistiqomahan kita.


Satu lagi kesimpulan yang bisa saya ambil. Bahwa urusan pahala dan dosa, itu hanya Allah YangTahu. Kita sebagai makhluknya memiliki batas pengetahuan untuk itu. Hanya Allah YangMenentukan, akan kemana hambaNya menetap di akhirat nanti. Surga? Atau neraka?
Wallahu a’lam…


PS: Tulisan ini sebenarnya adalah bentuk kompensasi atas pertanyaan-pertanyaan yang seenaknya muncul di kepala saya. Dan sampai sekarang, saya masih mencari jawaban mana yang paling tepat mengenai hal ini. Karena pengetahuan saya masih terbatas. Bagi teman-teman yang lebih paham, sangat diharapkan partisipasinya berupa pendapat/dalil-dalil yang bisa mencerahkan. Saya akan sangat berterimakasih. Semoga Allah membalas dengan kebaikan. Dan mari bersama-sama hidup untuk kebaikan. Wassalam.

Jumat, 14 Januari 2011

BELUM ADA JUDUL



Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Di gilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah . . . . . lelap

Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai sa'at kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah . . . . . . . kau

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara . . .
Di hati . . . . . .

Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga sa'at kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku sobat

*untuk para sahabat, yang seperti pelangi, sangat indah*

Sabtu, 25 Desember 2010

MALAM INI



Ini bukan tentang memiliki dan kehilangan. Bukan tentang perasaanku atau perasaanmu. Bukan tentang ya atau tidak.

Hidupku sampai detik ini memberikan banyak pelajaran, sangat banyak! Berupa harmoni antara kesenangan dan kesedihan (meski sepertinya, akhir-akhir ini lebih banyak luka). Aku tak tahu mengapa begini. Hidupku berbeda dengan hidupmu.
Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keadaan melarat. Terbiasa dengan kesederhanaan yang kadang dipaksakan untuk usia-usia hijau. Ayah dan ibu selalu mengajarkan aku dan saudara-saudaraku untuk selalu besar hati dengan keadaan itu (padahal, yang aku tahu, ukuran hati hanya sebesar telapak tangan). Bagaimana dengan hidupmu? Bukankah selalu mewah?
Aku tak ingin merendah, tapi ini kenyataan!
Setelah semua kulewati beberapa bulan ini, aku merasakan sesuatu:

LEMAH! AKU SANGAT LEMAH!
Dan, maaf…
Aku, saat ini tak bisa mengatakan apa-apa padamu, juga pada mereka tentang perasaanku. Karena yang kurasakan hanya perih yang tak tahu ujungnya sampai kapan. *mungkin memang aku hampir mati*

Sebelum itu terjadi, aku hanya butuh seseorang yang bisa menguatkanku. Bukan dengan apa-apa. Dengan iman. Bawalah keimanan padaku. Hanya dengan itu aku bisa menahan sakit. Hanya dengan itu, aku bisa lebih kuat.

Seandainya, itu kamu…