Di sebuah toko perhiasan. Ada seorang pemuda datang mencari cincin yang terbuat dari emas. Ia mulai mencari si penjual benda yang dimaksud. Pemuda mengarahkan pandangan pada deretan perhiasan. Ia menunjuk satu. Sepertinya ia sangat tertarik. Di mulutnya mengucap kagum. Lalu, bertanya ia kepada si penjual tentang harga cincin itu.
Si penjual berkata bahwa cincin itu tidak dijual karena harganya terlalu mahal. Harganya melangit itu mengakibatkan tak seorang pun bisa menggapai angka itu. Pemuda
tak percaya. Menurutnya, ia sangat bisa membeli cincin itu. Ia pergi dari toko perhiasan, menyusun strategi, bagaimana memenangi tawar-menawar dengan penjual cincin itu. Di hari berikutnya, saat ia kembali. Entah apa yang pemuda itu lakukan. Cincin itu berhasil ia miliki. Seharusnya, cincin itu tak bisa ia beli! Ternyata, cincin itu dihargai hanya dengan seratus rupiah! Hei, ada apa?
***
Menurutmu, pada siapa lagi aku harus berbagi? Tentu bukan padamu.
Hari ini aku datang lagi. Menawarkan senyum, meski tak selalu mendapat balasan. Aku tak sakit hati karena aku paham. Entah kau memaknai apa ini semua.
Siapa yang salah?
Kau menyakitiku lagi. Bukankah semua ini seharusnya hanya kita yang tahu? Tapi ternyata, kau terlalu pembual. Kau ranum di hadapanku, tapi busuk di belakang. Kau mengatakan pada mereka bahwa tidak terjadi apa-apa. Padaku, kau menunjukkan bahwa ada “apa-apa”. Munafik! Jahat! Aku tidak pernah menyangka bahwa kau seperti itu.
Kenapa kau menyakitiku? Bukankah kita telah sepakat dengan semuanya?
Ada apa denganmu? Aku melihat dirimu menjelma iblis yang sangat pandai menipu manusia.
Sepertinya, mulai sekarang, aku akan banyak melakukan “apa-apa”
Tidak menanyakan apa-apa.
Tidak mengabari apa-apa.
Tidak menerima apa-apa.
Tidak memberi apa-apa.
Tidak melakukan apa-apa.
(Mudah-mudahan kau tidak apa-apa dengan beberapa “apa-apa” ini)
***
Mereka menanyakanmu. Akhir-akhir ini, aku sering mendengar mereka menyebut namamu di depanku. Menanyakan kabarmu padaku, atau sedikit berbasa-basi tentangmu, atau bercerita hal-hal lucu dan konyol mengenaimu. Mereka berlomba-lomba. Seolah-olah, mereka ingin menampakkan bahwa mereka juga istimewa bagimu. Aneh! Kenapa harus padaku? Mereka menganggap seolah aku harus tahu semua tentangmu. Hei, aku tak pernah merasa harus tahu. Untuk apa? Bukankah kita tak punya hubungan apa-apa? Kenapa kita seperti tak bisa dipisahkan di hadapan mereka?
***
Seorang gadis berjilbab datang. Gadis ini pernah hampir membunuhku dengan kata-kata di balik senyumnya. Aku pernah dibuatnya takut dengan tatapannya. Nyaliku ciut! Aku merasa hina di depannya. Aku seperti ingin mati. Kali ini, dia datang menanyakanmu, seperti yang mereka lakukan. Alih-alih, ia menanyakan apa yang terjadi antara kita. Menurutnya, aku dan kau: ANEH! Sama-sama aneh!
Harus kujawab apa untuk pertanyaan ini? Aku ingin meminta bantuanmu. Tapi, aku tak yakin. Kau pasti tidak akan menyelesaikan masalah ini. Buktinya? Kau lebih dulu ber-gosip di sejagad duniamu tentang kita. Sepertinya, kau juga mulai doyan memakan bangkai. Aku belum mati, tapi kau sudah mulai mengoyak-koyak bakal bangkaiku. Sial!
***
Apa yang kau maksud? Apa yang kau mau? Sepertinya, kau ingin aku pergi. Tapi, aku melihat tindakan itu sebagai kelemahanmu menjauhiku.
Pesanku: Pelan-pelan saja. Dunia belum berakhir.
***
Maaf! Sepertinya aku harus menjauhimu sebelum kemarahanku memuncak. Jika ingin mencariku, kau tahu tempatnya. Atau, datang saja ke rumah. Aku akan lebih sering berada disana, menghabiskan mimpiku.
***
Aku. Kau. Dia. Tiga kata ini membuatku sakit kepala. Pusing! Kita harus sama-sama mengakhiri ini semua. Karena kita yang sama-sama telah memulai. Sebelum kita sama-sama masuk neraka!
###
Kau!
Aku harus jujur.
Aku menyayangimu.
Sungguh!
Ez. Teras samping Baruga, sesaat setelah menerima uang satu juta, 22 Maret 2010
(Prolognya nggak nyambung!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar