Rabu, 19 Januari 2011
Surat cinta untuk Lelaki Ketigaku*
Aku lupa kapan mengenalmu.
Aku bahkan tak mengetahui bahwa kau telah lahir ke dunia, karena saat itu aku masih berumur tiga tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku mungkin merasakan kecemburuan saat kau hadir di tengah-tengah kami. Ah, aku lupa perasaan itu…
Sayang…
Apa kabarmu kini?
Aku selalu mendoakanmu agar senantiasa bahagia, sehat dan selalu tersenyum untuk siapapun yang menyayangimu…
Ah, kenapa aku harus menangis sekarang? Sungguh, aku tak sanggup menahan tangisan ini.
Aku hanya tiba-tiba teringat dengan masa-masa yang telah kita lalui di Rumah Biru kita.
Kau adalah bungsu kami yang selalu cerewet, bersuara dan bertubuh super.
Maafkan aku, Sayang…
Aku tidak bisa menjadi pecinta yang baik untukmu. Selama ini aku hanya bisa membuatmu jengkel dengan sundulan-sundulan kepala untukmu. Aku hanya bisa membuatmu menunggu untuk segala kebutuhan yang tidak bisa kau sanggupi. Aku tak bisa bersabar akan kekuranganmu. Aku bukan kakak yang baik, kan?
Tapi, aku mencintaimu, Sayang…
Aku menyayangimu…
Kau mungkin tak pernah tahu bahwa hampir setiap malam aku menangisi keadaan ini: tentang dirimu. Kau mungkin tak pernah tahu bahwa aku selalu mendoakanmu. Bahkan mungkin Tuhan lelah mendengar doaku, bahwa aku ingin melihatmu melangkah lagi…
Bahwa suatu saat, aku sangat ingin mengajakmu kemanapun, di tempat yang tak pernah kau kunjungi. Bahwa aku sangat ingin membawamu pada dokter super ahli yang bisa membuatmu berjalan. Bahwa aku sangat ingin mengetahui seberapa tinggi dirimu (ah, mungkin aku jauh lebih pendek darimu…). Bahwa aku sangat ingin membahagiakanmu di sisa hidup kita.
Ah, aku sebenarnya tak pernah menginginkan ini terjadi. Meski aku selalu takut akan terjadi secepat ini. Aku masih menangis, Sayang. Maaf, aku sungguh tak menyanggupi peristiwa ini.
Kau dan kursi rodamu. Kapan aku menemukannya lagi? Kau tak akan ada lagi di Rumah Biru kita. Tak akan kudengar lagi suaramu. Tak akan kulihat lagi wajah cakepmu yang kadang menjengkelkan.
Aku tahu, aku harus kuat. Ayah dan ibu, juga Abang harus begitu. Kami akan kesepian, Sayang. Tanpamu. Rumah kita hampa tanpa teriakanmu. Apalagi ayah dan ibu. Jika aku harus berada di pulau yang berbeda, maka Abang ada di kota yang berbeda dari rumah tempat aku dan kau tumbuh. Mereka akan tinggal berdua. Tanpa anak mereka. Ah, aku tiba-tiba sangat ingin pulang. Kembali ke rumah kita.
Suara adzan sore ini membawa tangis untukku. Ya.
Entah kenapa. Ayah seolah tak ingin mengabarkan langsung padaku. Apakah karena aku (atau ayah yang sebenarnya) tak sanggup? Ah, kami semua tak sanggup, Sayang.
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan…”
Firasat, tanda atau bukan. QS Al-Ankabuut ayat 57 yang kubaca sehabis subuh tadi seolah mengingatkanku pada sebuah nyawa. Nyawaku. Aku seakan merasakan mati menghampiriku. Mungkin karena kau adalah nyawaku, rasa itu me-nyata ketika mendengar berita ini.
Mereka bilang, ini yang terbaik untukmu. Ya. Mungkin seharusnya aku tak menangis. Karena ini yang terbaik untukmu. Aku seharusnya tersenyum. Karena kau telah lelah duduk di kursi roda itu. Karena kau telah lelah menopang tubuhmu yang kian melemah. Karena tanganmu telah lelah menggapai mimpi-mimpimu, juga mimpiku. Karena kakimu telah lelah terdiam, tanpa langkah. Ini yang terbaik untukmu, karena kau akan terbebas dari semua kelelahan itu. Selama hidupmu.
Entah, suara adzan sore ini meredam tangisku yang kian tertahan. Tangis tanpa suara.
Dulu. Hatiku selalu menangis ketika melihat mereka menertawakan langkahmu yang terseret-seret. Selalu, Sayang. Mengapa mereka tak pernah tahu?
Ah, aku sebenarnya tak sekuat yang mereka kira. Tak ada yang tahu, selama ini, sejak kau begitu, aku adalah perempuan lemah, yang jika mendengarmu menderita, maka tak ada obat lain selain tangis. Sayang, aku adalah kakakmu yang cengeng…
Kini, biarkan semua orang tahu bahwa aku menyayangimu. Meski kita tak pernah diajari untuk mengungkap rasa sayang dengan kata. Kali ini aku mengatakannya. Semoga kau mendengar, Sayang.
Saat aku pulang dua bulan lalu. Kudapati tubuhmu tak setegap dulu. Wajah, kaki, dan tanganmu tak berisi seperti saat kutinggalkan.
Kau mengajari kami arti kesabaran dengan melayanimu, meski kau mungkin merasakan bahwa kami tak pernah memiliki kesabaran untukmu. Maafkan kami, Sayang.
Dulu, sendiri adalah saat ku menikmati hidup. Kini, hal itu menjadi sangat menakutkan. Karena aku mengingatmu…
Aku selalu merindukanmu…
Adikku…
Aku menyayangimu…
Kelak, aku akan melihatmu melangkah lagi. Di surga…
*Bungsu kami, Arif Hidayatullah
(23 September 1991 – 21 November 2010)
Aku sepertinya ingin tidur saja. Melupakan kejadian ini. Menganggapnya tak pernah ada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Aku pernah merasakan kehilangan yang sama, meski saat itu usiaku masih dapat dihitung oleh tangan, seorang laki-laki mungil pergi meninggalkan kami semua, disaat cinta mulai mekar... Ah, kak tidak ada yang lebih perih dari pada perpisahan, Aku tidak suka perpisahan, tapi aku berharap kita bisa merelakan dengan hati, seperti kita mencintai dengan hati,,,
Posting Komentar