Selasa, 30 September 2008
munafiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkk........................!!!!!
munafiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkk........................!!!!!
arrrrrrrrrrrrrrggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhh..............................!!
Rabu, 17 September 2008
About Yahudi 'n Palestina
SEJARAH YAHUDI
Seperti telah ditunjukkan di awal, semua tanah Palestina, khususnya Yerusalem, adalah suci untuk orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Alasannya adalah karena sebagian besar nabi-nabi Allah yang diutus untuk memperingatkan manusia menghabiskan sebagian atau seluruh kehidupannya di tanah ini.
Menurut studi sejarah yang didasarkan atas penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, Nabi Ibrahim, putranya, dan sejumlah kecil manusia yang mengikutinya pertama kali pindah ke Palestina, yang dikenal kemudian sebagai Kanaan, pada abad kesembilan belas sebelum Masehi. Tafsir Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot). Al-Qur'an menyebutkan perpindahan ini sebagai berikut:
Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. (Qur'an, 21:69-71)
Daerah ini, yang digambarkan sebagai “tanah yang telah Kami berkati,” diterangkan dalam berbagai keterangan Al-Qur'an yang mengacu kepada tanah Palestina.
Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya Hajar dan putranya Isma’il (Ishmael) di Mekah dan sekitarnya, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al-Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al-Qur'an bertempat di lembah Mekah.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qur'an, 14:37)
Akan tetapi, putra Ishaq Ya’kub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’kub juga dikenang sebagai “Bani Israil.”) Setelah dibebaskannya Yusuf dari penjara dan penunjukan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir.
Suatu kali, keadaan mereka berubah setelah berlalunya waktu, dan Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah menjadikan Musa (Moses) nabi-Nya selama masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Ia pergi ke Firaun, memintanya untuk meninggalkan keyakinan kafirnya dan menyerahkan diri kepada Allah, dan membebaskan Bani Israil yang disebut juga orang-orang Israel. Namun Firaun seorang tiran yang kejam dan bengis. Ia memperbudak Bani Israil, mempekerjakan mereka hingga hampir mati, dan kemudian memerintahkan dibunuhnya anak-anak lelaki. Meneruskan kekejamannya, ia memberi tanggapan penuh kebencian kepada Musa. Untuk mencegah pengikut-pengikutnya, yang sebenarnya adalah tukang-tukang sihirnya dari mempercayai Musa, ia mengancam memenggal tangan dan kakinya secara bersilangan.
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (Qur'an, 5:21)
Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israil meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qur'an, 48:26) |
Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh berbagai orang-orang penyembah berhala, dan bangsa Israel, yang juga dikenal sebagai Yahudi pada saat itu, diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh Kerajaaan Romawi, Nabi ‘Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya, dan hidup menurut agama Allah. Sangat sedikit orang Yahudi yang meyakininya; sebagian besar Bani Israel mengingkarinya. Dan, seperti disebutkan Al-Qur'an, mereka itu yang: ": telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Qur'an, 5:78) Setelah berlalunya waktu, Allah mempertemukan orang-orang Yahudi dengan bangsa Romawi, yang mengusir mereka semua keluar dari Palestina.
Tujuan penjelasan yang panjang lebar ini adalah untuk menunjukkan bahwa pendapat dasar Zionis bahwa “Palestina adalah tanah Allah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi” tidaklah benar. Pokok permasalahan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam bab tentang Zionisme.
Zionisme menerjemahkan pandangan tentang “orang-orang terpilih” dan “tanah terjanji” dari sudut pandang kebangsaannya. Menurut pernyataan ini, setiap orang yang berasal dari Yahudi itu “terpilih” dan memiliki “tanah terjanji.” Padahal, ras tidak ada nilainya dalam pandangan Allah, karena yang penting adalah ketakwaan dan keimanan seseorang. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.
Al-Qur'an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Qur'an, 3:68)
(sumber: tragedipalestina.com)
Menggapai Hidayah Melalui Kisah
Tuesday, September 16, 2008
BAGAIMANA MEMPENGARUHI DAN “MENGUBAH” ORANG LAIN
Zaman dahulu kala, Kaisar Cina sudah berusia renta dan tak mampu lagi memegang kendali pemerintahan. Beliau memiliki seorang Putra Mahkota. Hanya kepadanyalah dinasti kekuasaan dapat berlanjut, karena putra mahkota yang berumur kira-kira 12 tahun ini adalah putra tunggalnya. Namun, terdapat satu masalah. Putra mahkota menderita penyakit DM (Diabetes Mellitus). Hal itu disebabkan putra mahkota sangat menyukai gula-gula dan tidak akan pernah bisa melepas kebiasaannya tersebut. Padahal, berbagai cara sudah dilakukan oleh sang ayah untuk mengobati anaknya dan juga agar sang putra mahkota dapat menghindari makanan yang manis-manis. Sudah banyak tabib dari segala penjuru yang diundang ke istana. Kaisar yang renta ini, sudah hampir putus asa.
Beberapa hari kemudian, seorang pegawai istana memberitahukan bahwa ada seseorang yang mungkin bisa mengatasi masalah ini, karena orang ini sangat terkenal dengan kepandaian dan kerendahan hatinya.
“Siapa nama orang itu, wahai patih?”, rupanya sang Kaisar sangat penasaran.
“Namanya Imam Ghazali, Baginda”, jawab patih dengan penuh rasa hormat.
“Tolong undang dia kesini. Aku khawatir dengan nasib putra mahkota. Siapa yang akan melanjutkan kerajaan ini selain dia? Aku sudah terlalu tua. Cuma dia harapanku satu-satunya…”.
“Baik, Baginda”.
Akhirnya, tibalah sang Imam di kerajaan yang mewah itu. Tanpa basa-basi, Kaisar langsung menceritakan tentang anaknya pada sang Imam.
“Wahai Imam, tolonglah anakku. Cuma dia harapanku. Apapun akan aku berikan padamu sebagai imbalan jika anakku sembuh”, Kaisar terlihat memelas pada Imam Ghazali.
Sang Imam terdiam. Beliau merenung. Rupanya beliau berpikir, susah juga ya masalahnya, batin sang Imam. Sementara, Kaisar yang menyaksikannya, terlihat heran dan makin putus asa. Akhirnya, dalam waktu yang lumayan lama, Imam Ghazali berkata,
“Izinkan saya membawa serta putra mahkota di kediaman saya. Beri saya waktu sebulan untuk membawanya kembali ke istana. Insya Allah, kebiasaannya akan hilang. Bagaimana?”.
Kaisar nampak ragu. Namun, karena harapan untuk kesembuhan anaknya demikian besar, juga demi melihat kemantapan wajah sang Imam, Kaisar menyetujui hal tersebut.
Singkat cerita, kembalilah putra mahkota ke istana bersama Imam Ghazali. Kaisar sangat bahagia menyambut kedatangan buah hatinya. Dipeluknya anak semata wayangnya. Dalam pelukan sang ayah, putra mahkota mengucapkan sesuatu.
“Ayahanda, ananda janji tidak akan makan gula-gula lagi”, ujarnya mantap. Tentu saja Kaisar terkejut mendengar kata-kata anaknya.
“Benarkah itu, wahai Imam?”, Tanya Kaisar kepada Imam Ghazali yang sejak tadi berada di samping putra mahkota. Sang Imam hanya tersenyum.
Dengan sedikit tidak percaya, Kaisar memanggil seorang dayang dan menyuruhnya mengambil berbagai macam bentuk gula-gula berwarna-warni yang sangat enak, yang juga merupakan makanan kesukaan putra mahkota. Gula-gula tersebut disodorkan di depan putra mahkota. Namun, anak itu dengan tegas menolak semua pemberian ayahnya. Kaisar heran.
“Wahai Imam, sebenarnya apa yang telah engkau lakukan pada anakku? Adakah doa-doa khusus yang kau berikan padanya? Jika benar, ajarkanlah padaku dan pada semua orang di istana ini agar tidak ada orang yang terkena penyakit yang sama di negaraku ini”, ujar Kaisar sedikit mengharap pada Imam Ghazali. Lagi-lagi, sang Imam tersenyum. Dengan bijak, beliau berkata,
“Tidak ada doa atau mantra yang saya berikan pada putra mahkota. Yang pertama yang saya lakukan adalah saya tidak boleh memakan gula-gula selama saya bersamanya. Kemudian, saya menghampirinya. Saya ajak dia duduk di hadapanku, menatap matanya sambil mengusap kepalanya dengan penuh rasa sayang dan berkata, “Anak yang baik, jangan makan gula-gula lagi ya”. Lalu, putra mahkota mengangguk dan berjanji untuk tidak makan gula-gula lagi. Hanya itu yang saya lakukan, Baginda”.
Lagi-lagi, Kaisar terkejut dan heran dengan apa yang terjadi. Dengan hal sesederhana itu, Imam Ghazali dapat mempengaruhi dan mengubah kebiasaan anaknya. Rupanya, Kaisar tidak tahu bahwa dibalik semua itu ternyata sang Imam juga sangat menyukai gula-gula dan berusaha untuk menghindari kebiasaan itu agar bisa memberikan contoh pada putra mahkota.
***
Seorang ikhwan, –dia adalah mas’ul dalam organisasi dakwah di kampusnya- terlihat marah dan putus asa saat mendapati anggota organisasinya tidak memenuhi janji syuro hari itu. Ia sebenarnya sudah berusaha untuk khusnuzan pada ikhwah yang lain, namun karena terlalu lama menunggu mereka dan mungkin juga karena syaitan sedang menguasai hatinya, kemarahannya sudah tak mampu dibendung lagi. Ia beranggapan, teman-temannya sudah tidak ada komitmen lagi dalam organisasi ini. Ia mulai jengkel. Siapa yang patut disalahkan dalam masalah ini? Sempat terpikir olehnya untuk mundur dari posisi dan jabatannya. Dalam hati ia berkata, untuk apa aku ada disini jika tidak “dianggap”? Sami’na wa atho’na sudah tak terdengung lagi dalam hati personil organisasinya. Lalu, siapa yang mau disalahkan?
Sebenarnya, bila kita lebih jeli lagi, kisah Imam Ghazali di atas sangat menginspirasi kita, terutama bagi seseorang yang memiliki amanah sebagai pemimpin seperti seorang ikhwan tersebut. Emang, ada hubungannya?
Ya! Dalam kisah sang Imam dan putra mahkota, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa jika kita ingin mengubah dan mengajak orang lain berbuat baik, terlebih dahulu dan jauh sebelumnya, kita harus mengubah diri kita sendiri. Kita ingin mengajak orang lain membuang sampah di tempatnya, maka seharusnya kita juga membuang sampah di tempat sampah. Kita ingin mengajak orang orang di sekitar kita untuk rajin shalat tepat waktu, maka kita juga harus rajin shalat tepat waktu. Kita ingin mengajak orang lain berbuat baik, maka kita harus senantiasa menghiasi diri dan akhlak kita dengan cahaya kebaikan. Itulah esensi dakwah. Dakwah, yang menurut bahasa berarti mengajak. Mengajak dalam berbuat kebaikan. Fastabiqul khairat!
Sebelum kita memutuskan untuk terjun dalam dunia dakwah, sepantasnyalah kita mempersiapkan diri untuk menjadi teladan (uswah) bagi orang lain, terutama bagi orang yang ingin kita dakwahi, objek dakwah kita. Lihatlah Imam Ghazali. Sebelum beliau mengajak sang putra mahkota untuk berhenti dari kebiasaannya memakan gula-gula, beliau juga harus rela meninggalkan kebiasaannya memakan gula-gula. Dan akhirnya usaha beliau berhasil. Dengan perubahan itu, akan membawa putra mahkota sebagai raja yang tangguh dan sehat nantinya. Tanpa harus dihantui oleh penyakit yang dideritanya. Pikirkan! Cuma karena berhenti makan gula-gula, kekuasaan pemerintahan dinasti Cina tersebut dapat berlanjut!
Terkait dengan sang ikhwan, sebagai pemimpin lebih-lebih harus menunjukkan keteladanan. Untuk kasus di atas, mungkin dia sudah berusaha menjadi teladan dalam hal ketepatan waktu. Tapi, masih ada hal lain yang berhubungan dan berkaitan dengan itu semua. Siapa tahu, masih ada sifat dari sang pemimpin yang tidak disukai oleh ‘anak buah’nya. Karena sifat yang satu dapat mempengaruhi sifat yang lain. Karena satu sifat buruk, dapat men’jelek’kan sifat baik yang lain. Misalnya saja, sang pemimpin itu bersifat otoriter, sok pintar, angkuh, tidak menghargai pendapat orang lain, menganggap dia adalah yang paling tahu segalanya sehingga memandang orang lain dengan sebelah mata (Naudzubillah! Semoga tidak ada aktivis dakwah yang seperti itu) atau sifat-sifat buruk yang lain. Memang sangat sepele, tapi bagi seorang pemimpin, hal tersebut sangat berpengaruh bagi image-nya. Bagi orang yang peka terhadap sifat-sifat tersebut, mungkin akan muak dengan sosok pemimpin seperti itu. Dia akan beranggapan bahwa pemimpinnya adalah seseorang yang bermuka dua. Dia bisa saja bosan dipimpin oleh orang seperti itu. Dan, akhirnya lama-lama, mundur teratur dari barisan dakwah!
Seyogyanya, seorang pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan yang baik (uswatun hasanah, gelar yang disandang Rasul kita tercinta) bagi bawahannya. Tidak perlu menjadi pemimpin sesempurna Muhammad Saw, karena memang kita tidak akan pernah menyamai beliau. Kita hanya harus terus berusaha untuk meminimalisir sifat-sifat buruk yang ada dalam diri, membuangnya jauh-jauh dari kehidupan kita. Berusaha untuk tidak jadi pemimpin yang angkuh/otoriter, menerima pendapat orang lain, siqoh pada bawahannya.
Ikhlas, juga sangat penting. Ikhlas menerima amanah yang diberikan kepada kita, karena dengan diberikannya amanah berarti orang-orang percaya bahwa kita dapat menjadi pemimpin mereka. Jangan pernah menganggapnya sebagai beban, sekalipun. Jika ada rasa tidak ikhlas, sedikit saja, jalan sebagai pemimpin akan disesaki batu cadas. Pun istiqomah, inilah yang paling susah untuk dilakukan dan diwujudkan. Fastaqim, ya mujahiddin! Fastaqim!
Akhirul qalam, semoga setiap kita dapat menjadi khairul imam (pemimpin yang baik), yang dapat mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, agar hidup bisa menjadi lebih baik. Tidak perlu terlalu muluk-muluk, perubahan yang besar datang dari perubahan yang kecil.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kelak kita akan menjadi jundullah yang tetap istiqomah di jalan dakwah tanpa ada keraguan, semoga! Karena ikhwafillah, dakwah adalah jalan terindah… Allahu Akbar! ^_^