Tuesday, September 16, 2008
BAGAIMANA MEMPENGARUHI DAN “MENGUBAH” ORANG LAIN
Zaman dahulu kala, Kaisar Cina sudah berusia renta dan tak mampu lagi memegang kendali pemerintahan. Beliau memiliki seorang Putra Mahkota. Hanya kepadanyalah dinasti kekuasaan dapat berlanjut, karena putra mahkota yang berumur kira-kira 12 tahun ini adalah putra tunggalnya. Namun, terdapat satu masalah. Putra mahkota menderita penyakit DM (Diabetes Mellitus). Hal itu disebabkan putra mahkota sangat menyukai gula-gula dan tidak akan pernah bisa melepas kebiasaannya tersebut. Padahal, berbagai cara sudah dilakukan oleh sang ayah untuk mengobati anaknya dan juga agar sang putra mahkota dapat menghindari makanan yang manis-manis. Sudah banyak tabib dari segala penjuru yang diundang ke istana. Kaisar yang renta ini, sudah hampir putus asa.
Beberapa hari kemudian, seorang pegawai istana memberitahukan bahwa ada seseorang yang mungkin bisa mengatasi masalah ini, karena orang ini sangat terkenal dengan kepandaian dan kerendahan hatinya.
“Siapa nama orang itu, wahai patih?”, rupanya sang Kaisar sangat penasaran.
“Namanya Imam Ghazali, Baginda”, jawab patih dengan penuh rasa hormat.
“Tolong undang dia kesini. Aku khawatir dengan nasib putra mahkota. Siapa yang akan melanjutkan kerajaan ini selain dia? Aku sudah terlalu tua. Cuma dia harapanku satu-satunya…”.
“Baik, Baginda”.
Akhirnya, tibalah sang Imam di kerajaan yang mewah itu. Tanpa basa-basi, Kaisar langsung menceritakan tentang anaknya pada sang Imam.
“Wahai Imam, tolonglah anakku. Cuma dia harapanku. Apapun akan aku berikan padamu sebagai imbalan jika anakku sembuh”, Kaisar terlihat memelas pada Imam Ghazali.
Sang Imam terdiam. Beliau merenung. Rupanya beliau berpikir, susah juga ya masalahnya, batin sang Imam. Sementara, Kaisar yang menyaksikannya, terlihat heran dan makin putus asa. Akhirnya, dalam waktu yang lumayan lama, Imam Ghazali berkata,
“Izinkan saya membawa serta putra mahkota di kediaman saya. Beri saya waktu sebulan untuk membawanya kembali ke istana. Insya Allah, kebiasaannya akan hilang. Bagaimana?”.
Kaisar nampak ragu. Namun, karena harapan untuk kesembuhan anaknya demikian besar, juga demi melihat kemantapan wajah sang Imam, Kaisar menyetujui hal tersebut.
Singkat cerita, kembalilah putra mahkota ke istana bersama Imam Ghazali. Kaisar sangat bahagia menyambut kedatangan buah hatinya. Dipeluknya anak semata wayangnya. Dalam pelukan sang ayah, putra mahkota mengucapkan sesuatu.
“Ayahanda, ananda janji tidak akan makan gula-gula lagi”, ujarnya mantap. Tentu saja Kaisar terkejut mendengar kata-kata anaknya.
“Benarkah itu, wahai Imam?”, Tanya Kaisar kepada Imam Ghazali yang sejak tadi berada di samping putra mahkota. Sang Imam hanya tersenyum.
Dengan sedikit tidak percaya, Kaisar memanggil seorang dayang dan menyuruhnya mengambil berbagai macam bentuk gula-gula berwarna-warni yang sangat enak, yang juga merupakan makanan kesukaan putra mahkota. Gula-gula tersebut disodorkan di depan putra mahkota. Namun, anak itu dengan tegas menolak semua pemberian ayahnya. Kaisar heran.
“Wahai Imam, sebenarnya apa yang telah engkau lakukan pada anakku? Adakah doa-doa khusus yang kau berikan padanya? Jika benar, ajarkanlah padaku dan pada semua orang di istana ini agar tidak ada orang yang terkena penyakit yang sama di negaraku ini”, ujar Kaisar sedikit mengharap pada Imam Ghazali. Lagi-lagi, sang Imam tersenyum. Dengan bijak, beliau berkata,
“Tidak ada doa atau mantra yang saya berikan pada putra mahkota. Yang pertama yang saya lakukan adalah saya tidak boleh memakan gula-gula selama saya bersamanya. Kemudian, saya menghampirinya. Saya ajak dia duduk di hadapanku, menatap matanya sambil mengusap kepalanya dengan penuh rasa sayang dan berkata, “Anak yang baik, jangan makan gula-gula lagi ya”. Lalu, putra mahkota mengangguk dan berjanji untuk tidak makan gula-gula lagi. Hanya itu yang saya lakukan, Baginda”.
Lagi-lagi, Kaisar terkejut dan heran dengan apa yang terjadi. Dengan hal sesederhana itu, Imam Ghazali dapat mempengaruhi dan mengubah kebiasaan anaknya. Rupanya, Kaisar tidak tahu bahwa dibalik semua itu ternyata sang Imam juga sangat menyukai gula-gula dan berusaha untuk menghindari kebiasaan itu agar bisa memberikan contoh pada putra mahkota.
***
Seorang ikhwan, –dia adalah mas’ul dalam organisasi dakwah di kampusnya- terlihat marah dan putus asa saat mendapati anggota organisasinya tidak memenuhi janji syuro hari itu. Ia sebenarnya sudah berusaha untuk khusnuzan pada ikhwah yang lain, namun karena terlalu lama menunggu mereka dan mungkin juga karena syaitan sedang menguasai hatinya, kemarahannya sudah tak mampu dibendung lagi. Ia beranggapan, teman-temannya sudah tidak ada komitmen lagi dalam organisasi ini. Ia mulai jengkel. Siapa yang patut disalahkan dalam masalah ini? Sempat terpikir olehnya untuk mundur dari posisi dan jabatannya. Dalam hati ia berkata, untuk apa aku ada disini jika tidak “dianggap”? Sami’na wa atho’na sudah tak terdengung lagi dalam hati personil organisasinya. Lalu, siapa yang mau disalahkan?
Sebenarnya, bila kita lebih jeli lagi, kisah Imam Ghazali di atas sangat menginspirasi kita, terutama bagi seseorang yang memiliki amanah sebagai pemimpin seperti seorang ikhwan tersebut. Emang, ada hubungannya?
Ya! Dalam kisah sang Imam dan putra mahkota, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa jika kita ingin mengubah dan mengajak orang lain berbuat baik, terlebih dahulu dan jauh sebelumnya, kita harus mengubah diri kita sendiri. Kita ingin mengajak orang lain membuang sampah di tempatnya, maka seharusnya kita juga membuang sampah di tempat sampah. Kita ingin mengajak orang orang di sekitar kita untuk rajin shalat tepat waktu, maka kita juga harus rajin shalat tepat waktu. Kita ingin mengajak orang lain berbuat baik, maka kita harus senantiasa menghiasi diri dan akhlak kita dengan cahaya kebaikan. Itulah esensi dakwah. Dakwah, yang menurut bahasa berarti mengajak. Mengajak dalam berbuat kebaikan. Fastabiqul khairat!
Sebelum kita memutuskan untuk terjun dalam dunia dakwah, sepantasnyalah kita mempersiapkan diri untuk menjadi teladan (uswah) bagi orang lain, terutama bagi orang yang ingin kita dakwahi, objek dakwah kita. Lihatlah Imam Ghazali. Sebelum beliau mengajak sang putra mahkota untuk berhenti dari kebiasaannya memakan gula-gula, beliau juga harus rela meninggalkan kebiasaannya memakan gula-gula. Dan akhirnya usaha beliau berhasil. Dengan perubahan itu, akan membawa putra mahkota sebagai raja yang tangguh dan sehat nantinya. Tanpa harus dihantui oleh penyakit yang dideritanya. Pikirkan! Cuma karena berhenti makan gula-gula, kekuasaan pemerintahan dinasti Cina tersebut dapat berlanjut!
Terkait dengan sang ikhwan, sebagai pemimpin lebih-lebih harus menunjukkan keteladanan. Untuk kasus di atas, mungkin dia sudah berusaha menjadi teladan dalam hal ketepatan waktu. Tapi, masih ada hal lain yang berhubungan dan berkaitan dengan itu semua. Siapa tahu, masih ada sifat dari sang pemimpin yang tidak disukai oleh ‘anak buah’nya. Karena sifat yang satu dapat mempengaruhi sifat yang lain. Karena satu sifat buruk, dapat men’jelek’kan sifat baik yang lain. Misalnya saja, sang pemimpin itu bersifat otoriter, sok pintar, angkuh, tidak menghargai pendapat orang lain, menganggap dia adalah yang paling tahu segalanya sehingga memandang orang lain dengan sebelah mata (Naudzubillah! Semoga tidak ada aktivis dakwah yang seperti itu) atau sifat-sifat buruk yang lain. Memang sangat sepele, tapi bagi seorang pemimpin, hal tersebut sangat berpengaruh bagi image-nya. Bagi orang yang peka terhadap sifat-sifat tersebut, mungkin akan muak dengan sosok pemimpin seperti itu. Dia akan beranggapan bahwa pemimpinnya adalah seseorang yang bermuka dua. Dia bisa saja bosan dipimpin oleh orang seperti itu. Dan, akhirnya lama-lama, mundur teratur dari barisan dakwah!
Seyogyanya, seorang pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan yang baik (uswatun hasanah, gelar yang disandang Rasul kita tercinta) bagi bawahannya. Tidak perlu menjadi pemimpin sesempurna Muhammad Saw, karena memang kita tidak akan pernah menyamai beliau. Kita hanya harus terus berusaha untuk meminimalisir sifat-sifat buruk yang ada dalam diri, membuangnya jauh-jauh dari kehidupan kita. Berusaha untuk tidak jadi pemimpin yang angkuh/otoriter, menerima pendapat orang lain, siqoh pada bawahannya.
Ikhlas, juga sangat penting. Ikhlas menerima amanah yang diberikan kepada kita, karena dengan diberikannya amanah berarti orang-orang percaya bahwa kita dapat menjadi pemimpin mereka. Jangan pernah menganggapnya sebagai beban, sekalipun. Jika ada rasa tidak ikhlas, sedikit saja, jalan sebagai pemimpin akan disesaki batu cadas. Pun istiqomah, inilah yang paling susah untuk dilakukan dan diwujudkan. Fastaqim, ya mujahiddin! Fastaqim!
Akhirul qalam, semoga setiap kita dapat menjadi khairul imam (pemimpin yang baik), yang dapat mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, agar hidup bisa menjadi lebih baik. Tidak perlu terlalu muluk-muluk, perubahan yang besar datang dari perubahan yang kecil.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kelak kita akan menjadi jundullah yang tetap istiqomah di jalan dakwah tanpa ada keraguan, semoga! Karena ikhwafillah, dakwah adalah jalan terindah… Allahu Akbar! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar