Saturday, July 05, 2008
Seorang anak memang selalu merasa bahwa kasih sayang yang ayah dan ibunya berikan masih (sangat) kurang dari yang dia harapkan. Padahal, tidak tahukah wahai sang anak, bahwa menjadi orang tua sangatlah tidak gampang? Adalah tanggung jawab besar menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya, membagi kasih dan sayang yang tidak terkesan ‘berat sebelah’ untuk putra maupun putrinya.
KEMBALI KE PANGKUAN AYAH DAN BUNDA…
Seorang anak memang selalu merasa bahwa kasih sayang yang ayah dan ibunya berikan masih (sangat) kurang dari yang dia harapkan. Padahal, tidak tahukah wahai sang anak, bahwa menjadi orang tua sangatlah tidak gampang? Adalah tanggung jawab besar menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya, membagi kasih dan sayang yang tidak terkesan ‘berat sebelah’ untuk putra maupun putrinya.
Dulu, waktu saya masih kecil, hal tersebut juga yang saya rasakan. Saat saya harus dipukuli oleh ayah karena kenakalan saya atau karena saya malas makan, saat saya harus mendapat uang jajan yang tidak sebanding dengan teman-teman yang lain (uang jajan teman saya sebanding dengan uang jajan yang diberikan oleh ayah untuk saya bagi dua dengan kakak), saat harus sarapan dengan menu seadanya (kadang sarapan berlauk krupuk), saat saya ingin membeli makanan atau mainan baru yang jarang terpenuhi, saat saya ingin memakai baju baru di Hari Raya namun tak jarang baju Lebaran tahun lalu dipakai juga pada tahun berikutnya, saat saya ingin pergi ke tempat rekreasi pada waku liburan tiba bersama teman-teman namun saya harus rela menghabiskan waktu di rumah dengan mainan anak-anak seadanya bersama kakak dan adik saya…
Pada saat itu, saya selalu merasa bahwa ayah dan ibu tidak menyayangi saya, anaknya. Bahwa mereka tidak bertanggungjawab karena telah membuatku ‘ada’ di dunia ini. Saya bahkan (kalau tidak ingat dosa) ingin mengatakan pada mereka, “Saya tidak pernah menginginkan ada di dunia ini, kenapa kalian membawaku kesini dan ikut merasakan kepahitan kehidupan kalian berdua?”
Jika mengingat itu semua, saya merasa bahwa saya adalah seorang anak yang paling durhaka pada ayah dan ibu, juga tidak mensyukuri nikmat terindah yang diberikan Allah untuk saya. Kenapa hal yang saya besar-besarkan adalah hal-hal yang membuat saya tidak bahagia dan puas menjadi anak dari ayah dan ibuku sendiri? Bukankah ayah dan ibu telah berusaha untuk mencurahkan kasih dan sayangnya yang tak terhingga untuk saya? Tidak jarang saat saya sudah terlelap tidur dalam kondisi kedinginan, esok harinya saya dapatkan tubuh diselimuti kain tebal. Saat saya sedang asyik membaca buku cerita kesukaanku atau mementingkan untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah daripada makan siang, ibu akan datang dan duduk disampingku sambil menyuapi sesendok nasi. Saat saya terlihat kebingungan mengerjakan soal-soal yang diberikan guru, ayah akan datang dan berusaha mengarahkanku hingga saya mengerti dan mendapat jawaban soal itu. Saat saya terkulai lemah karena demam, ayah dan ibu akan selalu siaga disisiku dengan ditemani alat kompres seadanya. Saat saya tiba-tiba terbangun tengah malam karena mimpi buruk, ayah dan ibu akan menenangkan hatiku dan jika saya masih ketakutan, mereka akan mengajak untuk tidur bersama (saya tidur di tengah, diantara ayah dan ibu). Saat saya berhari-hari terbaring tak sadarkan diri karena tertabrak sepeda motor, ayah dan ibu selalu setia menemaniku. Saat saya ‘mabuk bus’ dalam perjalanan ke kota, ibu akan menyediakan bahu atau pahanya sebagai sandaran kepalaku. Saat saya harus meninggalkan kampung halaman karena ingin melanjutkan pendidikan di ‘negeri’ orang, saya harus melihat wajah ibu yang berlinang airmata melepas kepergian saya, sementara ayah tetap terlihat tegar tanpa tetesan airmata layaknya ibu, namun saya bisa melihat bahwa di dalam hatinya ada rasa tak rela melepas dan membayangkan anak perempuan satu-satunya hidup sendirian di perantauan…
Sungguh, mengingat itu semua membuat saya meneteskan airmata dan sadar bahwa saya selama ini telah banyak melakukan dosa dan kesalahan yang membuat mereka kewalahan mendidik saya. Bahwa saya juga ternyata sangat menyayangi mereka. Saya baru menyadari kasih sayang yang diberikan ayah dan ibu untuk saya begitu besar. Kemudian, saya bertanya-tanya, mengapa hal itu baru saya sadari saat saya berada jauh dari mereka di negeri orang? Mengapa tidak dari dulu?
Ayah yang harus memakai dasi saat pergi mengajar dan berangkat ke sekolahnya hanya berkendarakan sepeda butut kesayangannya (saat itu, ayah adalah seorang Kepala Sekolah Dasar) – mata ibu akan berkaca-kaca jika melihat penampilan ayah seperti itu, sementara ayah yang selalu cuek dan tak peduli apa kata orang tentangnya, akan selalu memberikan senyumnya untuk kami sekeluarga. Ayah selalu membawakanku buku dari sekolahnya, buku-buku cerita tentang anak yang sangat saya sukai. Ayah yang sering mengajak saya ke sawah di subuh hari untuk melihat padi kami yang mulai menguning, dan kami berdua akan tersenyum riang saat menghalau burung-burung kecil yang hinggap di padi kami. Saya dan ayah akan tertawa lepas saat berlarian di pematangan sawah. Sambil melihat matahari terbit di ufuk timur, ayah akan menjelaskan tentang ‘Bintang Fajar’ (Venus) demi menjawab pertanyaanku. Kemudian, kami pulang dengan berjalan kaki dan bersiap-siap ke sekolah. Juga ibu, yang meski hanya sebagai ibu rumah tangga namun kasih sayangnya selalu tercurah untuk saya. Ibu yang selalu mencucikan pakaian kami sekeluarga saat anak-anaknya belum bisa melakukan apa-apa. Ibu yang masakannya selalu lezat dan berbeda dari masakan lain, ibu yang selalu merawat ‘harta yang paling berharga’ yang dimilikinya.
Betapa saya harus bersyukur memiliki ayah dan ibu seperti mereka. Yang meskipun dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan tetap berusaha untuk membahagiakan buah hati mereka yang selalu merasa tidak cukup akan materi. Bahwa ternyata pelajaran dan pengalaman dari hidup susah yang sejak dulu dikenalkan oleh ayah dan ibu sangat berguna untuk hidup saya di sini, yang harus jauh dari mereka.
Lalu, kenapa harus kabur dari rumah karena ayah dan ibu tidak memberikan uang kepada kita untuk sekedar jalan-jalan bareng teman? Kenapa harus mogok makan karena uang jajan kita tidak sama dengan teman-teman yang lain? Kenapa harus memecahkan kaca, piring dan gelas karena tidak dibelikan baju baru? Kenapa harus beradu mulut dengan ayah dan ibu hanya karena tidak dibelikan mobil atau handphone baru? Kenapa harus ngomel-ngomel pada ibu karena lauk yang disediakan tidak enak? Kenapa harus mengurung diri di kamar karena tidak dibelikan pulsa hanya untuk telpon dan SMS-an dengan orang-orang yang tak jelas? Kenapa harus ngambek pada ayah dan ibu saat kakak atau adik kita dibelikan sepatu baru?
Mari kita renungkan! Cobalah untuk mengerti kondisi orangtua kita, keadaaan ekonomi dan fisik mereka. Mereka tidak akan pernah membiarkan anak yang disayangi menderita. Percayalah, ayah dan ibu sangat menyayangi dan mengasihi buah hatinya. Mereka akan selalu berusaha untuk membuat kita bahagia, yang selalu dan selalu mereka sayangi. Bagaimanapun caranya, mereka akan menempuhinya demi melihat senyum manis anak-anaknya. Mereka tidak akan pernah rela membiarkan anaknya sedih, menangis dan terluka karena sedih dan luka anak adalah sedih dan luka mereka juga.
Mereka selalu menceritakan bagaimana perjuangan hidup mereka semasa kecil yang penderitaan mereka tidak seberapa seperti yang kita rasakan, dengan harapan agar kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah mereka, mengharapkan kita sekedar ikut merasakan bagaimana hidup serba tidak enak, agar kita tidak terlalu menyusahkan mereka.
“Belajarlah hidup sederhana, Nak”, begitu selalu pesannya. Namun, apa tanggapan kita? Kita hanya menganggap bahwa cerita dan kisah itu hanya bualan belaka, omong kosong. Kita tidak pernah mau mempercayai kisah-kisah berharga itu. Betapa berdosanya kita.
Cobalah hitung seberapa banyak waktu kita yang digunakan untuk sekedar membalas jasa orang tua kita. Kita hanya disibukkan oleh kegiatan yang tidak berguna, memikirkan seseorang yang mengaku mencintai kita yang belum tentu menjadi pasangan hidup kita kelak, menghabiskan waktu demi membahagiakan seseorang yang diidam-idamkan. Seberapa pentingkah ‘orang’ itu dibandingkan ayah dan ibu kita? Mengapa kita tidak membayangkan sedang apakah ayah dan ibu nun jauh disana? Apakah waktu istirahat mereka cukup? Mungkinkah mereka saat ini sedang menggarap sawah yang hasilnya nanti hanya untuk mencukupi uang pendidikanku? Apakah mereka harus utang sana-sini untuk mencukupi uang saku bulananku?
Tidak maukah kita berpikir betapa kerja kerasnya orang tua kita untuk mencukupi kebutuhan kita, anak-anaknya?
Sekarang, bayangkan raut ayah dan ibu kita. Wajah yang telah keriput itu telah banyak berkorban untuk kita. Bayangkan saat kita masih bayi yang belum mengerti apa-apa dan belum bisa berkata apa-apa, hanya tangis sebagai isyarat tunggal kita. Kita menangis dan terbangun tengah malam karena ingin menyusu dari ibu, atau menangis karena ngompol di tempat tidur, atau menangis karena popok yang belum diganti. Ayah dan ibu akan selalu sabar melayani kebutuhan kita, meskipun mereka kelelahan dan butuh istirahat di malam hari, karena pagi sampai sore hari mereka harus mencari nafkah demi kita, anak-anaknya. Tanpa pamrih, dan tanpa mengharap balasan, mereka lakukan itu semua karena mereka menyayangi kita.
Percayalah, bahwa apapun yang mereka berikan dan mereka lakukan adalah untuk semata-mata demi kebaikan kita. Maka, tidak perlu merasa tidak disayangi oleh orang tua jika kita diceramahi seharian, atau jika kita dilarang pacaran (sehingga tidak jarang banyak anak-anak yang harus backstreet), karena tidak diizinkan keluar malam, karena tidak diizinkan untuk belajar menyetir atau tidak dibelikan handphone karena kita belum cukup umur untuk itu, atau masih banyak yang lain.
Dan jika kita sudah menyadari hal itu semua, jika kita ada di sisi mereka, katakanlah bahwa kita sangat menyayangi mereka seperti mereka menyayangi kita, lalu berjanji dalam hati untuk membahagiakan dan membanggakan mereka dengan segala yang kita miliki, membalas kebaikan mereka selama ini meskipun apa yang kita lakukan tidak akan sanggup membalas itu semua. Jangan sampai semuanya terlambat dan akhirnya membuat kita menyesal kemudian hari.
“Allaahummagh firlii wa liwaalidayya war hamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa” (Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sejak dari kecil…). Amiiiiiin…..
(untuk Teta dan Mama tercinta,
Sudahkah aku membuat kalian bangga??)
*Mahasiswa Ilmu Gizi FKM Unhas angkatan 2006
Sekretaris Forum Lingkar Pena ranting Unhas 2008-2009
“Allaahummagh firlii wa liwaalidayya war hamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa” (Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sejak dari kecil…). Amiiiiiin…..
(untuk Teta dan Mama tercinta,
Sudahkah aku membuat kalian bangga??)
*Mahasiswa Ilmu Gizi FKM Unhas angkatan 2006
Sekretaris Forum Lingkar Pena ranting Unhas 2008-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar