Minggu, 26 September 2010

Seseorang Yang (Pernah) Ada




Ketika dua bibir membisu, cinta kita menjadi gagu
Tak ada suara atau tatapan malam ini

Tentang Rasa




Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Kutitipkan cahaya terang
Tak padam didera goda dan masa


“Aku sangat ingin bertemu dengannya”
“Siapa? Apa aku mengenalnya?”
“Entah. Mungkin ya, mungkin tidak. Yang aku tahu, aku merasa tak pernah mengenalnya. Dia……”

Salah satu alasanku berada disini adalah kamu. Ya, kamu. Tapi tentu saja kamu tak tahu. Aku menyimpan erat alasan itu dalam hatiku. Juga segala tanya yang semestinya terlontar saat kamu ada di depanku. Atau ekspresi yang tercurah ketika kita bertatap muka. Sudah terlalu lama, Sayang.

Ternyata kamu tak pernah berubah. Masih begitu, dengan sikap dan sifat itu. Diam. Kamu mungkin memang tak ingin berubah. Selalu diam. Itu membuatku agak sedikit terluka. Aku serius. Tapi aku tak akan mengatakan ini karena kita sama. Sama-sama akan diam. Mungkin inilah susahnya menjadi kita. Bagaimana kita bisa tahu (meski secara imaji kita telah tahu) perasaan kita?

Aku bingung. Suatu waktu, aku tak ingin menjadi aku atau menjadi kita. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah inilah kita? Kita yang sama-sama tak pernah ingin bicara. Kita ternyata tak cocok dengan keadaan cinta yang selalu melontarkan kata-kata.
Satu kata, tapi bukan kata itu. Bukan cinta. Aku ingin satu kata yang lain. Ibarat sayembara, aku ingin kamu mencari kata itu lalu membawanya padaku. Kapanpun, aku akan menunggu. Kecuali jika waktu telah mendahului perasaan kita. Aku dan kamu.

Ah, kenapa juga kamu harus menuntut sesuatu yang kamu sudah tahu aku tak akan memberikannya?

Aku disini karena kamu. Dan kamu tak menggunakan kesempatan itu untuk berkata-kata. Masih diam. Lalu saat pasir di dalam tabung itu mulai menipis, kamu malah ingin pergi lagi mendahuluiku. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain pura-pura tersenyum seperti biasa. Meski aku tahu, kamu mengharapkan kata-kata lain selain senyum. Tapi, kita sudah sama-sama tahu bahwa kita akan diam, bukan?

Harapanku tak terwujud (lagi) kali ini, tapi aku tak kecewa. Masih ada waktu yang lain. Karena kita akan sama-sama berada di tempat kita tanpa membiarkan seseorang mengisi kekosongan itu. Aku hanya bersyukur karena telah menemukan wajahmu yang menoleh ke mata angin selatan, di kelilingi putih. Kamu tak tahu, hatiku saat itu dipenuhi bunga. Indah sekali. Akhirnya aku menemukan kamu. Tiba-tiba aku merasa berada di pinggir dermaga tempat kita bertemu.
Sampai jumpa lagi, Sayang…

Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya…
*Lirik by: Astrid “Tentang Rasa”*

Kamis, 26 Agustus 2010

JENGKELKU!!!




26 Agustus 2010, malam…
Maaf sebelumnya. Untuk teman-teman FLP yang pernah menikmati puisi eksotik dari Zevi, aku ingin menjelaskan bahwa tulisan kali ini bukan tentang puisi itu. Aku hanya merasakan rasa itu kini, sampai detik ini sejak sore tadi: JENGKEL!

Aku baru menyadari satu hal: kecelakaan berkendara yang kita (maksudnya, bagi pengendara baik hati dan tidak sombong) alami, tidak sepenuhnya merupakan kesalahan kita. Bisa jadi dan sangat pasti, itu adalah salah pengendara lain. Seperti yang aku alami beberapa jam lalu.

Bukan bermaksud sombong, setelah selama kurang lebih enam tahun mahir mengendarai motor, baru sore tadi aku jatuh dari kendaraan itu, Honda Blade milik Taf. Datang dari arah berlawanan, sebuah kijang tua, entah pengendaranya siapa (soalnya tidak kelihatan, mungkin bapak-bapak), seenaknya saja beraksi tanpa isyarat yang jelas: memakai lampu belok. Kontan saja, agar tak menabrak orang yang sangat “bertanggungjawab” itu, aku menginjak rem mendadak. Sayang, tanah tempat motor berpijak dipenuhi dengan batu dan pasir hingga membuat ban belakangnya terselip. Alhasil, Honda Blade-nya Taf oleng ke kanan.

Kaki kananku tertimpa motor, agak nyeri. Kasihan Evi yang kubonceng di belakang. Dia harus pasrah dengan posisi duduk di atas tanah. Untungnya, tidak apa-apa. Katanya satu sama, karena dia juga pernah melakukan hal yang sama padaku.

Tapi, aku rasanya tak ikhlas dengan kejadian itu. Jelas, karena bukan salahku! Salah pengendara itu! Setelah berhasil bangkit dari motor yang oleng, dengan bantuan seorang pemuda yang baik hati, langsung saja aku mengomel-omel, dengan ekspresi sungut, sambil menunjuk ke arah pengendara mobil indah itu.

“Ndak pake weser itu eee…”

Eh, setelah kutunjuk mobil, dengan penuh keajaiban, lampu belok mobil itu berkedip. Dasar! Akhirnya pengendara itu sadar, dia salah!

Tanpa buang waktu, aku pergi dari tempat itu, masih sambil mengumpat-umpat. Jengkel banget deh sama itu orang. Rese! Akhirnya, karena dia, aku jatuh juga dari motor. Meski Evi berdalil bahwa kita lagi puasa, tidak boleh ngomel-ngomel, tapi tetap saja, omelanku berlanjut sampai kampus.

“Udah salah, tidak mau taanggungjawab lagi. Turun dari mobil, kek... Bantuin kita bangun. Dasar!”

And so on…


Pelajaran untuk semuanya hari ini: Apapun yang terjadi, patuhi peraturan lalu-lintas. Jika puasa, jangan suka mengomel sepertiku…


Sayonara!,
-Bintang Rubi-