PULANG!
(aku, orang itu, dan keluargaku)
Pukul 01:47:11 Wita. Dini hari. Tak seperti biasanya, aku membelalakkan mata pada waktu ini. Biasanya, sudah beberapa bulan ini, mataku akan terjaga pada tepat pukul tiga, lalu kulanjutkan dengan qiyamul lail setelah sebelumnya meng-absen teman-teman liqo agar turut terbangun. Bunda menugaskanku, lebih tepatnya, aku menawarkan diri sebagai alarm para perempuan hebat itu setiap hari, agar terjaga pada sepertiga malam terakhir, mencoba menguatkan ruhiyah, agar tak jatuh di saat beban ujian dan amanah menghimpit dada.
Aku terjaga. Belum saatnya mengusik mimpi perempuan-perempuan yang sore itu tak semuanya kutemui. Hanya Bunda, aku, ukhti A dan ukhti B. Kemarin sore, kami hanya berempat, meski pertemuan hanya sesaat. Kaum-kaum usia dua puluhan yang berlabel intelektual itu secara langsung menyebabkan kami tak saling bertatap muka, membuat kami tak bertemu dengan alasan macet. Hhhhh! Aku tak pernah menganggap ini karena mereka. Aku juga tak menyalahi nasib. Ini kebodohan manusia! Ini takdir Tuhan!
Aku terbangun. Tapi, entah. Ada sesuatu yang memanggil-manggil, mengusik! Ada kabar dari langit! Katanya, seseorang tengah terluka malam ini. Katanya, seseorang itu sedang meringkuk di atas sajadah lusuhnya. Katanya, seseorang itu telah menguras air mata, tenggelam dalam sujud malamnya. Duhai! Ada apa gerangan? Orang itu, aku sangat mengenalnya.
Ada apa, Sayang? Bukankah kemarin kau baik-baik saja?
Kulirik si Hitam Jingga kesayangan yang belum genap sebulan menjadi sahabatku. Disana tertera foto orang itu. Entah, tiba-tiba muncul berita kematian dari foto itu. Aku takut. Sangat takut. Gelisah. Aku tak ingin orang itu mati. Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa benar-benar tahu apa sebab tangisan ini. Orang itu belum mati, tapi aku telah menganggapnya tiada. Aku menangis lagi. Bantalku telah basah dengan leleran air mata dan ingusku. Aku masih menangis. Kupandang foto itu lekat-lekat. Ada apa denganmu? Seharusnya, semuanya baik-baik saja kan? Seperti yang telah selalu kau bilang. Apa kau juga sepertiku sekarang? Terbangun, lalu tiba-tiba menangis tanpa sebab. Apa aku terlalu rapuh?
Langit mengabarkan kematian. Apa orang itu juga terlalu rapuh?
Dadaku sesak. Mataku bengkak. Aku ingin berteriak. Langit gelap. Semua penghuni taman Istiqomah telah lelap. Aku tak ingin membuat mereka terbangun. Kubiarkan saja teriakanku hanya sampai di telinga Tuhan-ku. Tuhan, dengar teriakanku…
Salah. Ini salah siapa? Salahku? Atau salah orang itu? Apa Engkau telah salah, atau takdir-Mu yang telah keliru, Tuhan? Maaf, aku harus bertanya tentang ini. Aku tak bermaksud menggugat-Mu. Tuhan, jika memang ini adalah benar kesalahanku, ambil nyawaku sekarang. Detik ini juga. Jangan biarkan ada orang lain yang mengenalku atau mengingat apa-apa tentangku! Cukup ayah, ibu, kakek, abang, adik, kakak ipar dan keponakanku. Selebihnya, potong memori mereka tentang potret-potretku. Aku hanya telah menyakiti mereka seumur hidupku. Sejak pertama mereka masuk di hidupku, aku hanya bisa menyakiti. Padahal, sudah kubilang pada-Mu Tuhan, AKU TAK PERNAH INGIN MENYAKITI ORANG LAIN! Apalagi orang itu!
Aku ingat rumah mungilku…
Ayah. Ibu. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk kalian. Aku selama ini sepertinya tak pernah memeluk tubuh-tubuh subur itu, yang sepenuhnya kalian wariskan pada bungsu kita.
Ayah… Ibu… Seharusnya kalian tak pernah membiarkanku jauh dari kalian, memilih Makassar sebagai tempat untuk menempuh sebagian sisa hidupku, meski sebenarnya, aku yang telah ngotot harus kesini.
Ayah… Ibu…
Mungkin seharusnya kini, aku tengah berada di dapur. Menyiapkan sarapan nasi goreng spesial untuk kita semua, seperti semasa SMA dulu. Menyuguhkan kopi hangat kesukaan ayah dan abang, teh kesukaan ibu, susu vanilla kesukaanku dan bungsu kita. Aku ingat, kalian semua selalu bilang, nasi goreng buatanku begitu lezat, lalu rumah kita akan dipenuhi tawa kita berlima. Apakah kalian rindu nasi goreng buatanku kini? Ah! Tentu kalian masih bisa menikmatinya. Bukankah ibu lebih jago membuat masakan lezat? Aku hanya tertular sedikit dari kromosom genetik yang diwariskan ibu.
Ayah… Ibu…
Mungkin seharusnya kini, hidupku kuabdikan untuk merawat bungsu kita. Menyuapinya saat ia lapar. Memberi minum saat ia kehausan. Membantunya mengenakan pakaian. Menemaninya nonton acara musik di TV, lalu menyaksikannya mengganti channel yang ia suka. Menyuguhkan susu vanilla kesukaannya. Mengiringnya berjalan-jalan keliling desa bersama kursi roda reotnya, lalu menyebut satu-satu nama tetangga pemilik rumah beserta anggota yang ada di dalamnya, meski aku tahu, ia tak pernah sekalipun lupa tentang ingatan masa kecilnya saat ia masih bisa berlari. Ah! Sebenarnya, ia selalu membanggakanku. Aku tak akan malu lagi memiliki adik lumpuh berkursi roda! Ayah dan ibu telah keliru, adikku! Bukan aku yang seharusnya mereka banggakan. Kau yang harus mendapatkannya! Maafkan aku… Aku tahu, rasa sayangmu untuk ayah dan ibu kita melebihi sayangku untuk mereka.
Mungkin seharusnya kini, aku berada disamping Abang. Menemaninya menentukan siapa gadis yang cocok untuk wajah hitam manisnya. Usia Abang hampir 27 tahun. Seharusnya, dua tahun lalu, ia telah beristri, memberikan ibu cucu pertama. Ibu sudah terlalu tua. Namun, tentu saja ibu tak akan membiarkan abang menikah sebelum bergelar sarjana! Ayolah, Abang! Wujudkan keinginan ibu…
Mungkin seharusnya kini, aku berada disamping Abang. Belajar qira’ah bersama, seperti saat SD dulu, di rumah Kakek. Ba’da maghrib, rumah Kakek selalu dipenuhi anak-anak kelas 1-6 SD untuk belajar qira’ah, mengaji dengan lagu dan nada yang meliuk-liuk tajam. Abang telah berhasil mewarisi ilmu Kakek. Suara Abang sangat merdu jika melantunkan ayat Al-Qur’an. Aku? Selalu merasa putus asa saat tak bisa meniru Kakek, meski hasilnya, desa kita mendapat juara satu saat Cerdas Cermat MTQ Tingkat Kecamatan, karena aku menjawab pertanyaan seputar qira’ah dengan asal-asalan: bayati awal atau bayati akhir.
Aku selalu beralasan, nafasku pendek. Lalu Abang akan berkata, cobalah menghirup nafas panjang di luar rumah seusai shalat subuh, atau masukkan kepalan tanganmu ke mulutmu, atau berteriaklah di dalam air, dan jangan suka makan es dan gorengan. Aku tak percaya, tapi Abang meyakinkanku bahwa itu adalah cara para qori melatih diri. Aku melakukannya selama sepekan. Nafasku mulai panjang sedikit demi sedikit, tapi aku memutuskan untuk menyerah, tak belajar lagi tentang qira’ah. Bagiku, aku cukup tahu saja. Kini, aku menyesal. Seharusnya, aku tak pernah menyerah. Aku iri pada Abang. Suaranya merdu sekali. Aku jatuh cinta pada suara itu, dan aku merindukannya. Tapi, Abang, kini aku masih berlatih, sendirian di dalam kamar, berbekal kaset Nanang Qosim yang kau kirimkan.
Ah! Aku rindu keluargaku…
Ibu. Saat aku kecil, Ibu pernah bercerita tentang Ummul Mukminin, Aisyah r.a. Ibu bilang, Aisyah menikah dengan Rasulullah saat berusia sembilan tahun. Aku sangat tak percaya. Lalu, aku bertanya pada ibu, bolehkah aku menikah jika aku telah menginjak usia sembilan tahun? Ibu hanya tertawa, karena beliau tahu, saat itu aku tak tahu apa arti menikah.
Sejak saat itu, aku ingin menjadi Aisyah. Gadis Rasul yang periang. Sejak saat itu, aku selalu mencari tahu tentang kisahnya. Bagaimana beliau dengan ceria dan senyum penuh kemenangan saat berhasil mengalahkan Rasul dalam lomba lari. Tapi kemudian, Aisyah harus puas untuk dikalahkan saat lomba lari berikutnya. Aku sangat suka dengan kisahnya, saat beliau, dengan terang-terangan membuang makanan di tangannya, di depan tamu-tamu Rasul hanya karena cemburu. Aku sangat suka, saat harus tahu, bahwa Aisyah pernah menjadi panglima perang. Aku ingin seperti itu. Ah! Aku mencintai Aisyah. Aku ingin menjadi Aisyah, karena Rasul meregang nyawa di atas pangkuannya. Ibu, terima kasih telah mengenalkanku pada wanita tegar itu…
Ayah. Bulan Desember lalu, ayah telah resmi pensiun dari pekerjaannya. Mungkin sekarang, ayah tengah asyik dengan cangkul sawahnya, berkutat dengan pupuk-pupuk dan traktor. Bagiku, ayah adalah pendidik sejati, guru sejati yang memiliki murid sejati, yaitu aku. Ayah telah mendaftarkan diri dalam deretan panjang absen para calon haji. Tinggal menunggu giliran, dengan senyum wajah tegasnya. Ini adalah mimpi ayah yang hampir berkarat. Setidaknya, beberapa waktu lagi, mimpi itu akan terwujud.
Ah! Aku rindu keluargaku…
Ayah… Aku ingin pulang. Memelukmu. Kuyakini, hampir semua sifatku adalah cerminan dirimu. Aku selalu melakukan hal yang sama, seperti yang kau lakukan: menyelesaikan masalah dalam diam, seorang diri, membiarkan hanya dirimu dan Tuhan yang tahu masalahmu. Kini, aku melakukan itu. Aku sepertimu, tidak pernah ingin menyakiti orang lain! Apakah kini aku telah melakukannya pada orang itu, Ayah? Orang itu terluka karena diriku kah?
Ayah… Aku ingin pulang saja. Tapi, tolong. Jangan beritahu ibu tentang hal ini. Ibu tentu akan murka. Ibu telah merelakan satu-satunya gadis yang dimilikinya jauh, agar kembali dengan gelar professor. Ayah, bolehkah aku pulang sekarang, tanpa gelar sarjana?
Aku tak ingin berlama-lama disini, Ayah… Aku tak ingin melihat orang itu lagi, terluka karenaku! Orang itu tak seharusnya mengenalku! Ini salahku! Orang itu harus bahagia! Orang itu tak boleh menangis! Orang itu………
Atau, izinkan aku membahagiakannya, Tuhan…
Pondok Istiqomah lantai 2 nomor 6, sebelum fajar tiba, 03:41:11 Wita
Ada kabar dari kawan di Semarang: kita tetap pejuang, sobat!
Esok atau lusa, aku tak akan (ingin) menangis lagi!
1 komentar:
Tega sekaliQ kak!!!
Qt berhasil membuat z terseguk lama. Z tak hanya menangis biasa, pun bukan hanya berkaca-kaca mataku di balik kacamataku. Tapi Z menangis seperti gambaran tangisan yg qt utarakan di tangga rektorat siang tadi... Menangis dalam arti yang sebenarnya!
Oh astaga! Z begitu ingin memeluk mereka sekarang juga. Mereka berdua itu, Mama dan papaku, yang kini terbentang jarak laut dan darat. Terima Kasih karena telah memublish tulisan ini kak. Jazakillah...
Satu yg ingin z katakan : Siapa pun orang itu, Semoga qt diberi izin-Nya untuk membahagiakannya. Amin...
Posting Komentar