Sabtu, 29 Januari 2011
TITIK DAN GARIS YANG MEMBUAT KITA BERTEMU
Pernah kubilang padanya agar jangan datang lagi, atas nama sudut bulan yang semakin gemuk atau melancip
Sekian kejadian sejak aku bertemu denganmu mengantarkanku di titik-titik serupa biji selasih yang menyelinap pada es buah rasa melon saat berbuka puasa kemarin
“Rumah ini milik siapa?”
“Milik kita”
Aku mengenal hitam, biru dan merah; rumah kita
Rumah ini membuat kita bertemu, hanya berisi sebatang senjata dan sehelai karpet tempat kita menoreh jejak cinta saat kita kedinginan pada hujan malam tadi, pada peluk yang meng-hangat di bawah rengkuh selimut pelangi
Aku cinta rumah ini
Disini ada senyum, ada cemburu si gadis, ada tanah yang melumpur seberang sungai, ada biru kolam renang, ada tebing hutan yang menyaksikan sumpah kita, ada sawah berundak, ada binatang indah dengan kepakan sayapnya yang selalu lemah. Ah, layang-layang juga ada!
Takdir membawaku menuai cerita dengan seseorang di gubuk lain. Tiap kali bertukar kata, seseorang itu mengenalkanku pada se- atau dua orang lain. Semakin bercerita, fakta yang terungkap mengantarkanku pada sebuah rumah yang pernah kau tawarkan untuk kita tinggali dan jaga bersama.
Ternyata memang begitu adanya! Banyak orang menyukai rumah kita.
Mereka bilang, rumah kita adalah persinggahan paling nyaman dengan atap abu-abu nan eksotik
Mereka bilang, rumah yang lain terlalu gelap atau terlalu terang
Mereka bilang, berada di rumah kita berarti istirahat dari segala kepenatan
Karena mereka menganggap, selera kita dalam membangun rumah adalah sama!
Akhirnya, rumah ini mengajarkanku mengeja titik dan garis yang membuat kita bertemu
Di sudut mana kita tersenyum, di kursi mana kau memangkuku, di kamar mana kita mengeja cinta, di jendela mana kau menulis rasa, di atas keramik mana kau mengagetkanku
Semuanya mengajarkanku satu hal: aku (tidak) boleh mencintaimu, kan?
::Sesuatu sebelum hari itu, Makassar, 25 Agustus 2010::
Berkali-kali.
Kau menghindariku.
Berkali-kali.
Tapi, sejak itu pula kau berkali-kali merengek pada hujan. Berkali-kali kau mengadu pada malam. Berkali-kali kau meringkuk di tiang jendela. Berkali-kali kau melukis abstrak di dinding pintu. Berkali-kali kau menyapa lorong-lorong menuju rumahmu. Berkali-kali kau gelisah. Berkali-kali kau teriak. Berkali-kali kau merintih, luka! Berkali-kali kau…
Berkali-kali kau berdoa pada Tuhan-mu.
“Izinkan aku bertemu senyumnya”
:: tulisan ini untukmu ::
Kamis, 27 Januari 2011
INUYASHA FINAL ACT, ENDING DARI SEBUAH CERITA PANJANG
Ada yang hilang setelah menyaksikan keseluruhan kisah dari anime Inuyasha. Ya. Saya merasa kehilangan. Saya akan kehilangan kelanjutan kisah Inu, dkk. Karena kisahnya telah usai. Tamat.
Baru-baru ini saya menyaksikan (lagi) Final Act dari anime yang saya sukai ini. Entah, meski tentang cerita yang tak jelas *maksud saya, tak masuk akal: tentang siluman dan sejenisnya*, tapi anime Inuyasha adalah tontonan yang sangat menghibur bagi saya di saat senggang atau tidak *hehe*. Dan menjelang episode terakhir, saya baru menyadari bahwa cerita ini bukan hanya tentang mengejar ambisi. Inuyasha adalah tentang keteguhan hati. Dan…
Anime ini diawali dengan kehadiran Shikon no Tama (Bola Empat Arwah) yang ingin dimiliki oleh Inuyasha, makhluk setengah monster (hanyou). Shikon no Tama menjadi sesuatu yang sangat spesial bagi manusia (yasha), hanyou maupun monster (youkai). Bagi siapapun yang memilikinya, ia akan mendapat apa yang ia inginkan. Hm, bayangkan jika Shikon no Tama dimiliki oleh monster, apa yang akan terjadi ya?
Singkat cerita, datanglah Kagome dari dunia masa depan ke dalam dunia Inuyasha dkk *saya tak perlu menjelaskan bagaimana caranya, yang jelas medianya adalah sebuah sumur tua*. Kagome ternyata ditakdirkan untuk menyelesaikan masalah itu, karena dia adalah reinkarnasi dari Kikkyo, seorang biksuni. Kikkyo adalah satu-satunya yang bisa mengamankan Shikon no Tama (pada kenyataannya, Kikkyo jatuh cinta pada Inuyasha). Hanya Kagome yang bisa menghentikan pertarungan tiada akhir antara para siluman dan monster untuk memperebutkan Shikon no Tama.
Pertarungan-pertarungan menjadi semakin tegang dan dilematis. Tokoh-tokoh baru bermunculan. Mereka adalah monster yang lebih kuat dari sebelumnya. Itu menyebabkan kekuatan Kaze no Kizu (Lubang Angin) Miroku-sama -sahabat Inuyasha- semakin mengkhawatirkan karena terlalu banyak mengandung miasma (racun). Sementara Hiraikotsu (boomerang) Sango menjadi lebih kuat karena telah dimantrai oleh seorang Old Sage (Pemabuk Tua). Tetsusaiga Inuyasha juga mendapatkan kekuatan sempurna saat bertarung dengan Sesshomaru, menjadi Meido Zangetsuha (ini adalah saat pedang Inuyasha berwarna hitam mengkilat, indaaaaaah sekali. Dan kekuatan ini bisa membawa siapapun ke dalam dunia lain). Kumpulan kekuatan ini ternyata tak cukup untuk melawan Naraku, yang menurut saya sangat menggemaskan (baca: jahat).
Pada episode Naraku’s Inside, hampir semua tokoh utama masuk dalam tubuh Naraku. Mereka: Inuyasha, Kagome, Miroku, Sango, Sesshomaru, Kirara, Jaken, Kohaku, Rin, Shippo. Sementara Tottosai, Myoga-jiji dan Kaede-sama hanya menyaksikan dari daratan.
Dalam tubuh Naraku, semua begitu rumit. Ancaman datang tanpa henti. Nah, inilah yang saya maksud pada awal tulisan ini. Bahwa disini diperlihatkan bagaimana kita harus tetap teguh pada pendirian tanpa terpancing oleh keadaan dan orang lain. Disini, saya sangat salut pada gaya Naraku mengadu domba, menganggap orang lemah, juga menimbulkan pilihan yang rumit. Dilematis. Dalam posisi seperti ini, siapapun harus bisa mengambil keputusan yang tepat. Naraku memberikan contoh, bahwa kita semua tidak boleh gegabah menentukan pilihan. Bahasa kerennya, jangan tergesa-gesa (bukankah tergesa-gesa itu adalah sifat setan?).
Dari awal sampai akhir, Shikon no Tama menyediakan permohonan bagi yang memilikinya. Jika memiliki Shikon no Tama, Inuyasha memilih menjadi full demon (youkai) seperti sang kakak-beda-ibu, Sesshomaru. Kikkyo ingin bertemu Inuyasha. Sesshomaru dan Naraku ingin lebih kuat (tapi pada episode Unreachable Feelings, Naraku memiliki harapan kosong, apakah ingin menjadi manusia saja atau monster). Kesemuanya tak ada yang memiliki harapan yang tepat. Karena harapan yang salah akan menimbulkan pertarungan tanpa henti dalam memiliki Shikon no Tama. Dan Kagomelah kunci dari semuanya. Harapan Kagome sangat tepat. Yaitu Shikon no Tama hilang untuk selama-lamanya! Lalu, pertarungan berakhir.
Sejak pertengahan episode, saya bertanya-tanya, sebenarnya apa sumber dari pertarungan darah antara para tokoh ini? Jawabannya ditemukan pada tiga episode terakhir. Ternyata, pucuk masalah adalah sesuatu yang ada dalam diri kita semua. Sesuatu yang kita miliki bersama dan tidak bisa kita pungkiri. Sesuatu yang bisa membuat kita tersenyum dan menangis disaat yang bersamaan. Ujung-ujungnya itu. CINTA.
Last but not least, tokoh yang paling saya sukai di anime ini adalah Kagome. Karena bagi saya, meski hanya manusia biasa (beda dengan manusia di dunia Inuyasha yang memiliki kekuatan), Kagome adalah perempuan yang tangguh, idealis, dan dia sanggup meredam emosi Inuyasha yang selalu bertindak gegabah. Bahkan, dengan kata-katanya, Kagome bisa mengetahui kedalaman hati Naraku. Ah, ya! Selain itu, Kagome adalah perempuan yang dewasa. Dia bisa memahami cinta masa lalu antara Inuyasha dan Kikkyo, meski ia cemburu. Cinta Kagome terhadap Inuyasha membuatnya tegar *ehm, ehm. Ciyee. hahahuhuhehe*
Sebaiknya, bagi yang menyukai anime dan tertarik dengan tulisan ini *halah!*, silakan menyaksikan kisahnya. Selain tegang, anime ini juga diselingi adegan lucu, menggemaskan, dan juga bisa membuat rona merah *ngeeeeekkk* di pipi (saya paling suka adegan saat Inuyasha berpura-pura tidak cemburu pada Koga). Dan jika disimak baik-baik, sangat banyak pesan bijak yang akan kita dapat *ini adalah salah satu alasan mengapa saya menyukai anime ini*. Supaya lebih seru, anime ini bagusnya ditonton rame-rame bersama teman terdekat atau tetangga *ini kata Kak Tits, dan saya membenarkannya, :)*
PS. Sisi lain yang membuat anime ini menarik adalah soundtracknya. Semuanya keren! Apalagi made by DAI *Do As Infinity. Saya paling suka sound endingnya, Fukai Mori. Versi Deep Forest-nya juga bagus. Gara-gara itu, saya keranjingan mengoleksi lagu-lagu DAI, ternyata semua lagunya saya suka *sang vokalis, namanya Van Tomiko. Wuih, suaranya dong, mantap! Hehe*. Eh, Every Heart-nya BoA juga cool! Oh ya, yang saya tonton ini ber-subtitle Inggris. Tapi, saya dan Istiqomers fine-fine saja tuh. Karena Englishnya gampang dicerna, gak ribet. Vocab-nya lumayan sederhana. Jadinya, saya dapat dua keuntungan lain disini: belajar bahasa Inggris dan bahasa Jepang, gratis! Hehe…
Oke, have a nice watch!
Sayonara!
Rabu, 19 Januari 2011
Surat cinta untuk Lelaki Ketigaku*
Aku lupa kapan mengenalmu.
Aku bahkan tak mengetahui bahwa kau telah lahir ke dunia, karena saat itu aku masih berumur tiga tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku mungkin merasakan kecemburuan saat kau hadir di tengah-tengah kami. Ah, aku lupa perasaan itu…
Sayang…
Apa kabarmu kini?
Aku selalu mendoakanmu agar senantiasa bahagia, sehat dan selalu tersenyum untuk siapapun yang menyayangimu…
Ah, kenapa aku harus menangis sekarang? Sungguh, aku tak sanggup menahan tangisan ini.
Aku hanya tiba-tiba teringat dengan masa-masa yang telah kita lalui di Rumah Biru kita.
Kau adalah bungsu kami yang selalu cerewet, bersuara dan bertubuh super.
Maafkan aku, Sayang…
Aku tidak bisa menjadi pecinta yang baik untukmu. Selama ini aku hanya bisa membuatmu jengkel dengan sundulan-sundulan kepala untukmu. Aku hanya bisa membuatmu menunggu untuk segala kebutuhan yang tidak bisa kau sanggupi. Aku tak bisa bersabar akan kekuranganmu. Aku bukan kakak yang baik, kan?
Tapi, aku mencintaimu, Sayang…
Aku menyayangimu…
Kau mungkin tak pernah tahu bahwa hampir setiap malam aku menangisi keadaan ini: tentang dirimu. Kau mungkin tak pernah tahu bahwa aku selalu mendoakanmu. Bahkan mungkin Tuhan lelah mendengar doaku, bahwa aku ingin melihatmu melangkah lagi…
Bahwa suatu saat, aku sangat ingin mengajakmu kemanapun, di tempat yang tak pernah kau kunjungi. Bahwa aku sangat ingin membawamu pada dokter super ahli yang bisa membuatmu berjalan. Bahwa aku sangat ingin mengetahui seberapa tinggi dirimu (ah, mungkin aku jauh lebih pendek darimu…). Bahwa aku sangat ingin membahagiakanmu di sisa hidup kita.
Ah, aku sebenarnya tak pernah menginginkan ini terjadi. Meski aku selalu takut akan terjadi secepat ini. Aku masih menangis, Sayang. Maaf, aku sungguh tak menyanggupi peristiwa ini.
Kau dan kursi rodamu. Kapan aku menemukannya lagi? Kau tak akan ada lagi di Rumah Biru kita. Tak akan kudengar lagi suaramu. Tak akan kulihat lagi wajah cakepmu yang kadang menjengkelkan.
Aku tahu, aku harus kuat. Ayah dan ibu, juga Abang harus begitu. Kami akan kesepian, Sayang. Tanpamu. Rumah kita hampa tanpa teriakanmu. Apalagi ayah dan ibu. Jika aku harus berada di pulau yang berbeda, maka Abang ada di kota yang berbeda dari rumah tempat aku dan kau tumbuh. Mereka akan tinggal berdua. Tanpa anak mereka. Ah, aku tiba-tiba sangat ingin pulang. Kembali ke rumah kita.
Suara adzan sore ini membawa tangis untukku. Ya.
Entah kenapa. Ayah seolah tak ingin mengabarkan langsung padaku. Apakah karena aku (atau ayah yang sebenarnya) tak sanggup? Ah, kami semua tak sanggup, Sayang.
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan…”
Firasat, tanda atau bukan. QS Al-Ankabuut ayat 57 yang kubaca sehabis subuh tadi seolah mengingatkanku pada sebuah nyawa. Nyawaku. Aku seakan merasakan mati menghampiriku. Mungkin karena kau adalah nyawaku, rasa itu me-nyata ketika mendengar berita ini.
Mereka bilang, ini yang terbaik untukmu. Ya. Mungkin seharusnya aku tak menangis. Karena ini yang terbaik untukmu. Aku seharusnya tersenyum. Karena kau telah lelah duduk di kursi roda itu. Karena kau telah lelah menopang tubuhmu yang kian melemah. Karena tanganmu telah lelah menggapai mimpi-mimpimu, juga mimpiku. Karena kakimu telah lelah terdiam, tanpa langkah. Ini yang terbaik untukmu, karena kau akan terbebas dari semua kelelahan itu. Selama hidupmu.
Entah, suara adzan sore ini meredam tangisku yang kian tertahan. Tangis tanpa suara.
Dulu. Hatiku selalu menangis ketika melihat mereka menertawakan langkahmu yang terseret-seret. Selalu, Sayang. Mengapa mereka tak pernah tahu?
Ah, aku sebenarnya tak sekuat yang mereka kira. Tak ada yang tahu, selama ini, sejak kau begitu, aku adalah perempuan lemah, yang jika mendengarmu menderita, maka tak ada obat lain selain tangis. Sayang, aku adalah kakakmu yang cengeng…
Kini, biarkan semua orang tahu bahwa aku menyayangimu. Meski kita tak pernah diajari untuk mengungkap rasa sayang dengan kata. Kali ini aku mengatakannya. Semoga kau mendengar, Sayang.
Saat aku pulang dua bulan lalu. Kudapati tubuhmu tak setegap dulu. Wajah, kaki, dan tanganmu tak berisi seperti saat kutinggalkan.
Kau mengajari kami arti kesabaran dengan melayanimu, meski kau mungkin merasakan bahwa kami tak pernah memiliki kesabaran untukmu. Maafkan kami, Sayang.
Dulu, sendiri adalah saat ku menikmati hidup. Kini, hal itu menjadi sangat menakutkan. Karena aku mengingatmu…
Aku selalu merindukanmu…
Adikku…
Aku menyayangimu…
Kelak, aku akan melihatmu melangkah lagi. Di surga…
*Bungsu kami, Arif Hidayatullah
(23 September 1991 – 21 November 2010)
Aku sepertinya ingin tidur saja. Melupakan kejadian ini. Menganggapnya tak pernah ada.
Sesuatu yang terjadi saat 25 Januari tahun lalu
Ya. Kau benar. Ternyata kita memilih menyerah, kawan!
Pertarungan yang seharusnya tak pernah terjadi, dimulai dengan kata menyerah. Haha! Lucu juga. Belum apa-apa, kau dan aku memilih mundur. Kemana jiwa pemberontak yang kita agungkan di sudut-sudut kota? Kemana calon para pejuang yang akan meniti jalan yang telah Tuhan takdirkan?
Penyebabnya? Rupanya kita terlalu banyak membaca. Membaca yang salah kita maknai. Lalu, kita terjebak dengan makna yang salah kita pahami. Aku menganggap hal ini serupa tali jemuran yang rapuh bertahun-tahun dan lalu keropos, mirip tulang yang kekurangan kalsium. Putus, saat terlalu banyak pakaian basah menumpuk di sekujur badannya.
Penyebabnya? Kita terlalu sok cerdas membaca kehidupan. Yang seharusnya mudah, dirumit-rumitkan. Sesuatu yang seharusnya misteri, terlalu kita coba pahami. Kemudian menggaruk-garuk kepala yang tak gatal karena ternyata, semuanya terlalu rumit. Rumit!
Penyebabnya?
Terlalu banyak majas yang menjadi korban gubahan kita. Hiperbola. Personifikasi. Pleonastis. Ironi. Aha! Itu apalagi. Meski aku tak terlalu berminat dengan para majas, tapi aku sudah hafal mati dengan figur mereka. Sudah di luar kepala. Mereka sudah kukuliti sejak duduk di bangku SMP. Maka sekarang, saat aku berjumpa dengan suatu makna, aku kembali membuka bungkusan kulit-kulit itu. Tapi, mungkin bungkusan itu terlalu kuat, sehingga sisi-sisi plastik pembungkus itu terlihat menguap, lalu menetes perlahan-lahan. Tes!, bunyi uap itu. Kau tentu mendengarnya.
Hidup ternyata indah. Sangat! Saat kita berusaha, dengan benar, memahami setiap jejak-jejak yang telah kita lakoni. Hidup sangat indah! Saat kita memfragmenkan duka, tanpa harus berusaha menjadi peramal nasib dengan gubahan-gubahan kesiaan.
Lihatlah!
Kau pun sebenarnya tak perlu membenci hujan saat kau belajar memaknai hidup.
Sabar, masih beberapa bulan lagi, kata Bulan. Ya. Setalah itu, entah apalagi.
Minggu, 16 Januari 2011
AHLI SURGA, AHLI NERAKA DAN KETETAPAN ALLAH (SEBUAH PERSEPSI)
Kisah 1:
Alkisah, ada seorang perempuan yang selama hidupnya hanya dihabiskan hanya untuk bermaksiat. Baginya, tiada hari tanpa maksiat. Ya. Perempuan ini adalah pelacur. Mungkin pelacur kelas mahal di zamannya. Mungkin bayaran yang ia dapat telah membuatnya menyelam dalam lautan harta. Mungkin saja.
Hingga suatu hari, saat ia pulang dari “kantor”nya, ia melihat seekor anjing yang teramat kelaparan di tengah kota. Wajah anjing terlihat sangat memelas dan sangat menderita. Dan perempuan pelacur ini tak tega. Ia iba pada anjing itu. Lalu, tanpa ba-bi-bu, pelacur ini memberikan roti dan susu pada hewan malang itu. Sambil mengelus manja anjing itu, pelacur tersenyum. Mungkin ia merasa senang telah melakukan satu kebaikan di hari itu.
Dan, tahukah Anda? Di akhirat, perempuan itu mendapat tempat yang indah di sisiNya. Ya. Ia masuk surga.
Kisah 2:
Di sebuah rumah berlantai dua, tinggallah dua orang lelaki bersaudara yang sangat berbeda kepribadian. Yang satu ahli ibadah. Satunya lagi ahli maksiat. Ahli ibadah berkuasa penuh pada lantai dua. Sedang si ahli maksiat bersenang-senang di lantai dasar. Tidak dipungkiri, mereka sangatlah berbeda. Sementara sang ahli ibadah bermunajat pada Tuhannya sepanjang hari, disaat yang sama si ahli maksiat menjalani hari-harinya dengan penuh dosa.
Dan suatu saat. Mereka tiba pada titik jenuh masing-masing. Ahli ibadah merasa bahwa ibadah yang dilakukannya sudah cukup. Maka ia berniat untuk mencoba apa yang dilakukan saudaranya hanya sekali saja . mungkin sejadar coba-coba, bagaimana rasanya melakukan sebuah dosa. Dan ia berjalan menuju tangga, hendak ke lantai satu, tempat penuh maksiat bagi saudaranya.
Disaat yang sama, si ahli maksiat merenung. Ia merasa lelah dengan dosa-dosanya. Ia merasa kotor. Seolah dia bukanlah manusia, melainkan kubangan lumpur. Ia berniat untuk melakukan taubat. Ia sungguh-sungguh. Lalu dengan langkah mantap, ia menuju tempat sang ahli ibadah untuk meraup pahala yang dijanjikan Tuhannya. Dan saat ia sedang khusyu’ bersama ibadahnya, sesuatu terjadi. Gempa yang lumayan besar melanda rumahnya.
Dua ironi. Sang ahli ibadah meninggal dipeluk maksiat. Si ahli maksiat justru menghadap malaikat maut dengan senyum terindahnya.
Dua ironi. Ahli ibadah akhirnya masuk neraka. Ahli maksiat justru masuk surga.
Nah, apa yang bisa kita petik dari kisah di atas?
Jika kita berpikir, mungkin akan terlintas seperti ini: bahwa Allah, Tuhan kita, sangatlah tidak adil (na’udzubillah, tolong disingkirkan pikiran seperti itu). Jika diibaratkan sebagai seorang manusia, bukankah itu ciri seseorang yang plin-plan? Bukankah itu berarti ada dualisme? Bagaimana bisa seorang pelacur yang selama hidupnya hanya bermandikan maksiat bisa masuk surga hanya karena memberi makan seekor anjing? Atau, bagaimana mungkin ahli ibadah yang seluruh hidupnya hanya mengabdi sebagai hamba yang baik justru masuk neraka?
Saya hanya bisa mengambil kesimpulan sebatas pengetahuan saya. Bahwa mungkin Allah hendak membiarkan kita bebas untuk mengambil hikmah atas kisah-kisah tersebut. Bahwa kita sebagai manusia hendaknya selalu melakukan sepanjang hidup kita, sepanjang kita bisa. Ya. Selalu berbuat kebaikan. Dan jangan sampai salah mengambil makna dari kisah di atas. Jangan sampai hidup kita hanya dipenuhi dosa lalu bertobat di ujung hidup yang kita tidak tahu kapan itu terjadi, hanya gara-gara membaca kisah pelacur itu. Jangan sampai kita seperti si ahli ibadah yang bosan melakukan kebaikan lalu akhirnya masuk neraka. Na’udzubillahi min dzalik! Dan disinilah dibutuhkan keistiqomahan kita.
Satu lagi kesimpulan yang bisa saya ambil. Bahwa urusan pahala dan dosa, itu hanya Allah YangTahu. Kita sebagai makhluknya memiliki batas pengetahuan untuk itu. Hanya Allah YangMenentukan, akan kemana hambaNya menetap di akhirat nanti. Surga? Atau neraka?
Wallahu a’lam…
PS: Tulisan ini sebenarnya adalah bentuk kompensasi atas pertanyaan-pertanyaan yang seenaknya muncul di kepala saya. Dan sampai sekarang, saya masih mencari jawaban mana yang paling tepat mengenai hal ini. Karena pengetahuan saya masih terbatas. Bagi teman-teman yang lebih paham, sangat diharapkan partisipasinya berupa pendapat/dalil-dalil yang bisa mencerahkan. Saya akan sangat berterimakasih. Semoga Allah membalas dengan kebaikan. Dan mari bersama-sama hidup untuk kebaikan. Wassalam.
Jumat, 14 Januari 2011
BELUM ADA JUDUL
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Di gilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah . . . . . lelap
Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai sa'at kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah . . . . . . . kau
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara . . .
Di hati . . . . . .
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga sa'at kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku sobat
*untuk para sahabat, yang seperti pelangi, sangat indah*
Langganan:
Postingan (Atom)