Rabu, 02 Maret 2011

MAHASISWA, OH MAHASISWA…



Mahasiswa.

Dulu saat mendengar kata ini selama SMA, saya seperti kerasukan sesuatu. Sepertinya kata ini memiliki makna yang mendalam untuk saya. Mahasiswa, bagi saya adalah pejuang yang sangat intelektual. Mahasiswa itu tentu lebih pintar dari anak SMA seperti saya saat itu. Apalagi saat saya melihat mereka memakai jas almamater mereka. Waduh, saya jadi tambah kesemsem, hehe.

Saat saya kemudian berstatus mahasiswa awal tahun 2006, saya merasa istimewa. Ditambah pengaruh masa-masa pengkaderan, senior-senior saya ramai-ramai men-doktrin saya dengan kata-kata asing yang kemudian sukses menyihir saya. Katanya, mahasiswa itu agent of control, moral force, agent of change, social control, dan lain-lain, dan lain-lain. Sungguh, kata-kata itu berhasil menyatu dengan jiwa saya. Lalu saya bertekad, saya akan menjadi tokoh yang melakoni kata-kata itu.

Awalnya, saya mengira, semua mahasiswa akan seperti saya (maksudnya, memiliki tekad mulia seperti di atas). Nyatanya tidak. Slogan berbahasa asing itu, rupanya hanya dihafal dan dijadikan jawaban manis jika senior bertanya tentang tugas mahasiswa dalam masyarakat. Tidak semua orang harus seperti saya, dan saya menghargai itu. Mahasiswa tak harus seperti dalam teori, menjadi agent ini-agent itu. Terserah mereka ingin menjadi apa.

Tapi, kemudian ada sesuatu hal yang membuat saya geregetan sama yang namanya mahasiswa―meski tak semuanya begitu. Mahasiswa yang saya kenal sekarang adalah pengemis! Sekali lagi, pengemis!


Suatu hari, angkot yang saya tumpangi harus berhenti di lampu merah di depan Pintu 1 Unhas, kampus saya. Di jalan itu, saya melihat segerombol mahasiswa ber-jas almamater Unhas. Satu-satu dari mereka menghampiri angkot dan kendaraan yang berhenti. Mereka terlihat menyodorkan kardus yang bertuliskan “PENGGALANGAN DANA UNTUK KORBAN BENCANA MERAPI, MENTAWAI DAN WASIOR”. Wah, sangat mulia niat mereka. Berhari-hari setelah kejadian itu, di bagian lampu merah di jalan lain, para mahasiswa juga turut melakukan aksi yang mulia ini. Mungkin, ini yang dimaksud senior saya sebagai tugas mahasiswa itu.

Tapi, kemudian ada sesuatu hal yang membuat saya geregetan sama yang namanya mahasiswa―meski tak semuanya begitu. Mahasiswa yang saya kenal sekarang adalah pengemis! Sekali lagi, pengemis!



Suatu hari yang lain, kembali saya melewati lampu merah Pintu 1 Unhas. Kali ini menjelang malam, dan setelah bencana-bencana alam berlalu. Lagi-lagi saya melihat beberapa mahasiswa berbondong-bondong menyodorkan kardus. Dalam hati saya berkata, “Ada bencana apa lagi ya? Dimana? Kok saya gak tahu? Hm, begini nih ruginya gak ada televisi di rumah.” Tapi, saya shock ketika melihat sekilas tulisan di sisi kardus itu: “PENCARIAN DANA MALAM SENI FAKULTAS…”

Yanpari!*

Jantung saya serasa berhenti berdetak. Apa yang terjadi? Kenapa bisa mahasiswa seperti itu? Kenapa harus mengemis di jalanan hanya untuk itu? Apa mereka sudah kehabisan akal untuk mendapatkan uang agar kegiatan “bersenang-senang” itu berjalan lancar? Apa masyarakat harus mengeluarkan uang hanya untuk satu malam itu? Bukankah masih banyak yang menanti belas-kasih kita di luar sana? Apa masyarakat harus tahu “penderitaan” mahasiswa? Apa yang terjadi kemudian, jika para mahasiswa ini lulus dari kampus? Apa mereka akan mengemis juga, menyodorkan kardus di jalanan dengan bertuliskan: PENCARIAN DANA UNTUK SARJANA YANG BELUM DAPAT KERJA? Mana ke-inteletual-an mereka? Kenapa mereka tak berpikir kretif saja mencari dana? Kenapa harus di jalan? Kenapa harus terkesan menjadi pengemis? Kenapa kenapa kenapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa????

Saya heran. Sungguh sangat heran. Mana moral-force itu? Mana agent of change itu?

Entah kenapa, sejenak setelah menyaksikan kardus yang disodorkan itu, saya sangat malu berstatus mahasiswa. Bisa saja, karena hanya beberapa “pengemis intelektual” itu, saya juga mendapat status yang sama dari masyarakat. Setiap orang bisa saja meng-generalisasikan mahasiswa sebagai pengemis jalanan. Dan saya tidak tahu, harus berkata apa sekarang. Saya bukan SBY yang hanya bisa berkata, “Saya benar-benar prihatin…”

Mahasiswa, oh mahasiswa… (el)

*yanpari! = Ya, Tuhan! (Jepang)


Makassar. 2011.

Selasa, 01 Maret 2011

SENYUM SEBATANG COKLAT

Saya tiba-tiba mengingat sesuatu di suatu tempat. Waktu itu saya memberikan sepotong kue coklat untuk seseorang. Alasannya? Bukan apa-apa, saya ingin memberi saja. Karena saya merasa, orang itu terlalu banyak memberi juga untuk saya. Ya, terlalu banyak. Sangat banyak, malah. Bahkan, ia memberi sesuatu yang tidak saya harapkan, namun ternyata saya butuhkan di saat yang sama.

Bukan apa-apa. Saya ingin memberi saja.

Karena ia orang yang sangat baik. Karena sebelum kami bertemu, ia meminta diberikan sepotong kue. Jadi, kuberikan saja. Bukan karena apa-apa. Terlebih lagi, saya cukup menikmati senyumnya. Saat menerima sepotong coklat itu, ia berkata malu-malu, “Makasih, ya”. Hm, saya bahagia karena itu.

Ya. Itu saja. Bukan apa-apa.

Jadi, menurutmu, saya memberikan sepotong kue itu karena “Bukan apa-apa, saya ingin memberi saja”?


Makassar. 2011.

JALANAN YANG MEMBUAT SAYA SEPERTI SELALU JATUH CINTA

(untuk mereka yang menyukai jalanan dan sebagian besar hidupnya adalah “jalanan”)

Hanya ingin berbagi tentang cerita ini.
Pernahkah Anda merasa nyaman dan ingin berlama-lama pada sebuah jalanan yang Anda jumpai? Saya hampir selalu merasakan itu. Tentu saja. Karena hidup saya sekarang sebagian besarnya adalah melewati jalan yang sama. Dan jika saya melewati jalanan ini, saya selalu merasa istimewa dan…jatuh cinta. Saya akan berusaha untuk melewati moment yang sebaik-baiknya di rengkuhan bahu jalanan ini.

Jalanan Camba
Ini adalah jalanan ekstrim yang menghubungkan beberapa kabupaten di Sulsel. Sangat berkelok-kelok dan menegangkan. Tapi seru. Bagi orang-orang yang menderita penyakit “mabok perjalanan”, mungkin akan berkata bahwa jalan ini adalah hantu yang menyeramkan. Bagaimana tidak, begitu banyak tikungan tajam, juga jurang yang tersenyum manis menanti mangsa di sisi jalanan ini. Kendaraan yang bergerak zig-zag akan menguras isi perut para “pesakit” itu. Dan saya? Hm, saya hanya cukup menutup mata, mengikuti irama tarian kendaraan, sambil sesekali menikmati indahnya alam ciptaan SangMaha. Goncangan kendaraan pada jalanan ini serupa irama debaran hati saat saya berhadapan dengan kekasih yang mana coba? (ini adalah resiko jadi penulis, sedikit romantis, haha). Oya, jalanan ini pertama kali saya lalui saat berstatus Maba, akhir tahun 2006.

Jalanan Sinjai Utara – Sinjai Selatan
Saya mengenalnya akhir tahun lalu, tepatnya di bulan favorit saya, Oktober. Berada disini rasanya seperti perasaan orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, love at the first sight. Kenapa? Saya sebenarnya (sejak bertemu dengan jalanan Camba), sangat ingin mencoba menaklukkan jalanan berkelok-mendaki-berjurang dengan mengendarai motor. Ceritanya, saya tertantang, apakah saya cukup tangguh menghadapinya. Nah, jalanan ini adalah tempat pertama untuk membuktikan kemampuan saya sebagai Valentina Rossa *tentang ini, saya akan menulis secara lengkap kapan-kapan, hehe*. Ternyata, cukup menegangkan. Suatu saat, saya akan melakukan hal yang sama pada jalanan Camba tadi. Karena setidaknya, saya menganggap, jalanan ini adalah miniatur “si pendekap jurang”, jalanan Camba yang sangat manis, seksi dan menggoda itu. :D

Jalanan Poros Maros – Pangkep
Bisa dibilang, jalanan ini adalah trek lurus yang gak ribet dan gak neko-neko. Tapi, bukan berarti tanpa tantangan, lho. Jalanan ini adalah jalanan terjauh pertama yang saya lalui seorang diri dengan mengendarai motor. Ini terjadi di awal bulan Agustus tahun lalu saat saya akan menghadiri pernikahan senior di Pangkep dan dikontrak sebagai fotografer. Saya ingat sekali, itu terjadi di hari Jumat, selepas siang. Seperti hati yang tak salah memilih cinta meski hanya pada pandangan pertama, saya cukup bangga karena sama sekali tidak tersesat sampai di tempat tujuan. Tantangan selama perjalanan adalah berburu angin, menggenggam kecepatan dan melaju. Serasa melayang. Seperti terbang bersama kekasih di nirwana. Halah!

Jalanan “awan”: Flyover
Mengendarai motor di jalanan ini benar-benar serasa terbang. Karena saat berada di pangkuannya, saya merasa memiliki sayap: berada lebih tinggi dari gedung-gedung di sekitarnya. Jalanan ini bagi saya adalah ikon pembangunan Kota Daeng menuju persaingan dengan Ibu Kota. Awalnya, saya menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap proyek pembangunan jalan yang memakan waktu sekitar tiga tahun ini. Saya kira, bakal seperti Jembatan Semanggi sono noh. Eh, jadinya malah begitu doang. Pake ambil waktu sampe tiga tahun segala lagi (kayaknya saya harus siap ditimpuk beton sama anak teknik Sipil nih. Emang jalanin proyek gitu kayak gigit jari doang, Tun? Sekate-kate aje, Lu. Hehe). Hm, tapi sebenarnya jalanan ini bikin saya geleng-geleng kepala saat melewatinya, terutama jika kebetulan lewat saat malam apalagi malam Ahad (maaf, istilahnya harus berganti. Ini karena saya hanya ingin terbiasa dan menunjukkan keIslaman saya). Pada malam yang katanya panjang itu, flyover akan diramaikan oleh anak muda berpacaran atau sekadar menikmati pemandangan lalu-lintas di bawahnya. Mungkin tentang ini, saya akan menceritakan secara rinci di lain waktu.

Jalan Sahabat
Nah, ini adalah jalan dimana saya menancapkan bangunan istana saya yang sudah berumur hampir lima tahun ini. Bahasanya ribet yak? Maksud saya, di jalan inilah letak pondokan saya, Istiqomah yang saaaaaaaangaaat saya……. (terserah deh, lanjutannya apa, hehe). Saya merasa, jalanan ini memiliki aroma tersendiri: perjuangan dan kepedihan para pejuang dari kampung, mahasiswa. Di jalan ini begitu banyak mutiara kehidupan yang saya dapatkan, termasuk melihat darah bercucuran dari kepala seorang bapak karena disabet senjata oleh orang yang tak bertanggungjawab. Bagi saya, itu pengalaman yang sangat “istimewa” karena saya hampir parno, tidak mau kemana-mana. Tapi, ibarat kekasih, seburuk apapun dia, jika sudah cinta, ya cinta saja. Tak bisa lepas. Begitulah arti Jalan Sahabat bagi saya.

“Jalan Gugur”

This is it! Nama lainnya adalah Autumn Street (teman saya bilang, nama yang cocok adalah Lorong SanChai, karena mirip sebuah lorong di Serial Meteor Garden). Jika Anda mencari dimana jalan ini berada, saya bisa pastikan anda akan kebingungan-hampir-mati, hehe. Sebenarnya, jalan ini tidak memiliki nama secara resmi, hanya saya saja yang memberinya nama. Jalan Gugur. Kenapa? Karena di jalan ini, sangat banyak dijumpai daun-daun gugur. Sejak pertama melihat jalan ini, saya baru menyadari bahwa saya ternyata sangat menyukai saat dimana daun-daun terlepas dari kehidupannya. Apalagi jika daun-daun itu jatuh tepat di hadapan saya, perlahan, ibarat geliat ulat hijau. Lalu saat itu akan terjadi yang lumayan dramatis: saya berlagak bermain film romantis, mencoba meraih daun jatuh itu. Hoho.

Dari sekian jalanan yang saya sukai di atas, Jalan Gugur adalah jalan yang paaaaaaaaaaaaaaaaaaaaliiiiiiiiing saya cintai. Karena ia ibarat kekasih yang sanggup memberi kedamaian, keteduhan dan rasa sayang yang mendalam. Saat saya melewati jalan ini, saya akan dengan senang hati menghabiskan waktu berlama-lama dalam pelukannya. Jika saya hendak ke suatu tempat yang mengharuskan jalan kaki, saya akan berusaha mencari alasan pada diri sendiri untuk melewati jalan ini. Meski jaraknya akan lebih jauh dan memakan waktu lama. Saking cintanya gitu lho. Lain kali saya akan memperlihatkan scenary dari “kekasih” saya ini. Cakep pokoknya, hehe. Hm, sebenarnya, ada hal lain yang membuat saya semakin menetapkan sense of belonging untuk jalan ini. Saya memiliki kenangan yang tidak bisa saya lupakan di tempat ini dan tidak bisa saya ceritakan lebih detail (sebagiannya telah termuat dalam sebuah sajak tahun lalu). Teman-teman terdekat saya sangat tahu kisah cinta saya dengan jalan ini. Jalan Gugur membuat saya semakin ingin ke Jepang untuk menyaksikan aki, musim gugur disana. :)

===
Oke, mungkin hanya sampai disini cerita tentang “kekasih” yang ada dalam hidup saya. Mengenal mereka memberi saya arti berlimpah. Mereka sangat berharga. Cinta antara kami bukan hanya tentang rasa. Juga tentang memaknai hidup. Jalanan adalah miniatur kehidupan. Kekasihku adalah kehidupanku. Saya mencintai mereka. Esok, saya akan bertemu mereka lagi. Nah, bagaimana dengan kekasih Anda? :)

Copyright © HasanCakep. Februari 2011.