Selasa, 07 Juni 2011

Tentang seseorang berbaju merah





Aku pernah menemuinya pada sebuah rumah yang berjejakkan kaki-kaki tak beralas.

Disana tempat kami selalu bertemu. Tak bersuara. Tak menyapa.

Kami tak tahu nama kami siapa. Tapi, kami merasa sama-sama tahu.

Dia tahu aku terlalu sibuk kesana-kemari. Aku tahu dia akan selalu disitu.

Sekarang menjadi berbeda.

Kenapa?

Dia memilih hitam. Ya. Benar-benar hitam. Dia duduk, lalu berjalan, lalu berteriak di malam-malam bisu. Dia berubah! Siapa yang mengubahnya?

Aku? Masih berkutat dengan merah, hijau, dan sedikit putih.

Tapi diam-diam aku berharap, semoga hitam itu tidak membuatnya benar-benar berbeda.

Aku ingin dia juga sama sepertiku: berkasih-kasih dengan Tuhan disaat dunia terlelap. Juga tidak menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.

…………..
Aku melihatnya disana. Dia tengah merangkai wacana yang entah sampai kapan akan terwujud. Bersama beribu bendera hitam-putih yang lain.

………….
Kami sama-sama menyukai anime Naruto. Sepertinya dia terpesona oleh Gaara. Sementara aku setengah mati mengagumi Kakashi.

…………..
Satu lagi. Kami sama-sama menyukai baju merah!

Seseorang yang mirip denganmu.



Aku melihatmu. Ya. Benar-benar melihatmu.

Kau jauh. Tidak disini. Tapi aku melihatmu.

Ini bukan mimpi. Ragamu tepat berada di depanku. Tidak lebih dari tiga depa.

Tapi kau dekat. Tapi kau jauh.

Ah, aku bingung!

Senyummu begitu nyata. Tapi itu bukan kamu. Lalu aku mengingatmu.

Aku ingin mengabadikan senyum itu. Agar besok-besok dapat kulihat lagi. Sebelum (entah kapan) kau pergi.

Kau dekat. Kau jauh. Kau di depanku. Kau…

Sudah berapa lama kita tak bertemu?

Kamis, 02 Juni 2011

Perjokian yang membuat saya bersyukur



Siang ini, saya ada janji untuk bertemu dengan Kak Ana, Ketua AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) untuk mengajukan surat kegiatan yang akan saya adakan. Seyogyanya, saya akan mengantarkan surat itu ke Kantor AJI, namun saat baru saja saya akan kesana, tiba-tiba saya mendapat telepon dari Kak Mao.

Katanya, “Tun, buruan ke rektorat! Ada Kak Ana disini”

Dan meluncurlah saya ke rektorat. Untung belum sempat jalan. Kalau iya, kayaknya saya bakal mampus karena harus bolak-balik tergesa-gesa dari Jl. Hertasning menuju kampus saya lagi. Jauh, bo! Panas lagi!

Singkat cerita, sampailah saya di depan rektorat. Disana sudah ada banyak wartawan, juga Kak Mao. Saya heran, kok sampai banyak begini ya? Lalu, saya mencoba mengaitkan dengan spanduk yang ada di salah satu bagian gedung rektorat. Seingat saya, spanduk itu bertuliskan ucapan selamat datang untuk seorang Duta Besar Indonesia untuk Den Haag.

Lanjut!

Saya kemudian bertanya pada Kak Mao, dimana gerangan Kak Ana. Katanya di lantai dua. Setelah sedikit basa-basi, saya menuju lantai dua (oh iya, saya lupa! Dari tadi itu saya tak sendiri. Ada Ayu yang selalu ada di samping saya, hehe) . Dan bertemulah saya dengan Kak Ana Rusli (dalam hati saya salut juga, bahwa yang mengetuai para wartawan AJI adalah perempuan imut ini).

Nah, saat saya asyik ber”negosiasi” dengan Kak Ana, tiba-tiba saya dikagetkan dengan peristiwa yang baru kali ini saya alami. Saya merasa seperti sedang menonton siaran Sergap di televisi. Tapi ini beda, karena gambarnya lebih nyata dan terjadi di depan mata saya. Kurang lebih, seperti inilah yang terjadi:

Ada seorang laki-laki yang sedang berusaha menutup wajahnya dengan menggunakan jaket, digiring dengan tergesa-gesa oleh seorang lelaki lain yang berkostum Satpam Kampus. Di sekeliling mereka, ada beberapa fotografer yang sibuk mengambil gambar tersebut sambil berlari-lari kecil, berusaha berada di depan kedua lelaki itu. Suara jeprat-jepret terdengar berganti-gantian.

Semuanya berkelebat sedemikian cepat. Saya bahkan tak sempat berpikir apa yang sedang terjadi. Sementara, Kak Ana di depan saya juga terlihat terburu-buru. Sesekali terdengar suaranya yang bertanya pada wartawan lain (mungkin anak buahnya), “Ada lagi?!”, atau “Boim, buruan kesana!”

Saya bingung. Sebenarnya, ada apa ini?

Saat pembicaraan saya dengan Kak Ana selesai dan keadaan menjadi lebih stabil, saya kemudian baru berpikiran bahwa kemungkinan seorang lelaki yang digiring tadi adalah pencuri masuk kampus (entah curi motor, atau yang lain). Tapi, saya kemudian berpikir, “Atau jangan-jangan… yang tadi itu JOKI!” Karena hari ini kebetulan adalah hari SNMPTN terakhir.

Nah, saat saya sibuk menduga-duga, tiba-tiba kembali terulang adegan yang sama. Ada beberapa lelaki yang digiring oleh orang-orang berseragam. Kali ini lebih banyak, mungkin sekitar 5 orang. Ah, ya! Ada perempuan juga, cuma seorang! Ckckck! “Wow, bakal jadi berita keren nih!”

Ternyata, setelah berusaha menggali informasi, mereka yang digiring tadi benar-benar penjahat hari SNMPTN! Ada yang bertindak sebagai JOKI, ada yang tertangkap menggunakan ponsel saat ujian, dsb. 

Hhh, rupanya masih ada juga praktek kejahatan seperti ini. Fakta lain adalah, mereka berjumlah 11 orang (gila kan, tuh! Banyak banget!). Dan menurut salah satu Menwa, mereka kebanyakan berasal dari Pinrang (nah, lho…). Sepertinya, jika mencoba berspekulasi, ini adalah hasil “kebijakan” mereka yang tergabung di Organda untuk daerah itu. Sepertinya sih… Mudah-mudahan tak benar lah. Wallahu a’lam.
----------------

Melihat kejadian ini, saya merasa terkejut. Kemudian menarik nafas panjang. Lalu berkata pada Ayu.
“Alhamdulillah, saya masuk di kampus ini dengan cara yang HALAL,” sambil tersenyum.
------------

Lagi-lagi, terima kasih untuk Kak Mao yang secara tak sengaja memberikan kesempatan pada saya untuk menyaksikan peristiwa berharga yang menegangkan ini. (: