Rabu, 23 Maret 2011

Girl is Crying


Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang perempuan.

“Jika kau melihatku menangis, apa yang akan kau lakukan?”

Saya bingung. Saya ingin menjawab, bahwa saya akan memeluknya. Tapi saya ragu. Lalu saya tidak menjawab apa-apa.

Dan perempuan ini mungkin tahu tentang kebingungan ini. Dia akhirnya berkata, “Jika aku menangis, kau tak perlu berusaha untuk memelukku atau menghiburku.” Saya kaget, tapi ia melanjutkan, “Kau hanya perlu menjauhiku, berpura-pura tak melihatku. Dan jika sesaat setelah itu kau ingin menemuiku, bertindaklah seolah tak terjadi apa-apa. Bertindaklah seperti biasa.”

Ia diam, tapi dilanjutkannya lagi kata-katanya.

“Kelak, aku akan menceritakan kepadamu, kenapa aku menangis. Dan jika saat itu tiba, aku bahkan tak memerlukan pelukanmu.”
###

Senin, 21 Maret 2011

TULISAN INI HANYA UNTUKMU, YANG BERBAJU BIRU

Kau ingat sesuatu di rumah itu? Ah, tentu kau sangat tahu rumah itu. Bukankah kau yang sekarang memegang kuncinya?

Tapi, bukan rumah itu yang sedang kubicarakan. Maksudku, tentang sesuatu di rumah itu, juga para penghuninya yang sangat senang datang dan pergi kapanpun mereka mau.
Para penghuni yang aku maksud adalah aku dan dia ―yang kini entah dimana.

Ada sesuatu antara aku dan dia. Itu benar. Sesuatu itu aku sebut cinta. Itu benar, sangat benar. Para penghuni lain ternyata juga sangat senang membicarakan sesuatu itu, apatah lagi dirimu. Aku pernah mendengarmu berbicara pada cahaya tentang sesuatu itu. Sesuatu yang aku sebut cinta.

Ada sesuatu antara aku dan dia. Lalu para penghuni di kamar lain, juga di lantai lain, mendadak sibuk oleh sesuatu ini. Kau juga. Kulihat kalian seolah sepakat untuk membahas sesuatu itu. Entah di kamar ke sekian atau di lantai ke sekian. Aku mendengar semua itu. Tentu sambil tersenyum. Lalu dia bagaimana? Ah, dia selalu tak mau ambil pusing. Sepertinya dia memang tak pernah mau pusing. Aku juga.

Itu benar, sangat benar.

Tapi rupanya ada kekeliruan tentang sesuatu itu.

Lalu dia pergi. Aku tidak, karena belum saatnya. Tapi aku akan pergi kelak, kau pun begitu. Hanya saja kita masih di rumah ini. Itu benar. Dan bagaimana dengan sesuatu itu?

Sesuatu itu, aku kira, tak pernah terdengar lagi. Rupanya penghuni lain masih ingin berkisah tentang itu. Aku masih seperti dulu, tersenyum saja. Tapi aku heran, kau tak seperti penghuni lain itu. Mulutmu lebih sering membisu. Mungkin karena kau yang memegang kunci rumah itu? Hm, sudahlah.

Hei, dirimu yang berbaju biru. Kunasihati kau. Jangan mendekati dua cahaya pada tikungan tajam yang mendaki itu, nanti otakmu akan terberai. []

Jumat, 18 Maret 2011

SIAPA YANG MENGETIK NASKAH PROKLAMASI?

Masih cerita tentang anak-anak. Tentang kepolosan mereka. Ini adalah kisah nyata kekasih saya semasa ia KKN. Saat itu, ia mempunyai program penyuluhan kesehatan di sebuah Sekolah Dasar yang lumayan jauh dari poskonya.

Di sebuah kelas, di sela-sela penyuluhan, kekasih saya ini iseng bertanya pada seorang anak yang berada di deretan bangku depan.

“Dek, siapa yang mengetik naskah proklamasi?”

Salah seorang anak yang berada di bangku depan, entah kenapa, menjawab dengan gaya marah-marah, seolah kekasih saya ini telah menuduhnya mencuri, kepalanya menggeleng dan tangannya menampik:
“Ih, bukan saya! Bukan saya!”

Lalu, meledaklah tawa para mahasiswa KKN di tempat itu, juga kekasih saya yang mengajukan pertanyaan tadi.
Sepertinya, si anak ini menderita penyakit Over pede-kitis dan Merasabangets gitulohhhhhh.