Kamis, 26 Agustus 2010
JENGKELKU!!!
26 Agustus 2010, malam…
Maaf sebelumnya. Untuk teman-teman FLP yang pernah menikmati puisi eksotik dari Zevi, aku ingin menjelaskan bahwa tulisan kali ini bukan tentang puisi itu. Aku hanya merasakan rasa itu kini, sampai detik ini sejak sore tadi: JENGKEL!
Aku baru menyadari satu hal: kecelakaan berkendara yang kita (maksudnya, bagi pengendara baik hati dan tidak sombong) alami, tidak sepenuhnya merupakan kesalahan kita. Bisa jadi dan sangat pasti, itu adalah salah pengendara lain. Seperti yang aku alami beberapa jam lalu.
Bukan bermaksud sombong, setelah selama kurang lebih enam tahun mahir mengendarai motor, baru sore tadi aku jatuh dari kendaraan itu, Honda Blade milik Taf. Datang dari arah berlawanan, sebuah kijang tua, entah pengendaranya siapa (soalnya tidak kelihatan, mungkin bapak-bapak), seenaknya saja beraksi tanpa isyarat yang jelas: memakai lampu belok. Kontan saja, agar tak menabrak orang yang sangat “bertanggungjawab” itu, aku menginjak rem mendadak. Sayang, tanah tempat motor berpijak dipenuhi dengan batu dan pasir hingga membuat ban belakangnya terselip. Alhasil, Honda Blade-nya Taf oleng ke kanan.
Kaki kananku tertimpa motor, agak nyeri. Kasihan Evi yang kubonceng di belakang. Dia harus pasrah dengan posisi duduk di atas tanah. Untungnya, tidak apa-apa. Katanya satu sama, karena dia juga pernah melakukan hal yang sama padaku.
Tapi, aku rasanya tak ikhlas dengan kejadian itu. Jelas, karena bukan salahku! Salah pengendara itu! Setelah berhasil bangkit dari motor yang oleng, dengan bantuan seorang pemuda yang baik hati, langsung saja aku mengomel-omel, dengan ekspresi sungut, sambil menunjuk ke arah pengendara mobil indah itu.
“Ndak pake weser itu eee…”
Eh, setelah kutunjuk mobil, dengan penuh keajaiban, lampu belok mobil itu berkedip. Dasar! Akhirnya pengendara itu sadar, dia salah!
Tanpa buang waktu, aku pergi dari tempat itu, masih sambil mengumpat-umpat. Jengkel banget deh sama itu orang. Rese! Akhirnya, karena dia, aku jatuh juga dari motor. Meski Evi berdalil bahwa kita lagi puasa, tidak boleh ngomel-ngomel, tapi tetap saja, omelanku berlanjut sampai kampus.
“Udah salah, tidak mau taanggungjawab lagi. Turun dari mobil, kek... Bantuin kita bangun. Dasar!”
And so on…
Pelajaran untuk semuanya hari ini: Apapun yang terjadi, patuhi peraturan lalu-lintas. Jika puasa, jangan suka mengomel sepertiku…
Sayonara!,
-Bintang Rubi-
DIARI YANG TERLUPAKAN (1)
24 Agustus 2010…
Nendenk dan Ridho pulang. Sore tadi, kami bertemu di Ipteks, samping danau. Senang rasanya bertemu dengan mereka. Meski berbeda jurusan dan angkatan, tapi hubungan kami, kurasa bisa menyamakan hubungan atas rasa “sesama fakultas dan angkatan”. Peluk dan cium berbahasa. Ya. Rindu. Hampir dua bulan kami tak bersua. Melihat mereka, aku teringat masa setahun lalu: KKN Profesi Kesehatan Unhas Angkatan 32 Posko 63 Kabupaten Bantaeng.
Hmm. Kisah itu tentu tak terlupakan. Kisah bersama 11 teman yang hampir semuanya tak kukenal. Kami akhirnya harus tinggal serumah dalam tempo tujuh pekan, waktu yang cukup lama. 12 mahasiswa, empat lelaki-delapan perempuan, hidup dalam satu atap bersama dua keluarga di dalamnya. Bisa dibayangkan betapa ributnya rumah itu. Betapa bermakna persaudaraan itu. Betapa beragam kisah itu.
Posko 63 Desa Nipa-Nipa Kecamatan Pa’jukukang, posko kelima terakhir berdasarkan urutan jarak dari perbatasan Bantaeng-Jeneponto, bagiku adalah posko yang sangat ideal. Jarak posko dari kota hanya sekitar 4 kilometer. Di dalam posko tersedia segala fasilitas tempat tinggal yang cukup mewah: televisi, lemari es, dispenser, rice cooker, ruang tamu yang luas. Ditambah dengan posisi strategis pinggir jalan poros Bantaeng-Bulukumba, terletak di depan sebuah SLTA dan lapangan, membuat posko kami gampang ditemukan dan sangat nyaman digunakan sebagai tempat persinggahan bagi teman-teman yang ingin ber”istirahat” di Tanjung Bira, Bulukumba. Jika kita menatap lurus ke depan dari arah gerbang rumah, maka akan terlihat gunung-gunung berjejeran. Di sebelah barat, kurang lebih 500 meter, akan kita temukan pantai yang merupakan garis silaturahim antara pantai Bulukumba dan Jeneponto. Pokoknya, eksotik deh!
Tuan rumah posko kami adalah seorang bapak yang saaaaaaaangat baik hati. Pak Chaeruddin, namanya. Beliau adalah Kepala Desa Nipa-Nipa saat itu. Pertemuan pertama dengannya adalah kesan yang tak tertandingkan untukku (dan ini kuakui dengan sangat jujur saat malam perpisahan), bahwa aku begitu ketakutan dan merinding melihat beliau dengan beberapa alasan yang membuat beliau tertawa terbahak-bahak: aku takut melihat kumisnya yang begitu lebat, perutnya yang buncit dengan sebatang rokok yang ada di tangannya. Kontan, semua peserta malam perpisahan, para staf desa, anak-anak muda dan keluarga Pak Desa serta para tetangga tak bisa menahan tawa mendengar pengakuan itu. Dari situ juga, aku baru tahu, bahwa ternyata Pak Desa pernah disangka sebagai Indro Warkop karena kumis tebalnya itu.
Script 1
Info nama dan posko KKN telah diumumkan. Segala perasaan beradu: deg-degan, gemetar, penasaran, senang. Sedikit berlari, aku mengeja anak tangga menuju lantai 2 FKG. Kucari namaku, lama tak kutemukan. Keringat berdesakan di pori-pori. Cemas. Mencari satu nama diantara hampir seribu nama yang tertera di atas kertas, membuatku khawatir. Jangan-jangan, aku tidak memenuhi syarat untuk bisa ikut KKN karena kurang tinggi…
Bersambung…
BEBERAPA CATATAN: SEBELUM AKU PERGI
Aku Mulai Mencintaimu di Malam Ke-Sebelas
Aku sebenarnya tak tahu mendefinisikan ini
Mungkin karena doktrin dan justifikasi mereka yang membuatku selalu berusaha menipu dan tertipu
(Mereka lupa bahwa sedang menyelami lautan rahasia terdalam dari duniaku)
Dia? Huh, Bocah Pengecut itu!?
Bintang-bintang seraya menari mendengar suaramu mendayu di balik tembok hitam ―sangat ingin kugusur tembok tipis menerawang itu
Aku seperti ilalang di samping rumah yang tertiup angin sepoi dari atas kepalaku
Malam ke-sebelas…
tiba-tiba saja ingin usiaku lebih muda enam atau delapan tahun agar bisa mendekapmu dari arah yang tak kau duga; yang dewasa, yang pernah ingin mengajakku berdansa di atas angin, yang rajin menyiangi rumput disamping rumah, dan pandai mengumpulkan remah-remah dilatasi memori di ujung kalimat
Untuk kamu: sekali lagi, terima kasih sebanyak bintang
“Aku sangat mencintai lagu-lagu yang kau nyanyikan untukku…”
Sedikit pesan…
Baiklah!
Ayah pernah mengajarkanku bagaimana cara menghitung dengan tepat sudut bulan di langit terhadap hari yang berjalan
“Tinggal kau bagi saja tiga ratus enam puluh derajat dengan sejumlah hari dalam sebulan: dua puluh delapan atau tiga puluh. Kau akan mendapatkan besar sudut bulan yang kau mau. Pandangi saja bulan itu, maka kau akan dapat menghitung, hari keberapa sekarang,” itu kata Ayah tahun lalu.
Saat kau tiba, aku akan pergi pada bulan dengan sudut belasan
Mungkin kau tak akan bisa menghubungiku lagi
Maaf…
Tentang Dua Kaki yang Telah Lama Tak Berpijak
Ada yang berubah pada diriku
Dua kaki yang telah lama tak berpijak, sejak usiaku sembilan atau sepuluh, yang selalu membuatku rindu ―juga satu-satunya alasanku tersenyum, kini terluka
Keduanya demam tinggi, membuat kepala, badan dan tanganku cemas, istirahat tak jelas, meski usia telah semakin menua
Status-ku yang akan (segera) berubah dan status anggota badanku yang semakin jelas, seolah membuat diriku rapuh dan tegar di saat yang sama (kepala dihiasi langit putih dan badan yang tak ragu-ragu ditimpa osteoporosis): ini karena desakan beberapa ideologi yang kadang dilembutkan
Sementara seorang anak laki-laki dari rahimku menunggu waktu untuk dilahirkan ke dunia
Beberapa peristiwa beruntun ingin membuatku menangis haru dan bahagia
Aku bingung akan berada dimana, tapi sore tadi sudah kuputuskan untuk pergi, menuju tempat kembaliku sesaat setelah (mungkin) kau tiba
Kini, tidak ada lagi alasan untuk menyimpan tabungan kecerdasan!
Kedua kaki ini menunggu tanganku untuk membasuh demam dan keringat dinginnya: tunggu aku! Jangan pergi dulu, Sayang!
Setapak Episode
Aku semakin rindu pelukan-pelukan tahun lalu
Entah, aku akan menyaksikan yang mana: janur yang menguning, atau anggota baru yang menanti omelan si gadis kecil yang giginya keropos satu-dua
Mudah-mudahan keduanya saja…
Ah, tinggal menghitung hari ―atau, puluhan sudut pada wajah bulan di langit malam… (EZ)
-Sebelum benar-benar pergi (mungkin kau akan salah mengartikan ini lagi…), 21-26 Agustus 2010-
Langganan:
Postingan (Atom)