Beberapa waktu lalu saya berbincang-bincang dengan dia, tanpa tatap muka. Lumayan lama kami saling bertukar kata-kata singkat. Meski hal demikian itu hanya sesekali terjadi (oh, well, memang sangat jarang terjadi).
Saat itu kami sama-sama sedang dalam kondisi santai. Mungkin saja.
Saya benar-benar mengenal dia (maksud saya, mengetahui namanya) lebih dari dua tahun lalu. Tapi saya tetap saja jaraaaanngg sekali bertemu dengannya. Dan saya tidak memusingi itu.
Lalu belum genap setahun lalu, saya bertemu dia lagi. Kali ini saya lebih peduli dengannya. Saya mengajaknya bicara seolah telah lama mengenalnya. Saya berusaha menaruh minat yang tinggi pada hal yang dia sukai. Saya berpura-pura. Agar dia tak kecewa.
Beberapa bulan setelah itu, saya bertemu dia lagi. Sebenarnya saya tidak berharap itu. Tapi Tuhan Menginginkan. Mungkin untuk membuat kami sama-sama tersenyum. Atau membuat kami berpikir dan mengingat apa yang telah kami lewati. Saya tersenyum melihat wajahnya yang lucu. Dia tersenyum melihat senyum saya. Sepertinya kami sama-sama senang. Kami masih menyimpan kenangan saat itu.
Nah, dalam kurun dua tahun lebih, kami hanya bertemu sekian kali. Tapi ada sesuatu yang tidak beres kemudian…
“Itulah cara terbaik yang bisa dia lakukan untukmu. Sebaiknya kamu menahan diri dari rasa ingin tahu…” kata Abang.
Suatu saat, dia berdoa untuk saya. Saya mengaminkan. Saya suka dengan doa itu. Membayangkan bahwa dia berharap untuk saya seperti itu (dengan sedikit senyuman), membuat saya tertawa.
Well, mungkin kelak, kami akan bertemu unta di saat yang sama dan di tempat yang sama. Mungkin juga tidak salah satunya atau dua-duanya.
Dia tidak lahir di tanah Arab. Dia tidak tahu bahasa Arab kecuali beberapa kata saja. Dia bukan juragan unta. Dia tidak mirip unta. Dia tidak memiliki punuk layaknya unta. Dia tidak berjalan lambat seperti unta. Dia sama sekali bukan unta!
Yang jelas, “Unta” adalah panggilan saya untuknya…
:D
-mks.25april2012-