(judulnya belum ada,hehe..)
Matanya nanar menatap langit. Kadang, menelusup rasa tak rela menerima takdir hidupnya. Ia bertanya pada Tuhannya, meskipun hanya dalam hati, apa sebenarnya yang diinginkan Tuhan dengan kelemahannya itu? Tapi, saat ia terus bertanya, saat itu pula ia sadar tak akan mendapatkan jawaban apa-apa.
Dia, lelaki (sebagian orang bahkan tidak menganggapnya lelaki) berusia remaja, 17 tahun. Usia yang seharusnya hidup penuh dengan warna. Ya, seharusnya begitu. Usia tujuh belas ditafsirkan sebagai usia yang bukan anak-anak lagi, sudah pantas pacaran, hidup bebas, hura-hura, penuh dengan pemberontakan, atau apapun yang menunjukkan ciri kehidupan remaja. Di usia ini, dia seharusnya sudah menduduki bangku kelas dua SMA. Tapi dia, tidak bisa menggapai semua itu. Bukan tanpa sebab, dan ia sangat menyadari hal itu... (bersambung...)
Dia, lelaki (sebagian orang bahkan tidak menganggapnya lelaki) berusia remaja, 17 tahun. Usia yang seharusnya hidup penuh dengan warna. Ya, seharusnya begitu. Usia tujuh belas ditafsirkan sebagai usia yang bukan anak-anak lagi, sudah pantas pacaran, hidup bebas, hura-hura, penuh dengan pemberontakan, atau apapun yang menunjukkan ciri kehidupan remaja. Di usia ini, dia seharusnya sudah menduduki bangku kelas dua SMA. Tapi dia, tidak bisa menggapai semua itu. Bukan tanpa sebab, dan ia sangat menyadari hal itu... (bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar