Jumat, 06 Agustus 2010
INILAH YANG SEBENARNYA (1): EPISODE YANG TERABAIKAN…
INILAH YANG SEBENARNYA (1): EPISODE YANG TERABAIKAN…
Hari itu aku menghadiri pernikahan seseorang yang kukenal dengan baik
seperti biasa, untuk seseorang yang telah kuanggap saudara, maka aku akan menjadi sangat sibuk pada hari istimewanya: mondar-mandir kiri kanan, tersenyum lebar-lebar menyapa para tamu, kadang mengutip senyum setiap orang terutama kedua mempelai dengan kamera seadanya –lihatlah kebahagiaan perempuan yang kuanggap saudaraku itu, manis sekali, semakin manis
Kadang aku sibuk mengatur tumpukan piring dan menyodorkannya pada para ibu –masih sambil tersenyum lebar, kadang menyapa anak-anak kecil yang berkeliaran, kadang berlari kecil ketika dari jauh melihat kado-kado nyaris terjatuh, bahkan kadang naik di atas pelaminan memperbaiki jilbab pengantin perempuan yang mencong kiri atau kanan sambil sesekali merapikan make up-nya
Pokoknya hari itu aku super sibuk untuk turut merasakan kebahagiaan di tempat itu
Tapi, jauh dari tempat itu, di hatiku, ada kekosongan. HAMPA!
Aku membayangkan sesuatu yang menurutku seharusnya terjadi: bahwa bukan lelaki yang saat itu ada di atas sana yang harus duduk disamping perempuan itu, ada seseorang yang menurut rasa lebih berhak, lelaki lain yang kukenal juga
Aku lupa kapan persisnya melihat lelaki itu pertama kali
Aku lupa kapan persisnya mengenalnya dengan baik
Aku lupa kapan pertama kali beradu kata, berdialog dengannya
Aku lupa tanggal persisnya, tapi tak penting
Tapi aku tahu sebagian episode penting hidupnya, sebagian orang di sekitarku juga tahu hal yang sama: ia sangat mengharapkan, suatu saat, menikah dengan perempuan yang jadi pengantin di hari itu (mungkin perempuan itu juga mengharapkan hal yang sama)
Saat pertama kali kudengar kabar perempuan itu akan menikah dengan lelaki lain –bukan lelaki yang kukenal itu, hatiku seperti tercekik, serasa asmaku semakin kronis: aku membayangkan remuknya rasa lelaki itu
(Karena jika seseorang memanggilku adik, maka orang itu adalah kakak bagiku, apapun akan kuberikan untuk menyenangkan hatinya
Karena jika seseorang memanggilku kakak, maka orang itu adalah adik yang sangat kusayangi, tak akan kubiarkan sedetikpun menangis
Karena jika seseorang memanggilku ibu, maka orang itu adalah anak yang selalu kuperhatikan setiap hari, tak akan kubiarkan ia diganggu orang lain
Karena jika seseorang memanggilku teman, maka aku akan berusaha membuatnya selalu tersenyum, apapun akan kulakukan untuknya
Karena jika seseorang memanggilku sayang, maka ia adalah bagian dari ragaku, ia selalu ada dalam ingatkku, sakitnya adalah sakitku)
Saat sibuk mondar-mandir, aku diam-diam membuat beberapa premis: Jika lelaki itu datang di acara itu, maka ia adalah pahlawan yang sesungguhnya bagiku
Tapi, sampai acara selesai, ia tak datang!
Aku kecewa, sangat kecewa, karena itu berarti indikasi perasaan yang orang-orang duga semakin kuat (Ah, Boi, kenapa kau tak datang saja?)
Sesaat setelah acara ditutup, tiba-tiba kudengar suara lelaki itu di kepalaku
“Bagaimana mungkin aku menghadirinya? Aku tak siap mendapati diriku menjabati lelaki yang menjadi suaminya, memberinya ucapan selamat. Menggenggam tangan itu berarti mencekik leherku. Ya. Aku adalah pengecut yang sesungguhnya!”
Oh, aku tak sanggup menahan sedihku, di sudut tempat itu, aku merenung, turut merasakan luka: SAKIT!
Kenapa harus seperti ini? Kenapa hal ini harus menimpa lelaki baik hati itu? Aku juga mengutuk takdir
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku sama sekali tak ingin melihatnya berlama-lama: raut kecewa itu masih tersisa, Kawan! Hatiku perih lagi
Aku semakin tak berani menghubunginya meski sebenarnya ingin sekali menghiburnya, aku ingin ia bebas memahami makna peristiwa ini, merenunginya dalam kesendirian yang entah sampai kapan (butuh waktu lama baginya untuk menetralkan perasaan, aku yakin)
Dan aku tetap berdoa semoga ia mendapatkan perempuan yang sangat tepat, di saat yang tepat
Dan ketika waktu memihaknya untuk menikah, adegan super sibuk seperti hari itu, akan kuulangi, tanpa perasaan hampa, tanpa ada yang tersakiti
Aku menunggu hari itu, semoga aku diberi kesempatan
Kawan!
Inilah kisah yang sesungguhnya tentang aku dan dia, jika kau ingin tahu yang sebenarnya
Maka, jika ada sangkaan bahwa ada “sesuatu” antara aku dan dia, silakan menduga, aku merasa tak berhak melarang
Maka, jika kalian ingin bercerita ini-itu, silakan, aku tak akan melakukan klarifikasi sama sekali
Begitulah arti dia bagiku
Suatu saat, akan kuceritakan tentangnya lagi… [ez]
-untuk “Abang” dan kamu-
Pondok Istiqomah, Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar