Jumat, 13 Agustus 2010
Sebuah catatan: 63 Tahun Ayah
Tuhan, tolonglah...
sampaikan sejuta sayangku untuknya
ku trus berjanji tak kan hianati pintanya
Ayah, dengarlah...
betapa sesungguhnya kumencintaimu
kan kubuktikan, kumampu penuhi maumu...
(Yang Terbaik Bagimu, Ada Band)
Ayah.
Aku tidak ingat kapan memanggilnya “Ayah”. Aku yakin, nama yang kusebut pertama kali adalah nama ibu. Tapi rindu, aku lebih rindu Ayah.
Ayah. Bagiku adalah sosok pemimpin yang sangat demokratis, tak pernah memaksa kehendak pada anak-anaknya.
Ayah. Adalah sosok pendiam yang mengingatkanku pada Seman Said Harun Hirata dalam Maryamah Karpov, yang hanya memiliki beberapa “ekspresi diam”. Seadanya. Hanya berbicara seadanya, pada siapapun, juga pada istrinya: ibuku.
Ayah. Adalah teman terbaik belajar Matematika dan IPA selama SD. Kami berdua akan asyik bercengkrama, sehabis pulang sekolah, sesaat setelah tiba di rumah, meski belum sesuap nasi pun mampir di mulut kami. Lalu, kami berdua akan tersenyum, kocar-kacir ketika Ibu mengoceh sana-sini karena masakannya belum tersentuh tangan kami.
Ayah. Bagiku adalah “distributor” buku terbaik selama aku kecil. Hampir semua isi buku yang ada di sekolah tempatnya mengajar masuk di kepalaku. Ayah tak pernah bosan menyaksikan wajah penasaranku menyaksikannya membawa bingkisan hitam yang menggantung di sepeda bututnya. Wajahnya seolah berkata, “Tebak, Ayah bawa apa kali ini?”. Dan aku akan senang hati berprasangka bahwa yang dibawanya adalah buku-buku fiksi, fabel, hikayat-hikayat.
Ayah. Adalah petani sejati. Hampir saban subuh hari, berjalan dengan kaki telanjang menuju sawah kami yang hampir menguning, jaraknya sekitar satu kilometer. Tak jarang mengajakku, karena aku pun suka. Ayah tak akan bosan bercerita bagaimana bila tikus, burung atau wereng menyerang padi sawahnya. Bahwa menghadapi hama yang beliau tunjukkan, bagiku sangat unik. Kadang Ayah memberiku pelajaran baru: bercerita tentang Bintang Fajar yang bisa kami pandangi dari sawah kami. Atau menyaksikan bersama kawanan burung kecil yang usil bercicit-cicit di tengah padi yang mulai kemuning.
Ayah. Marahnya adalah diam. Sepi. Kami semua tahu. Dan tidak akan ada seorang pun yang mengganggu tenangnya. Begitu cara yang kami tahu, paling aman untuk meredamnya.
Ayah. Duduk disampingnya, bersamanya, adalah damai bagiku. Meski diam. Meski senyap.
Ayah. Hampir separuh hidupnya telah diabdikan untuk menatap bangku-bangku “Putih Merah” meski beberapa anaknya telah melewati masa “Putih Biru” dan “Putih Abu-Abu”
Ayah. Usianya hanya berbeda dua tahun dengan usia Proklamasi. Ayah mungkin telah merasakan pahitnya masa “Palu Arit” PKI. Kata Ayah, dahulu ia adalah petualang.
Ayah. Kini rambutnya telah hampir memutih seluruhnya. Tapi ia adalah lelaki tampan sejagad, Nabi Yusuf bagiku.
Ayah. Satu hal yang tak pernah berubah. Hingga usia senja, Ayah tak pernah mengatakan sayang pada kami semua, istri dan anaknya. Ini yang kupelajari darinya, cinta tak butuh kata-kata. Cinta adalah diam.
Ayah. Ternyata wajah kami sangat mirip. Aku baru menyadari (tepatnya mengakui) kenyataan ini.
Ayah. Aku rindu. Sangat rindu saat ini. Tapi aku yakin, Ayah tahu bahwa aku tak akan pulang.
13 Agustus!
Ayah. Selamat memasuki usiamu yang kesekian ini. Semoga sehat selalu. Doakan aku.
Ayah. Sampai jumpa!
Ayah...
dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
anakmu sekarang banyak menanggung beban...
(Titip Rindu Buat Ayah, Ebiet G. Ade)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar