Rabu, 26 Mei 2010

HIDUPKU: PESAN, MIMPI, DAN KENYATAAN









Disini aku sendiri
Menatap relung-relung hidup
Aku merasa hidupku
Tak seperti yang kuinginkan

Terhampar begitu banyak
Warna kelam sisi diriku
Seperti yang mereka tahu
Seperti yang mereka tahu


Hidup itu seperti apa? Rumit!
Hidup itu pilihan. Benar-salah. Ya-tidak. Baik-jahat. Mimpi-kenyataan. Keberanian-ketakutan!

Aku tak pernah menyangka akan seperti ini. Seolah berada di dunia antara. Antara kebebasan dan kehati-hatian. Aku yang bebas, namun harus tetap berhati-hati. Hati-hati untuk apa? Aku tak mau hidup dengan kehati-hatian! Aku tak mau hidup dalam ketakutan!

“Nak, hati-hatilah dalam melangkah. Meski tidak selamanya orang baik bebas dari murka orang jahat, tapi selalulah menjadi yang terbaik dan iringi dengan kewaspadaan. Ketahuilah, sesungguhnya menjadi jahat lebih aman daripada menjadi baik, karena tidak ada orang baik yang murka pada orang jahat. Namun jangan menjadikan jahat sebagai pilihan, karena masih ada Allah yang MahaMemperhatikan hambaNya. Pasrah dan tawakkal memang yang terbaik, namun harus tetap diiringi usaha untuk menjadi yang terbaik dalam hidup. Jangan lupa, sebelum melanjutkan aktifitas pagimu, shalat dhuha-lah, agar hatimu tetap disinari cahaya-Nya,” samar kudengar suara Ibu di pagi buta. Selalu seperti ini. Ibu tidak pernah lupa dengan pesan yang sama. Aku melihat sosok overprotective pada Ibu, sepenuhnya.


Kenyataan itu seperti apa? Pahit! Lalu, aku harus bagaimana?

Disini aku sendiri
Masih seperti dulu yang takut
Aku merasa hidupku pun surut
Tuk tumpukan harap

Tergambar begitu rupa, samar
Seperti yang kurasakan
Kenyataan itu pahit
Kenyataan itu sangatlah pahit


Menurutmu, kenyataan itu apa? Pastinya, kenyataan bukanlah mimpi. Lalu mengapa kita bisa percaya dengan mimpi jika kita hidup dalam kenyataan? Seberapa kuat mimpi itu? Apakah mimpi benar-benar memiliki kekuatan?

“Ayah, aku bermimpi tentang gadis kita. Aku takut,” suara Abang terdengar bagai kabar buruk.

“Mimpi itu hanya bunga tidur, Nak” Ayah berpesan pada Abang.

“Kau jangan terlalu percaya pada mimpi seperti itu,” lanjutnya dengan bijak yang tersisa. Aku sepakat dengan Ayah. Tapi, Ayah terlihat seolah-olah tegar. Ayah lupa, semasa kami kecil, ia telah mendoktrin anak-anaknya bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi-mimpi yang kemarin. Jadi, aku beranggapan bahwa kenyataan adalah anak dari mimpi. Maka, kami semua, anak-anak Ayah, percaya pada mimpi, apapun itu. Kami tidak pernah menyepelekan mimpi!

Sebenarnya, hidupku seperti apa?
Aku hidup dan berada disini dengan segala kekhawatiran dan kegelisahan orang-orang yang menyayangiku. Ayah, Ibu, Abang, Adik, Kakak Ipar, Kakek, Paman, Bibi. Keluarga. Mereka selalu khawatir. Sesungguhnya, aku tak terlalu nyaman dengan posisi ini. Jika hidupku adalah kekhawatiran bagi orang lain, maka untuk apa aku ada? Apa aku juga harus takut? Ah, aku bukan penakut!

“Dik, jaga dirimu. Abang terlalu jauh untuk melindungimu. Waspadalah untuk kami”

Tak biasanya Abang seperti ini. Ada apa? Meski diliputi penasaran, aku hanya meng-iya-kan. Ah, sesak! Apakah aku beban bagi mereka?

Aku merasa disudutkan kenyataan
Menuntut diriku dan tak sanggup ku melawan
Butakan mataku semua tentang keindahan
Menggugah takutku
Menantang sendiriku


Aku mencintai mereka, maka aku tak punya pilihan. Hidupku? Yaa, seperti ini. Ah! Aku benar-benar merasa tersudut!

Temui cinta
Lepaskan rasa
Temui cinta
Lepaskan rasa



Tuhan, esok itu seperti apa? Apakah mimpi itu akan me-nyata?

(Lirik lagu: “Sesuatu Yang Tertunda”, Padi ft. Iwan Fals)

KESENDIRIAN YANG BERMAKNA




Kesendirian, suatu waktu di mana kita tak bisa menghindarinya. Banyak momen di mana kita harus tinggal seorang diri; saat di kamar mandi; saat di rumah tak ada orang kecuali kita; saat berada di sebuah ruangan warnet. Saat kesendirian itu muncul, saat di mana setan dengan gencarnya menggoda kita. Karena biasanya, kita akan jauh lebih semangat beribadah ketika ada orang di sekitar kita. Apalagi jika orang yang di dekat kita adalah orang yang shalih, yang senantiasa “menularkan” kebaikan pada diri kita. Ketika penghalang itu tak ada, setan pun dengan leluasa menerobos masuk dalam hati dan pikiran kita.

Karena iman yang lemah, kita pun kerap terjebak pada bujuk rayu setan. Kita menuruti apa mau setan. Tadinya kita rajin shalat, membaca al-Quran, tiba-tiba menjadi makhluk jalang yang bersuka cita pada kemaksiatan. “Ah... tidak ada yang melihat saya melakukannya,” bisiknya dalam hati.

Saat kesendirian itulah keimanan kita sedang diuji, apakah kita benar-benar mencintai Allah dengan setulus hati, apakah kita hanya takut kepada-Nya ataukah ibadah yang kita lakukan selama ini hanya sandiwara dan ingin dipuji oleh orang yang sedang bersama kita?

Saat sendiri, berarti kita hanya berdua-duaan dengan Allah. Alangkah baiknya kita gunakan kesempatan itu untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika dalam keramaian kita berdzikir seratus kali. Maka saat sendirian, kita harus lebih dari itu. Uwais al-Qarny Ra. pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang bisa mengenal Tuhannya, sementara dia lebih banyak bersama selain-Nya.”

Suatu ketika, di malam yang dingin dan sunyi, Imam Abu Hanifah bermunajat di sebuah masjid. Di sana beliau menghabiskan waktunya dengan shalat, dzikir, dan berdoa hingga shubuh. Tak disangka, ada orang yang melihat ibadahnya itu. Setelah mengetahui ada yang memperhatikannya, beliau lalu berkata kepada orang tersebut agar merahasiakan perihal apa yang dilihatnya.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak terlalu banyak melaksanakan puasa dan shalat sunnah. Akan tetapi, kesendiriannya dipenuh dengan hal-hal yang berguna dan bermakna.
Seorang ulama bernama Umar Tilmisani pernah menceritakan pengalamannya. Di suatu malam, Imam Hasan al-Banna – gurunya – memanggil namanya, “Ya Umar, apakah engkau sudah tidur?” Lantas Umar menjawab, “Belum ya syaikh.” Kemudian Imam Hasan al-Banna kembali masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian Imam Hasan al-Banna kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Tapi kali ini Umar sengaja tidak menjawabnya, karena pasti nanti akan bertanya lagi hal yang sama. Umar pura-pura tidur.
Setelah tidak ada jawaban dari Umar, Imam al-Banna masuk kembali ke kamarnya. Beberapa saat lamanya pertanyaan yang sama tidak segera muncul, Umar pun melihat apa yang dilakukan gurunya itu di dalam kamarnya. Demi melihatnya, Imam Hasan al-Banna sedang bermunajat dengan tangisan menyayat hati. Akhirnya tahulah Umar, jika gurunya itu menginginkan kesendirian dalam bermunajat kepada-Nya, sehingga amalan hanya semata-mata karena Allah.

Sungguh asyik berdua-duaan bersama Allah sehingga Allah akan menganugerahi cahaya pada wajah kita. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Kenapa orang yang rajin shalat malam wajahnya tampak bercahaya?” Imam Hasan menjawab, “Karena dia berdua-duaan dengan Allah sehingga Allah menghadiahinya sebagian dari cahaya-Nya.”
Seorang yang taat di kala ramai maupun sepi akan mereguk manisnya iman. Dia akan mendapatkan peningkatan kualitas iman dalam dirinya. Sesungguhnya semua ibadah yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Kita berlaku demikian laksana melemparkan kayu Hindi (bahan minyak wangi) ke tengah bara api, kemudian wanginya tercium oleh manusia, namun mereka tak tahu dari mana sumber wewangian itu.
Ada orang yang jika kita mendekatinya terasa damai. Ketika menatap wajahnya, semakin mendorong kita untuk banyak mengingat Allah. Semakin bergaul akrab dengannya, terasa kebaikan-kebaikannya. Cintanya kepada kita bukan kamuflase sesaat, tetapi merupakan cinta murni yang datang dari-Nya. Terasa di sekeliling kita “harum mewangi” ketika kita bersamanya.

Namun, ada orang yang jika kita semakin dekat dengannya, hati kita semakin hampa, keras membatu, dan kotor oleh maksiat. Mungkin pada mulanya, kita menganggapnya orang baik. Namun lama kelamaan ketahuan belangnya, hatinya lebih busuk dari bangkai dan lebih kejam dari binatang liar. Merekalah orang-orang yang hanya taat di kala ramai, namun berbuat maksiat di saat sendiri.

Barangsiapa yang kesendiriannya baik dan penuh makna, akan menyebarlah aroma keutamaannya dan hati pun akan senantiasa mencium wewangiannya. Jagalah perilaku Anda dalam kesendirian, karena hal itu sangat bermanfaat.


Karena aku pun suka kesendirian...

Sumber: www.adilmuhammad.blogspot.com

Senin, 17 Mei 2010

AKU, BEBERAPA HARI INI...



AKU, BEBERAPA HARI INI…


Ada apa dengan bumi?
Dekat waktu ini aku hanya melihat senyum cinta anak-anak hijau yang tak jelas dari mana.

“Mana darah segar yang kau janjikan?”

Darah ketiga, anyir tak ada lagi. Seharusnya masih berbekas pada empat sampai lima. Ada apa? Ah! Bumi lupa pada sesaji yang harus dipenuhinya. Rotasi dan revolusi. Bumi tenggelam dalam kelana melenakan —atau melelahkan? Sepertinya, bumi telah kekurangan oksigen. Mungkin karena pohon-pohon telah enggan bernapas. Atau manusia yang terlalu kikir dengan karbondioksida. Hmm, manusia memang bodoh! Racun untuk tubuhnya sendiri pun tak ingin ia bagi kepada semesta. Lelaki Malang itu benar. Manusia terlalu pelit! Bahkan membagi masalah pada yang lain.

Sayang, darimana saja kau?

Sepertinya kau terlalu sibuk. Hobimu menjelajahi bumi telah sepenuhnya menyita senyum —juga ucapan cinta yang selalu kau paparkan meski hanya dengan presensi dan tandatangan. Apa kau serius dengan cita-citamu menjadi pengembara? Saat terakhir kuhubungi, ternyata kau sedang menjelajahi dunia selatan. Beberapa hari lalu, tiba-tiba kau ada di dunia timur laut. Apakah kau tak lelah, Sayang? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Suara serak yang kudengar kemarin menandakan tulang-tulang kekarmu akan mengalami keropos lebih awal dari yang seharusnya. Hmm, ostheoporosis! Jangan pernah disepelekan! Ia juga bisa menyebabkan kematian.

“Mungkin aku terlalu sibuk. Aku hanya butuh kalsium lebih banyak. Aku bisa membelinya di jalanan. Tak usah cemas”

Ya, aku tahu. Seharusnya aku tak terlalu cemas. Kau tentu telah menguasai berbanyak-banyak teori tentang protein, karbohidrat, lemak, vitamin, kalsium, natrium, juga sejuta zat bernada “um” yang lain. Kau lebih pintar tentang itu. Tapi, kau juga tak terlalu cerdas dariku. Karena kau keras kepala. Sangat keras kepala. Ini hubungan antara teori dan perilaku. Kau paham kan? Tentu saja.

“Aku juga ingin menjadi pengembara. Tapi aku tak punya kendaraan”

Bumi ingin pergi? Hei, itu tak boleh terjadi! Apa yang akan menimpa manusia jika bumi melenceng dari rel cincin penuh asteroid yang disediakan Matahari? Hendak kemana jika bumi pergi? Jagad tata surya akan kacau jika bumi secuil tergesek dari porosnya. Perempuan teduh bermata empat itu juga pasti akan merengek-rengek iba. Manusia telah menuhankan bumi. Sementara bumi menuhankan Tuhan. Ini sebuah kekeliruan. Bumi memang telah mengambil keputusan, tapi ia terlalu menyayangi manusia; perempuan teduh bermata empat dan anak-anak hijau. Bumi memang sangat baik hati.

“Tidak kusangka. Ternyata kau sangat beda dengan yang sering kulihat. Aku pikir, kau baik. Kau ternyata sombong juga. Maaf, aku mengganggu malammu” —Lelaki berinisial R—

Apa yang kau ketahui tentangku? Jika ada perbedaan dengan yang kau “lihat” dan “pikir”, lalu sesungguhnya aku seperti apa? Kau hanya belum mengenalku. Kau terlalu cepat menjustifikasi hanya dalam satu malam; dengan SMS dan telepon. Sedikit mengganggu syaraf warasku. Aku kembali mengingat masa abu-abu. Apakah kau termasuk dari mereka yang kebanyakan itu? Akan kuberi kau sedikit pandangan: suara dan kata-kata yang tertera dalam handphone-mu tidak bisa melegitimasi kepribadian seseorang. Bisa saja aku berbohong kan? Aku memang memiliki tendensi untuk itu terhadap orang-orang sepertimu: yang pura-pura salah sambung, dapat inspirasi dari teman kampus, or whatever —terlepas dari alasanmu yang sesungguhnya.

Kenapa kau tak kenalan saja denganku secara langsung? Beritahu namamu yang sebenarnya, alamat, nama orang tua, dan apapun informasi yang bisa membuat kita sama-sama tenang. Tapi, justru sebaliknya. Kau benar-benar telah membuatku tak tenang! Kau membuatku merasa diawasi kemana-mana. Aku tak nyaman dengan posisi ini. Kau ingin mengagumi atau menyayangi, terserah. Hakmu. Tapi kau tak perlu jujur padaku. Aku benar-benar tak nyaman diperlakukan seperti ini. Aku merasa tak dihargai dan dihormati. Hmm, tapi aku punya ide: jika aku merasa tak nyaman, maka kau pun harus begitu. Akan kukatakan padamu bahwa aku adalah mata-mata dari CIA, sekaligus detektif dan kapan-kapan bisa berubah menjadi penjahat kelas hiu: predator, kanibal, pembunuh, pencuri, pemeras, dan semua profesi berawalan “pe” yang bermakna jahat. Ah, atau aku menjadi Kira: Light dan Misa dalam Death Note. Ah, atau menjadi Jean-Baptiste Grenouille dalam Das Parfum. Mengerikan bukan? Mudah-mudahan setelah ini kau tak mengganggu. Aku jahat! Aku tak sebaik yang kau lihat.

“Aku masih menunggu…”

Aku tahu apa yang aku dan kau tunggu: Piala Dunia. Haha! Ternyata kita sama-sama suka bola. Aku senang mengetahui ini. Setidaknya nanti kita bisa saling bercerita tentang pertandingan yang aku atau kau lewatkan. Kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan. Aku penasaran, tim mana yang akan kau jagokan. Kau tentu sudah tahu mana yang kupilih. Ya, Jerman! Pesona si “Sebelas” itu tidak pernah pudar setelah delapan tahun berlalu. Sejak ia turut andil dalam skor 8-0 melawan Arab Saudi di Piala Dunia 2002, aku jatuh cinta. Miroslav Klose. Ia adalah alasan tolol yang membuatku ngotot berkunjung ke Negara Hitler itu. Euphoria-nya akan hadir beberapa pekan lagi. Kita akan bersiap-siap. Kau dukung yang mana? Apa kau ada di pihakku?

“Aku masih menunggu…”

Apa lagi, Sayang? Bumi tak lagi seperti dulu. Ia kecewa pada Jingga yang pernah memberinya warna dan cahaya. Senja menjadi tak seindah beberapa tahun lalu, bukan? Kau pernah mengatakan itu. Tapi, aku ragu dengan kata-katamu —bahkan aku tahu, sebenarnya kau pun ragu dengan katamu sendiri. Satu hal yang kupelajari darimu: kau tak bisa melupakan masa lalumu. Lalu, dengan alasan apa kau mengunjungi bumi? Ingin mewarnai? Atau menyinari? Atau menyakiti? Maka tak akan kau dapatkan tujuanmu itu. Akan kubocorkan untukmu. Hanya ada satu alasan untuk melewati pintu bumi: cinta. Jika kau tak memiliki itu, jangan berharap terlalu banyak. Tapi, aku tahu kau tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Kau pengecut! Oho, aku jadi tahu apa yang kau tunggu-tunggu: Keberanian!

“Aku tak suka caramu!”

Ternyata kau masih bermain-main dengan tembok-tembok kumuh di sudut kota. Ah, aku kecewa lagi. Tiga jam lalu, aku dapati dirimu mengakrabi seorang perempuan. Kau terlihat sangat menyukai aktivitas ini. Huh, ini hanya impresi sesaat kaum muda menjelang tua sepertimu. Lalu kata-kata itu akan lepas tak berbekas. Slurp! Ditelan bumi. Nah, apa yang kau dapatkan? Alih-alih kepuasan. Kau hanya akan menyesali segalanya. Tunggu saja. Aku tak pernah suka caramu!

Perempuan itu senja. Salamku untuknya. Ada satu fakta yang kuketahui tentangnya: dia sangat menyayangimu. Kau ingat saat kau hendak pindah rumah? Dia datang padaku, menanyakan alamat rumahmu yang baru. Hmm, wajah senjanya sangat pucat ketika itu. Tapi, dia tetap senja yang sangat manis. Kau sudah lama mengenalnya, bukan? Tentu saja. Kau berjumpa dengannya sebelum mengenalku. Sepertinya, aku harus minta maaf karena terlalu jauh tahu tentang kalian. Seharusnya rahasia itu hanya untuk kalian. Maaf!

Perempuan senja itu sangat menyayangimu. Tapi, sekarang aku sadar satu hal: aku tak sesayang itu padamu…

—Tulisan ini untuk adik-adik peserta pelatihan kepenulisan di SMAN 7 Makassar: Aku percaya! Kalian bisa menjadi penulis!—