Sabtu, 25 Desember 2010

MALAM INI



Ini bukan tentang memiliki dan kehilangan. Bukan tentang perasaanku atau perasaanmu. Bukan tentang ya atau tidak.

Hidupku sampai detik ini memberikan banyak pelajaran, sangat banyak! Berupa harmoni antara kesenangan dan kesedihan (meski sepertinya, akhir-akhir ini lebih banyak luka). Aku tak tahu mengapa begini. Hidupku berbeda dengan hidupmu.
Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keadaan melarat. Terbiasa dengan kesederhanaan yang kadang dipaksakan untuk usia-usia hijau. Ayah dan ibu selalu mengajarkan aku dan saudara-saudaraku untuk selalu besar hati dengan keadaan itu (padahal, yang aku tahu, ukuran hati hanya sebesar telapak tangan). Bagaimana dengan hidupmu? Bukankah selalu mewah?
Aku tak ingin merendah, tapi ini kenyataan!
Setelah semua kulewati beberapa bulan ini, aku merasakan sesuatu:

LEMAH! AKU SANGAT LEMAH!
Dan, maaf…
Aku, saat ini tak bisa mengatakan apa-apa padamu, juga pada mereka tentang perasaanku. Karena yang kurasakan hanya perih yang tak tahu ujungnya sampai kapan. *mungkin memang aku hampir mati*

Sebelum itu terjadi, aku hanya butuh seseorang yang bisa menguatkanku. Bukan dengan apa-apa. Dengan iman. Bawalah keimanan padaku. Hanya dengan itu aku bisa menahan sakit. Hanya dengan itu, aku bisa lebih kuat.

Seandainya, itu kamu…

Sabtu, 13 November 2010

Untuk Angin (Bawa Saja...)



Apa yang kupikirkan??


ah, kenapa kau dan kamu selalu ingin tahu?

ini bukan tentang apa-apa. bukan tentang langit yang selalu memberi warna pada bumi (ataukah bumi yang mewarnai?)


mungkin kau dan kamu berkata aku seperti daun kering yang tak bisa berontak jika angin melayangkan tangannya, membelaiku..


entah, kemana aku akan pergi...


rupanya, benar, aku tak pernah bisa memiliki arah. seperti daun itu.

arah hidup ku pun aku tak pernah tahu...

benar, aku belum dewasa.


(maaf, aku masih belum bisa percaya cintamu, Sayang...)

Minggu, 26 September 2010

Seseorang Yang (Pernah) Ada




Ketika dua bibir membisu, cinta kita menjadi gagu
Tak ada suara atau tatapan malam ini

Tentang Rasa




Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Kutitipkan cahaya terang
Tak padam didera goda dan masa


“Aku sangat ingin bertemu dengannya”
“Siapa? Apa aku mengenalnya?”
“Entah. Mungkin ya, mungkin tidak. Yang aku tahu, aku merasa tak pernah mengenalnya. Dia……”

Salah satu alasanku berada disini adalah kamu. Ya, kamu. Tapi tentu saja kamu tak tahu. Aku menyimpan erat alasan itu dalam hatiku. Juga segala tanya yang semestinya terlontar saat kamu ada di depanku. Atau ekspresi yang tercurah ketika kita bertatap muka. Sudah terlalu lama, Sayang.

Ternyata kamu tak pernah berubah. Masih begitu, dengan sikap dan sifat itu. Diam. Kamu mungkin memang tak ingin berubah. Selalu diam. Itu membuatku agak sedikit terluka. Aku serius. Tapi aku tak akan mengatakan ini karena kita sama. Sama-sama akan diam. Mungkin inilah susahnya menjadi kita. Bagaimana kita bisa tahu (meski secara imaji kita telah tahu) perasaan kita?

Aku bingung. Suatu waktu, aku tak ingin menjadi aku atau menjadi kita. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah inilah kita? Kita yang sama-sama tak pernah ingin bicara. Kita ternyata tak cocok dengan keadaan cinta yang selalu melontarkan kata-kata.
Satu kata, tapi bukan kata itu. Bukan cinta. Aku ingin satu kata yang lain. Ibarat sayembara, aku ingin kamu mencari kata itu lalu membawanya padaku. Kapanpun, aku akan menunggu. Kecuali jika waktu telah mendahului perasaan kita. Aku dan kamu.

Ah, kenapa juga kamu harus menuntut sesuatu yang kamu sudah tahu aku tak akan memberikannya?

Aku disini karena kamu. Dan kamu tak menggunakan kesempatan itu untuk berkata-kata. Masih diam. Lalu saat pasir di dalam tabung itu mulai menipis, kamu malah ingin pergi lagi mendahuluiku. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain pura-pura tersenyum seperti biasa. Meski aku tahu, kamu mengharapkan kata-kata lain selain senyum. Tapi, kita sudah sama-sama tahu bahwa kita akan diam, bukan?

Harapanku tak terwujud (lagi) kali ini, tapi aku tak kecewa. Masih ada waktu yang lain. Karena kita akan sama-sama berada di tempat kita tanpa membiarkan seseorang mengisi kekosongan itu. Aku hanya bersyukur karena telah menemukan wajahmu yang menoleh ke mata angin selatan, di kelilingi putih. Kamu tak tahu, hatiku saat itu dipenuhi bunga. Indah sekali. Akhirnya aku menemukan kamu. Tiba-tiba aku merasa berada di pinggir dermaga tempat kita bertemu.
Sampai jumpa lagi, Sayang…

Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya…
*Lirik by: Astrid “Tentang Rasa”*

Kamis, 26 Agustus 2010

JENGKELKU!!!




26 Agustus 2010, malam…
Maaf sebelumnya. Untuk teman-teman FLP yang pernah menikmati puisi eksotik dari Zevi, aku ingin menjelaskan bahwa tulisan kali ini bukan tentang puisi itu. Aku hanya merasakan rasa itu kini, sampai detik ini sejak sore tadi: JENGKEL!

Aku baru menyadari satu hal: kecelakaan berkendara yang kita (maksudnya, bagi pengendara baik hati dan tidak sombong) alami, tidak sepenuhnya merupakan kesalahan kita. Bisa jadi dan sangat pasti, itu adalah salah pengendara lain. Seperti yang aku alami beberapa jam lalu.

Bukan bermaksud sombong, setelah selama kurang lebih enam tahun mahir mengendarai motor, baru sore tadi aku jatuh dari kendaraan itu, Honda Blade milik Taf. Datang dari arah berlawanan, sebuah kijang tua, entah pengendaranya siapa (soalnya tidak kelihatan, mungkin bapak-bapak), seenaknya saja beraksi tanpa isyarat yang jelas: memakai lampu belok. Kontan saja, agar tak menabrak orang yang sangat “bertanggungjawab” itu, aku menginjak rem mendadak. Sayang, tanah tempat motor berpijak dipenuhi dengan batu dan pasir hingga membuat ban belakangnya terselip. Alhasil, Honda Blade-nya Taf oleng ke kanan.

Kaki kananku tertimpa motor, agak nyeri. Kasihan Evi yang kubonceng di belakang. Dia harus pasrah dengan posisi duduk di atas tanah. Untungnya, tidak apa-apa. Katanya satu sama, karena dia juga pernah melakukan hal yang sama padaku.

Tapi, aku rasanya tak ikhlas dengan kejadian itu. Jelas, karena bukan salahku! Salah pengendara itu! Setelah berhasil bangkit dari motor yang oleng, dengan bantuan seorang pemuda yang baik hati, langsung saja aku mengomel-omel, dengan ekspresi sungut, sambil menunjuk ke arah pengendara mobil indah itu.

“Ndak pake weser itu eee…”

Eh, setelah kutunjuk mobil, dengan penuh keajaiban, lampu belok mobil itu berkedip. Dasar! Akhirnya pengendara itu sadar, dia salah!

Tanpa buang waktu, aku pergi dari tempat itu, masih sambil mengumpat-umpat. Jengkel banget deh sama itu orang. Rese! Akhirnya, karena dia, aku jatuh juga dari motor. Meski Evi berdalil bahwa kita lagi puasa, tidak boleh ngomel-ngomel, tapi tetap saja, omelanku berlanjut sampai kampus.

“Udah salah, tidak mau taanggungjawab lagi. Turun dari mobil, kek... Bantuin kita bangun. Dasar!”

And so on…


Pelajaran untuk semuanya hari ini: Apapun yang terjadi, patuhi peraturan lalu-lintas. Jika puasa, jangan suka mengomel sepertiku…


Sayonara!,
-Bintang Rubi-

DIARI YANG TERLUPAKAN (1)




24 Agustus 2010…
Nendenk dan Ridho pulang. Sore tadi, kami bertemu di Ipteks, samping danau. Senang rasanya bertemu dengan mereka. Meski berbeda jurusan dan angkatan, tapi hubungan kami, kurasa bisa menyamakan hubungan atas rasa “sesama fakultas dan angkatan”. Peluk dan cium berbahasa. Ya. Rindu. Hampir dua bulan kami tak bersua. Melihat mereka, aku teringat masa setahun lalu: KKN Profesi Kesehatan Unhas Angkatan 32 Posko 63 Kabupaten Bantaeng.

Hmm. Kisah itu tentu tak terlupakan. Kisah bersama 11 teman yang hampir semuanya tak kukenal. Kami akhirnya harus tinggal serumah dalam tempo tujuh pekan, waktu yang cukup lama. 12 mahasiswa, empat lelaki-delapan perempuan, hidup dalam satu atap bersama dua keluarga di dalamnya. Bisa dibayangkan betapa ributnya rumah itu. Betapa bermakna persaudaraan itu. Betapa beragam kisah itu.

Posko 63 Desa Nipa-Nipa Kecamatan Pa’jukukang, posko kelima terakhir berdasarkan urutan jarak dari perbatasan Bantaeng-Jeneponto, bagiku adalah posko yang sangat ideal. Jarak posko dari kota hanya sekitar 4 kilometer. Di dalam posko tersedia segala fasilitas tempat tinggal yang cukup mewah: televisi, lemari es, dispenser, rice cooker, ruang tamu yang luas. Ditambah dengan posisi strategis pinggir jalan poros Bantaeng-Bulukumba, terletak di depan sebuah SLTA dan lapangan, membuat posko kami gampang ditemukan dan sangat nyaman digunakan sebagai tempat persinggahan bagi teman-teman yang ingin ber”istirahat” di Tanjung Bira, Bulukumba. Jika kita menatap lurus ke depan dari arah gerbang rumah, maka akan terlihat gunung-gunung berjejeran. Di sebelah barat, kurang lebih 500 meter, akan kita temukan pantai yang merupakan garis silaturahim antara pantai Bulukumba dan Jeneponto. Pokoknya, eksotik deh!

Tuan rumah posko kami adalah seorang bapak yang saaaaaaaangat baik hati. Pak Chaeruddin, namanya. Beliau adalah Kepala Desa Nipa-Nipa saat itu. Pertemuan pertama dengannya adalah kesan yang tak tertandingkan untukku (dan ini kuakui dengan sangat jujur saat malam perpisahan), bahwa aku begitu ketakutan dan merinding melihat beliau dengan beberapa alasan yang membuat beliau tertawa terbahak-bahak: aku takut melihat kumisnya yang begitu lebat, perutnya yang buncit dengan sebatang rokok yang ada di tangannya. Kontan, semua peserta malam perpisahan, para staf desa, anak-anak muda dan keluarga Pak Desa serta para tetangga tak bisa menahan tawa mendengar pengakuan itu. Dari situ juga, aku baru tahu, bahwa ternyata Pak Desa pernah disangka sebagai Indro Warkop karena kumis tebalnya itu.


Script 1
Info nama dan posko KKN telah diumumkan. Segala perasaan beradu: deg-degan, gemetar, penasaran, senang. Sedikit berlari, aku mengeja anak tangga menuju lantai 2 FKG. Kucari namaku, lama tak kutemukan. Keringat berdesakan di pori-pori. Cemas. Mencari satu nama diantara hampir seribu nama yang tertera di atas kertas, membuatku khawatir. Jangan-jangan, aku tidak memenuhi syarat untuk bisa ikut KKN karena kurang tinggi…

Bersambung…

BEBERAPA CATATAN: SEBELUM AKU PERGI




Aku Mulai Mencintaimu di Malam Ke-Sebelas

Aku sebenarnya tak tahu mendefinisikan ini
Mungkin karena doktrin dan justifikasi mereka yang membuatku selalu berusaha menipu dan tertipu
(Mereka lupa bahwa sedang menyelami lautan rahasia terdalam dari duniaku)
Dia? Huh, Bocah Pengecut itu!?
Bintang-bintang seraya menari mendengar suaramu mendayu di balik tembok hitam ―sangat ingin kugusur tembok tipis menerawang itu
Aku seperti ilalang di samping rumah yang tertiup angin sepoi dari atas kepalaku
Malam ke-sebelas…
tiba-tiba saja ingin usiaku lebih muda enam atau delapan tahun agar bisa mendekapmu dari arah yang tak kau duga; yang dewasa, yang pernah ingin mengajakku berdansa di atas angin, yang rajin menyiangi rumput disamping rumah, dan pandai mengumpulkan remah-remah dilatasi memori di ujung kalimat
Untuk kamu: sekali lagi, terima kasih sebanyak bintang
“Aku sangat mencintai lagu-lagu yang kau nyanyikan untukku…”


Sedikit pesan…

Baiklah!
Ayah pernah mengajarkanku bagaimana cara menghitung dengan tepat sudut bulan di langit terhadap hari yang berjalan
“Tinggal kau bagi saja tiga ratus enam puluh derajat dengan sejumlah hari dalam sebulan: dua puluh delapan atau tiga puluh. Kau akan mendapatkan besar sudut bulan yang kau mau. Pandangi saja bulan itu, maka kau akan dapat menghitung, hari keberapa sekarang,” itu kata Ayah tahun lalu.
Saat kau tiba, aku akan pergi pada bulan dengan sudut belasan
Mungkin kau tak akan bisa menghubungiku lagi
Maaf…



Tentang Dua Kaki yang Telah Lama Tak Berpijak

Ada yang berubah pada diriku
Dua kaki yang telah lama tak berpijak, sejak usiaku sembilan atau sepuluh, yang selalu membuatku rindu ―juga satu-satunya alasanku tersenyum, kini terluka
Keduanya demam tinggi, membuat kepala, badan dan tanganku cemas, istirahat tak jelas, meski usia telah semakin menua
Status-ku yang akan (segera) berubah dan status anggota badanku yang semakin jelas, seolah membuat diriku rapuh dan tegar di saat yang sama (kepala dihiasi langit putih dan badan yang tak ragu-ragu ditimpa osteoporosis): ini karena desakan beberapa ideologi yang kadang dilembutkan
Sementara seorang anak laki-laki dari rahimku menunggu waktu untuk dilahirkan ke dunia
Beberapa peristiwa beruntun ingin membuatku menangis haru dan bahagia
Aku bingung akan berada dimana, tapi sore tadi sudah kuputuskan untuk pergi, menuju tempat kembaliku sesaat setelah (mungkin) kau tiba
Kini, tidak ada lagi alasan untuk menyimpan tabungan kecerdasan!
Kedua kaki ini menunggu tanganku untuk membasuh demam dan keringat dinginnya: tunggu aku! Jangan pergi dulu, Sayang!


Setapak Episode

Aku semakin rindu pelukan-pelukan tahun lalu
Entah, aku akan menyaksikan yang mana: janur yang menguning, atau anggota baru yang menanti omelan si gadis kecil yang giginya keropos satu-dua
Mudah-mudahan keduanya saja…
Ah, tinggal menghitung hari ―atau, puluhan sudut pada wajah bulan di langit malam… (EZ)

-Sebelum benar-benar pergi (mungkin kau akan salah mengartikan ini lagi…), 21-26 Agustus 2010-

Jumat, 13 Agustus 2010

Sebuah catatan: 63 Tahun Ayah





Tuhan, tolonglah...
sampaikan sejuta sayangku untuknya
ku trus berjanji tak kan hianati pintanya
Ayah, dengarlah...
betapa sesungguhnya kumencintaimu
kan kubuktikan, kumampu penuhi maumu...
(Yang Terbaik Bagimu, Ada Band)





Ayah.
Aku tidak ingat kapan memanggilnya “Ayah”. Aku yakin, nama yang kusebut pertama kali adalah nama ibu. Tapi rindu, aku lebih rindu Ayah.

Ayah. Bagiku adalah sosok pemimpin yang sangat demokratis, tak pernah memaksa kehendak pada anak-anaknya.

Ayah. Adalah sosok pendiam yang mengingatkanku pada Seman Said Harun Hirata dalam Maryamah Karpov, yang hanya memiliki beberapa “ekspresi diam”. Seadanya. Hanya berbicara seadanya, pada siapapun, juga pada istrinya: ibuku.

Ayah. Adalah teman terbaik belajar Matematika dan IPA selama SD. Kami berdua akan asyik bercengkrama, sehabis pulang sekolah, sesaat setelah tiba di rumah, meski belum sesuap nasi pun mampir di mulut kami. Lalu, kami berdua akan tersenyum, kocar-kacir ketika Ibu mengoceh sana-sini karena masakannya belum tersentuh tangan kami.

Ayah. Bagiku adalah “distributor” buku terbaik selama aku kecil. Hampir semua isi buku yang ada di sekolah tempatnya mengajar masuk di kepalaku. Ayah tak pernah bosan menyaksikan wajah penasaranku menyaksikannya membawa bingkisan hitam yang menggantung di sepeda bututnya. Wajahnya seolah berkata, “Tebak, Ayah bawa apa kali ini?”. Dan aku akan senang hati berprasangka bahwa yang dibawanya adalah buku-buku fiksi, fabel, hikayat-hikayat.

Ayah. Adalah petani sejati. Hampir saban subuh hari, berjalan dengan kaki telanjang menuju sawah kami yang hampir menguning, jaraknya sekitar satu kilometer. Tak jarang mengajakku, karena aku pun suka. Ayah tak akan bosan bercerita bagaimana bila tikus, burung atau wereng menyerang padi sawahnya. Bahwa menghadapi hama yang beliau tunjukkan, bagiku sangat unik. Kadang Ayah memberiku pelajaran baru: bercerita tentang Bintang Fajar yang bisa kami pandangi dari sawah kami. Atau menyaksikan bersama kawanan burung kecil yang usil bercicit-cicit di tengah padi yang mulai kemuning.

Ayah. Marahnya adalah diam. Sepi. Kami semua tahu. Dan tidak akan ada seorang pun yang mengganggu tenangnya. Begitu cara yang kami tahu, paling aman untuk meredamnya.

Ayah. Duduk disampingnya, bersamanya, adalah damai bagiku. Meski diam. Meski senyap.

Ayah. Hampir separuh hidupnya telah diabdikan untuk menatap bangku-bangku “Putih Merah” meski beberapa anaknya telah melewati masa “Putih Biru” dan “Putih Abu-Abu”

Ayah. Usianya hanya berbeda dua tahun dengan usia Proklamasi. Ayah mungkin telah merasakan pahitnya masa “Palu Arit” PKI. Kata Ayah, dahulu ia adalah petualang.

Ayah. Kini rambutnya telah hampir memutih seluruhnya. Tapi ia adalah lelaki tampan sejagad, Nabi Yusuf bagiku.

Ayah. Satu hal yang tak pernah berubah. Hingga usia senja, Ayah tak pernah mengatakan sayang pada kami semua, istri dan anaknya. Ini yang kupelajari darinya, cinta tak butuh kata-kata. Cinta adalah diam.

Ayah. Ternyata wajah kami sangat mirip. Aku baru menyadari (tepatnya mengakui) kenyataan ini.

Ayah. Aku rindu. Sangat rindu saat ini. Tapi aku yakin, Ayah tahu bahwa aku tak akan pulang.

13 Agustus!
Ayah. Selamat memasuki usiamu yang kesekian ini. Semoga sehat selalu. Doakan aku.

Ayah. Sampai jumpa!

Ayah...
dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
anakmu sekarang banyak menanggung beban...
(Titip Rindu Buat Ayah, Ebiet G. Ade)

Senin, 09 Agustus 2010

...JIKA ENGKAU BERSEDIH...




Jika engkau bersedih pastilah ini ada maksudnya
Andai engkau bisa tertawa seharusnya bahagia

Dan jika karma itu ada.. berpeganglah atas hatimu
Karena kau tak akan bisa.. mengabaikan takdirmu

Tak perlu engkau terus bersedih
Seperti dulu melemahkan niatmu
Sudahi saja tangismu
Tetapkan hati berjuang bersama lagi

Tahu kah engkau bahwa.. cinta itu adalah anugerah
Sama seperti adanya.. hidup kita hidup ini
Mengertikah engkau bahwasanya gagal itu bukanlah kekalahan
Selama kau memahami apa.. yang menguji hatimu

Tak perlu engkau terus bersedih
Seperti dulu melemahkan niatmu
Semoga bertemu kembali
Mengingat hari berjuang bersama lagi

Tak usah lagi bersedih
Tak perlu terus bersedih ..
Tak usah lagi bersedih
Tak perlu terus bersedih ..

:: Lirik Dari PADI, "Jika Engkau Bersedih" ::

Jumat, 06 Agustus 2010

INILAH YANG SEBENARNYA (1): EPISODE YANG TERABAIKAN…



INILAH YANG SEBENARNYA (1): EPISODE YANG TERABAIKAN…


Hari itu aku menghadiri pernikahan seseorang yang kukenal dengan baik
seperti biasa, untuk seseorang yang telah kuanggap saudara, maka aku akan menjadi sangat sibuk pada hari istimewanya: mondar-mandir kiri kanan, tersenyum lebar-lebar menyapa para tamu, kadang mengutip senyum setiap orang terutama kedua mempelai dengan kamera seadanya –lihatlah kebahagiaan perempuan yang kuanggap saudaraku itu, manis sekali, semakin manis

Kadang aku sibuk mengatur tumpukan piring dan menyodorkannya pada para ibu –masih sambil tersenyum lebar, kadang menyapa anak-anak kecil yang berkeliaran, kadang berlari kecil ketika dari jauh melihat kado-kado nyaris terjatuh, bahkan kadang naik di atas pelaminan memperbaiki jilbab pengantin perempuan yang mencong kiri atau kanan sambil sesekali merapikan make up-nya

Pokoknya hari itu aku super sibuk untuk turut merasakan kebahagiaan di tempat itu
Tapi, jauh dari tempat itu, di hatiku, ada kekosongan. HAMPA!

Aku membayangkan sesuatu yang menurutku seharusnya terjadi: bahwa bukan lelaki yang saat itu ada di atas sana yang harus duduk disamping perempuan itu, ada seseorang yang menurut rasa lebih berhak, lelaki lain yang kukenal juga

Aku lupa kapan persisnya melihat lelaki itu pertama kali

Aku lupa kapan persisnya mengenalnya dengan baik

Aku lupa kapan pertama kali beradu kata, berdialog dengannya

Aku lupa tanggal persisnya, tapi tak penting

Tapi aku tahu sebagian episode penting hidupnya, sebagian orang di sekitarku juga tahu hal yang sama: ia sangat mengharapkan, suatu saat, menikah dengan perempuan yang jadi pengantin di hari itu (mungkin perempuan itu juga mengharapkan hal yang sama)
Saat pertama kali kudengar kabar perempuan itu akan menikah dengan lelaki lain –bukan lelaki yang kukenal itu, hatiku seperti tercekik, serasa asmaku semakin kronis: aku membayangkan remuknya rasa lelaki itu

(Karena jika seseorang memanggilku adik, maka orang itu adalah kakak bagiku, apapun akan kuberikan untuk menyenangkan hatinya
Karena jika seseorang memanggilku kakak, maka orang itu adalah adik yang sangat kusayangi, tak akan kubiarkan sedetikpun menangis
Karena jika seseorang memanggilku ibu, maka orang itu adalah anak yang selalu kuperhatikan setiap hari, tak akan kubiarkan ia diganggu orang lain
Karena jika seseorang memanggilku teman, maka aku akan berusaha membuatnya selalu tersenyum, apapun akan kulakukan untuknya
Karena jika seseorang memanggilku sayang, maka ia adalah bagian dari ragaku, ia selalu ada dalam ingatkku, sakitnya adalah sakitku)

Saat sibuk mondar-mandir, aku diam-diam membuat beberapa premis: Jika lelaki itu datang di acara itu, maka ia adalah pahlawan yang sesungguhnya bagiku

Tapi, sampai acara selesai, ia tak datang!

Aku kecewa, sangat kecewa, karena itu berarti indikasi perasaan yang orang-orang duga semakin kuat (Ah, Boi, kenapa kau tak datang saja?)

Sesaat setelah acara ditutup, tiba-tiba kudengar suara lelaki itu di kepalaku

“Bagaimana mungkin aku menghadirinya? Aku tak siap mendapati diriku menjabati lelaki yang menjadi suaminya, memberinya ucapan selamat. Menggenggam tangan itu berarti mencekik leherku. Ya. Aku adalah pengecut yang sesungguhnya!”

Oh, aku tak sanggup menahan sedihku, di sudut tempat itu, aku merenung, turut merasakan luka: SAKIT!

Kenapa harus seperti ini? Kenapa hal ini harus menimpa lelaki baik hati itu? Aku juga mengutuk takdir

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku sama sekali tak ingin melihatnya berlama-lama: raut kecewa itu masih tersisa, Kawan! Hatiku perih lagi

Aku semakin tak berani menghubunginya meski sebenarnya ingin sekali menghiburnya, aku ingin ia bebas memahami makna peristiwa ini, merenunginya dalam kesendirian yang entah sampai kapan (butuh waktu lama baginya untuk menetralkan perasaan, aku yakin)
Dan aku tetap berdoa semoga ia mendapatkan perempuan yang sangat tepat, di saat yang tepat

Dan ketika waktu memihaknya untuk menikah, adegan super sibuk seperti hari itu, akan kuulangi, tanpa perasaan hampa, tanpa ada yang tersakiti
Aku menunggu hari itu, semoga aku diberi kesempatan

Kawan!
Inilah kisah yang sesungguhnya tentang aku dan dia, jika kau ingin tahu yang sebenarnya

Maka, jika ada sangkaan bahwa ada “sesuatu” antara aku dan dia, silakan menduga, aku merasa tak berhak melarang

Maka, jika kalian ingin bercerita ini-itu, silakan, aku tak akan melakukan klarifikasi sama sekali

Begitulah arti dia bagiku

Suatu saat, akan kuceritakan tentangnya lagi… [ez]

-untuk “Abang” dan kamu-
Pondok Istiqomah, Agustus 2010

Senin, 02 Agustus 2010

KAMU DAN...






Siapapun kamu
dengan segala apa dan mengapa: alasan
terserah kamu, maumu --aku tak akan bertanya
dengan cara apapun kamu mendatangiku, dengan cara bagaimanapun kamu memandangku, dengan desahan selembut apapun kamu memanggilku, dengan kain apapun kamu menyentuhku
sejauh apapun kamu menjangkauku, selama apapun kamu ada dalam membersamai hidupku dengan rasamu: dendam, benci atau apa
kamu boleh ada dalam nadi urat leherku
kamu boleh ada dalam setiap udara yang kuhembus
kamu boleh ada dalam detikdetak jantungku
kamu boleh ada dalam delapan penjuru mataanginku: menyelinap atau terang-terangan pada audioku
kamu boleh muncul dalam setiap mimpiku, bahkan dengan wajah serupa hantu yang membuatku tak bisa memejam mata lagi sampai pagi
aku tak akan apa-apa dengan pada tidak-apa-apa yang kamu ciptakan
tapi, tolong...
sebelum aku mati
SEBELUM AKU MATI: izinkan aku menyebut nama Tuhanku di akhir hidupku, izinkan aku melihat senyum kedua orangtuaku, izinkan aku melihat abangku menikah, izinkan aku melihat abang kecilku melangkah lagi, izinkan aku melihat keponakanku lahir (mungkin tiga bulan lagi), izinkan aku membayar semua utangku, izinkan aku melihat ayahku pulang dari tanah suci: memakai kopiah putih ciri khas Bapak Haji, izinkan aku mati dalam senyum: menunggangi kuda atau menarik busur panah di daerah tandus sana
AKU INGIN MATI DENGAN SENYUM MENYEBUT NAMA TUHAN!
tidak seperti hari ini, menduga-duga rasa ini adalah karena kamu atau karib-karibmu: bagiku, hanya orang bodoh yang percaya hal seperti itu (ah, mungkin aku memang salah satunya)
***

aku tak ingin tahu dimana kamu sekarang, apa yang kamu lakukan di belakangku selama ini
bahkan aku akan dengan rela mengatakan "Ya" jika kamu bertanya (kenapa tak kamu lakukan?)
aku akan pasrah menjadi bonekamu, seumur hidupku
***

mungkin kamu melakukan ini karena aku tanpa sengaja telah memakimu, mengutukmu, menggerutui "ada"mu di sampingku
mungkin kamu melakukan ini karena aku telah ceroboh menawarkan kesempatan
tapi percayalah
AKU TAK PERNAH TAHU SIAPA KAMU...[*]


-EZ. Sesaat setelah sakitku tak tertahan seperti akhir tahun lalu, Agustus 2010-

Jumat, 30 Juli 2010

AKU HANYA MENUNDA KECERDASAN





Sore ini
aku lupa sore keberapa
yang jelas, kaki kulangkahkan menuju istana yang telah ku-singgasana-i selama delapan semester, tanpa pernah ingin pindah sekalipun
pada sebuah belokan (tinggal satu belokan) sebelum Pondok Istiqomah (kata Imran, sampingnya Istirahat)
kudapati dua orang teman lelaki, satu fakultas
aku masih ingat saat kami samasama culun dikerjai senior. salah satu dari mereka sering sekali dihukum keliling lapangan fakultas karena selalu terlambat jika harus tiba pagi buta. berani-beraninya telat saat-saat OPSPEK! dasar bodoh! pemalas! pasti suka begadang! gerutuku.
pertengahan masa kuliah, kira-kira semester empat, rambut mereka mulai gondrong
niatnya ingin menunjukkan eksistensi dan diferensiasi dengan MABA
padahal menurutku, mereka tetap saja si culun itu
haha!
tapi, aku tercengang
tepat di penghujung semester delapan, mereka berhasil meraih gelas sarjana, SKM!
mereka yang aktif di himpunan, organisasi kiri yang tak jarang bikin orang lain jadi gila, selalu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk patolo-toloi MABA, selalu bolos kuliah, kerja tugas seadanya, berlama-lama di fakultas hingga tengah malam...
akhirnya!
sangat membanggakan, setidaknya bagi orangtua, dekan, dosen, staf, juga temanteman
mereka
SELESAI TEPAT WAKTU!
mungkin ini yang namanya takdir
aku seharusnya, yang diyakini sebagian besar orang, bisa melebihi mereka, malah masih begini saja

saat tatapan kami bertemu sebelum belokan itu
seakan kami menanyakan kabar masingmasing tanpa suara: dengan tatap penuh makna
"Apa kabar kamu? Bukannya kamu juga harus telah minggat dari fakultas? Kenapa malah berkeliaran di jalan? Aku rasa, kau cukup pandai untuk seperti ini"
begitulah kirakira arti tatapan itu
kujawab, "Tak usah menatapku, Teman! Aku tidak bodoh! Aku hanya menunda Kecerdasan!"
lalu, mimik mereka sedikit berubah
lanjutku, "Nikmati saja dulu indahnya masamasa pengangguran! Setidaknya, saat aku lulus nanti, aku tak akan membuang waktu seperti kalian..."[*]


-EZ. Jl. Sahabat, 30 Juli 2010-

Rabu, 28 Juli 2010

Konbanwa!




…………….
Lalu, apa yang terjadi?
Aku merasakan hidupku semakin dipenuhi jingga
Melihatmu selalu memakai seragam yang (selalu) hampir sama denganku ―membuatku selalu bertanya-tanya, mungkinkah ini adalah sebuah kesengajaan untuk mengundang kata “jodoh”?

Ah!
Aku hanya ingin selalu melihat Biru rupa Awan

“Aku juga bingung! Lebih bingung dari hari itu, saat kau jujur!”

Aku (bisa-bisanya) menderita kejengkelan luar biasa dan tertawa lepas di saat yang sama saat melintasi Fly Over dini hari menjelang Minggu: tidak seperti biasa, speedometer hanya menggoda di angka 30-40

“Ya! Aku sangat menikmati malam bebas!”

Maaf,
Aku tak akan menjawab pertanyaan semacam peradilan untuk “perempuan bodoh seperti”ku

@@@

Aku tak seperti dia, tersenyum khas perempuan ―bibirku tercipta sangat elastis, hingga jika tertawa membuatmu kaget dan bertanya-tanya, yang barusan itu suara setan dari mana?
Aku tak seperti dia, bersuara lembut desah yang membuat kudukmu tergoda merinding ―pita suaraku tercipta dengan suara bass lakilaki, kadang serak tak jelas

Aku tak seperti dia, menganggap jejak tanah adalah catwalk hingga pinggulnya meliuk kirikanan ―aku ibarat berjalan di atas cadas api, tak lepas dari jingkrak-angkang-lari, sesekali mengangkat rok karena menghambat bebasku

Aku tak seperti dia, berpatut lama depan dinding kaca memakai bedak-lipstik “nuansa merahjambu” ―bahkan tak cukup tiga menit, aku sudah kocarkacir berseragam sewajarnya dengan niat agar lakilaki tak sampai melirikku (oho, bagaimana mungkin mereka berminat? Wajahku adalah tipe pertama dari bawah yang harus dijauhi karena dipenuhi oleh bintikbintik dan nodanoda tak jelas)

Aku tak seperti dia, menunggu menyiapkan makan malammu dengan gaun merah marun, melepaskan dasimu, tersedia air suamkuku untukmu mandi ―kau harus sibuk menyiapkan makanan seorang diri, mungkin mie instan atau telur goreng karena aku sedang asyik menikmati malam di jalanan dan baru akan pulang saat kau terlelap setelah sebelumnya mencuci piringmu yang penuh lemak minyak kelapa sawit

“Bisakah malam berwarna biru?”


@@@

Lalu, apa yang terjadi?
Aku akan sering bercerita tentang nama, warna, rasa dan pesan singkat dari seseorang di timur pulau Jawa

@@@
aku tak akan apa-apa jika kau benar-benar hilang [EL]


-Sesaat setelah kau cemberut karena kelalaianku (aku masih ingin memeluk kota jika malam. Mudah-mudahan kau paham)-

Selasa, 13 Juli 2010

KENYATAAN MALAM INI


KENYATAAN MALAM INI
: eL di bumi entah

Seseorang tidak dilarang jatuh cinta pada orang yang sama untuk kedua kalinya, bukan? (Fahd Djibran dalam Curhat Setan)


Akhirnya!
Aku baru menyadari apa yang seharusnya terjadi. Setelah lama kita tak bertemu —mungkin lebih tepatnya kau rindu padaku, kita hanya bisa mendengar suara masing-masing. Menerka-nerka apa yang kita rasakan. Menduga-duga raut wajah saat kita berbahasa. Dari sekian banyak duka, kau datang pada suka. Sebuah kejutan jika ternyata kau membuatku tertawa lepas dan merasa hidup kembali. Terima kasih, Sayang…

Aku sangat yakin: memori kita masih sangat segar dengan utas-utas kenangan. Semuanya. Segalanya. Saat kaki kita sibuk menikmati rayuan pasir-pasir halus di tepi pantai. Saat kau tersenyum melihatku mencumbui birunya air laut di atas perahu kecil. Saat aku cemas melihatmu tersiksa karena kesehatanmu yang selalu terganggu: aku memakaikanmu kaos kaki agar kau tak kedinginan (sampai sekarang, aku tak menyangka pernah melakukan itu). Saat kau, dalam diam, mengiringiku dengan doa agar aku selalu hati-hati saat menikmati perjalanan seorang diri. Saat kau memahami kebebasanku. Saat kau ke rumahku hanya untuk meminjam buku. Dan, saat malam itu kau mengambil keputusan sementara aku sibuk menduga kesimpulan…

Aku merasa kita benar-benar berbeda di saat itu. Tapi, di saat yang sama, aku merasa kita adalah bagian diri kita masing-masing. Entah! Aku masih bertanya-tanya, kenapa semua jadi begini? Tapi, itu adalah pertanyaan sebelum aku mendapati suara sopran-mu malam ini.

Satu dari tiga kata yang kau ucapkan telah menjelaskan semuanya. Untuk setiap tahun yang kita lewati tanpa tatap. Untuk hari-hari yang kita lalui tanpa temu. Aku sejujurnya tak percaya. Aku hanya percaya bahwa waktu bisa membuat kewarasan seseorang berubah. Ternyata, itu tak berlaku padamu. Kau tetap sama seperti yang kukenal dulu. Kau yang tak banyak bicara. Kau yang sangat penyabar. Kau yang begitu baik hati. Kau yang belum dewasa (padahal usiamu lebih tua dariku. Bagiku, kau masih kanak-kanak). Kau yang selalu amburadul jika mengirim pesan singkat. Kau yang suka bola, menghabiskan waktu lama-lama di lapangan hijau saban sore. Kau yang selalu malu-malu. Kau yang tak bisa memahami keadaan dan kenyataan perasaan. Kau yang lugu. Kau yang polos. Kau yang selalu tak peduli tentang apapun kecuali tentangku. Kau yang selalu setia menunggu. Kau yang selalu berusaha memahamiku, menuruti apa mauku —apapun! Kau yang setia menjaga rahasia kita untuk orang lain. Kau yang ternyata sempurna untukku —maaf, aku baru menyadarinya malam ini…

“Kita adalah dua titik embun di dunia berbeda yang disatukan pada sekuntum mawar…” (Dzawawi Imron untuk istrinya)


Ya. Begitulah kita. Jarak kita memang begitu jauh: waktu dan usia.

Kini, aku paham tentang sesuatu yang (memang) seharusnya aku pahami dari dulu sejak aku mengenalmu. Kita adalah dua titik embun. Tinggal mencari mawar yang bisa menyatukan kita. Ya! Kita masih mencari mawar itu. Meski kita tak tahu, kapan akan kita temukan, dimana akan kita dapatkan. Mungkin, akan kita temukan di halaman rumahku, disamping bunga lili yang semakin kemuning menjelang Oktober tahun ini. Atau, jabatan tangan di tepi jalan itu akan dilegitimasi oleh senyum kita di depan layar merah dan biru (pemandangan akan berubah menjadi beberapa lelaki yang memakai jas hitam dan dasi belangbelang). Dan (seperti yang kau bilang), harus ada hitam di atas putih sebagai penegasan dan penjelasan.

Sayang…
Aku tak takut lagi pada apapun. Terima kasih untuk suaramu malam ini. Aku masih menunggu kabarmu. Mudah-mudahan kau masih setia dengan dirimu yang tak pernah berubah. Aku suka itu, tapi kuharap kau bisa sedikit dewasa dan berani mengambil keputusan tanpa intervensi dariku. Kau harus belajar bijak. Aku juga berharap, Tuhan tak membiarkan ini sebagai sebuah abu-abu. Biarkan begitu adanya. Aku tetap hitam. Kau harus mengajarkanku tentang surga. Aku butuh bimbinganmu. Bantu aku kesana. (Dan ingat dengan taruhan kita: Jerman harus menang!)

PS. Terima kasih untuk kemeja dan boneka imut ini. Mungkin kau tak percaya, aku masih menyimpannya di lemariku. Suatu saat, akan kukembalikan padamu.

Kita adalah dua warna pada tuts-tuts piano: aku hitam-kau putih. Jika satu warna saja tak ada, binasalah melodi kehidupan… (8/7, 05:51)

Kamis, 01 Juli 2010

KARENA AKU TAHU…






Aku tak percaya lagi dengan apa yang kau beri

Aku terdampar disini tersudut menunggu mati

Aku tak percaya lagi akan guna matahari yang dulu mampu terangi sudut gelap hati ini

Aku berhenti berharap dan menunggu datang gelap

Sampai nanti suatu saat tak ada cinta kudapat


[Sheila On 7, Berhenti Berharap]

1 Juli 2010



Sudahlah!

Jika kau memang sayang padaku, katakan saja

Tak perlu kau menyebut namaku pada bumibumi singgah: menceritakan tentang semua hingga membuatku hampir hilang hati

Kamis, 24 Juni 2010

L,A.R,A





Vetra,
Telah lama sekali aku tak menyapamu. Aku rindu, setelah pembicaraan-sok-dewasa kita di lorong hantu. Tentang inisial yang sanggup membuat kita seperti permaisuri yang setiap langkahnya telah diatur agar tak terlihat cacat. Seperti hidup ini tak menyediakan pilihan. Hmm. Aku ingin kau tahu, aku sangat ingin bertemu denganmu sekarang.

Vetra,
Satu inisial datang lagi malam ini. Kau ingat dia kan? Pesan singkat dua karakter yang ia kirimkan beberapa hari lalu, sampai saat ini belum kubalas. Masalahnya aku bingung harus berbuat apa. Aku takut suatu saat akan menyesal. Akhirnya satu pesan singkat datang lagi. Kali ini menagih balasan. Tak juga kubalas. Ah! Aku semakin takut.

Aku takut membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Menurutmu, apakah aku harus percaya pada sebuah janji di ujung jalan itu? Bukankah itu sebuah kebetulan saja? Apakah lelaki-perempuan dewasa itu serius? Apakah dua inisial bisa bersatu dengan satu [kali] jabatan tangan?

Rumit. Ini tentu sangat rumit. Aku sudah bilang, aku belum terlalu dewasa untuk menghadapi situasi ini. Aku selama ini hanya pura-pura bijak. Tapi, lelaki-perempuan itu tidak mengerti. Mungkin aku harus kembali minum susu dot atau memakai kereta sebagai alat bantu untukku menjelajahi sisi-sisi rumah. Mungkin aku harus kembali memakai popok atau menodai lantai-lantai rumah dengan kotoran hasil ekskresi dan pencernaanku. Aku masih terlalu belia.

Seperti seseorang yang pernah kau ceritakan di penghujung tahun lalu. Satu —atau dua, atau tiga inisial yang membuat kepala kita hampir pecah. Apakah dia benar-benar Ada? Atau akan kembali menjadi TidakAda? Atau sebenarnya TidakPernahAda?

KITA [tak] PUNYA PILIHAN!

Vetra,
Apa kabarmu? Semoga kita bertemu lagi. Aku menunggumu di stadion olahraga tempat kita menyaksikan tim jagoan putih. []

Selasa, 22 Juni 2010

SETAPAK JALAN-SEPENGGAL RASA-SEKEPING HATI






Tak peduli apa yang akan terjadi di ujung jalan sana; mungkin mati menyapa kita
Yang perlu kita lakukan adalah tersenyum lebih sering dan berdoa lebih banyak sebelum meninggalkan orang-orang yang kita sayangi…


??? ??? ???

Musibah beruntun. Pagi ini, sebelum matahari betul-betul setubuhi kulit. Saat aku ingin menjadi sutradara jalanan dengan berbekal helm hitam lima ribuan, dua lelaki menghadang tepat di tengah jalan kami. Maka terjadilah! Ujung kendaraanku bertemu dengan ujung kendaraannya. Sepertinya, keduanya sangat ingin berkenalan sesuai kehendak Tuhan. Kami akhirnya pasrah. Empat manusia terbaring di sisi jalanan samping jembatan. Temanku harus merogoh koceknya, mengeluarkan beberapa lembar uang biru, setelah sebelumnya harus menampung omelan dan sungutan para pengguna jalan. Mungkin setelah itu, dompetnya benar-benar kering seperti cuaca bulan ini. Sebagian isinya yang lain telah ia gunakan untuk membiayai Rumah Sakit tempatku dirawat semalam (duabotol infus, tes laboratorium dan obat-obatan), juga sepaket terang bulan yang digunakannya untuk membujukku makan. Aku akan menggantinya, padahal menjelang tanggal tua seperti ini, dompet hitam pemberian ibuku pun berlibur di gurun pasir. Kerontang. Musibah beruntun hari ini. Akhirnya, setiba di kampus langkah kakiku terseret-seret. Aku menjadi lebih tua dari usiaku. Aku menjadi nenek-nenek di usia menjelang duadua. Kakiku memar. Aku kesusahan menaiki anak-anak tangga. Musibah beruntun. Aku merasa mulai bersahabat dengan kematian.

Tuhan Menciptakan butir asin bening bukan sebagai bukti kelemahan bagi perempuan. Justru dengan menangis, ia bisa menyiapkan dirinya untuk semakin kuat. Maka beruntunglah perempuan yang sering menangis bahkan pada kesendiriannya. Ah! Ternyata aku memang cengeng. Aku selama ini pura-pura kuat.

Entah! Serasa ada sesuatu yang memaksaku menyeduh perih dalam kesepian di bilik dapur, apalagi diiringi instrumental dan doa-doa yang pernah kau sampaikan meski tanpa sepengetahuanku. Senja pernah berbisik padaku bahwa kau menyayangiku. Benarkah? Sayang, aku menangis lagi malam ini.

Diam itu haram. Rasa memang bisa ditegaskan. Dengan tatapan, suara, atau dekapan. Tapi yang terpenting adalah, rasa butuh penjelasan. Cukup satu kata “Ya” atau “Tidak”. Tak perlu ada kata “Bahkan”, “Jika”, “Seandainya” atau “Mungkin”. Namun aku sedikit berkhianat. Aku memang berkata “Ya” dengan “Tetapi” sebagai syarat. Mungkin kau ingin protes. Tak usah bertanya. Anggap saja ini bagian dari ketakutanku pada takdir Tuhan.

“Ya” Aku mencintaimu! “Tetapi…”

Apakah kau juga merasakannya?
Ada harap yang mengakar pada pandangan yang dipaksa menunduk, atau pada langkah kaki kita yang beriringan di antara malaikatmalaikat hitam, atau pada suara-suara yang kian melemah, atau pada lamanya sujud yang memberi noda hitam di jidat lelaki itu.

Aku menuangkan kanal di kedua mataku.

Sayup kudengar namamu di sela-sela takbir dan sujud terakhir dua rakaatku. Juga pada tilawah satu juz per hari.

Apakah semuanya benar-benar sudah jelas? Jejak-jejak membersamai waktu yang makin menua. Rindu mendekap rindu. Ada rasa menggapai-gapai pada ketidakpastian. Empat nama. Dua pusara. Satu obituari. Telah kutemukan, hanya menunggu waktu. Sayang… Aku merasa sangat bersalah kini.

Ah! Ternyata aku tak benar-benar sanggup membayangkannya.
Aku mencoba menerka apa yang kini kau lakukan. Kau mengunjungi tempat-tempat yang kebanyakan tak pernah aku kunjungi. Akan ada bunga-bunga bertebaran di jalan poros itu yang menyebabkannya kemuning. Kau salah satu penebarnya. Aku membayangkanmu tersenyum dan tertawa lepas dengan segala kegembiraanmu. Perjuanganmu mungkin telah usai [Aku menangis, Sayang…]. Setelah itu aku yakin sesegera mungkin kau akan membereskan perlengkapan rumahmu untuk pergi jauh ke bumi lain, meninggalkan semuanya termasuk aku. Tapi! Aku tak ingin kau pindah rumah. Aku tak ingin merasa rindu lagi. Kenapa kau membiarkan aku mengetahui kepergianmu? Kenapa tak menghilang saja tiba-tiba agar aku tak merasa sakit? Lain kali, jika ingin pindah rumah, pergi saja. Tak usah menanyakan persetujuanku. Ambil semua sertifikat tanah yang kita punya. Aku ikhlaskan semua untukmu.

Aku memang tak bisa melakukan apa-apa, bahkan memaksamu untuk tetap disini. Ini hidupmu. Kau kubiarkan bebas, karena pada dasarnya aku bukan siapa-siapa, meski kita telah satu rumah. Ya. Apa rasa juga perlu kemandirian? Lalu apa arti kedewasaan? Menurutku, ia bukan terletak pada usia atau uban dan bijak yang selalu ditunjukkan para pelaku hidup. Dan, apa yang kulakukan? Hanya bisa memeluk handphone, mengirimimu sebuah pesan singkat yang entah dibalas atau tidak. Tapi aku tetap melakukannya, memeluk erat benda itu. Sesekali mengecupnya hangat, menganggapnya adalah kamu. Hitam mungil berbalut jingga.

Masa lalu!

Apakah aku-kamu-dia benar-benar telah dewasa? Aku rasa tidak. Sangat yakin tidak. Buktinya, sampai sekarang kita tak pernah berani mengambil keputusan. Bahkan berkata “ya” atau “tidak”. Kita hanya anakanak hijau yang masih ingusan. Untuk satu kata saja, kita perlu memikirkan berhari-hari, atau curhat kesana-sini. Juga untuk kejujuran yang kita pertegas dengan sesaknya dada yang mulai jenuh, membuat kita seperti pasien koma di rumah sakit. Tak jelas, akan mati atau tetap hidup. Dan aku yakin, pembicaraan kita tak akan pernah selesai. Seperti harapan seperempat gelas cappuccino hangat yang tak tuntas kuminum kemarin malam.

Ya! Biarlah, begini saja…

Mungkin ini sebuah kekeliruan. Konspirasi dosa yang selalu bisa dilegitimasi. Aku tak pernah bermaksud menyakiti hati seorang perempuan. Tentang warna yang kerap kita wacanakan, aku harap aku yang salah. Maafkan aku…

Mungkin!

Aku sepertinya memilih membersamai sakitku sampai menuju mati tanpa ada penjelasan.
Ya! Biarlah, begini saja… (AdZ, 19 Juni 2010)

Selasa, 08 Juni 2010

(BOSAN) AKU BERBICARA TENTANG PALESTINA





(BOSAN) AKU BERBICARA TENTANG PALESTINA
Oleh: Uswatun Hasanah M.S.


Awan kelam pun bergumpal meninggi
Payungi indahnya katulistiwa
Namun hanya kegelapan yang hadir
Membawa kedukaan tak jua reda

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi

Makarpun lingkari indahnya negeri
Tambahkan kesengsaraan yang tak hilang
Namun janji Allah datanglah pasti
Kembalikan cahaya surya nan cemerlang

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi

Cahya di sana tersebar kemilaunya
Dari balik wajah cerah nan berseri
Telah kudengar deru gemuruh suara
Takbir t’lah meninggi di sana

Ayolah kawan bina tali ukhuwah
Tegakkan bersama cahya Al-Qur'an
Jangan hanya dengan keluh dan kesah
Sambutlah syahid tujuan

Hari demi hari makarpun bicara
Lemparkan ke setiap sudut kehidupan
Peluh campur debu darah penuh mesiu
Menghiasi wajah negeriku yang membisu
(Izzatul Islam : Negeri yang Terluka)



Beberapa hari lalu, aku mendapat pesan singkat (sebenarnya, tak cukup singkat untuk ukuran sebuah pesan biasa, —tiga karakter!). Pesan itu dari Ketua FLP Sulsel yang merupakan ultimatum dari FLP Pusat. Isinya, kurang lebih begini: kami semua, anggota FLP Sulsel, diwajibkan menulis apapun tentang Palestina untuk kemudian di”sumbang”kan di media cetak manapun. Pokoknya, misi FLP untuk menyadarkan setiap orang bahwa KITA SEMUA HARUS PEDULI DENGAN PALESTINA, KITA TAK BOLEH MENUTUP MATA TENTANG PALESTINA!

Sesaat setelah mendapat pesan singkat itu, aku tersenyum. Aku senang. Sangat senang. Akhirnya, aku dan teman-teman bisa sedikit berbuat untuk negeri kandang syuhada sana. Ya. Aku akan berjuang dengan salah satu senjataku: pena! Lalu aku membayangkan betapa banyaknya kata-kata yang akan tertoreh untuk tempat yang terluka itu.

Tapi kemudian aku tersenyum miris, hanya beberapa saat setelah niat mulia itu hendak kuwujudkan. Entah! Melihat sebuah handphone salah seorang rekan tergeletak manis di tangannya, membuatku berkecil hati. Ah, mampukah kata-kata yang hendak kami “dendang”kan pada ujung-ujung jari kami akan membantu anak-anak hijau Palestina?


AKTIVIS DAKWAH DAN JERITAN MANUSIA-MANUSIA BISU

Selama ini, aku sering sekali membaca berbagai teori tentang Palestina yang digubah para aktivis dakwah di sekitarku. Entah tentang sejarah, puisi, cerpen, esai, opini, artikel, berita, buku, novel, novelette. Semuanya ada dimana-mana; di blog, koran, majalah, tabloid, facebook, friendster, televisi dan kawan-kawan media lain. Bahkan sudah berbanyak-banyak aksi yang dilakukan untuk mengajak semua orang agar peduli dengan Palestina; aksi damai, munasharah, intifadhah, atau penggalangan dana. Hampir semuanya pernah kuikuti. Hampir semua aksi bahkan memacetkan jalanan karena jumlah kami yang mem-bludak. Hampir semua aksi membuatku meneteskan airmata, membuatku semakin ingin kesana, melihat langsung penderitaan Palestina, untuk sekadar memeluk dan menghapus darah mengucur di pipi bocah-bocah katapel.

Tapi, lagi-lagi, sejak aku paham apa yang sebenarnya harus kulakukan. Sesaat setelah aksi peduli Palestina berakhir, hatiku kembali menangis saat mengingat merek minuman yang disuguhkan panitia acara dakwah kampus untuk pematerinya. Ah! Bahkan, di agenda dakwah pun, kita benar-benar (lupa) mencintai Palestina! Mungkin, manusia memang ditakdirkan menjadi pelupa…

Ayolah kawan bina tali ukhuwah
Tegakkan bersama cahya Al-Qur'an
Jangan hanya dengan keluh dan kesah
Sambutlah syahid tujuan

Hamparan ketaqwaan bentangi bumi
Ingin dilumatkan tirani hina
Di sana negeri muslim telah terluka
Semoga Allah tetap berkahi



Ah! Aku teringat saat menjalani proses Daurah Marhalah I KAMMI Unhas, lepas tiga tahun lalu. Panitia menugaskan menghafal Surah ash-Shaaf ayat 1-5 beserta terjemahannya. Ada satu ayat yang membuatku merinding lalu kemudian menjadikanku penakut, tak berani mengatakan apa-apa.


“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS ash-Shaaf: 3)



Selama perjalanan berdakwah, ayat ini kemudian sering dilontarkan teman-teman seperjuanganku. Jika mereka mendendangkan “fatwa” ini, aku merasa bukan apa-apa. Sudahkah aku melakukan itu: tidak mengatakan apa yang tidak aku kerjakan? Apakah Allah membenciku? Bagaimana dengan mereka yang ber”fatwa” itu?

Lalu, aku miris kembali. Aku ingat saat berkunjung ke kamar mereka; melihat bedak, pelembab, lotion, deodorant, pengharum ruangan. Aku ingat saat memasuki kamar mandi mereka; melihat sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, pembersih muka, luluran. Aku ingat saat melihat rak makanan mereka; air minum botol, snack, cokelat, kacang, roti. Hatiku menangis, perih.



Bahwa pada saat mereka berteriak-teriak di pinggir jalan sebagai pahlawan kemanusiaan, ternyata mereka adalah pembunuh berdarah dingin di sudut-sudut kamar mereka. Bahwa saat para aktivis dakwah menikmati fasilitas dunia yang dibeli dengan uang mereka, ternyata di belahan dunia lain, darah tengah mengucur. Bahwa saat mereka mengisi kekosongan perut pun (mungkin karena sibuk mengurus dakwah), ternyata perut-perut bocah katapel tengah terhujani peluru. Ya Allah, amat besarkah benci yang Engkau berikan pada kami karena tindakan yang (tidak) kami sadari sepenuhnya?


Kau tak paham?
Begini, akan kujelaskan.
Setiap kau memakai pakaian baru, maka itu berarti sekelupas kulit bocah-bocah ingus tengah menganga di Palestina
Setiap sepatu baru yang kau jejakkan, itu berarti setengah kaki seorang pemuda tengah tergores tank-tank busuk para zionis bermuka monyet. Itu terjadi di Palestina!
Setiap bongkah paha ayam yang kau kunyah, itu berarti sepotong paha manusia seumuran ibu-ibumu tengah tersobek peluru-peluru canggih buatan Negara adidaya. Itu terjadi di Palestina!
Setiap minuman bersoda yang kau tenggak setiap malam sebelum terlelap, itu berarti beribu liter darah tengah tumpah hanya untuk mempertahankan setiap jengkal tanah. Itu terjadi di Palestina!
Setiap pemoles muka dan bibir yang kau habiskan, itu berarti ada muka dan bibir para wanita-wanita mulia tengah tergerus oleh laras panjang senjata para monyet-monyet putih setengah perkasa. Itu terjadi di Palestina!


Bagian puisi ini pernah kubacakan pada aksi munasharah Palestina. Aku puas, meskipun tak terlalu puas karena hanya sekitar 6000 orang yang mendengar puisi ini, itupun jika mereka paham maksud puisiku. Setidaknya, ini kulakukan agar kita tidak menjadi orang yang dibenci Tuhan kita sendiri. Aku tak ingin para da’i dibenci Allah. Jika Allah sudah membenci, maka pada siapa lagi kita berharap?


MULAI SEKARANG!

Pertengahan tahun 2007 adalah awal perlawananku terhadap Israel. Saat itu senior pondokan berceloteh, “Lho, kok Atun pake produk ini? Kan harus di-boikot?” Aku bingung, lalu menjawab,”Trus, pake yang mana dong? Dari dulu Atun udah pake yang ini. Ntar pake yang lain malah gak cocok” Dengan sabar dan senyum manis, senior ini mengeluarkan kata yang tak pernah kuduga,”Daripada mukanya ntar hitam di akhirat, pilih mana?”

Subhanallah, sungguh! Kata-kata tanpa dalil itu menjadi sihir yang mempengaruhiku sampai sekarang. Sejak itu, aku buang apa yang harus kubuang. Semuanya! Aku mencari tahu tentang semua yang harus ku-boikot. Perlahan-lahan, kudapatkan kenikmatan saat meninggalkan barang-barang “haram” itu.

Untuk para aktivis dakwah, aku sarankan untuk memulai dari sekarang. Jika tak bisa menuntaskan perubahan yang terlalu cepat, pelan-pelan saja. Mulai dari hal-hal kecil. Mungkin bisa mengganti merek minuman atau makanan favorit —percayalah, masih banyak makanan/minuman lain yang lebih enak. Dunia ini menyiapkan apapun yang bisa kita gunakan tanpa harus mengorbankan saudara kita sesama Muslim. Jika merasa sulit melakukannya, ingatlah ash-Shaaf ayat 3. Agar kita termasuk dalam orang-orang yang beriman. Agar Allah tak membenci kita. Semoga Allah menyayangi dan membalas amal serta niat baik kita.

Hari demi hari makarpun bicara
Lemparkan ke setiap sudut kehidupan
Peluh campur debu darah penuh mesiu
Menghiasi wajah negeriku yang membisu…



Maka, aku (tak) bosan lagi berbicara tentang Palestina! (AdZ) (08/06/2010, 08:11)


PS. Kelak, aku akan berkunjung ke negeri itu bersama seorang wartawan Palestina…

Senin, 07 Juni 2010

CINTA TERGESA-GESA YANG KESEKIAN KALINYA...




ada cinta yang kutemukan tiba-tiba di ujung jalan itu...
senyum yang sama kulihat kembali: gigi putih berjejer rapi....
padanya aku mengingat sesuatu, ia bersamaku pada podium keimanan yang mengajak kami berlomba...
hitam itu seharusnya hanya ada pada kelabu....
hitam yang menjadikan hitam memutih....

"aku rindu suaramu...."

"benarkah??? maaf. aku mengantuk"

Seharusnya ia mengantarku melewati jembatan putih kelabu yang membuatku takut. tapi Lagi-lagi ketinggian mengajakku enggan bernafas. Aku ingin bersamanya menggapai ujung jalan itu; tak ia lakukan!

Kami hanya bertukar nomor telepon lalu berjanji akan bertemu lagi. Esok pagi, SemOga!

Tuhan!!!

Ada lagi cinta tergesa-gesa yang ku rasakan kesekian kalinya.....(AdZ)

--tulisan ini untuk seorang "imam" yang kelak datang ke rumahku--
(dapat juga dibaca di facebook: syahribulan muchtar)

Rabu, 26 Mei 2010

HIDUPKU: PESAN, MIMPI, DAN KENYATAAN









Disini aku sendiri
Menatap relung-relung hidup
Aku merasa hidupku
Tak seperti yang kuinginkan

Terhampar begitu banyak
Warna kelam sisi diriku
Seperti yang mereka tahu
Seperti yang mereka tahu


Hidup itu seperti apa? Rumit!
Hidup itu pilihan. Benar-salah. Ya-tidak. Baik-jahat. Mimpi-kenyataan. Keberanian-ketakutan!

Aku tak pernah menyangka akan seperti ini. Seolah berada di dunia antara. Antara kebebasan dan kehati-hatian. Aku yang bebas, namun harus tetap berhati-hati. Hati-hati untuk apa? Aku tak mau hidup dengan kehati-hatian! Aku tak mau hidup dalam ketakutan!

“Nak, hati-hatilah dalam melangkah. Meski tidak selamanya orang baik bebas dari murka orang jahat, tapi selalulah menjadi yang terbaik dan iringi dengan kewaspadaan. Ketahuilah, sesungguhnya menjadi jahat lebih aman daripada menjadi baik, karena tidak ada orang baik yang murka pada orang jahat. Namun jangan menjadikan jahat sebagai pilihan, karena masih ada Allah yang MahaMemperhatikan hambaNya. Pasrah dan tawakkal memang yang terbaik, namun harus tetap diiringi usaha untuk menjadi yang terbaik dalam hidup. Jangan lupa, sebelum melanjutkan aktifitas pagimu, shalat dhuha-lah, agar hatimu tetap disinari cahaya-Nya,” samar kudengar suara Ibu di pagi buta. Selalu seperti ini. Ibu tidak pernah lupa dengan pesan yang sama. Aku melihat sosok overprotective pada Ibu, sepenuhnya.


Kenyataan itu seperti apa? Pahit! Lalu, aku harus bagaimana?

Disini aku sendiri
Masih seperti dulu yang takut
Aku merasa hidupku pun surut
Tuk tumpukan harap

Tergambar begitu rupa, samar
Seperti yang kurasakan
Kenyataan itu pahit
Kenyataan itu sangatlah pahit


Menurutmu, kenyataan itu apa? Pastinya, kenyataan bukanlah mimpi. Lalu mengapa kita bisa percaya dengan mimpi jika kita hidup dalam kenyataan? Seberapa kuat mimpi itu? Apakah mimpi benar-benar memiliki kekuatan?

“Ayah, aku bermimpi tentang gadis kita. Aku takut,” suara Abang terdengar bagai kabar buruk.

“Mimpi itu hanya bunga tidur, Nak” Ayah berpesan pada Abang.

“Kau jangan terlalu percaya pada mimpi seperti itu,” lanjutnya dengan bijak yang tersisa. Aku sepakat dengan Ayah. Tapi, Ayah terlihat seolah-olah tegar. Ayah lupa, semasa kami kecil, ia telah mendoktrin anak-anaknya bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi-mimpi yang kemarin. Jadi, aku beranggapan bahwa kenyataan adalah anak dari mimpi. Maka, kami semua, anak-anak Ayah, percaya pada mimpi, apapun itu. Kami tidak pernah menyepelekan mimpi!

Sebenarnya, hidupku seperti apa?
Aku hidup dan berada disini dengan segala kekhawatiran dan kegelisahan orang-orang yang menyayangiku. Ayah, Ibu, Abang, Adik, Kakak Ipar, Kakek, Paman, Bibi. Keluarga. Mereka selalu khawatir. Sesungguhnya, aku tak terlalu nyaman dengan posisi ini. Jika hidupku adalah kekhawatiran bagi orang lain, maka untuk apa aku ada? Apa aku juga harus takut? Ah, aku bukan penakut!

“Dik, jaga dirimu. Abang terlalu jauh untuk melindungimu. Waspadalah untuk kami”

Tak biasanya Abang seperti ini. Ada apa? Meski diliputi penasaran, aku hanya meng-iya-kan. Ah, sesak! Apakah aku beban bagi mereka?

Aku merasa disudutkan kenyataan
Menuntut diriku dan tak sanggup ku melawan
Butakan mataku semua tentang keindahan
Menggugah takutku
Menantang sendiriku


Aku mencintai mereka, maka aku tak punya pilihan. Hidupku? Yaa, seperti ini. Ah! Aku benar-benar merasa tersudut!

Temui cinta
Lepaskan rasa
Temui cinta
Lepaskan rasa



Tuhan, esok itu seperti apa? Apakah mimpi itu akan me-nyata?

(Lirik lagu: “Sesuatu Yang Tertunda”, Padi ft. Iwan Fals)

KESENDIRIAN YANG BERMAKNA




Kesendirian, suatu waktu di mana kita tak bisa menghindarinya. Banyak momen di mana kita harus tinggal seorang diri; saat di kamar mandi; saat di rumah tak ada orang kecuali kita; saat berada di sebuah ruangan warnet. Saat kesendirian itu muncul, saat di mana setan dengan gencarnya menggoda kita. Karena biasanya, kita akan jauh lebih semangat beribadah ketika ada orang di sekitar kita. Apalagi jika orang yang di dekat kita adalah orang yang shalih, yang senantiasa “menularkan” kebaikan pada diri kita. Ketika penghalang itu tak ada, setan pun dengan leluasa menerobos masuk dalam hati dan pikiran kita.

Karena iman yang lemah, kita pun kerap terjebak pada bujuk rayu setan. Kita menuruti apa mau setan. Tadinya kita rajin shalat, membaca al-Quran, tiba-tiba menjadi makhluk jalang yang bersuka cita pada kemaksiatan. “Ah... tidak ada yang melihat saya melakukannya,” bisiknya dalam hati.

Saat kesendirian itulah keimanan kita sedang diuji, apakah kita benar-benar mencintai Allah dengan setulus hati, apakah kita hanya takut kepada-Nya ataukah ibadah yang kita lakukan selama ini hanya sandiwara dan ingin dipuji oleh orang yang sedang bersama kita?

Saat sendiri, berarti kita hanya berdua-duaan dengan Allah. Alangkah baiknya kita gunakan kesempatan itu untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika dalam keramaian kita berdzikir seratus kali. Maka saat sendirian, kita harus lebih dari itu. Uwais al-Qarny Ra. pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang bisa mengenal Tuhannya, sementara dia lebih banyak bersama selain-Nya.”

Suatu ketika, di malam yang dingin dan sunyi, Imam Abu Hanifah bermunajat di sebuah masjid. Di sana beliau menghabiskan waktunya dengan shalat, dzikir, dan berdoa hingga shubuh. Tak disangka, ada orang yang melihat ibadahnya itu. Setelah mengetahui ada yang memperhatikannya, beliau lalu berkata kepada orang tersebut agar merahasiakan perihal apa yang dilihatnya.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak terlalu banyak melaksanakan puasa dan shalat sunnah. Akan tetapi, kesendiriannya dipenuh dengan hal-hal yang berguna dan bermakna.
Seorang ulama bernama Umar Tilmisani pernah menceritakan pengalamannya. Di suatu malam, Imam Hasan al-Banna – gurunya – memanggil namanya, “Ya Umar, apakah engkau sudah tidur?” Lantas Umar menjawab, “Belum ya syaikh.” Kemudian Imam Hasan al-Banna kembali masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian Imam Hasan al-Banna kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Tapi kali ini Umar sengaja tidak menjawabnya, karena pasti nanti akan bertanya lagi hal yang sama. Umar pura-pura tidur.
Setelah tidak ada jawaban dari Umar, Imam al-Banna masuk kembali ke kamarnya. Beberapa saat lamanya pertanyaan yang sama tidak segera muncul, Umar pun melihat apa yang dilakukan gurunya itu di dalam kamarnya. Demi melihatnya, Imam Hasan al-Banna sedang bermunajat dengan tangisan menyayat hati. Akhirnya tahulah Umar, jika gurunya itu menginginkan kesendirian dalam bermunajat kepada-Nya, sehingga amalan hanya semata-mata karena Allah.

Sungguh asyik berdua-duaan bersama Allah sehingga Allah akan menganugerahi cahaya pada wajah kita. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Kenapa orang yang rajin shalat malam wajahnya tampak bercahaya?” Imam Hasan menjawab, “Karena dia berdua-duaan dengan Allah sehingga Allah menghadiahinya sebagian dari cahaya-Nya.”
Seorang yang taat di kala ramai maupun sepi akan mereguk manisnya iman. Dia akan mendapatkan peningkatan kualitas iman dalam dirinya. Sesungguhnya semua ibadah yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Kita berlaku demikian laksana melemparkan kayu Hindi (bahan minyak wangi) ke tengah bara api, kemudian wanginya tercium oleh manusia, namun mereka tak tahu dari mana sumber wewangian itu.
Ada orang yang jika kita mendekatinya terasa damai. Ketika menatap wajahnya, semakin mendorong kita untuk banyak mengingat Allah. Semakin bergaul akrab dengannya, terasa kebaikan-kebaikannya. Cintanya kepada kita bukan kamuflase sesaat, tetapi merupakan cinta murni yang datang dari-Nya. Terasa di sekeliling kita “harum mewangi” ketika kita bersamanya.

Namun, ada orang yang jika kita semakin dekat dengannya, hati kita semakin hampa, keras membatu, dan kotor oleh maksiat. Mungkin pada mulanya, kita menganggapnya orang baik. Namun lama kelamaan ketahuan belangnya, hatinya lebih busuk dari bangkai dan lebih kejam dari binatang liar. Merekalah orang-orang yang hanya taat di kala ramai, namun berbuat maksiat di saat sendiri.

Barangsiapa yang kesendiriannya baik dan penuh makna, akan menyebarlah aroma keutamaannya dan hati pun akan senantiasa mencium wewangiannya. Jagalah perilaku Anda dalam kesendirian, karena hal itu sangat bermanfaat.


Karena aku pun suka kesendirian...

Sumber: www.adilmuhammad.blogspot.com

Senin, 17 Mei 2010

AKU, BEBERAPA HARI INI...



AKU, BEBERAPA HARI INI…


Ada apa dengan bumi?
Dekat waktu ini aku hanya melihat senyum cinta anak-anak hijau yang tak jelas dari mana.

“Mana darah segar yang kau janjikan?”

Darah ketiga, anyir tak ada lagi. Seharusnya masih berbekas pada empat sampai lima. Ada apa? Ah! Bumi lupa pada sesaji yang harus dipenuhinya. Rotasi dan revolusi. Bumi tenggelam dalam kelana melenakan —atau melelahkan? Sepertinya, bumi telah kekurangan oksigen. Mungkin karena pohon-pohon telah enggan bernapas. Atau manusia yang terlalu kikir dengan karbondioksida. Hmm, manusia memang bodoh! Racun untuk tubuhnya sendiri pun tak ingin ia bagi kepada semesta. Lelaki Malang itu benar. Manusia terlalu pelit! Bahkan membagi masalah pada yang lain.

Sayang, darimana saja kau?

Sepertinya kau terlalu sibuk. Hobimu menjelajahi bumi telah sepenuhnya menyita senyum —juga ucapan cinta yang selalu kau paparkan meski hanya dengan presensi dan tandatangan. Apa kau serius dengan cita-citamu menjadi pengembara? Saat terakhir kuhubungi, ternyata kau sedang menjelajahi dunia selatan. Beberapa hari lalu, tiba-tiba kau ada di dunia timur laut. Apakah kau tak lelah, Sayang? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Suara serak yang kudengar kemarin menandakan tulang-tulang kekarmu akan mengalami keropos lebih awal dari yang seharusnya. Hmm, ostheoporosis! Jangan pernah disepelekan! Ia juga bisa menyebabkan kematian.

“Mungkin aku terlalu sibuk. Aku hanya butuh kalsium lebih banyak. Aku bisa membelinya di jalanan. Tak usah cemas”

Ya, aku tahu. Seharusnya aku tak terlalu cemas. Kau tentu telah menguasai berbanyak-banyak teori tentang protein, karbohidrat, lemak, vitamin, kalsium, natrium, juga sejuta zat bernada “um” yang lain. Kau lebih pintar tentang itu. Tapi, kau juga tak terlalu cerdas dariku. Karena kau keras kepala. Sangat keras kepala. Ini hubungan antara teori dan perilaku. Kau paham kan? Tentu saja.

“Aku juga ingin menjadi pengembara. Tapi aku tak punya kendaraan”

Bumi ingin pergi? Hei, itu tak boleh terjadi! Apa yang akan menimpa manusia jika bumi melenceng dari rel cincin penuh asteroid yang disediakan Matahari? Hendak kemana jika bumi pergi? Jagad tata surya akan kacau jika bumi secuil tergesek dari porosnya. Perempuan teduh bermata empat itu juga pasti akan merengek-rengek iba. Manusia telah menuhankan bumi. Sementara bumi menuhankan Tuhan. Ini sebuah kekeliruan. Bumi memang telah mengambil keputusan, tapi ia terlalu menyayangi manusia; perempuan teduh bermata empat dan anak-anak hijau. Bumi memang sangat baik hati.

“Tidak kusangka. Ternyata kau sangat beda dengan yang sering kulihat. Aku pikir, kau baik. Kau ternyata sombong juga. Maaf, aku mengganggu malammu” —Lelaki berinisial R—

Apa yang kau ketahui tentangku? Jika ada perbedaan dengan yang kau “lihat” dan “pikir”, lalu sesungguhnya aku seperti apa? Kau hanya belum mengenalku. Kau terlalu cepat menjustifikasi hanya dalam satu malam; dengan SMS dan telepon. Sedikit mengganggu syaraf warasku. Aku kembali mengingat masa abu-abu. Apakah kau termasuk dari mereka yang kebanyakan itu? Akan kuberi kau sedikit pandangan: suara dan kata-kata yang tertera dalam handphone-mu tidak bisa melegitimasi kepribadian seseorang. Bisa saja aku berbohong kan? Aku memang memiliki tendensi untuk itu terhadap orang-orang sepertimu: yang pura-pura salah sambung, dapat inspirasi dari teman kampus, or whatever —terlepas dari alasanmu yang sesungguhnya.

Kenapa kau tak kenalan saja denganku secara langsung? Beritahu namamu yang sebenarnya, alamat, nama orang tua, dan apapun informasi yang bisa membuat kita sama-sama tenang. Tapi, justru sebaliknya. Kau benar-benar telah membuatku tak tenang! Kau membuatku merasa diawasi kemana-mana. Aku tak nyaman dengan posisi ini. Kau ingin mengagumi atau menyayangi, terserah. Hakmu. Tapi kau tak perlu jujur padaku. Aku benar-benar tak nyaman diperlakukan seperti ini. Aku merasa tak dihargai dan dihormati. Hmm, tapi aku punya ide: jika aku merasa tak nyaman, maka kau pun harus begitu. Akan kukatakan padamu bahwa aku adalah mata-mata dari CIA, sekaligus detektif dan kapan-kapan bisa berubah menjadi penjahat kelas hiu: predator, kanibal, pembunuh, pencuri, pemeras, dan semua profesi berawalan “pe” yang bermakna jahat. Ah, atau aku menjadi Kira: Light dan Misa dalam Death Note. Ah, atau menjadi Jean-Baptiste Grenouille dalam Das Parfum. Mengerikan bukan? Mudah-mudahan setelah ini kau tak mengganggu. Aku jahat! Aku tak sebaik yang kau lihat.

“Aku masih menunggu…”

Aku tahu apa yang aku dan kau tunggu: Piala Dunia. Haha! Ternyata kita sama-sama suka bola. Aku senang mengetahui ini. Setidaknya nanti kita bisa saling bercerita tentang pertandingan yang aku atau kau lewatkan. Kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan. Aku penasaran, tim mana yang akan kau jagokan. Kau tentu sudah tahu mana yang kupilih. Ya, Jerman! Pesona si “Sebelas” itu tidak pernah pudar setelah delapan tahun berlalu. Sejak ia turut andil dalam skor 8-0 melawan Arab Saudi di Piala Dunia 2002, aku jatuh cinta. Miroslav Klose. Ia adalah alasan tolol yang membuatku ngotot berkunjung ke Negara Hitler itu. Euphoria-nya akan hadir beberapa pekan lagi. Kita akan bersiap-siap. Kau dukung yang mana? Apa kau ada di pihakku?

“Aku masih menunggu…”

Apa lagi, Sayang? Bumi tak lagi seperti dulu. Ia kecewa pada Jingga yang pernah memberinya warna dan cahaya. Senja menjadi tak seindah beberapa tahun lalu, bukan? Kau pernah mengatakan itu. Tapi, aku ragu dengan kata-katamu —bahkan aku tahu, sebenarnya kau pun ragu dengan katamu sendiri. Satu hal yang kupelajari darimu: kau tak bisa melupakan masa lalumu. Lalu, dengan alasan apa kau mengunjungi bumi? Ingin mewarnai? Atau menyinari? Atau menyakiti? Maka tak akan kau dapatkan tujuanmu itu. Akan kubocorkan untukmu. Hanya ada satu alasan untuk melewati pintu bumi: cinta. Jika kau tak memiliki itu, jangan berharap terlalu banyak. Tapi, aku tahu kau tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Kau pengecut! Oho, aku jadi tahu apa yang kau tunggu-tunggu: Keberanian!

“Aku tak suka caramu!”

Ternyata kau masih bermain-main dengan tembok-tembok kumuh di sudut kota. Ah, aku kecewa lagi. Tiga jam lalu, aku dapati dirimu mengakrabi seorang perempuan. Kau terlihat sangat menyukai aktivitas ini. Huh, ini hanya impresi sesaat kaum muda menjelang tua sepertimu. Lalu kata-kata itu akan lepas tak berbekas. Slurp! Ditelan bumi. Nah, apa yang kau dapatkan? Alih-alih kepuasan. Kau hanya akan menyesali segalanya. Tunggu saja. Aku tak pernah suka caramu!

Perempuan itu senja. Salamku untuknya. Ada satu fakta yang kuketahui tentangnya: dia sangat menyayangimu. Kau ingat saat kau hendak pindah rumah? Dia datang padaku, menanyakan alamat rumahmu yang baru. Hmm, wajah senjanya sangat pucat ketika itu. Tapi, dia tetap senja yang sangat manis. Kau sudah lama mengenalnya, bukan? Tentu saja. Kau berjumpa dengannya sebelum mengenalku. Sepertinya, aku harus minta maaf karena terlalu jauh tahu tentang kalian. Seharusnya rahasia itu hanya untuk kalian. Maaf!

Perempuan senja itu sangat menyayangimu. Tapi, sekarang aku sadar satu hal: aku tak sesayang itu padamu…

—Tulisan ini untuk adik-adik peserta pelatihan kepenulisan di SMAN 7 Makassar: Aku percaya! Kalian bisa menjadi penulis!—

Jumat, 16 April 2010

BAHAGIA UNTUK N & S





Akan menikah:
N & S


Kejutan! Sebuah undangan pernikahan berwarna biru tertulis atas namaku. Kutegaskan, namaku! Seumur-umur, aku baru saja mendapatkan undangan pernikahan untukku pribadi. Aku merasa spesial, kawan! Dan, aku merasa lebih spesial karena N adalah teman baikku. Aku mengenalnya. N, perempuan yang sangat baik. Aku jamin, S sangat beruntung memiliki istri sepertinya.

Nah, itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Aku lupa tanggal persisnya. N dan S, telah berani menentukan pilihan hidup mereka: berkeluarga disaat masih berstatus mahasiswa. Salut untuk kalian berdua! Kalian hebat!

Sesaat setelah aku menghadiri acara pernikahan kalian malam itu, aku belajar banyak hal. Bahwa ternyata, jodoh itu bukan dilihat dari kemiripan mata, hidung, bibir: semua tentang kemiripan fisik. Jodoh itu bukan saat kau memakai pakaian berwarna senada dengan si dia. Jodoh itu bukan karena kesamaan firasat. Jodoh itu bukan karena sifat kita yang sama. Jodoh itu bukan karena makanan kesukaan kita yang sama. Jodoh itu bukan karena kesamaan hobi atau profesi. Jodoh itu, bukan karena segala kesamaan yang dipaksakan. Teori jodoh itu cuma satu: ia sepenuhnya di tangan Tuhan dan selamanya tetap misteri.

Maka, seharusnya tak ada ragu, tanya dan tangis jika kita membayangkan si “jodoh” itu. Aku belajar itu dari kalian berdua: N dan S.

Kini, kalian menjemput bahagia. Aku pun bahagia. Sungguh! Seorang bidadari manis
menggemaskan telah melukis senyum untuk kalian. Ini dia:



Selasa, 13 April 2010, pukul 12:30 Wita, beberapa saat setelah adzan dzuhur, di Rumah Sakit Daya. Seorang bayi menghirup udara sesak dunia.

Hulwah El Syifa. Nama yang diputuskan untuknya. Hulwah berarti harum/keharuman; Syifa berarti penawar/obat. Nama yang indah untuk bidadari mungil yang juga indah! Aku mencintainya, juga namanya. Syifa, begitu panggilan si mungil berbobot 2.900 gram itu. Ia adalah pautan sempurna antara ibu dan ayahnya. Mata sipit serupa sang ayah; hidung mancung serupa sang ibu. Sempurna! Bidadari ini adalah jelmaan ibu dan ayah. Entah! Melihat karya agung Sang MahaAgung ini, aku diam-diam mendoakan sesuatu…

N, sahabatku…
Demi pernikahan, kau lepaskan label aktivis “kiri” yang sesungguhnya membuatmu resah. Aku bahagia saat kau memutuskan hal itu. Memilih hengkang dari hijau hitam Makassar Timur bagiku tepat. Meski tak harus jadi orator lagi, kau tetap perempuan cerdas di mataku.

N…
Seperti Lisa, kau pun telah menjadi bidadari. Anti bilang, sempurna sudah dirimu sebagai seorang perempuan: menjadi istri dan ibu. Ah! Tiba-tiba aku merasa kurang sempurna. Sahabat, aku juga ingin menjadi bidadari. Aku juga ingin kelak seseorang bertubuh mungil memanggilku “Bunda” (semoga Tuhan memberikan kesempatan).

S, suami sahabatku…
Bagiku, kau sangat beruntung sebagai lelaki. Kau kini telah memiliki dua bidadari dalam pelukanmu. Apa lagi yang hendak kau kufurkan? Dua bidadari itu sangat indah di mataku. Jaga mereka baik-baik. Mereka amanah. Kau bertanggung jawab atas masa depan mereka. N harus bangga memiliki suami sepertimu. Dari cerita-ceritanya, aku tahu, kau adalah lelaki yang “pasrah dalam kejantananmu”. Mungkin sebagian sifatmu telah diwarnai oleh warna-warna partai merah yang membuatmu berhasil duduk di kursi panas DPR. Kau sangat demokratis sebagai suami dan seorang bapak.

N dan S…
Untuk kalian berdua. Selamat berbahagia! Aku merasakan euphoria itu. Senyum-senyum mengembang di segala sudut rumahmu sore itu. Lagi-lagi, entah! Aku hanya bisa berkata dalam hati: kapan?

---- Untuk Nuby dan Salam: aku seperti kehabisan kata-kata untuk mewakili kebahagiaan ini. Aku belajar memaknai hidup dari kalian. Doakan aku…

Rabu, 14 April 2010

JEJAK






JEJAK
(aku, kau, masa depanku)


Berjejak-jejak kata telah kau jejakkan di atas jejak-jejak orang lain
Tak tahukah, jejak-jejak yang kau jejakkan telah menimpa jejak-jejak dari yang meninggalkan jejak?
(EZ. Makassar, 2009)


Aku benci jejak!
Beberapa hari yang lalu, aku berusaha mencarimu di rumah-rumah kata. Melewati beberapa huruf, terutama huruf N dan L. Tetap tak kutemukan. Dua huruf itu berkata, kau kini berada di suatu tempat di antara dinding-dinding Abu-Abu yang tak bisa kugapai. Aku rindu, Sayangku. Kenapa tak kau tampakkan saja dirimu seperti yang dulu?

Bercerita tentang jejak. Anganku membawaku pada sisi dimana aku berada. Bayangan masa depan beberapa bulan lagi mau tidak mau mencekik naluriku. Tidak bisa! Aku yakin, itu tak akan terjadi. Tapi, kau selalu berkata bahwa itu sangat mungkin. Apa yang membuatmu yakin?

Aku melihat jejakmu setelah merahku mendobrak-dobrak pintu warasku. Apa aku gila? Sangat mungkin, iya. Jejakmu tanpa sengaja mewarnai jejak kata yang hendak kutuliskan dalam sebuah bait puisi. Kenapa bisa? Nah, itu dia masalahnya. Katamu, jejakku dan jejakmu akan selalu sama. Aku heran, bagaimana bisa sama jika ukuran kaki kita tak sama?

Aku selalu bilang bahwa kita tak pernah sama. Kau selalu bilang, kita sama! Mata kita. Hidung kita. Bibir kita. Ekspresi kita. Senang kita. Sedih kita. Yang paling penting, hati kita. Ah! Itu semua omong kosong, Sayang! Aku tetap tak percaya.

Bercerita tentang jejak dan masa depan. Jika kita tak berhenti berbicara, maka kewarasan segera akan hilang dari otak kita. Kita akan menemukan sisi kemuakan pada labium mulut kita masing-masing. Karena kita akan bosan. Bicara tentang yang itu-itu saja. Sudah kubilang, kau harus wajar-wajar saja. Jangan mengada-ada.

Aku menciptakan jejak yang kemudian kubenci. Kini, aku tak akan melakukannya. Kau sudah tahu semua tentangku. Mungkin juga tentang perasaan yang akan kurasakan enam bulan lagi. Kau telah mengenal diriku kan? Tentang ketakutanku. Tentang kesukaanku. Tentang bodohku. Tentang egoku. Tentang bebasku. Tentang konyolku. Tentang sendiriku. Tapi, aku masih yakin tentang satu hal, kau tak tahu tentang masa depanku. Kecuali jika kau mengambil tindakan dari sekarang.

Jejak-jejak berserakan. Aku sangat ingin memungutnya. Lalu membuangnya jauh dari jarak maksimal pandangan mataku.

Kau terus saja beranalogi. Aku pusing! Hati-hati, Sayang. Nanti ramalan-ramalan palsu itu akan mencekik kewarasanmu perlahan-lahan. Santai saja. Rileks.

Mau tidak mau, aku harus memikirkan segala tingkah anehmu. Terpaksa. Ah! Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tak bisa mengendalikan kehendak Tuhan. Semua lakon yang tak wajar, menjadi aneh bagi naluriku, lalu mencabik dan mengoyak kewarasanku yang tersisa. Aku pusing! Mungkin kau memang utusan dunia untuk menciptakan beban untukku?

Aku benci jejak!
Cukup sampai disini. Tak akan kuceritakan tentangnya lagi. Entah! Selama hidupku, aku pernah membayangkan sekali saja, kau ada di samping kiriku, memberikan senyum bibir tipismu sambil mengerling sebelah mata. Semua itu terpaksa membuatku tersenyum dan harus menatapmu hanya dengan ujung mataku. Aku tak akan menatapmu dengan kedua mataku yang hina. Karena sekali lagi, ini tentang sebuah ketidakyakinan! (EZ)


EZ. Daya, 13 April 2010, 00:29:11 Wita

Selasa, 06 April 2010

SKENARIO TUHAN UNTUK KITA





Kau ingat pertemuan pertama kita?

Scene 1
Aku melihatmu hanya melewati tempat dudukku. Lalu kau memperkenalkan namamu pada mereka. Saat itu, aku tak sengaja tahu namamu. Kau berbicara lantang. Tapi tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Kau belum terlalu menarik. Tapi dalam hati aku berjanji, aku akan bertemu lagi denganmu, suatu saat, dan kau akan sedikit belajar untuk mencintaiku.

Scene 2

Temanku selalu menyebut namamu. Aku bilang padanya, aku pernah melihatmu, saat tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Temanku tak percaya. Tapi dia bilang, aku bisa kembali bertemu denganmu. Ya. Tentu saja. Aku datang ke tempat itu untuk memastikan. Ternyata, kau lebih dulu pulang ke rumahmu. Aku tak terlalu kecewa. Setting ini terjadi di balik podium keimanan suara merdumu.

Scene 3
Tersiar kabar, kau akan mendatangi kampungku. Kepala desa mengundangmu. Aku ingin memastikan jika itu adalah dirimu. Lalu, kudapati wajahmu asyik membaca buku di kantor desa. Entah kenapa, aku tersenyum girang. Terlalu girang. Hingga orang-orang disampingku menatap curiga. Tatapan dan senyum itu menjadi multi-tafsir.

Scene 4
Aku melihat teman-temanku mengadakan acara makan-makan. Sebenarnya, aku hanya ingin lewat saja. Tapi, mereka memaksaku ikut serta. Aku menurut, hitung-hitung makan gratis. Tak berapa lama, dirimu ikut serta. Kenapa bisa? Ternyata, kau adalah teman dari teman-temanku. Kejutan! Akhirnya, untuk pertama kalinya kau mengenalku, menyebut dan memanggil namaku. Tapi, apakah aku senang? Hmm. Ini adalah awal tersampainya janji yang kuucap saat pertama kali kita bertemu.

Scene 5
Karena kau adalah teman dari temanku, aku pun menjadi temanmu. Kita semakin sering bertemu. Bertanya, apa kabar? Hmm, sedikit indah! Bentuk-bentuk unik dari sebuah perhatian, bergayung sambut. Mungkin, aku dan dirimu sedikit tersesat! Teman-teman kita tak pernah menyadari itu. Untung saja! Padahal Tuhan tahu, Sayang…

Scene 6
Di sebuah lorong rahasia, hanya kita yang tahu. Aku memberanikan diri memegang tanganmu. Kau mengelak, pura-pura. Aku tersenyum, ini baru awal. Aku mencoba mengerti. Mungkin masih terlalu dini.

Scene 7
Sifatmu mulai melunak. Kau tidak lagi mengelak saat aku memegang tanganmu, meremas jari-jarimu, menyusuri garis-garis tanganmu. Kau hanya diam, memang. Tapi setidaknya, ini awal yang baik. Aku bangga. Meski teman-teman kita tak pernah tahu. Kita menikmati berdua. Dalam sepersekian menit, aku tak lagi memulai meremas jemarimu. Kali ini, kau yang memulai. Bahkan, kau mencoba untuk memelukku. Aku mengelak, seperti yang pernah kau lakukan. Bagiku, ini sudah terlalu jauh. Jangan sampai terlalu jauh.

Scene 8
Aku kaget! Tiba-tiba saja kau bilang cinta. Tapi, aku tak menjawab. Apa ini? Sebenarnya, aku tak butuh cinta. Aku hanya ingin janjiku saat pertemuan pertama kita terwujud. Itu saja. Maaf! Hanya itu yang kuinginkan, tak pernah lebih. Aku harus melakukan sesuatu: kau harus belajar membenciku. Maka aku meninggalkanmu. Aku menghindarimu. Kau mencariku, seperti butuh. Kau mulai lelah, lalu mengumpat-umpat namaku. Aku sedikit tenang, setidaknya kau mulai terlihat membenciku. Bukankah semuanya harus berakhir sekarang? Kini, kita (harus) saling membenci, Sayangku! Haha!


E.Z. Istiqomah Land, 22 Februari 2010, 9:10:11 Wita
Aku selalu berharap, skenario kita adalah yang paling indah di dunia
Ternyata kau dan dia sudah begitu lama berbagi puisi. Hmm!

DUA PERJALANAN.





Perjalanan tentang seseorang yang bagi mereka adalah pemuja Tuhan


Tak kutemukan alasan kenapa
Postur pendek-ringkih-kurus miliknya mewarnakan si denyut merah jadi jingga
Sambil memeluk dagu, aku mendengar suara “Kami melihat Tuhan disini”
Astaga! Seharusnya aku malu saat menyadari bahwa aku tak shalat Isya sebelum jam sembilan!
Aku harus cepat-cepat berwudhu! Sekarang sudah jam dua pagi!



Perjalanan tentang Aisyah abad 21

Sepertinya, aku gila!
Pukul dua ini aku menemukan banyak jejak merah berserakan --- ada jingga menggeliat sembunyi di ketiak hutan Maros yang mulai di rintik-rintiki hujan
Tak kutemukan alasan kenapa
Impresi-ku menunjukkan ketakpeduliannya saat kujamah si denyut merah milikku: aaaagggrrrhhhh!
Seratus delapan puluh mililiterhage. Sesak. Mungkin merah-ku mulai hitam?
Lalu kudapati; bapak, jejak, nama, ragu, tanya, mimpi, iman, agama, langit, awan, hujan, waktu, rumah, surga, janji (rangkaian konsep yang menyatu menjadi alturisme)
Astaga! Seharusnya aku benar-benar menyadari bahwa aku sangat mirip dengan Aisyah, si gadis Muhammad

--------------------------------
Ini hanya legitimasi!
Kalian sangat salah menganggapnya pemuja Tuhan, tapi aku tetap Aisyah abad 21



---jelang pukul tiga pagi, di kamar sempit yang terasa lapangan bola: Tuhan-ku mulai cemburu---

Sabtu, 03 April 2010

Tentang Kekasihku: Dia,





Tentang Kekasihku: Dia,
Oleh: El Zukhrufy


hhhhhhh…!!

Kawan, ada yang kurang dalam kisah pertemanan dan persahabatan-ku dengannya: tak ada sapa, seperti yang selalu dia lontarkan pada bumibumi…

Dia,

adalah kekasihku yang pelupa…

Lupa dengan bunga-bunga yang pernah dia kirim di depan gerbang rumahku…

Lupa dengan nyanyian yang sering dia dendangkan sebelum tidurku --nina bobo yang selalu mengantar tidurku dengan senyum...

Lupa dengan sebungkus nasi kuning yang selalu dia antarkan untuk sarapan pagiku...


Ah! mungkin aku juga harus berpura-pura menjadi pelupa..

karena aku adalah dia

— kekasihku yang pelupa…

(aku tersakiti karena penyakit lupa-mu)

Minggu, 28 Maret 2010

KOTA INI TELAH GILA!






KOTA INI TELAH GILA!
(aku, lelakiku, dan abu-abu)




Mungkin bencana itu diawali pertengahan tahun 2009. Sebuah kabar baru menimpa warga kotaku.

Awalnya, biasa saja. Kehadirannya tak terlalu membuatku penasaran. Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi dengan mereka.

Mereka telah gila! Mereka mulai tertawa sendiri di depan sebuah kotak hitam. Mereka mulai melirik-lirik, lalu tersenyum cekikikan. Gila! Mereka mulai berbincang-bincang antara dinding-dinding yang sebenarnya tak ada, tapi mereka anggap ada.
Aku pernah mendapati dua orang gadis. Mereka duduk di taman favoritku. Ternyata, mereka sedang membicarakan sesuatu, tapi mulutnya tak terlihat berkata-kata. Justru yang mereka keluarkan adalah tawa. Ada apa gerangan dengan tawa itu? Aku mencoba mencari tahu. Kudekati mereka. Yang kutemukan? Abu-Abu. Itulah ternyata yang membuat mereka saling melirik, lalu tersenyum, kemudian tertawa. Kadang-kadang, terdengar suara dari mereka, “kamu kok gitu sih?”, atau “perasaan, aku gak gitu deh!”, atau “kamu serius?”, atau “ah, kamu bisa aja!”, atau “tega banget sih kamu!”. Huh! Menyebalkan! Buang-buang waktu! Tidakkah mereka menyadari, bahwa mereka telah membiarkan satu penyakit berbahaya menjangkiti mereka? Penyakit gila! Sayang sekali, padahal mereka masih muda. Gadis. Perawan.

Maka, telah aku tekadkan. Setelah melihat warga kota-ku hampir semuanya gila, bahkan teman-teman terdekatku, aku tak akan mendekati Abu-Abu. Melirikpun tak sudi. Aku menganggap, Abu-Abu itu menjijikkan, tak pantas didekati. Hampir di semua sudut kota, aku akan menemukan wajah-wajah serupa. Wajah-wajah yang berpotensi menjadi gila. Aku tak ingin jadi gila, kawan!

Aku telah kehilangan lelaki yang kucintai gara-gara kehadiran Abu-Abu. Lelaki itu kini tak mengenaliku, padahal ia pernah menjadi imamku, kami pernah serumah, tinggal bersama, bermimpi jadi pejuang sejati. Tapi, sesuatu membutakannya! Abu-Abu itu! Sialan! Lelaki-ku kini tak pernah sekalipun menyahut panggilanku. Dia pergi, jauh. Semakin jauh. Aku rindu rintihan suara putus-putusnya saat mengaji dii rumah kami. Aku rindu. Aku ingin ia kembali.

Lelakiku. Dia salah satu alasan yang membuatku bertahan di jalan juangku. Dia salah satu alasan kekuatanku menggapai mimpi yang bagi sebagian orang adalah mustahil. Dia yang membuatku betah berlama-lama di taman kota itu. Dia salah satu alasan kenapa aku harus tegar. Dia yang membuatku tersenyum menatap matahari. Lelakiku. Kini ia hilang dengan amarah. Ia pergi bersama dahi yang berkerut dan gigi gemeretuk. Ia tinggalkan sumpah serapah bersama pelukan Abu-Abu…

Hari berikutnya. Akan semakin banyak orang yang terluka karena Abu-Abu. Aku sudah mengumpulkan bukti-bukti. Sudah cukup banyak. Suatu hari, akan kulaporkan ke polisi tentang si jahat Abu-Abu. Dia harus dipenjara! Dia telah memakan banyak korban. Tapi, jika polisi tenang-tenang saja, maka aku akan mengambil tindakan. Akan kubunuh Abu-Abu itu! Dia harus mati!



Makassar, Maret 2010
Kita harus kuat, saudaraku…