Rabu, 30 November 2011

What is this?

Bingung.

Tidak tahu harus bagaimana. Sesuatu ini begitu tiba-tiba. Seperti saat dapat salam pertama dari seseorang waktu kelas 2 SMP. Gugup. 

Ada apakah ini? Seperti hidup yang selalu dimata-matai. Sungguh, perasaan yang tak biasa. Semua seperti serba tak enak. Aih, aih.


Well, lupakan saja lah. 

Rabu, 09 November 2011

PEREMPUAN JUGA BISA! (ngegombal) #2

P : Yuk, pulang.

L : Kan hujan...

P : Terobos aja.

L : Ntar basah...

P : Justru itu, lagi pengen basah-basahan nih.

L : Kenapa emang?

P : Karena aku menganggap rintikan hujan yang membasahi wajahku seperti cintamu yang perlahan-lahan menyejukkan hatiku.

PEREMPUAN JUGA BISA! (ngegombal) #1

Seorang perempuan tiba-tiba berteriak di depan seorang laki-laki.

P : Aaaaaaaarrrrrrgggggggggghh! Pokoknya aku mau minggaaaaaaaaaaaatttt!

L : Lho, emang mau kemana?

P : Ke hatimu...

Selasa, 18 Oktober 2011

Ya. Ya. Ya.

Cuma mau bilang, saya sedang berada di kampung halaman sekarang.

Dan saya bahagia. 

Meski jarang bermain HP dan internet. :D

Selasa, 27 September 2011

Rindu yang tak boleh



Semua sudah jelas. Kita sudah berusaha teguh pada prinsip masing-masing.

Ha! Tapi ternyata tak seperti yang kuharapkan. Seharusnya tidak terjadi seperti ini. Kau memulainya! 

Kembali menciptakan setitik riak yang tak seharusnya ada. Maka untuk satu hal ini, akulah pemenangnya. Ya. Aku yang menang, karena aku yang lebih tangguh.

Kerasnya hati seseorang tergantung pada teguhnya memegang prinsip. Orang seperti ini tak akan goyah terhadap godaan apapun. Nah, seperti yang kutahu darimu sejak dulu, kau adalah jiwa yang rapuh. Buktinya, kau telah memulai “permainan” yang terlarang untukmu, sangat terlarang. Ini tak boleh! Ini tak boleh!

Tapi toh, aku berusaha menganggap bahwa ini adalah hal yang wajar. Aku berharap, semoga Tuhan tak mencatat ini sebagai dosa. Aku berharap, semoga hatimu tak sebegitu hitam.

Tahukah?

Kau kukenal sebagai malaikat. Maka jangan membuat noda sedikitpun di mataku. Jangan menumpahkan tinta pada kertas putih itu. Jikapun kau hendak melakukan kesalahan, lakukan itu tanpa sepengetahuanku. Tidak ada yang tahu apa arti dirimu untukku. Bahkan kau sendiri.

Apakah itu rindu?

Mudah-mudahan bukan. Rindu itu tak boleh. Rindu itu akan bermakna lain. Tak boleh! Tak boleh! Aku tak ingin Tuhan murka. Aku tak ingin dimurkai. Lebih-lebih, aku tak ingin kau celaka. Maka tepiskan rindu itu. Buang jauh-jauh saja. Kau pasti bisa. Pasti bisa! Seperti kata-kata yang selalu kau gumamkan.
Dan berbahagialah. Kau harus bahagia, karena aku selalu mendoakanmu begitu. Berbahagialah, bersama siapapun yang ada di dekatmu saat ini dan kapanpun. Berbahagialah, tanpa sedikitpun ada rasa rindu (yang tak boleh) itu.


@@@
Kandea, 2011.

Pulang untuk apa?

 

Aku mencintai hidupku. Aku mencintai bagaimana cara hidup membuatku merasakan berbagai rasa, bahkan dalam waktu yang bersamaan. Aku suka hidupku yang penuh dengan kejutan.

Untuk beberapa waktu, aku tak berencana untuk kembali pulang. Ada banyak hal yang harus kulakukan. Masih ada banyak “pekerjaan” yang harus diselesaikan. Tapi hidupku memang memberi cara berbeda untuk sebuah “kejutan”. Ya. Dan akhirnya, dalam waktu dekat, aku akan (baca: harus) pulang. Meski hanya untuk beberapa hari saja.

Banyak yang bertanya, untuk apa pulang? Mungkin pertanyaan itu berwujud karena terkesan mendadak. Aku pun tak menyangka, bahwa aku harus “kesana” lagi. Maka, jawabanku “Aku hanya ingin pulang saja”.
Banyak spekulasi, yang tak sepenuhnya aku suka. Banyak yang menduga, untuk apa “kepulangan” itu. “Aku ingin bertemu seseorang,” kataku. “Ciyeee, siapa nih?” Ya. Berbagai “spekulasi” muncul.

Haruskah dijawab? Haruskah kau tahu?

Aku sebenarnya tak ingin pulang. Tapi hidup kembali memberikanku kejutan. Aku sebenarnya tak ingin mencatat angka “4” untuk kembali ke kampung halaman. Jika perlu, hanya “2” atau “3”. “4” terlalu banyak, terlalu sering.

Lalu, pulang untuk apa?

Aku pulang kali ini, untuk bertemu seseorang. Ia yang sangat berharga untuk hidupku. Ia berencana akan pergi jauh. Dan kepergian ini bagiku terlalu mendadak. Ini kali pertama ia akan pergi jauh, sangat jauh, untuk waktu yang lama. Meski saat ini kami telah terbiasa untuk berjauhan, tapi untuk kali ini, aku merasa jarak yang akan kami miliki (sesaat lagi) terlampau jauh. Dan sebelum ia pergi, aku ingin melihatnya. Aku ingin menitipkan beberapa harapan, meminta maaf, mengatakan bahwa aku menyayanginya, dan aku akan sangat merindukannya lebih dari kapanpun selama ini. Aku ingin mengatakan padanyan beberapa kalimat yang tak pernah aku ucapkan selama ini, selama aku menyadari bahwa ia adalah lelaki terbaik. Betapa beruntungnya perempuan yang memilikinya. Dan perempuan itu, aku.

Alasan satu-satunya adalah hal yang aku sebut di atas. Tapi jika diizinkan untuk menambah alasan dan mengurutkannya, maka masih ada alasan lain. Ya. Agar aku tak pulang hanya untuk satu hal saja, maka alasan selanjutnya adalah harus penting juga: membimbing (baca: memaksa) seseorang untuk segera menikah. Ini harus kulakukan. Karena aku terlampau khawatir dengan hidupnya yang akhir-akhir ini. Bagiku ini beban. Jika mungkin, maka hal ini harus terwujud, sebelum hal-hal buruk yang kubayangkan terjadi. Semoga tidak.

Alasan lain?

Ada sesuatu yang harus kujelaskan. Tentang beberapa rencana. Tentang “murid-murid baru” yang kumiliki, mereka yang bercita-cita melahirkan sebuah buku. Tentang satu tahun yang ingin aku lalui di bumi lain. Tentang pandangan-pandangan hidup. Tentang keinginan bertahan. Tentang bertarung sendirian untuk sebuah perlawanan. Tentang sebuah cerita yang akan dirangkai.

Semoga saat pulang, semuanya sempat terbahasakan. Semoga aku tak bisu.

Sampai jumpa! Kita tak akan pernah tahu, kapan kita akan bertemu lagi. Maka aku tak bisa menjanjikan apapun.


Sabtu, 27 Agustus 2011

New!

Hullla..! 

Kawan bloggers, apa kabar?
Alhamdulillah, sudah memasuki hari-hari terakhir Ramadhan. Nah, saya malah sibuk utak-atik blog ini. Dan akhirnya, jadilah yang seperti ini. 

Sebenarnya, masih belum puas dengan template baru ini. Makanya, pasca lebaran, insyaallah bakal diganti lagi. #hedeuh!

Happy reading! Happy blogwalking! :D

Sabtu, 20 Agustus 2011

Diam-diam, matamu memandang matanya yang diam-diam memandang mataku

Aku tak seperti kamu, diam-diam memandang matanya atau matamu. Tapi aku tahu kau diam-diam melakukannya, karena beberapa saat setelah itu terjadi, kau dengan (pura-pura) semangat mendendangkan beberapa nada yang terlalu jelas maknanya: CEMBURU!

(Tapi kau tak tahu bahwa aku berhasil diam-diam memandang matamu yang diam-diam memandang matanya. Ah, sesungguhnya kita tak pernah bisa selamat dari pandangan-pandangan!!)

Senin, 08 Agustus 2011

Maaf ya...

Kemarin, saat menghadiri acara yang diselenggarakan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dalam rangka memperingati Ultahnya (17 tahun di Indonesia dan 15 tahun di Makassar), di Gedung Mulo Makassar, saya ditegur oleh Kak Nurdin Amir (seorang wartawan di Trans TV).

Begini katanya, "Wa, mana mi tulisanmu?"

Beliau memang memanggil saya seperti itu. Karena saya memperkenalkan diri padanya dengan nama Uswatun, maka beliau memanggil saya "Wa", diambil dari Uswatun. Hehe.
Dan sejak kami mulai bersahabat, saya memang berjanji padanya untuk sering-sering "memberikan" apapun tulisan saya padanya. Makanya, saat bertemu, beliau menagih. 
Saya jawab, "Hehe. Maaf, Kak. Puasa ki juga tulisanku."

--------
Well, sebenarnya tulisan ini adalah klarifikasi (halah) kenapa akhir-akhir ini saya jarang update blog. Yeah, entah kenapa, beberapa waktu terakhir, saya malas sekali untuk menulis, padahal ide sudah mulai tumpah dari kepala untuk dituangkan dalam tulisan. Ya. Entah kenapa. Mungkin memang karena lagi puasa. 

Makanya, maaf ya...

Sabtu, 23 Juli 2011

Tentang ketidakinginan karena sebuah jika



Kau harus membuka hati sebelum membaca ini, agar kau mengerti.

Kehidupan adalah suatu perjalanan yang semua manusia tahu bagaimana alurnya. Secara umum, sebuah kehidupan beralur seperti ini: bayi – anak – remaja – dewasa – tua – mati.

Di kehidupan ini, ada beberapa keinginan yang semua manusia menginginkannya: tetap hidup atau tetap muda.

Namun, ada keinginan yang banyak diinginkan manusia, tapi ada juga yang tidak menginginkannya. Misalnya, menjadi kaya. Hal serupa ini yang akan saya bicarakan kali ini.

Seperti menjadi kaya, ada sebuah masa dalam hidup yang tidak diinginkan semua manusia yang telah pandai berpikir. Jika memakai ideologi semesta, ketidakinginan pada sesuatu ini adalah sebuah ketidakwajaran. Tapi, adalah sebuah kewajaran juga jika beberapa manusia tidak menempuh jalan ini karena manusia diperkaya dengan anugerah “memilih” dalam hidup.

Keinginan yang saya maksud ini adalah sebuah tahap yang memerlukan (bahkan mengharuskan) beberapa syarat bagi siapapun yang menginginkannya. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, jika memakai ideologi semesta, keinginan ini adalah sebuah kewajaran (bahkan keharusan). Maka berbondong-bondong manusia akan berusaha meraih keinginan itu (dengan begitu banyak persyaratan ini dan itu). Dan betapa mengagetkan, bahwa sebagian manusia akan ikhlas melakukan bunuh diri jika keinginan ini tidak bisa mereka raih. Padahal manusia-manusia itu meyakini ideologi yang saya maksud semesta.

Saya sebagai penganut ideologi semesta, percaya bahwa keinginan ini adalah sesuatu yang harus dilalui dengan perjuangan.

Tapi…

Seperti judul tulisan ini dan di salah satu paragrafnya, saya tidak akan menginginkan sesuatu ini, karena saya manusia yang mempunyai anugrah ke-berhak-an untuk “memilih”. Hal ini tidak termasuk sebuah ketidakwajaran yang dimaksud oleh para penganut ideologi semesta. Bukan! Saya tidak ingin (karena sebuah jika). Itu saja.

Bukankah saya katakan bahwa sesuatu ini memiliki beberapa persyaratan? Nah, salah satu syaratnya adalah: keinginan ini harus diraih bersama dan/atau dengan manusia lainnya. Keinginan ini adalah sebuah produk yang tak bisa independen, tak bisa berdiri sendiri. Ya.

Maka dari itu, saya kemudian tidak menginginkannya (lagi-lagi, karena sebuah jika).

Jika manusia yang dimaksud untuk meraih keinginan saya itu adalah kau, maka saya tidak akan merugikan kau. Karena “jika” yang saya maksud itu (jikapun–semoga tidak) terjadi, justru akan membuat kau kecewa, sangat kecewa. Dan saya tidak ingin mengecewakan siapapun.  Apalagi kau.

Tapi, jika “jika” yang dimaksud tidak terjadi, bukankah jika saat itu terjadi, maka saya dan kau adalah pribadi yang berdaulat bahwa kita adalah manusia yang paling bahagia di dunia dengan raut muka penuh bunga-bunga?

@@@ A’s @@@

Pagi ini (dan berlanjut malam harinya), saya tiba-tiba memikirkan ini. Ya. Sebaiknya saya memang tak harus memiliki keinginan seperti ini, jika “jika” yang saya maksud memang benar adanya.

Jika kau tidak mengerti tentang apa yang saya tulis, setidaknya saya bisa menjadi lebih tenang, karena kau tidak akan menganggap ini adalah sebuah ketidakwajaran seperti para penganut ideology semesta. Kau mungkin justru akan berkata padaku, “Tabahlah!”
_____________________________________________________________________________________
[Sampai bertemu pada sebuah kepastian, Cinta!]


**Hasan Cakep, 23/7/11**

Kamis, 14 Juli 2011

Lagu (Kebanggaan) Kita Bersama

Hm. Lagi gak punya ide mau posting apa. Mungkin gara-gara pusing-in Si Skrip-shit itu. Mending posting ini aja, sambil nyanyi. Doozo!
-------------------------

Mirai e (Towards The Future)


Hora ashimoto wo mite goran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora mae wo mite goran
Are ga anata no mirai


Haha ga kureta takusan no yasashisa
Ai wo idaite ayumeto kurikaeshita
Ano toki wa mada osanakute imi nado shiranai
Sonna watashi no te wo nigiri
Isshoni ayundekita


Yume wa itsumo sora takaku aru kara
Todokanakute kowai ne dakedo oitsuzukeru no
Jibun no story dakara koso akirametakunai
Fuan ni naruto te wo nigiri
Isshoni ayundekita


Sono yasashisa wo toki ni wa iyagari
Hanareta haha e sunao ni narezu

Hora ashimoto wo mite goran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora mae wo mite goran
Are ga anata no mirai


Sono yasashisa wo toki ni wa iyagari
Hanareta haha e sunao ni narezu


Hora ashimoto wo mite goran
Kore ga anata no ayumu michi
Hora mae wo mite goran
Are ga anata no mirai

Hora ashimoto wo mite goran
Kore ga anata no ayumu michi

Hora mae wo mite goran
Are ga anata no mirai
Mirai e mukatte
Yukkuri to aruite yukou



English Translation

Look! Look at your feet
This is the road you walk
Look! Look ahead of you
That is your future


My mother gave me so much kindness
“Embrace love and walk,” she said over and over
At that time I was still immature
I didn’t understand her meaning
She held my hand
And walked with me


Our dreams are always high in the sky
It’s scary that they might not come true
But we still continue to chase them
Because it’s our story
We don’t want to give up
When I was unsure she held my hand
And walked with me


There were times when I hated that kindness
When separated from my mother I couldn’t be obedient

Look! Look at your feet
This is the road you walk
Look! Look ahead of you
That is your future


There were times when I hated that kindness
When separated from my mother I couldn’t be obedient


Look! Look at your feet
This is the road you walk
Look! Look ahead of you
That is your future


Look! Look at your feet
This is the road you walk
Look! Look ahead of you
That is your future

Turn towards the future
Let’s walk slowly

Jumat, 08 Juli 2011

One. Just One.

Ehm!
 
Lagi gak pengen basa-basi (lagian, kan, gak enak kalo saya bau basi)

Cuma pengen bilang... (Ya udah, Tun, bilang aja...)
 
Errr... Emmm... Kasih tahu gak ya?? (Ta' jitak nih lama-lama!)
 
 
Jangan gitu, dong...
 
Cuma pengen bilang:
 
 
 
Aku C-I-N-T-A kalian semua...
 
 
 
(Huh, dari tadi, kek. Aku juga cinta kamu, kok, Tun)


Makasih ya, udah mau jadi temanku...


Minggu, 03 Juli 2011

Yang terjadi beberapa hari lalu


Pagi perawan. Sudah tiga hari berturut-turut saya melewatinya dengan bermain basket bersama para sahabat perempuan di lapangan basket pelataran PKM Unhas. Tapi pagi ini serasa berbeda, karena saat saya melabuhkan pandangan ke arah barat, ada asap hitam yang mengepul. Sebagai orang yang sudah lumayan trauma dengan kebakaran, saya panik dalam hati. Sempat bertanya-tanya, ada apa? Mungkinkah terjadi kebakaran di daerah Workshop? Tapi, kok tidak ada huru-hara di sekitar saya? Lalu saya berpikir, ah, mungkin ada pembakaran sampah (massal) di daerah Workshop. Tapi, kok asapnya segitu banget ya? Lalu saya mencoba berpikiran positif, maka hal itu tidak terpikirkan lagi, dan saya melanjutkan bermain basket.

Setelah kalah 6-7 dari tim lawan (kami beradu basket), sesuai dengan kesepakatan, tim kami harus mentraktir tim yang menang untuk makan nasi kuning di Workshop. Kejadian “asap” tadi sebenarnya tak akan teringat ketika mace-mace (ibuibu) penjual nasi kuning tiba-tiba berkata, “Pasar Sentral kebakaran”. Hah? Jangan-jangan kepulan asap hitam tadi berasal dari sana? Seolah tidak mungkin karena Sentral dan kampus lumayan (sangat) jauh. Well, itulah yang terjadi.
“Kabarnya, Pasar Sentral habis terbakar.”

“Kapan, Bu?”

“Kayaknya sekitaran tengah malam tadi.”

Kami semua diam. Terbayang wajah-wajah korban kebakaran disana. Terbayang betapa susahnya mereka harus bangkit merintis usahanya dari awal lagi. Terbayang berapa besar kerugian kejadian ini.

Mace-mace melanjutkan, ”Dulu, sekitar tahun ’93, Sentral juga pernah terbakar, tapi tidak separah ini.” Ia mendesah, kemudian berkata lagi, seolah berkata pada diri sendiri dengan wajah murung, “Bagaimana ya, dengan seragam yang saya titipkan pada penjahit disana? Hangus juga deh…”

Haduh, Bu.. Bu… Memangnya seberapa rugi sih dirimu dibanding penjahit yang kau keluhkan?

Dan entah kenapa, sambil mendengarkan keluhan dan cerita mace ini, saya terpikir untuk mengirim SMS pada para wartawan yang saya kenal tentang berita ini, meskipun saya yakin juga bahwa mereka telah mengetahui kejadian ini. Masa’ sih wartawan tidak tahu? Tapi toh, saya tetap mengirimkan SMS kepada mereka.

Sepulangnya dari kegiatan pagi, segera saya mencoba mencari berita tentang kebakaran tersebut. Sampai di rumah, buka Lithium (laptop, red), googling. Ternyata saya dapat beritanya di Metrotvnews.com. Saya kaget, ini beritanya serius ya? Lebih dari 50 pemadam kebakaran diturunkan? Ah, jangan-jangan Metro lebay lagi nih. Kalau 50-an pemadam dioperasikan, berarti sangat parah kan?
**

Lewat pukul 15.00 Wita, saya memutuskan untuk menuju Pameran Foto Tunggal Haidar Majid, Wakil DPRD Kota Makassar. Tapi pikiran saya berada di Pasar Sentral. Saya membayangkan apa yang sedang terjadi disana. Saya membayangkan orang-orang yang kini sedang sibuk merapikan puing-puing sehabis kebakaran. Dan setelah melewatkan sekurangnya 30 menit menikmati pameran foto, saya memutuskan segera ke lokasi kebakaran.

Tiba di Jl. Laiya, saya merasa jantung saya berdebar-debar. Mungkin tidak siap atau… takut? Ya. Saya sudah cukup “berpengalaman” dengan kebakaran, dan tiga kali kejadian yang telah lalu cukup membuat saya sedikit trauma. Di jalan ini, ramai dipenuhi orang-orang yang berjalan kaki. Saya memastikan bahwa mereka telah atau sedang menuju lokasi kebakaran. Dan sampailah saya di sana…

Saya lumayan terkejut dengan penglihatan saya sendiri: pada bangunan yang terbakar dan dipeluk hitam itu masih ada asap berkepul. Asap hitam! Ternyata, memang masih ada api yang hinggap di tengah bangunan itu.
Di sekeliling saya, orang-orang berlalu-lalang. Ada yang sekadar melirik, lalu jalan. Ada yang memilih menetap di posisinya untuk memandang asap hitam lebih seksama. Jalanan macet oleh timbunan manusia. Sesekali saya mendengar dialog mereka, dengan logat yang sangat Makassar.

Wee, habis betulan…”
Iyokah?”
Iyyo. Keliling ka dari sana to, habis…” Dan dialog diakhiri dengan dua nafas yang mendesah.

Saya sedikit tidak percaya. Disamping kiri saya, terlihat seorang lelaki 30-an berdiri tenang sementara jantung saya kembang-kempis dengan keadaan ini. Saya memutuskan untuk menghampirinya, menyapanya.

Menurutnya, kebakaran terjadi sekitar pukul sebelas malam sesaat sebelum seorang satpam mengaku mendengar ledakan dari dalam gedung. Sepertinya suara itu berasal dari lantai dua. Bapak ini ternyata adalah salah satu “karyawan” toko pecah belah. Ia terlihat sedih ketika mengatakan bahwa tidak ada sama sekali barang yang bisa diselamatkan. Ia juga berkata, mungkin kerugian kejadian ini lebih dari milyaran rupiah.

“Dulu juga pernah terjadi kebakaran disini, Dek. Tapi tidak separah ini.”

“Kapan ya, Pak?”

“Sekitar tahun 90-an”

Diam sejenak. Kami masih terpesona dengan asap hitam.

“Ada tidak yang tinggal di dalam gedung ini, Pak?”

“Untungnya tidak ada.” Hhh, syukurlah. Tapi saya penasaran tentang korban jiwa, makanya saya bertanya lagi.

“Kira-kira ada korban jiwa nggak, Pak?”

“Hm. Mungkin ada. Siapa tahu ada orang yang mau menyelamatkan barang mereka kemudian terjebak di dalam terus tidak bisa mi keluar.” Innalillah! Saya terlalu ngeri membayangkannya, maka saya memutuskan untuk pamit dari bapak ini.

Kemudian saya melanjutkan berkeliling gedung yang terbakar (atau dibakar?) ini. Saya ingin memastikan apakah benar semua sisi gedung ini terkena oleh cumbuan api. Ternyata memang benar. Semua sisi gedung ini dipenuhi warna hitam akibat asap yang menyelinap keluar jendela. Tiba di sisi lain, terlihat beberapa pemuda sedang berusaha mengamankan beberapa mesin jahit/obral dari lantai dua. Tangan mereka telah penuh oleh hitam. Mereka tergesa turun dari gedung sambil membawa rangka mesin jahit yang telah berkarat, seperti peninggalan zaman baheula. Ada beberapa mesin jahit, dan semuanya memprihatinkan.

Saya kembali berjalan. Baru beberapa langkah, saya terhenti dan sedikit terkejut. Saya melihat api! Rupanya api memang belum padam.

Berjalan di sisi lain, terlihat pemadam kebakaran mulai berdatangan. Memang sangat sulit bagi mereka memadamkan api seluruhnya untuk model bangunan kotak seperti ini. Terlalu beresiko! Saya bisa membayangkannya.

Dan senja kini terlihat ingin menguasai bumi. Maka saya memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

**
Di perjalanan, perasaan saya teraduk-aduk. Baru saja saya melihat banyak sisi kontras. Penjual mangga masih sibuk menawarkan dagangannya sementara asap di sisi gedung bertebaran melewati jendela. Penjual pakaian anak-anak masih setia dengan teriakan “Singgah ki. Sepuluh tiga, sepuluh tiga!” di antara suara sirine pemadam kebakaran. Toko-toko yang lain masih terbuka meski dengan pintu yang sedikit tertutup, sementara gedung di depannya telah hangus dibakar api. Pemuda-pemuda sibuk memilih-milih pakaian basah yang berhamburan di tanah, sementara beberapa butik telah raib. Pengumpul besi bekas tersenyum kegirangan penuh semangat menyatukan puing besi, sementara ada manusia yang bertopang dagu memikirkan kerugian di sebelah sana.
Ah, hidup…

**

EPILOG
Entah kenapa, selepas menjauhkan diri dari Pasar Sentral, saya melangkahkan kaki menuju Mall Panakkukang. Dan di tempat ini, orang-orang tak kalah memacetkan koridor mall. Ada diskon kah? Tidak. Ternyata ada event Grand Opening Lotte Mart.

Hhhh! Saya mendesah. Baru saja saya menyaksikan gedung yang hangus dilalap api, dan ternyata di sini, orang-orang dengan semangat api berbelanja berburu barang murah.

Hidup memang kumpulan sedih dan gembira di detik yang sama. Beberapa detik terbahak, beberapa detik kemudian terluka. Aih, aih… Kita harus siap menghadapinya. 

Rabu, 29 Juni 2011

Jam hidup

Gambar diperoleh dari Om Google


“Jam biologis saya itu berbeda dengan orang lain. Jadi, jika ingin twit-nya segera saya balas, silakan kirim pada jam-jam tersebut. Pasti kalian akan segera mendapat balasan dari saya. Karena pagi sampai jam dua belas biasanya saya tidur.”

Itu kata-kata yang diucapkan Trinity, penulis The Naked Traveler, pada rangkaian acara Makassar Writers International Festival, beberapa hari lalu, di Museum Kota Makassar.


Nah, saya tidak akan membahas tentang Trinity atau buku best seller-nya (yang sepertinya tak pernah saya lihat di toko-toko buku). Saya hanya tertarik dengan kata “jam biologis” yang dia katakan.

Jam biologis? Saya tidak tahu pasti apa definisinya. Hanya yang saya pahami, jam biologis itu mengacu pada saat-saat produktif seseorang, atau bisa berarti jam kerja (ngantor, kerja, dsb). Itu yang saya pahami. Saya pribadi lebih suka menyebut istilah itu dengan “jam hidup”.

Jam hidup bagi saya adalah jam-jam dimana akhir-akhir ini saya meninggalkan kamar/pondokan untuk berhubungan dengan dunia luar. Istilahnya, jam hidup adalah jam keluar rumah. Nah, beberapa waktu terakhir, jam hidup ini sangat tak menentu, tapi seperti membentuk pola.

Setelah saya pikir-pikir, ternyata jam hidup saya sangat tidak “manusiawi” (tapi sangat menggambarkan kehidupan mahasiswa tingkat akhir yang sama sekali tak terganggu dengan kata-kata, “Kapan wisuda?” atau “Skripsimu bagaimana?”). Kurang lebih, beginilah gambaran kehidupan saya:

04.20 Wita = Bangun. Mandi. Shalat. Nyuci (kalau ada)
06.05 Wita = Lari pagi. Keliling setengah kampus / main basket
07.45 Wita = Sarapan. Nulis/OL. Beres-beres kamar. Nonton sambil mikirin skripsi #eh
14.02 Wita = Tidur! #astaga
16.33 Wita = Jalan-jalan, terserah kemana. *JAM HIDUP*
21.00 Wita = Kembali ke pondokan. Nulis/OL (lagi). Tidur.


That’s it! Jadi, Kawan, ternyata hidup saya ya, hanya beberapa jam itu. What a bad life! Kemarin, saat jam hidup saya tiba, si Mas Penjual Rujak yang bukan langganan saya menegur.

“Mau kemana?”

“Ngampus” Maksudnya, nongkrong gak jelas di kampus.

“Ciyee, rajin banget sih. Libur-libur gini masih ngampus aja. Eh, tapi emang kuliahnya sore ya?”

“….” Nyengir cakep. Si ThoMas ini gak tahu aja kalau saya cuma ada janji dengan teman-teman.

Hhhhhh! *sigh
Well, beginilah hidup saya. Tapi secepatnya, saya akan mengubahnya, janji!
Saya harus SARJANA tahun iniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!! *teriak gak jelas pada dunia


Jumat, 24 Juni 2011

Kita menertawai hidup



Kita terluka.

Kita sedang dalam keadaan terhimpit. Kita merasa tak (bisa) hidup.

Kita tahu kondisi ini tak akan membuat airmata untuk terseka kerah baju kita. Itu tak wajar. Kita tak boleh begitu!

Tapi.

Kenyataan seperti menindih kita ke sudut dunia yang membuat kita tak mampu menghirup udara.

Sisi lain begitu berbeda. Ada piring dan gelas berdentangan menandakan pesta. Sedang disini hanya diam. Raga memeluk lutut menahan ia yang kembali membeku.

Jangan! Airpadamata hanya akan membuat lukapadahati.

Tertawalah!


Bukankah oranglain tak perlu tahu tentang [hati]kita?