Jumat, 30 Juli 2010

AKU HANYA MENUNDA KECERDASAN





Sore ini
aku lupa sore keberapa
yang jelas, kaki kulangkahkan menuju istana yang telah ku-singgasana-i selama delapan semester, tanpa pernah ingin pindah sekalipun
pada sebuah belokan (tinggal satu belokan) sebelum Pondok Istiqomah (kata Imran, sampingnya Istirahat)
kudapati dua orang teman lelaki, satu fakultas
aku masih ingat saat kami samasama culun dikerjai senior. salah satu dari mereka sering sekali dihukum keliling lapangan fakultas karena selalu terlambat jika harus tiba pagi buta. berani-beraninya telat saat-saat OPSPEK! dasar bodoh! pemalas! pasti suka begadang! gerutuku.
pertengahan masa kuliah, kira-kira semester empat, rambut mereka mulai gondrong
niatnya ingin menunjukkan eksistensi dan diferensiasi dengan MABA
padahal menurutku, mereka tetap saja si culun itu
haha!
tapi, aku tercengang
tepat di penghujung semester delapan, mereka berhasil meraih gelas sarjana, SKM!
mereka yang aktif di himpunan, organisasi kiri yang tak jarang bikin orang lain jadi gila, selalu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk patolo-toloi MABA, selalu bolos kuliah, kerja tugas seadanya, berlama-lama di fakultas hingga tengah malam...
akhirnya!
sangat membanggakan, setidaknya bagi orangtua, dekan, dosen, staf, juga temanteman
mereka
SELESAI TEPAT WAKTU!
mungkin ini yang namanya takdir
aku seharusnya, yang diyakini sebagian besar orang, bisa melebihi mereka, malah masih begini saja

saat tatapan kami bertemu sebelum belokan itu
seakan kami menanyakan kabar masingmasing tanpa suara: dengan tatap penuh makna
"Apa kabar kamu? Bukannya kamu juga harus telah minggat dari fakultas? Kenapa malah berkeliaran di jalan? Aku rasa, kau cukup pandai untuk seperti ini"
begitulah kirakira arti tatapan itu
kujawab, "Tak usah menatapku, Teman! Aku tidak bodoh! Aku hanya menunda Kecerdasan!"
lalu, mimik mereka sedikit berubah
lanjutku, "Nikmati saja dulu indahnya masamasa pengangguran! Setidaknya, saat aku lulus nanti, aku tak akan membuang waktu seperti kalian..."[*]


-EZ. Jl. Sahabat, 30 Juli 2010-

Rabu, 28 Juli 2010

Konbanwa!




…………….
Lalu, apa yang terjadi?
Aku merasakan hidupku semakin dipenuhi jingga
Melihatmu selalu memakai seragam yang (selalu) hampir sama denganku ―membuatku selalu bertanya-tanya, mungkinkah ini adalah sebuah kesengajaan untuk mengundang kata “jodoh”?

Ah!
Aku hanya ingin selalu melihat Biru rupa Awan

“Aku juga bingung! Lebih bingung dari hari itu, saat kau jujur!”

Aku (bisa-bisanya) menderita kejengkelan luar biasa dan tertawa lepas di saat yang sama saat melintasi Fly Over dini hari menjelang Minggu: tidak seperti biasa, speedometer hanya menggoda di angka 30-40

“Ya! Aku sangat menikmati malam bebas!”

Maaf,
Aku tak akan menjawab pertanyaan semacam peradilan untuk “perempuan bodoh seperti”ku

@@@

Aku tak seperti dia, tersenyum khas perempuan ―bibirku tercipta sangat elastis, hingga jika tertawa membuatmu kaget dan bertanya-tanya, yang barusan itu suara setan dari mana?
Aku tak seperti dia, bersuara lembut desah yang membuat kudukmu tergoda merinding ―pita suaraku tercipta dengan suara bass lakilaki, kadang serak tak jelas

Aku tak seperti dia, menganggap jejak tanah adalah catwalk hingga pinggulnya meliuk kirikanan ―aku ibarat berjalan di atas cadas api, tak lepas dari jingkrak-angkang-lari, sesekali mengangkat rok karena menghambat bebasku

Aku tak seperti dia, berpatut lama depan dinding kaca memakai bedak-lipstik “nuansa merahjambu” ―bahkan tak cukup tiga menit, aku sudah kocarkacir berseragam sewajarnya dengan niat agar lakilaki tak sampai melirikku (oho, bagaimana mungkin mereka berminat? Wajahku adalah tipe pertama dari bawah yang harus dijauhi karena dipenuhi oleh bintikbintik dan nodanoda tak jelas)

Aku tak seperti dia, menunggu menyiapkan makan malammu dengan gaun merah marun, melepaskan dasimu, tersedia air suamkuku untukmu mandi ―kau harus sibuk menyiapkan makanan seorang diri, mungkin mie instan atau telur goreng karena aku sedang asyik menikmati malam di jalanan dan baru akan pulang saat kau terlelap setelah sebelumnya mencuci piringmu yang penuh lemak minyak kelapa sawit

“Bisakah malam berwarna biru?”


@@@

Lalu, apa yang terjadi?
Aku akan sering bercerita tentang nama, warna, rasa dan pesan singkat dari seseorang di timur pulau Jawa

@@@
aku tak akan apa-apa jika kau benar-benar hilang [EL]


-Sesaat setelah kau cemberut karena kelalaianku (aku masih ingin memeluk kota jika malam. Mudah-mudahan kau paham)-

Selasa, 13 Juli 2010

KENYATAAN MALAM INI


KENYATAAN MALAM INI
: eL di bumi entah

Seseorang tidak dilarang jatuh cinta pada orang yang sama untuk kedua kalinya, bukan? (Fahd Djibran dalam Curhat Setan)


Akhirnya!
Aku baru menyadari apa yang seharusnya terjadi. Setelah lama kita tak bertemu —mungkin lebih tepatnya kau rindu padaku, kita hanya bisa mendengar suara masing-masing. Menerka-nerka apa yang kita rasakan. Menduga-duga raut wajah saat kita berbahasa. Dari sekian banyak duka, kau datang pada suka. Sebuah kejutan jika ternyata kau membuatku tertawa lepas dan merasa hidup kembali. Terima kasih, Sayang…

Aku sangat yakin: memori kita masih sangat segar dengan utas-utas kenangan. Semuanya. Segalanya. Saat kaki kita sibuk menikmati rayuan pasir-pasir halus di tepi pantai. Saat kau tersenyum melihatku mencumbui birunya air laut di atas perahu kecil. Saat aku cemas melihatmu tersiksa karena kesehatanmu yang selalu terganggu: aku memakaikanmu kaos kaki agar kau tak kedinginan (sampai sekarang, aku tak menyangka pernah melakukan itu). Saat kau, dalam diam, mengiringiku dengan doa agar aku selalu hati-hati saat menikmati perjalanan seorang diri. Saat kau memahami kebebasanku. Saat kau ke rumahku hanya untuk meminjam buku. Dan, saat malam itu kau mengambil keputusan sementara aku sibuk menduga kesimpulan…

Aku merasa kita benar-benar berbeda di saat itu. Tapi, di saat yang sama, aku merasa kita adalah bagian diri kita masing-masing. Entah! Aku masih bertanya-tanya, kenapa semua jadi begini? Tapi, itu adalah pertanyaan sebelum aku mendapati suara sopran-mu malam ini.

Satu dari tiga kata yang kau ucapkan telah menjelaskan semuanya. Untuk setiap tahun yang kita lewati tanpa tatap. Untuk hari-hari yang kita lalui tanpa temu. Aku sejujurnya tak percaya. Aku hanya percaya bahwa waktu bisa membuat kewarasan seseorang berubah. Ternyata, itu tak berlaku padamu. Kau tetap sama seperti yang kukenal dulu. Kau yang tak banyak bicara. Kau yang sangat penyabar. Kau yang begitu baik hati. Kau yang belum dewasa (padahal usiamu lebih tua dariku. Bagiku, kau masih kanak-kanak). Kau yang selalu amburadul jika mengirim pesan singkat. Kau yang suka bola, menghabiskan waktu lama-lama di lapangan hijau saban sore. Kau yang selalu malu-malu. Kau yang tak bisa memahami keadaan dan kenyataan perasaan. Kau yang lugu. Kau yang polos. Kau yang selalu tak peduli tentang apapun kecuali tentangku. Kau yang selalu setia menunggu. Kau yang selalu berusaha memahamiku, menuruti apa mauku —apapun! Kau yang setia menjaga rahasia kita untuk orang lain. Kau yang ternyata sempurna untukku —maaf, aku baru menyadarinya malam ini…

“Kita adalah dua titik embun di dunia berbeda yang disatukan pada sekuntum mawar…” (Dzawawi Imron untuk istrinya)


Ya. Begitulah kita. Jarak kita memang begitu jauh: waktu dan usia.

Kini, aku paham tentang sesuatu yang (memang) seharusnya aku pahami dari dulu sejak aku mengenalmu. Kita adalah dua titik embun. Tinggal mencari mawar yang bisa menyatukan kita. Ya! Kita masih mencari mawar itu. Meski kita tak tahu, kapan akan kita temukan, dimana akan kita dapatkan. Mungkin, akan kita temukan di halaman rumahku, disamping bunga lili yang semakin kemuning menjelang Oktober tahun ini. Atau, jabatan tangan di tepi jalan itu akan dilegitimasi oleh senyum kita di depan layar merah dan biru (pemandangan akan berubah menjadi beberapa lelaki yang memakai jas hitam dan dasi belangbelang). Dan (seperti yang kau bilang), harus ada hitam di atas putih sebagai penegasan dan penjelasan.

Sayang…
Aku tak takut lagi pada apapun. Terima kasih untuk suaramu malam ini. Aku masih menunggu kabarmu. Mudah-mudahan kau masih setia dengan dirimu yang tak pernah berubah. Aku suka itu, tapi kuharap kau bisa sedikit dewasa dan berani mengambil keputusan tanpa intervensi dariku. Kau harus belajar bijak. Aku juga berharap, Tuhan tak membiarkan ini sebagai sebuah abu-abu. Biarkan begitu adanya. Aku tetap hitam. Kau harus mengajarkanku tentang surga. Aku butuh bimbinganmu. Bantu aku kesana. (Dan ingat dengan taruhan kita: Jerman harus menang!)

PS. Terima kasih untuk kemeja dan boneka imut ini. Mungkin kau tak percaya, aku masih menyimpannya di lemariku. Suatu saat, akan kukembalikan padamu.

Kita adalah dua warna pada tuts-tuts piano: aku hitam-kau putih. Jika satu warna saja tak ada, binasalah melodi kehidupan… (8/7, 05:51)

Kamis, 01 Juli 2010

KARENA AKU TAHU…






Aku tak percaya lagi dengan apa yang kau beri

Aku terdampar disini tersudut menunggu mati

Aku tak percaya lagi akan guna matahari yang dulu mampu terangi sudut gelap hati ini

Aku berhenti berharap dan menunggu datang gelap

Sampai nanti suatu saat tak ada cinta kudapat


[Sheila On 7, Berhenti Berharap]

1 Juli 2010



Sudahlah!

Jika kau memang sayang padaku, katakan saja

Tak perlu kau menyebut namaku pada bumibumi singgah: menceritakan tentang semua hingga membuatku hampir hilang hati