Rabu, 14 April 2010

JEJAK






JEJAK
(aku, kau, masa depanku)


Berjejak-jejak kata telah kau jejakkan di atas jejak-jejak orang lain
Tak tahukah, jejak-jejak yang kau jejakkan telah menimpa jejak-jejak dari yang meninggalkan jejak?
(EZ. Makassar, 2009)


Aku benci jejak!
Beberapa hari yang lalu, aku berusaha mencarimu di rumah-rumah kata. Melewati beberapa huruf, terutama huruf N dan L. Tetap tak kutemukan. Dua huruf itu berkata, kau kini berada di suatu tempat di antara dinding-dinding Abu-Abu yang tak bisa kugapai. Aku rindu, Sayangku. Kenapa tak kau tampakkan saja dirimu seperti yang dulu?

Bercerita tentang jejak. Anganku membawaku pada sisi dimana aku berada. Bayangan masa depan beberapa bulan lagi mau tidak mau mencekik naluriku. Tidak bisa! Aku yakin, itu tak akan terjadi. Tapi, kau selalu berkata bahwa itu sangat mungkin. Apa yang membuatmu yakin?

Aku melihat jejakmu setelah merahku mendobrak-dobrak pintu warasku. Apa aku gila? Sangat mungkin, iya. Jejakmu tanpa sengaja mewarnai jejak kata yang hendak kutuliskan dalam sebuah bait puisi. Kenapa bisa? Nah, itu dia masalahnya. Katamu, jejakku dan jejakmu akan selalu sama. Aku heran, bagaimana bisa sama jika ukuran kaki kita tak sama?

Aku selalu bilang bahwa kita tak pernah sama. Kau selalu bilang, kita sama! Mata kita. Hidung kita. Bibir kita. Ekspresi kita. Senang kita. Sedih kita. Yang paling penting, hati kita. Ah! Itu semua omong kosong, Sayang! Aku tetap tak percaya.

Bercerita tentang jejak dan masa depan. Jika kita tak berhenti berbicara, maka kewarasan segera akan hilang dari otak kita. Kita akan menemukan sisi kemuakan pada labium mulut kita masing-masing. Karena kita akan bosan. Bicara tentang yang itu-itu saja. Sudah kubilang, kau harus wajar-wajar saja. Jangan mengada-ada.

Aku menciptakan jejak yang kemudian kubenci. Kini, aku tak akan melakukannya. Kau sudah tahu semua tentangku. Mungkin juga tentang perasaan yang akan kurasakan enam bulan lagi. Kau telah mengenal diriku kan? Tentang ketakutanku. Tentang kesukaanku. Tentang bodohku. Tentang egoku. Tentang bebasku. Tentang konyolku. Tentang sendiriku. Tapi, aku masih yakin tentang satu hal, kau tak tahu tentang masa depanku. Kecuali jika kau mengambil tindakan dari sekarang.

Jejak-jejak berserakan. Aku sangat ingin memungutnya. Lalu membuangnya jauh dari jarak maksimal pandangan mataku.

Kau terus saja beranalogi. Aku pusing! Hati-hati, Sayang. Nanti ramalan-ramalan palsu itu akan mencekik kewarasanmu perlahan-lahan. Santai saja. Rileks.

Mau tidak mau, aku harus memikirkan segala tingkah anehmu. Terpaksa. Ah! Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tak bisa mengendalikan kehendak Tuhan. Semua lakon yang tak wajar, menjadi aneh bagi naluriku, lalu mencabik dan mengoyak kewarasanku yang tersisa. Aku pusing! Mungkin kau memang utusan dunia untuk menciptakan beban untukku?

Aku benci jejak!
Cukup sampai disini. Tak akan kuceritakan tentangnya lagi. Entah! Selama hidupku, aku pernah membayangkan sekali saja, kau ada di samping kiriku, memberikan senyum bibir tipismu sambil mengerling sebelah mata. Semua itu terpaksa membuatku tersenyum dan harus menatapmu hanya dengan ujung mataku. Aku tak akan menatapmu dengan kedua mataku yang hina. Karena sekali lagi, ini tentang sebuah ketidakyakinan! (EZ)


EZ. Daya, 13 April 2010, 00:29:11 Wita

Tidak ada komentar: