Selasa, 06 April 2010

SKENARIO TUHAN UNTUK KITA





Kau ingat pertemuan pertama kita?

Scene 1
Aku melihatmu hanya melewati tempat dudukku. Lalu kau memperkenalkan namamu pada mereka. Saat itu, aku tak sengaja tahu namamu. Kau berbicara lantang. Tapi tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Kau belum terlalu menarik. Tapi dalam hati aku berjanji, aku akan bertemu lagi denganmu, suatu saat, dan kau akan sedikit belajar untuk mencintaiku.

Scene 2

Temanku selalu menyebut namamu. Aku bilang padanya, aku pernah melihatmu, saat tidak semua orang tertarik dengan kata-katamu. Temanku tak percaya. Tapi dia bilang, aku bisa kembali bertemu denganmu. Ya. Tentu saja. Aku datang ke tempat itu untuk memastikan. Ternyata, kau lebih dulu pulang ke rumahmu. Aku tak terlalu kecewa. Setting ini terjadi di balik podium keimanan suara merdumu.

Scene 3
Tersiar kabar, kau akan mendatangi kampungku. Kepala desa mengundangmu. Aku ingin memastikan jika itu adalah dirimu. Lalu, kudapati wajahmu asyik membaca buku di kantor desa. Entah kenapa, aku tersenyum girang. Terlalu girang. Hingga orang-orang disampingku menatap curiga. Tatapan dan senyum itu menjadi multi-tafsir.

Scene 4
Aku melihat teman-temanku mengadakan acara makan-makan. Sebenarnya, aku hanya ingin lewat saja. Tapi, mereka memaksaku ikut serta. Aku menurut, hitung-hitung makan gratis. Tak berapa lama, dirimu ikut serta. Kenapa bisa? Ternyata, kau adalah teman dari teman-temanku. Kejutan! Akhirnya, untuk pertama kalinya kau mengenalku, menyebut dan memanggil namaku. Tapi, apakah aku senang? Hmm. Ini adalah awal tersampainya janji yang kuucap saat pertama kali kita bertemu.

Scene 5
Karena kau adalah teman dari temanku, aku pun menjadi temanmu. Kita semakin sering bertemu. Bertanya, apa kabar? Hmm, sedikit indah! Bentuk-bentuk unik dari sebuah perhatian, bergayung sambut. Mungkin, aku dan dirimu sedikit tersesat! Teman-teman kita tak pernah menyadari itu. Untung saja! Padahal Tuhan tahu, Sayang…

Scene 6
Di sebuah lorong rahasia, hanya kita yang tahu. Aku memberanikan diri memegang tanganmu. Kau mengelak, pura-pura. Aku tersenyum, ini baru awal. Aku mencoba mengerti. Mungkin masih terlalu dini.

Scene 7
Sifatmu mulai melunak. Kau tidak lagi mengelak saat aku memegang tanganmu, meremas jari-jarimu, menyusuri garis-garis tanganmu. Kau hanya diam, memang. Tapi setidaknya, ini awal yang baik. Aku bangga. Meski teman-teman kita tak pernah tahu. Kita menikmati berdua. Dalam sepersekian menit, aku tak lagi memulai meremas jemarimu. Kali ini, kau yang memulai. Bahkan, kau mencoba untuk memelukku. Aku mengelak, seperti yang pernah kau lakukan. Bagiku, ini sudah terlalu jauh. Jangan sampai terlalu jauh.

Scene 8
Aku kaget! Tiba-tiba saja kau bilang cinta. Tapi, aku tak menjawab. Apa ini? Sebenarnya, aku tak butuh cinta. Aku hanya ingin janjiku saat pertemuan pertama kita terwujud. Itu saja. Maaf! Hanya itu yang kuinginkan, tak pernah lebih. Aku harus melakukan sesuatu: kau harus belajar membenciku. Maka aku meninggalkanmu. Aku menghindarimu. Kau mencariku, seperti butuh. Kau mulai lelah, lalu mengumpat-umpat namaku. Aku sedikit tenang, setidaknya kau mulai terlihat membenciku. Bukankah semuanya harus berakhir sekarang? Kini, kita (harus) saling membenci, Sayangku! Haha!


E.Z. Istiqomah Land, 22 Februari 2010, 9:10:11 Wita
Aku selalu berharap, skenario kita adalah yang paling indah di dunia
Ternyata kau dan dia sudah begitu lama berbagi puisi. Hmm!

3 komentar:

Asra mengatakan...

it is a little bit shocking scenario... hehe

Andi Asrawaty mengatakan...

a little bit shocking scenario... hehe...

Unknown mengatakan...

kalo sy bca tulisan2 ta, ada yg khas didalamX..pnuh ungkapn romantisme dan pguasaan diksi yg brhasil.. Dan itu adl kkuatan crpen2 masa ini.olh krna itu,saranQ,tambahkn sdkit prckapan,jadikn sbuah crta..coz bxk mi skrg muncul lomba crpen.Semangat,ukhti!hehe