Selasa, 22 Juni 2010

SETAPAK JALAN-SEPENGGAL RASA-SEKEPING HATI






Tak peduli apa yang akan terjadi di ujung jalan sana; mungkin mati menyapa kita
Yang perlu kita lakukan adalah tersenyum lebih sering dan berdoa lebih banyak sebelum meninggalkan orang-orang yang kita sayangi…


??? ??? ???

Musibah beruntun. Pagi ini, sebelum matahari betul-betul setubuhi kulit. Saat aku ingin menjadi sutradara jalanan dengan berbekal helm hitam lima ribuan, dua lelaki menghadang tepat di tengah jalan kami. Maka terjadilah! Ujung kendaraanku bertemu dengan ujung kendaraannya. Sepertinya, keduanya sangat ingin berkenalan sesuai kehendak Tuhan. Kami akhirnya pasrah. Empat manusia terbaring di sisi jalanan samping jembatan. Temanku harus merogoh koceknya, mengeluarkan beberapa lembar uang biru, setelah sebelumnya harus menampung omelan dan sungutan para pengguna jalan. Mungkin setelah itu, dompetnya benar-benar kering seperti cuaca bulan ini. Sebagian isinya yang lain telah ia gunakan untuk membiayai Rumah Sakit tempatku dirawat semalam (duabotol infus, tes laboratorium dan obat-obatan), juga sepaket terang bulan yang digunakannya untuk membujukku makan. Aku akan menggantinya, padahal menjelang tanggal tua seperti ini, dompet hitam pemberian ibuku pun berlibur di gurun pasir. Kerontang. Musibah beruntun hari ini. Akhirnya, setiba di kampus langkah kakiku terseret-seret. Aku menjadi lebih tua dari usiaku. Aku menjadi nenek-nenek di usia menjelang duadua. Kakiku memar. Aku kesusahan menaiki anak-anak tangga. Musibah beruntun. Aku merasa mulai bersahabat dengan kematian.

Tuhan Menciptakan butir asin bening bukan sebagai bukti kelemahan bagi perempuan. Justru dengan menangis, ia bisa menyiapkan dirinya untuk semakin kuat. Maka beruntunglah perempuan yang sering menangis bahkan pada kesendiriannya. Ah! Ternyata aku memang cengeng. Aku selama ini pura-pura kuat.

Entah! Serasa ada sesuatu yang memaksaku menyeduh perih dalam kesepian di bilik dapur, apalagi diiringi instrumental dan doa-doa yang pernah kau sampaikan meski tanpa sepengetahuanku. Senja pernah berbisik padaku bahwa kau menyayangiku. Benarkah? Sayang, aku menangis lagi malam ini.

Diam itu haram. Rasa memang bisa ditegaskan. Dengan tatapan, suara, atau dekapan. Tapi yang terpenting adalah, rasa butuh penjelasan. Cukup satu kata “Ya” atau “Tidak”. Tak perlu ada kata “Bahkan”, “Jika”, “Seandainya” atau “Mungkin”. Namun aku sedikit berkhianat. Aku memang berkata “Ya” dengan “Tetapi” sebagai syarat. Mungkin kau ingin protes. Tak usah bertanya. Anggap saja ini bagian dari ketakutanku pada takdir Tuhan.

“Ya” Aku mencintaimu! “Tetapi…”

Apakah kau juga merasakannya?
Ada harap yang mengakar pada pandangan yang dipaksa menunduk, atau pada langkah kaki kita yang beriringan di antara malaikatmalaikat hitam, atau pada suara-suara yang kian melemah, atau pada lamanya sujud yang memberi noda hitam di jidat lelaki itu.

Aku menuangkan kanal di kedua mataku.

Sayup kudengar namamu di sela-sela takbir dan sujud terakhir dua rakaatku. Juga pada tilawah satu juz per hari.

Apakah semuanya benar-benar sudah jelas? Jejak-jejak membersamai waktu yang makin menua. Rindu mendekap rindu. Ada rasa menggapai-gapai pada ketidakpastian. Empat nama. Dua pusara. Satu obituari. Telah kutemukan, hanya menunggu waktu. Sayang… Aku merasa sangat bersalah kini.

Ah! Ternyata aku tak benar-benar sanggup membayangkannya.
Aku mencoba menerka apa yang kini kau lakukan. Kau mengunjungi tempat-tempat yang kebanyakan tak pernah aku kunjungi. Akan ada bunga-bunga bertebaran di jalan poros itu yang menyebabkannya kemuning. Kau salah satu penebarnya. Aku membayangkanmu tersenyum dan tertawa lepas dengan segala kegembiraanmu. Perjuanganmu mungkin telah usai [Aku menangis, Sayang…]. Setelah itu aku yakin sesegera mungkin kau akan membereskan perlengkapan rumahmu untuk pergi jauh ke bumi lain, meninggalkan semuanya termasuk aku. Tapi! Aku tak ingin kau pindah rumah. Aku tak ingin merasa rindu lagi. Kenapa kau membiarkan aku mengetahui kepergianmu? Kenapa tak menghilang saja tiba-tiba agar aku tak merasa sakit? Lain kali, jika ingin pindah rumah, pergi saja. Tak usah menanyakan persetujuanku. Ambil semua sertifikat tanah yang kita punya. Aku ikhlaskan semua untukmu.

Aku memang tak bisa melakukan apa-apa, bahkan memaksamu untuk tetap disini. Ini hidupmu. Kau kubiarkan bebas, karena pada dasarnya aku bukan siapa-siapa, meski kita telah satu rumah. Ya. Apa rasa juga perlu kemandirian? Lalu apa arti kedewasaan? Menurutku, ia bukan terletak pada usia atau uban dan bijak yang selalu ditunjukkan para pelaku hidup. Dan, apa yang kulakukan? Hanya bisa memeluk handphone, mengirimimu sebuah pesan singkat yang entah dibalas atau tidak. Tapi aku tetap melakukannya, memeluk erat benda itu. Sesekali mengecupnya hangat, menganggapnya adalah kamu. Hitam mungil berbalut jingga.

Masa lalu!

Apakah aku-kamu-dia benar-benar telah dewasa? Aku rasa tidak. Sangat yakin tidak. Buktinya, sampai sekarang kita tak pernah berani mengambil keputusan. Bahkan berkata “ya” atau “tidak”. Kita hanya anakanak hijau yang masih ingusan. Untuk satu kata saja, kita perlu memikirkan berhari-hari, atau curhat kesana-sini. Juga untuk kejujuran yang kita pertegas dengan sesaknya dada yang mulai jenuh, membuat kita seperti pasien koma di rumah sakit. Tak jelas, akan mati atau tetap hidup. Dan aku yakin, pembicaraan kita tak akan pernah selesai. Seperti harapan seperempat gelas cappuccino hangat yang tak tuntas kuminum kemarin malam.

Ya! Biarlah, begini saja…

Mungkin ini sebuah kekeliruan. Konspirasi dosa yang selalu bisa dilegitimasi. Aku tak pernah bermaksud menyakiti hati seorang perempuan. Tentang warna yang kerap kita wacanakan, aku harap aku yang salah. Maafkan aku…

Mungkin!

Aku sepertinya memilih membersamai sakitku sampai menuju mati tanpa ada penjelasan.
Ya! Biarlah, begini saja… (AdZ, 19 Juni 2010)

Tidak ada komentar: