Selasa, 12 Mei 2009

Dendang Hati

Huwaaaah!
Blank banget mau posting tentang apa. Tapi, mungkin curhat bolehlah…
Sebenarnya, curhat di blog pun agak enggan. Yah! Aku memang terlalu tertutup untuk itu. OK! Langsung saja, kawan…
Ini mungkin kisah yang paling berharga dalam hidupku. Dan pagi tadi adalah pagi yang menentukan bagi hidupku di sebuah perkampungan nun jauh disana, paling tidak selama dua bulan kedepan. Entah apa yang terjadi disana kelak. Dua bulan penentu cita-citaku.

***

Bantaeng. Katanya, satu kabupaten yang digembar-gemborkan sebagai tempat pelaksanaan KKN Profesi tahun ini. Hampir pasti, para mahasiswa yang mendaftar KKN Profesi Kesehatan di lantai 2 Fakultas Kedokteran Gigi pagi tadi akan mengabdi disana. Mengaplikasikan ilmunya selama enam semester lalu. Ya, aku termasuk di dalamnya. Setelah mendapat restu orangtua (selama aku jauh dari mereka, apapun yang akan aku lakukan akan kudiskusikan dahulu dengan mereka, sangat berbeda ketika aku masih bersama mereka…), akhirnya kubulatkan tekad untuk menuliskan namaku di buku pendaftaran itu. Deg-degan juga, apalagi saat pulpen disodorkan ke tanganku.

Di saat yang sama, berkelebat bayang saudara-saudaraku seperjuangan di jalan dakwah. Sebenarnya, tidak rela juga jika harus meninggalkan mereka. Aku ingin menemani mereka berjuang, menyambut para mahasiswa baru, setidaknya menuangkan tenaga dan ide untuk merekrut para calon kader kampus, di sisa-sisa keberadaanku di kampus yang sangat kucintai.



ANTARA AMANAH KAMPUS DAN AMANAH ORANG TUA
Sangat susah untuk menentukan pilihan antara keduanya. Karena, dengan anggapan bahwa aku lebih dahulu mendapat amanah dari orang tua untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliah; karena dengan lama-lama di kampus berarti akan membuat mereka berdua semakin susah payah untuk membiayai suapan perut anaknya di perantauan; karena restu Allah ada pada restu orang tua; karena aku ingin betul-betul mengamalkan materi BIRUL WALIDAIN yang pernah diberikan ustadz. Karena itu semua, aku memilih untuk mengedepankan amanah orang tua. Meskipun sebenarnya, dengan sungguh bijak, Ayah tak pernah memaksa untuk menyelesaikan studi dalam jangka waktu empat tahun atau bahkan kurang dari itu. Tidak pernah! Terngiang kembali potongan dialog itu….

“Jangan terlalu memaksa untuk cepat selesai, Nak… Ntar kamu sakit kalo maksa untuk belajar terlalu rajin…” Aku heran mendengar kalimat ini dari seorang Ayah, sementara mungkin kebanyakan Ayah-Ayah yang lain bahkan akan memaksa anaknya untuk mendapat gelar Cum Laude. Karena itu, aku menjawab…

“Tapi kan, kalo lama-lama berarti uang Ayah habis untuk membiayai kuliah…”
Tak tega jika membayangkan jerih payahnya mencari uang kesana-kemari untuk ketiga anaknya. Sementara, wajah bijak nan teduh itu semakin menua dengan kemerut disana-sini, juga uban yang semakin memenuhi . Ayah sudah terlalu tua untuk membiayai kami, anak-anak kesayangannya.

“Nda apa-apa, Nak. Apapun yang kamu butuhkan disana, akan coba Ayah penuhi. Karena itu sudah kewajiban Ayah sebagai orangtua. Sudahlah, jangan terlalu memikirkan Ayah dan Bundamu disini. Cukuplah dengan belajar yang rajin, maka kamu sudah membuat kami senang dan bangga mempunyai anak sepertimu…”
Ah, Ayah! Betapa bijaknya. Rindu aku ingin bertemu kembali. Setelah selama 20 purnama kita tak pernah berjumpa. Terlalu lama untuk seorang anak yang tak pernah jauh dari orang tua, meskipun anak itu akan merangkak menuju dewasa.
Ayah…! Aku rindu pada analogi-analogi yang kau berikan tentang memaknai hidup. Padamu kutemukan sesosok sahabat yang menegur kesalahanku dalam diam. Sesosok raja yang bertitah dalam tingkah laku.

Ayah…
Dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi, kerinduan tinggal hanya kerinduan,
Anakmu sekarang banyak menanggung beban…
Ebiet G. Ade)(Titip Rindu Buat Ayah


Bersambung…………

Tidak ada komentar: