Sabtu, 29 Januari 2011

TITIK DAN GARIS YANG MEMBUAT KITA BERTEMU


Pernah kubilang padanya agar jangan datang lagi, atas nama sudut bulan yang semakin gemuk atau melancip

Sekian kejadian sejak aku bertemu denganmu mengantarkanku di titik-titik serupa biji selasih yang menyelinap pada es buah rasa melon saat berbuka puasa kemarin

“Rumah ini milik siapa?”
“Milik kita”

Aku mengenal hitam, biru dan merah; rumah kita

Rumah ini membuat kita bertemu, hanya berisi sebatang senjata dan sehelai karpet tempat kita menoreh jejak cinta saat kita kedinginan pada hujan malam tadi, pada peluk yang meng-hangat di bawah rengkuh selimut pelangi

Aku cinta rumah ini

Disini ada senyum, ada cemburu si gadis, ada tanah yang melumpur seberang sungai, ada biru kolam renang, ada tebing hutan yang menyaksikan sumpah kita, ada sawah berundak, ada binatang indah dengan kepakan sayapnya yang selalu lemah. Ah, layang-layang juga ada!

Takdir membawaku menuai cerita dengan seseorang di gubuk lain. Tiap kali bertukar kata, seseorang itu mengenalkanku pada se- atau dua orang lain. Semakin bercerita, fakta yang terungkap mengantarkanku pada sebuah rumah yang pernah kau tawarkan untuk kita tinggali dan jaga bersama.

Ternyata memang begitu adanya! Banyak orang menyukai rumah kita.

Mereka bilang, rumah kita adalah persinggahan paling nyaman dengan atap abu-abu nan eksotik

Mereka bilang, rumah yang lain terlalu gelap atau terlalu terang

Mereka bilang, berada di rumah kita berarti istirahat dari segala kepenatan

Karena mereka menganggap, selera kita dalam membangun rumah adalah sama!

Akhirnya, rumah ini mengajarkanku mengeja titik dan garis yang membuat kita bertemu
Di sudut mana kita tersenyum, di kursi mana kau memangkuku, di kamar mana kita mengeja cinta, di jendela mana kau menulis rasa, di atas keramik mana kau mengagetkanku

Semuanya mengajarkanku satu hal: aku (tidak) boleh mencintaimu, kan?

::Sesuatu sebelum hari itu, Makassar, 25 Agustus 2010::

Tidak ada komentar: