Selasa, 03 Maret 2009

kisah seorang DARA


Datang…. Datang…
Datang saja kekasih
Kunanti kau malam ini
Jangan kau siksa ku begini
Jangan paksa aku mencari cinta yang lain…
(Kunanti Kau Malam Ini _ Mata Air Band)


Terbangun dari lelapnya. Dara sedang gundah. Ia merindu. Pada sesosok pria yang pernah dicintainya. Kenangan itu hadir lagi. Mengantarkannya pada rasa bersalah dan kecewa tiada batas…
***

Hakim. Nama yang sangat indah bagi Dara. Nama yang selalu membuatnya bergetar jika disebut orang lain. Tapi, itu dulu. Hakim adalah orang yang pernah singgah di hati Dara. Meski hubungan mereka hanya seumur jagung, namun kenangan mereka sangat membekas di hati Dara. Dan Dara yakin, Hakim lebih dari itu. Di antara mereka, Hakim pasti lebih terluka dengan perpisahan itu. Entah kenapa hal itu bias terjadi. Bukan karena sebuah kesalahpahaman atau penghianatan. Bagi Dara, ini sudah takdirnya…
***

Sebenarnya, Dara harus beruntung karena telah menjadi orang yang pernah sangat disayangi Hakim. Hakim, anak bungsu dari penguasa terkaya di kotanya. Rumah megah, mobil, dan segala bentuk kemewahan yang layak dimiliki seorang hartawan, ada di diri Hakim. Tapi, harta bukanlah landasan cinta Dara. Dara bukan seorang perempuan matre – seperti yang orang-orang tuduhkan padanya. Ketulusan, kesederhanaan dan kepolosan Hakim, itulah cintanya. Cinta yang selalu dijaga Dara. Tak pernah ia nodai, dengan setitik nila pun! Bahkan, menjelang perpisahan itu…
*****


Malam itu, di sela kegembiraan katak-katak yang menyambut tumpahan air dari langit, Dara mengenang semuanya. Entah kenapa, saat ia mengingat kembali, ia menitikkan airmatanya. Dara tidak tahu, apakah kenangan itu pahit atau tidak. Yang ia tahu, sekarang ia merindu. Rindu akan kasih saying dari seseorang di kejauhan. Dan saat ia menyusuri hatinya, ia sadar, bahwa ternyata Hakim lah yang ia rindukan. Lalu, titik-titik airmata itu menjadi semakin deras, tanpa diiringi suara, sunyi. Senyap!
Tiba-tiba, alat komunikasi mungilnya berdering pelan. Ada SMS. Di tengah malam begini?, batinnya. Perlahan, diraihnya benda mungil itu. Dan, tersentaklah ia! Di layar HP-nya tertera nama Hakim sebagai pengirim SMS itu. Ragu merasukinya. Namun, rasa penasarannya terlalu besar, memaksanya membaca SMS itu perlaha-lahan…

“Dulu, aku adalah seekor gagak. Hitam, pembual! Yang hanya berteman bangkai binatang lain sebagai teman bertahan hidup. Gagak itu sangat mengangumi Dara dari kejauhan. Karena ia sadar, Dara nan anggun itu tidak mungkin mau meliriknya. Seekor gagak, sang hitam pekat, tidak mungkin bersanding bersama Dara, sang pemilik leher yang dihiasi kalung indah keemasan dari Sang Pencipta. Tapi, sekarang, aku tidak mau menjadi gagak lagi. Aku ingin berubah!

Kini, aku adalah seekor elang, sang penguasa jagad langit dengan kepakan sayap keangkuhan. Tanpa ada yang harus ditakuti!
Aku adalah elang, yang siap menemani Dara terbang menuju negeri impiannya, seperti yang pernah ia utarakan dulu. Tanpa harus kehilangan kekaguman dan sayang yang sepenuhnya pada Dara.

Aku adalah elang, siap menjadi sayap Dara, saat ia tertatih mengayuh sayap hidupnya.
Aku adalah elang, siap menjadi tempat berteduh bagi Dara, saat hujan terus mengguyur. Saat matahari terik menyengat. Meski sayap-sayapku melepuh, semata demi Dara…
Elang itu bukanlah lagi seekor gagak pembual, pengecut atau pecundang! Bukan lagi seekor gagak yang hanya bersembunyi di balik kehitamlegaman tubuhnya!
Adakah Dara bersedia meneguhkan sayapnya untuk menemani elang ini bersama-sama terbang menuju bahtera impian?”


Dan, untuk kesekian kalinya. Airmata Dara luluh lagi demi membaca rangkaian kata-kata indah itu...

>> Bersambung…


*Tulisan ini untuk seseorang di kejauhan…

Tidak ada komentar: