Jumat, 27 Maret 2009

MARI SELAMATKAN LINGKUNGAN KITA



Semakin miris memang jika kita melihat kondisi lingkungan kita saat ini. Kenyataan menunjukkan bahwa mulai dari sekarang kita betul-betul harus bertindak untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi kita. Mahasiswa-mahasiswa Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada memberikan sebuah fakta kurang lebih satu tahun yang lalu, tepatnya awal Oktober 2007, bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Lebih lanjut, para mahasiswa itu menerangkan bahwa kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.


Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.

Masih dari penelitian para mahasiswa itu, terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
Bagi bumi pertiwi tercinta, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

Dari data-data di atas, kita dapat melihat fakta baru yang bagi sebagian orang -yang acuh tak acuh dengan lingkungan, data-data tersebut mungkin tidak terlalu mencengangkan. Namun, bagi kita tentu berbeda. Ada sensasi yang aneh setelah mengetahui fakta-fakta itu. Entah keterkejutan, emosi yang meluap atau ada wujud kesedihan karena menyadari bahwa kita selama ini tidak pernah melakukan apa-apa untuk sekedar mempertahankan dan melestarikan lingkungan kita.
Menurut Antara News, masalah penting yang harus dipecahkan adalah bagaimana menemukan jalan untuk pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang yang tidak hanya mencakup perlindungan lingkungan, namun juga upaya meningkatkan standar hidup masyarakat dan menghapuskan kemiskinan dalam kerangka ekologi, serta mendorong kebijakan baru untuk pertanian, industri, perdagangan dan keuangan.

Sebagai mahasiswa yang notabene dianggap sebagai agent of change dan social control, mengatasi masalah tersebut adalah tugas kita. Agent of change yang kurang lebih berarti pemegang kendali perubahan bukan dimaknai dengan perubahan dalam hal yang negative, melainkan diartikan sebagai perubahan positif yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat di sekitarnya, selain karena mahasiswa juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Juga sebagai social control, mahasiswa harus bisa menunjukkan keberadaannya yang berarti, yang pandai berinteraksi baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Mungkin kita, mahasiswa kampus merah tercinta, Universitas Hasanuddin, dapat mengambil contoh dari Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Mahasiswa kampus ini turut mengadakan kegiatan yang bertemakan “Hijaukan Lingkungan” pada Januari lalu. Hal ini mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pemanasan global yang terjadi adalah akibat dari ulah manusia dan dampaknya antara lain dikurangi dengan peningkatan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengurangi dampak pemanasan global, Universitas Proklamasi 45 memulai dengan penghijauan kampus. Civitas akademika ini menanam 400 pohon di lingkungan sekitar kampus. Gerakan cinta lingkungan ini, diikuti oleh sekitar 90 orang, terdiri atas rector, dosen, karyawan, serta mahasiswa. Mereka beramai-ramai menanam aneka pohon berkayu, seperti durian, rambutan, mangga, mahoni, serta jati. Mahasiswa yang terlibat aktif dalam berbagai organisasi kampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), resimen mahasiswa, Komunitas Mahasiswa Papua, serta kelompok pecinta alam Galaksi.

Lihatlah, betapa para civitas akademika itu aktif dalam melakukan kegiatan yang bermanfaat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru bumi. Benar-benar kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Di masa yang akan datang, kita juga mereka, akan menuai hasil dari kerja keras itu. Sebuah pekerjaan yang terlihat kecil, namun sangat besar manfaatnya. Mereka telah berhasil meyakinkan kepada masyarakat dan dunia bahwa mahasiswa bukanlah manusia-manusia yang suka bentrok antara sesamanya hanya karena masalah yang sepele; bukan manusia-manusia yang manja, cengeng, yang hanya menghabiskan separuh besar waktunya di mal atau bioskop; bukan manusia-manusia (yang diberi gelar “dewasa”) yang tiap hari pusing akan mengenakan kostum apa esok hari, agar terlihat keren di hadapan teman-temannya, yang sebenarnya sangat tidak penting.

Sebagai salah satu tempat yang digunakan untuk mendapatkan ilmu, selayaknyalah kampus/universitas dapat dijadikan sebagai tempat yang kita anggap paling tepat untuk berkreasi dan berekspresi, tentang bagaimana mengatasi masalah ini. Harus kita sadari juga bahwa jika kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi, maka yang menjadi imbas adalah kita sebagai makhluk yang bernaung di bumi ini. Sebagai mahasiswa, tentu kita tidak menginginkan hal ini terjadi di Negara kita pada khususnya, dan bumi pada umumnya.
Pertanyaannya sekarang adalah sudahkah kita berpartisipasi dalam hal menghijaukan lingkungan kita? Hal-hal apa saja yang sudah kita lakukan? Jika jawabannya belum ada dan belum melakukan apa-apa, maka kita harus mulai bertindak dari sekarang, tidak usah menunggu lama-lama lagi. Dan sebenarnya, apa yang kita tunggu? Tidak ada!
Kita seharusnya malu jika sebagai mahasiswa, insan yang diberi gelar “Intelektual”, kita tidak bisa atau turut serta dalam penghijauan lingkungan. Kita bisa berpartisipasi misalnya dengan melakukan penelitian mengenai dampak kerusakan lingkungan, seperti yang dilakukan civitas akademika Universitas Gajah Mada di atas, atau menanam pohon secara massal, atau membuang sampah pada tempat yang semestinya, dan masih banyak yang lain.

Mulailah dari hal-hal kecil. Kita bisa mengajak orang-orang sekitar kita untuk turut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan kita yang telah mengalami kerusakan. Sebagai mahasiswa, kita bisa menggunakan laboratorium dan digunakan untuk mengadakan penelitian tentang lingkungan, karena kita sudah menjadi bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Jadi, jika kita tidak mencakupi tiga hal tersebut, maka kita tidak pantas mengaku dan menyebut diri kita sebagai bagian dari civitas akademika perguruan tinggi. Bisa juga dengan mengadakan seminar-seminar penghijauan lingkungan, penanaman seribu pohon di daerah yang mengalami kekeringan, bakti social, dan semacamnya. Tapi, hal ini bukan hanya dilakukan oleh segelintir orang, melainkan seluruh lapisan masyarakat kampus. Semua orang harus dilibatkan, tanpa kecuali. Dan sekali lagi, kita harus memulai dari sekarang! Mari, selamatkan lingkungan kita!


*oleh Uswatun Hasanah, mahasiswi Ilmu Gizi FKM Unhas angkatan 2006
(Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas)

2 komentar:

Sangbima mengatakan...

Setuju Sist...
Saya sekarang berusaha untuk mengurangi pemakaian plastik. Struk ATM aja klo saya gak perlu, saya gak ambil :D

Perempuan Semesta mengatakan...

yup! mari selamatkan bumi kita!!!