Jumat, 26 Maret 2010

This Is The End Where I Begin, Maybe...





Ini sudah klimaks! Misi selesai!

Maret. Semi klimaks-nya adalah awal Januari lalu, saat aku kembali menemukan buku sajak itu. Ada beberapa sajak. Sajakku, sajakmu, sajaknya, sajaknya. Hmm. Ada berutas-utas tali terangkai darinya. Tapi, tak terurai sempurna. Tali-tali itu kusut! Yang satu, telah menemukan ujungnya. Yang lain, tak jelas kemana. Pangkalnya saja tak jelas. Tapi sepertinya utas tali yang satu akan menemukan akhir perjalanannya. Lalu, aku menulis sajak tentang kami. Kau Diantara Wanita. TAK AKAN ADA PENYESALAN!


Mari bertebak-tebakan, mengukir jalanan!

Kau hendak kemana?
Keluar dari gerbang berkarat. Belok kiri. Belok kiri lagi. Lurus. Lurus lagi. Belok kiri. Nah, setelah ini ada dua alternatif. Kau pilih yang mana? Belok kiri atau lurus saja? Jika kau memilih kiri, maka kau hanya akan mengikuti alur jalanan. Sampai kau menemukan belokan kiri yang berkelok-kelok. Kau akan melewati tiga kampung, tiga hutan gelap menakutkan, satu masjid, satu peternakan sapi, satu peternakan kambing, satu perkebunan jagung, satu pemakaman, satu sawah kering, satu kubangan lumpur. Tapi, jika kau memilih lurus, kau akan menemukan banyak belokan kiri dan kanan. Kau akan melewati gedung-gedung tinggi, satu hutan rimbun gelap, dua rumah sakit, satu gereja, dua perkampungan, satu sabana, satu danau jorok, satu turunan, satu masjid kubah hijau, satu lapangan bola, sampai kau menemukan satu turunan tajam. Nah, disini kau akan menemukan dua alternative lagi. Kau mungkin akan memilih turunan tajam, lalu belok kiri, kemudian belok kanan. Atau, lurus saja, lalu memutar tajam ke kanan.

Perjalanan belum selesai. Di akhir jalanan tadi, kau akan menemukan satu-satunya jalan. Nah, lurus saja. Tapi, hati-hati. Ada banyak batu cadas di depanmu, juga pemuda-pemuda yang doyan mabuk-mabukan di rumah hantu. Tak usah pedulikan mereka, bahkan jika mereka melemparimu dengan botol-botol minuman atau mempersembahkan lagu-lagu sumbang. Pelan-pelan saja, karena kau hampir sampai. Sebelumnya, kau harus melewati jembatan lengkung yang agak curam. Lurus. Di belokan kanan terakhir, hanya beberapa meter, di situlah kau harus berhenti.

Nah, menurutmu, sekarang kau ada dimana? Tentu saja di rumahmu, sedang membaca buku. Kau bingung? Baiklah, akan kujelaskan.


Sebenarnya, ini hanya analogi sederhana tentang hidup. Bahwa hidup akan membawamu pada pilihan-pilihan yang rumit. Bercabang-cabang. Kau harus berani memilih, meski kau tak tahu, pada akhir pilihan itu akan membawamu kemana. Bahagia atau tidak. Tapi, kau harus memilih untuk mencapai tujuanmu. Bagaimanapun kau tidak bisa berhenti di tengah jalanan, karena kau akan ditilang polisi, atau kau akan ditabrak, lalu mati. Maka, pilih saja. Jalan terus, atau belok kanan, atau belok kiri, lewati tanjakan atau turunan. Terserah hatimu, tanya hatimu. Mintalah fatwa pada hatimu, benar bukan?


Bagaimana dengan cinta?
Ya, seperti itu juga. Akan banyak pilihan dari sekian banyak pilihan. Orang ini atau orang itu. Yang baik atau jahat. Yang setia atau tidak. Yang periang atau pemalu. Yang sopan atau kurang ajar. Yang menyenangkan atau menjengkelkan. Yang menggemaskan atau tidak. Yang suka tertawa ngakak atau hanya tersenyum malu-malu. Yang gemuk atau kurus. Yang doyan makan atau pura-pura tidak suka makan. Yang begitu atau begini. Yang harus kau percaya, bahwa, yang kau pilih adalah yang paling sempurna. Sepakat? Harus! Maka, jangan menyesal. Tak perlu menangis. Tak perlu terluka. Tak perlu sedih berlarut-larut karena yang kau cintai pergi. Yang terbaik adalah orang yang tulus mencintaimu. Sepakat? Lagi-lagi. Harus!

Mintalah fatwa pada hatimu. Jika orang ini selalu membuatmu tak nyaman, hampir pasti orang ini bukan untukmu. Jika orang itu yang membuatmu selalu damai, maka kau mau apa lagi?

Rumit? Sulit? Susah? Tidak! Tidak pernah seperti itu. Tidak pernah ada yang rumit. Cukup dengan meminta fatwa pada hatimu. Jika kau merasa ini salah, maka benar kau salah. Jika kau merasa itu benar, maka kau adalah benar. Jangan ragu! Gampang kan?

Tentang cinta. Aku tak sepakat jika cinta yang membuat kita terluka. Cinta tak salah. Cinta tak pernah salah. Yang salah adalah kita sendiri. Terlalu melebih-lebihkan perasaan. Terlalu menitipkan perasaan. Terlalu yakin dengan perasaan. Merasa terlalu merasa, Bunda bilang begitu. Bukankah Tuhan telah berpesan, perlakukan perasaanmu sewajarnya. Cinta sewajarnya. Benci sewajarnya. Jangan pernah berlebih-lebihan. Karena setan akan menemanimu. Setan akan memelukmu. Jika sudah seperti itu, maka akan sulit bagimu melepas pelukannya. Terlalu merasa, kecewa, terluka, tersakiti, terpuruk. Ujung-ujungnya, mati!


Jika Tuhan sudah cemburu… Jika kau terlalu cinta padanya, bukan pada-Nya…


Cinta. Jangan pernah menyalahkannya. Jika saja ia bisa berbicara, maka ia akan mengutukmu. Ia akan menelanjangimu. Ia akan membuatmu hina.

Lalu, untuk apa kau terluka? Kau masih bernapas. Dunia belum berakhir.

Buka hati lebar-lebar. Biarkan semuanya datang. Biarkan semuanya mengisi hatimu. Biarkan semuanya memiliki kesempatan. Jangan pelit dengan perasaan. Berikan semuanya memiliki porsi perasaan yang sama darimu. Sewajarnya. Sewajar-wajarnya.


Oemar Bakri mengajarkanku berkata, “Aku mencintaimu”
Kehidupan mengajarkanku berkata, “Aku pernah mencintaimu” (ez, 2009)


Sudah klimaks! Misi selesai!

Nah, sekarang kau ada dimana? Tentu saja, kau sedang berada di depan komputer, membaca tulisanku. Lalu, kau tersenyum puas, atau menggeleng-geleng tak mengerti, atau mengangguk-angguk setuju, atau malu-malu, atau merasa bodoh, atau terserah!

Aku? Aku masih di rumah. Membayangkan tiap lekuk ekspresimu sesaat setelah kau membaca tulisan ini. Membaca buku. Menulis puisi dan cerpen. Me-list agenda-agenda yang semakin tak tentu. Kadang ada, kadang tidak. Kadang padat, kadang kosong. Ini pilihanku. Termasuk, akan wisuda di semester Sembilan. Ya. Payah? Setidaknya, aku sudah menjatuhkan pilihan. Aku tak lelah lagi. Lebih tepatnya, aku tak akan pernah merasa lelah lagi. Senyumku kini dua setengah senti ke kiri dan dua setengah senti ke kanan. Tidak sepertimu, masih begitu-begitu saja, tak ada yang berubah. Cengeng!

Ah, ya! Sekarang, aku sedang bernyanyi. Ini lagu kesukaanku. Mungkin kau juga suka. Kikan “Cokelat”, Dalam Setiaku. Dengarkan!


Setiaku…
Kupersembahkan untukmu
Tak kan pernah terkikis oleh waktu
Setiaku…
Kupersembahkan untukmu
Jangan pernah ragukan aku…


Haha! Sok romantis! Menurutmu?


Makassar, Maret 2010

Tidak ada komentar: