Jumat, 30 Maret 2012

I Love My “Blue” Family

Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur dengan adanya pagi ini. Akhirnya, setelah beberapa pekan tidak berkomunikasi dengan keluarga, pagi ini menjadi jawabannya. Saya rindu dengan mereka. Sangat rindu. Ada sebuah alasan yang membuat kami tidak saling menyapa. Dan itu bukan karena kami memang saling ingin menjauh. Well, saya dan keluarga memang seperti itu: saling menghubungi pada saat tertentu saja, atau pada saat kami benar-benar saling merindukan. Tidak setiap hari seperti keluarga lain. Dan saya menikmati nuansa keluarga kami yang seperti itu. Saya suka dengan sesuatu yang tiba-tiba, seperti rindu. Saya mungkin akan bosan ketika setiap hari harus berdialog dengan mereka. Mungkin juga karena kami akan kehabisan bahan pembicaraan.
Well, saya memang harus menjadi orang yang selalu bersyukur. Kapanpun.
Anugrah terindah yang saya miliki adalah menjadi saya, terlahir sebagai saya, dan memiliki keluarga seperti keluarga saya.
Saya sangat bersyukur memiliki ayah, ibu, kakak, adik, kakak ipar, keponakan, sepupu, paman, bibi, kakek, nenek, seperti mereka. Jika hidup saya sekarang diibaratkan seorang murid, maka mereka semua adalah guru yang terbaik. Mereka adalah orang yang sangat mengetahui bagaimana membuat saya tersenyum. Di sisi lain, mereka juga adalah salah satu alasan kenapa saya menangis dalam kesendirian.
Mungkin jika disamakan dengan sebuah Negara, maka keluarga saya adalah Negara yang paling demokratis. Saya memang bebas melakukan apa saja yang saya mau (termasuk kesalahan), tapi karena ada mereka, saya berpikir kembali untuk melakukannya. Dulu, saya bisa saja menjadi bagian dari anak-anak SMA yang nakal (karena saya mengenal baik teman-teman seperti itu), tapi jalan itu tidak saya pilih. Dulu, bisa saja saya menjadi bagian pengguna narkoba (karena saya mengenal dekat teman seperti itu), tapi karena secara tidak sadar, saya memiliki keluarga ini, saya tidak memilih menjadi seperti itu.
Sejauh saya menghidupi keluarga ini, satu hal yang bisa saya definisikan tentang keluarga saya: senyum dan tawa. Ya. Entahlah, bukan karena saya terlalu memuji keluarga saya, tapi memang begitulah keadaannya. Saya suka dengan tawa-tawa dan senyum yang selalu bisa dihadirkan oleh anggota keluarga saya. Mungkin kami bisa dinominasikan sebagai Keluarga yang Selalu Bisa Tertawa. ^^
Contohnya saja, pagi ini. Kakak Ipar saya mengajukan retorika, “Jadi kapan wisudanya, Tun? Juni 2015 atau 2020?” Terang saja saya tertawa (meskipun ada perasaan bersalah juga, sih). Atau saat saya bertanya padanya, “Trus, D Nanang kerja apa sekarang?” Ipar saya ini awalnya bekerja di Kupang. Tapi sejak awal tahun ini, dia memilih berhenti karena tak sanggup jauh lama-lama dari bayi umur 1 tahun yang sangat dia bangga-banggakan karena terlalu cakep (ini beneran lho. LOL). “Yah. D Nanang jadi baby-sitter Gibran aja. Lumayan dapat gaji 100 ribu per bulan dari Kak Yus.” Haha. Saya ketawa setengah mati. Well, Yus yang dimaksud adalah istrinya, kakak perempuanku.
Ayah saya lain lagi. Beliau ini adalah laki-laki paling keren dalam hidup saya. Sampai-sampai, saya pernah berkata untuk diri saya sendiri, seandainya saya menemui laki-laki yang menyerupai ayah saya, saya akan menikahinya (eh?). Karena belum ada, jadi belum menikah. Haha. Ngawur! (istighfar)
Lelaki yang bisa menggombal paling baik, menurut saya adalah ayah saya. Pokoknya yang lain kalah!
Saya termasuk jenis perempuan yang tidak nyaman dengan gombalan murahan. Tapi jika digombalin ayah, saya selalu suka. Mungkin karena gombalan ayah saya itu, sangat elegan. Perhatikan contoh kasus di bawah ini (setting: akhir bulan, dan saya sedang butuh duit :D)
“Ta, minta duit dong…” suara dibuat lemes. XD (“Ta” itu singkatan dari “Teta”. Sebutan “Ayah” di beberapa keluarga tertentu di Bima)
“Buat apa, Nak?” Suaranya tuh, elegan banget.
“Buat beli MP3.”
“Berapa emang?”
“*00 ribu aja,” sambil ketawa-ketawa nyengir.
“Lho, kok sedikit banget? Gak mau nambah gitu? Teta kirimin satu triliuan aja deh. Gimana?” Dan kami semua tertawa.
Ya. Begitulah cara-cara keluarga saya menghadirkan tawa di sela-sela kesusahan dan kesedihan. Sederhana memang, tapi sangat bisa mengobati. Ini yang membuat saya selalu rindu, meski tak pernah saya katakan.
Bagaimana dengan Abang saya? Dia ini sering berkolaborasi dengan almarhum adik saya untuk menceritakan hal-hal lucu. Ketika saya ada di rumah (pulang dari Makassar), mereka akan berlomba-lomba menceritakan hal-hal yang bisa membuat saya tertawa sampai ngakak, bahkan sampai air mata saya keluar.
Oh iya. Ada cerita yang sedikit lucu sewaktu saya SMA. Tetangga di belakang rumah (rumah kami saling membelakangi) yang seumuran nenek-nenek pernah bertemu ibu saya. Nenek ini bertanya pada ibu, “Nis, punya anak perempuan ya? Kok gak pernah keliatan?” Ibu saya menjawab, “Wah, anak saya sudah SMA, Bu Aji. Namanya Atun.” Waktu ibu menceritakan kembali tentang itu, kami semua tertawa. Ayah saya bilang, “Bu Aji gak nyadar aja kalo suara ketawa ngakak yang sampai ke rumahnya itu, suaranya Atun. Haha.” Kentara nih, jarang silaturahim. Nge-bolang melulu sih. Hehe.

Penerimaan. Ini yang saya suka dari keluarga saya.
Mereka sangat menerima apa yang menjadi pilihan hidup saya, meskipun awalnya, ada sekidit protes. Tapi saya paham, hal itu terjadi hanya karena pilihan itu adalah sesuatu yang baru dalam keluarga. Maka ketika saya memahami itu, yang saya perlukan hanya satu: bersungguh-sungguh atas pilihan saya. Konsekuensi dari segala penerimaan, kerelaan dan restu dari orang tua adalah tanggung jawab dari diri saya sendiri. Dan saya sangat berusaha untuk itu. Ah, saya sangat tidak ingin membuat mereka kecewa. Saya terlalu mencintai mereka.
Pernah saat semester satu, nilai akhir Matematika saya eror. Ampun! Saya menangis. Saya menyesalinya. Dengan ragu, saya menghubungi keluarga di kampung. Saya mengatakan yang sejujurnya.
“Ta. Nilai Matematika Atun eror…”
“Ya sudah. Gak apa-apa. Ada pengulangan, kan? Nanti belajarnya lebih keras lagi ya…”
Tidak ada pemaksaan sama sekali. Keluarga saya memahami bahwa segala bentuk pemaksaan akan menghasilkan sesuatu yang kurang baik. Cintai dengan sungguh-sungguh apa yang kalian cinta, begitu prinsipnya.
Ayah tidak pernah memaksa saya belajar. Ayah tahu saya suka membaca, maka setiap saya pulang sekolah, telah tersedia berpuluh-puluh buku untuk saya baca. Ayah tahu saya suka bersepeda, saya diberikan sebuah sepeda. Ayah tahu saya suka jalan-jalan pagi, ayah mengajak saya jalan-jalan pagi. Ayah tahu saya suka Matematika, ayah memberikan beberapa buku rumus singkat Matematika sambil sesekali menemani saya mengerjakan PR dan mengikutkan saya di olimpiade. Ayah tak pernah memaksa.
Di samping kebebasan yang ayah berikan, ada ibu yang selalu khawatir. Dari ibu, saya akan selalu mendapat banyak “hati”.
“Hati-hati di jalan ya…”
“Kalo naik motor, jangan lupa pake lampu weser…”
“Kalo naik motor, gak usah balap-balap…”
“Jangan pulang terlalu malam ya…”
“Jangan terlalu cepat percaya sama orang yang bari dikenal. Jaman sekarang, banyak kejadian orang yang di-hipnotis…”
“Kalo ada orang yang kasih permen, hati-hati. Siapa tahu itu obat tidur…”
Sebelum salam terakhir di telepon, selalu ada kata, “Hati-hati ya, Nak…”
Atau yang paling sederhana, “Kalo mau masak sayur, jangan lupa dicuci. Bayangin deh, keadaan di pasar itu. Banyak debu! Kalo gak dicuci, kita makan debu dong. Kan kotor…”
Haduh! Kadang-kadang, saya merasa ibu saya terlalu polos. Mungkin juga terlalu melankolis. Tidak ada kata lain yang saya bisa katakan untuk membuat ibu tenang selain, “Iya, Ma…” atau “Oke, Bos…”
Yah, begitulah keluarga saya. Seperti pelangi bagi saya, indah sekali.
------------------------------
Sebenarnya saya masih ingin bercerita. Tapi karena tulisan ini sudah cukup banyak dan panjang, saya akan melanjutkannya lain kali. Insyaallah.
Oh, iya. Kenapa “Biru”? Itu karena secara keseluruhan, interior rumah saya dominan berwarna biru. Well, ibu saya suka warna ini. Dan keluarga kami menikmatinya. Ya, ya, ya. Biru memang menenangkan, meskipun saya penyuka hitam.  ;)
Mulai hari ini, saya kembali merasa tenang. Damai…

-mks.5/3/2012-

Tidak ada komentar: