Minggu, 21 Februari 2010

Aku ingin mati, sebentar saja. Hanya malam ini...






Kesah. Aku tak tahu kenapa aku memilihmu untuk membagi keluh kesahku. Hari ini semua terjadi lagi. Kita berbalas puisi. Semua kata menjadi sangat puitis. Semua kata yang seharusnya hanya biasa-biasa saja, menjadi tak biasa. Sarat makna. Makna yang hampir tak bisa kita temui, seperti biasa.

Aku berbagi keluhku…

Aku tak pernah mengerti kenapa ini terjadi lagi. Datang dan pergi. Seringai dan senyum. Rindu dan benci. Semuanya seenaknya saja terjadi tanpa bisa kita pegang kendali. Sial!

“Jangan bermain di ketinggian jika tak ingin TERJATUH!” Itu kata Wawan.

Pesan yang sangat bagus untukku, cukup menggelikan. Wawan hanya tak pernah tahu kalau aku takut ketinggian. Sangat takut. Tapi, aku berterima kasih padanya, dalam hati, karena telah mengingatkanku tentang rasa takut itu. Aku takut ketinggian, Wan! Masih takut!

Tapi, ternyata aku harus menghadapi rasa takut itu. Kau tahu? Kau ternyata justru mengajakku mengarungi ketinggian. Baru mengajak. Tapi, aku sudah terlampau cepat untuk takut, gugup. Aku sama sekali tak pernah mencoba untuk menyukai ketinggian. Payah! Itu kata yang selalu diucap Sultan untukku. Aku memang payah!

Hmmm. Aku sebenarnya hanya ingin mencoba mengerti apa yang terjadi antara kita. Aku semakin tak bisa jauh darimu. Kau seperti bulir-bulir darah yang jika sesaat saja tak sampai ke bilik kiri jantungku, maka matilah aku!

Kenapa aku harus menuruti inginmu? Turut serta dalam “ketinggian” yang kau janjikan. Kenapa aku tak menolak saja dengan mengatakan, “Aku takut ketinggian, Sayang…”? Tapi aku tak bisa. Bahkan menggeleng pun, sumpah, aku tak sanggup. Ada apa? Kenapa aku harus meredam rasa takutku hanya karenamu? Ah! Aku tahu, aku tak akan sampai pada jawaban pertanyaan bodoh ini.

Puisi. Kita berpuisi lagi. Suatu ketika, aku berjanji tak ingin berpuisi lagi. Suatu ketika, aku bersumpah telah membenci puisi seumur hidupku. Tapi, detik ini pun aku masih berpuisi. Kau tahu? Aku benci puisi tapi tak pernah bisa jauh darinya. Yang sesungguhnya, aku benci puisi yang ia kirimkan sebagai nina-bobo untukmu. Atau puisi yang kau kirimkan sebagai selamat-pagi untuknya. Aku benci puisi yang seperti itu! Kalian terlalu jujur berpuisi! Tak peduli bahwa aku ada!

Aku benci puisi kalian! Aku benci kalian berpuisi! Aku benci kalian! Aku benci puisi!

Lalu, apa maumu?


Tidak ada! Hampir tidak ada!

Aku hanya lelah! LELAH, kawan! Kau tahu, kenapa aku menuruti permintaan tentang “ketinggian” itu? Agar saat aku ada dalam ketinggian, maka aku terjatuh, tak pernah kembali, lalu mati! Ya. Seperti itu. Meski sebenarnya, aku tak pernah benar-benar ingin mati. Tapi, sekarang aku ingin mati! Aku bosan dengan lelah. Aku bosan dengan keluhku sendiri.

Apa aku tak boleh lelah? Apa aku tak boleh bosan? Siapa bilang! Semua rasa adalah sah-sah saja. Tak ada yang melarang. Seperti aku sah-sah saja membenci kalian dan puisi. Tak ada yang melarang. Tuhan pun tidak!

Jangan ganggu aku! Jangan hubungi aku!

Aku lelah, kawan! Aku ingin mati, sebentar saja. Hanya malam ini. Bisa kan?


Istiqomah Land, 21 Februari 2010, 20:48:11 Wita
>>Aku baru saja mengiris jariku sendiri. Bodoh! Sepertinya, aku memang butuh mati sekarang...(Aku tahu, kau akan mencariku disini)

3 komentar:

Qia mengatakan...

Hmmmp.............MULTITAFSIR!!!

jejakata mengatakan...

bener tuh kata WAWAN, sayapun sudah lama punya pendapat serupa

"Jangan terlalu tinggi karena jatuh dari ketinggian itu lebih sakit!"

Perempuan Semesta mengatakan...

Qia:
Tidak ada yang perlu di-multitafsir-kan pada tulisan ini...

jejakata:
Yup! Wawan pintar banget! tapi, sekali lagi, meski dia tak mengatakan itu, saya tidak akan bermain di ketinggian. saya TAKUT!!