Kamis, 11 Februari 2010

TENTANG SESEORANG BERMATA EMPAT








TENTANG SESEORANG BERMATA EMPAT
Oleh: El Zukhrufy


Kita bertemu lagi. Dua pekan setelah perjumpaan terakhir kita, di ujung jalan itu. Aku tersenyum, rindu melihat senyum dari wajah hitam manismu. Aku tersenyum, rindu melihat keempat matamu, dua matamu yang lain tak pernah bisa melihat wajahku dengan jelas tanpa dua matamu yang satunya. Katamu (tanpa dua mata itu), ternyata aku memiliki setitik noda hitam satu senti di atas bibir kiriku. Aku tertawa kala itu.


Suatu saat, aku pernah marah padamu karena kau tak menyadari kedatanganku pada jarak dua meter di depanmu. Tapi, kau memohon maaf, karena benar-benar tak bisa melihatku. Aku tertawa lagi. Aku berhasil menggodamu. Tidak sepertimu, aku sangat bisa menebak dari jarak seratus meter, bahwa jilbaber-ransel-hitam di ujung jalan sana, itu adalah kau. Lalu aku dengan susah payah berusaha mengejarmu, untuk menjajari langkahmu yang sedikit perkasa.


Kali ini, kedua tangan kita berpeluk. Kurasakan jari-jari kasarmu memeluk jari-jariku. Seperti biasa, tidak seperti mereka, kita hampir tak pernah menyertakan cupika-cupiki jika bertemu atau hendak berpisah. Cukup jabat tangan! Atau ucapan salam! Mungkin, karena kita berdua menyadari: ciuman-pipi-itu-tak-pantas-bagi-perempuan-yang-mengaku-setengah-perkasa-seperti-kita. Dan jika pun pipi tirus kita tanpa sengaja harus berpeluk, akan ada soundtrack yang mengiringinya. Lagu itu adalah tawa kita masing-masing, tawa geli.


Kali ini, kedua tangan kita memang berpeluk. Tapi, entah kenapa, tak semesra saat pertemuan terakhir kita. Jabatmu terasa hambar. Tak terasa ada persaudaraan antara kita, setelah hampir tiga tahun kita mengikrarkan susah-senang-kita-bersama. Kali ini, kau hampir tidak pernah menatapku. Aku pun tak bisa menikmati aura keempat matamu seperti beberapa pekan lalu. Ada apa? Kemana dirimu yang lain? Ceriamu kau berikan hanya untuk mereka, tidak untukku. Tak tahukah aku terluka? Bukankah kita pernah mendapat predikat “saudara kembar” dari mereka karena kita tak pernah berpisah? Kali ini, aku menanyakan hal itu. Benarkah kita adalah saudara? Beginikah saudara? Kau bahkan tak menyahut panggilanku! Seperti pura-pura tak mendengar, tuli!


Aku ingin sedikit menyadari, mungkinkah karena aku dengan rela menjauh darimu? Tapi, bukankah sebaiknya kau menanyakan perihal ke”jauh”anku darimu? Bukankah seharusnya saat aku jauh, maka kau mendekatiku? Bukankah seharusnya kau memaafkan setiap salahku? Bukankah sebaiknya kau memberikanku nasihat saat aku terlupa? Bukankah kita telah sepakat dengan semua itu? Bukankah kita adalah saudara?


Aku mencoba me-review kembali tentang kita. Seingatku, aku tak pernah benar-benar dengan sengaja jauh darimu. Seingatku, aku tak pernah benar-benar serius menanggapi kealpaanmu yang hampir menyebabkan semuanya kacau. Seingatku, aku akan menerima segala khilafmu, karena aku sangat paham, begitulah dirimu. Seingatku, aku tak pernah benar-benar marah padamu, aku tak pernah memaknai marahku melewati batas bibirku yang pandai berpura-pura. Seingatku, aku tak akan pernah bisa benci padamu, karena kau telah terlalu baik padaku selama ini. Seingatku, aku sangat paham dengan kesepakatan kita. Seingatku, ATAU AKU YANG TELAH BENAR-BENAR LUPA?


Sahabat, kau sahabat… Kawan, kau kawan… Ibu, kau ibu… Saudara, kau saudara…


Percayalah! Aku tak pernah benar-benar ingin jauh darimu. Aku mencintaimu! Dan saat cintaku tak terbalas kali ini, hatiku perih!

Aku masih ingin banyak belajar tentang keluarga dan persaudaraan di rumah mungilmu…

Masih bisakah aku kesana???


Perintis Kemerdekaan, 9 Februari 2010

Tidak ada komentar: