Kamis, 11 September 2008

CERPEN_KU...


Wednesday, June 25th, 2008


SAAT CINTA DENDANGKAN LUKA*

Oleh: El Zukhrufy

Kutemukan diriku tersenyum saat kubaca lembar demi lembar metafora kehidupannya. Sungguh, kisah yang sangat mengharukan dan membanggakan. Kata-kata, pun kalimat-kalimat yang digunakan untuk mengisahkan dirinya sanggup membiusku dan memaksaku untuk tidak berpaling sedikitpun dari diary itu. Tanpa ku sadari, telah kubangun bongkah-bongkah kekagumanku untuknya. Kekaguman yang menjadi sangat, menjelma cinta. Saat dia harus memegang amanah yang (mungkin) orang lain tak akan sanggup untuk memikulnya karena terlalu berat untuk dijalankan. Saat dia mati-matian memperjuangkan hak-hak orang lain yang tertindas, menyuarakan isi hatinya yang tidak ingin melihat ketidakadilan terjadi di negara ini, juga kemarahan dan kebencian yang sangat melihat kezaliman yang terjadi di bumi Palestina (“Boikot Israel” adalah kata-kata yang selalu dia utarakan). Saat dia mendapat curahan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Saat dia menjalani hari-harinya yang melelahkan. Saat dia mendapatkan penghargaan atas prestasi-prestasinya. Saat bundanya merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sungguh..!! Kekaguman dan cintaku berlipat-lipat padanya.


***

Aku melihatnya. Dia tepat di depanku saat ini. Bagaimana tidak?? Sekarang, dia di depan sana sebagai pemateri. Saat menyebut namanya, hatiku bergetar. Khairul Imam, namanya. Nama yang sungguh indah. Wajahnya pun menyejukkan hati setiap peserta. Kata-katanya lugas. Beberapa jenak, aku merasa kagum padanya. Kagum akan bijaknya. Kagum akan wibawanya, retorikanya, bahasa tubuhnya, mata elangnya. Berlebihan, mungkin. Tapi, ini adalah ungkapan kejujuran seseorang tanpa paksaan dari pihak lain. Langkahnya… Senyumnya… Gerak tubuhnya… Pesonanya… Lalu, kurasakan sesuatu yang menggelitik hatiku. Apakah ini??

***


Pagi yang cerah. Allah Yang Esa telah menunjukkan salah satu bentuk kuasa atas ciptaan-Nya.
“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam…”
Ya. Malam telah berganti pagi. Saatnya burung-burung untuk bersenandung riang, lepas tanpa beban. Saatnya para petani beranjak di tengah kabutnya pagi, menggarap sawah sekedar untuk menyambung hidup. Saatnya para penjual nasi menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu asrama mahasiswa. Saatnya para mahasiswa mendapat ideologi baru yang ia yakini dan suatu saat bahkan akan membunuhnya. Saatnya para pejabat menemukan dan merangkai kosakata-kosakata baru, yang menggiurkan telinga untuk menumpuk janji-janji baru yang kian menggunung (aku muak dengan itu semua, masyarakat sudah terlalu kenyang akan janji-janji). Saatnya untuk bergegas melawan waktu yang hanya diciptakan 24 jam sehari, yang terasa begitu singkat bagi mereka yang gila harta. Saatnya untuk bangkit menantang zaman yang semakin sulit untuk dihadapi oleh mereka yang “hina”, mereka yang sepanjang hidup selalu berada di tempat yang sama, kolong jembatan! Mereka yang tidak pernah merasakan hidup enak, bahkan harus akrab dengan perut kosong seharian, hingga tersenyumpun mereka tak kenal lagi. Hingga mati menjadi pilihan terbaik. Ya. Siapapun, apapun kedudukannya, sekarang saatnya beraktivitas…

Saat semuanya bergelut dengan perannya masing-masing, aku baru saja akan memulai hariku yang baru, sambil meneguk minuman kesukaanku, susu hangat. Kuraih remote dan kunyalakan televisi. Kucari channel yang menyajikan berita aktual pagi, akhirnya dapat. Disana tersaji berita tentang aksi salah satu organisasi mahasiswa yang tidak setuju dan menolak kenaikan harga BBM. Tapi, ada yang beda. Aksi itu tidak anarkis seperti biasanya. Ketika aku menikmati berita itu, aku terkesiap, tersentak kaget! Ruang hatiku bergetar. Ada desiran hebat disana. Aku mengenal sosok itu. Seorang aktivis dakwah yang dengan gagahnya berorasi sambil memegang tongkat yang terpasang bendera merah putih di atasnya. Bersama membentuk barisan dengan teman-temannya di depan gedung DPR. Suaranya lantang mengangkasa, menggema. Tidak hanya di gedung DPR sana, tapi juga singgah mengetuk-ngetuk, kemudian masuk dan menggema di sanubariku. Mata elangnya menyiratkan kebencian, kemarahan dan ketidaksetujuannya terhadap apa yang terjadi di tanah airnya, ibu pertiwi yang telah memberinya makan, mendidiknya dan mengajarinya untuk tetap selalu tegar melawan kekejaman dunia. Aku semakin kagum padanya.

Selang beberapa hari setelah aksi di depan gedung DPR, dia kembali mengejutkanku dan semakin menambah kekagumanku padanya. Dia berhasil meraih predikat mahasiswa teladan di kampusku. Bersamaan dengan itu, dia juga meraih gelar juara pertama MTQ tingkat nasional. Subhanallah!! Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Sempurnalah sudah sosoknya di mataku. Sosok yang selama ini aku cari, yang aku harapkan bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tanggaku kelak, yang bisa membimbingku, yang bisa mengajari dan mendidik buah hatiku dengan penuh kasih sayang dan keteladanan. Sosok yang bisa kujadikan curahan keluh kesahku, yang bisa menemaniku meraih angan-anganku. Seorang yang… Astaghfirullah!! Apa yang kupikirkan?? Segera aku memohon ampun kepada Allah atas apa yang menimpaku.

Dan kemudian aku bingung. Mengapa aku selalu memikirkan dia?? Semuanya selalu terbayang. Suaranya, senyumnya, mata elangnya… Apa yang terjadi?? Haruskah kupungkiri hal ini??
Ya Allah, aku jatuh cinta!

***


Aku masih menikmati dan menyaksikan kisah hidupnya disertai cinta yang kian hari kian menyelubungi rongga dadaku. Kuselami kata-katanya. Aku merasa telah lama mengenalnya, menjadi bagian hidupnya melalui kisah-kisahnya. Kubuka lagi lembar berikutnya. Tiba-tiba, kutemukan secarik kertas. Sebuah surat. Berwarna merah jambu dengan tinta emas. Aku penasaran. Kuberanikan diri untuk membacanya, meskipun hati kecilku mengatakan jangan. Kutelusuri kata demi kata, huruf demi huruf. Kemudian, aku terhenyak! “Akan kukejar waktu untuk membagi cintaku padamu, adinda. Membagi rinduku yang meluap dari hari ke hari. Aku akan selalu menunggumu, cahayaku…”. Surat itu memuat tulisan tangannya, untuk seorang gadis yang dipanggilnya “Tiara”. Seseorang yang tak aku kenal. Surat itu menjelaskan kerinduan yang mendalam untuk ingin bertemu Tiara. Kerinduan yang mungkin juga cinta. Cinta sang Khairul Imam yang hanya untuk Tiara. Dan, aku???

Dadaku sesak. Tanpa kusadari, aku menangis. Wajahku basah. Airmataku berderai-derai. Derainya kemudian sanggup meretakkan hatiku. Hati yang sudah tulus mencintainya tanpa dia tahu hal itu. Hatiku luka, perih, pekat, tersayat, diselimuti mendung tebal dan hitam yang siap untuk membentuk partikel-partikel hujan yang akan membasahi hatiku. Aku tak menerima hal ini terjadi, ini tidak adil!! Egoku meninggi. Aku tak ingin membiarkan diriku ikhlas menerima ini semua. Aku tak ingin merelakan cintanya untuk dimiliki orang lain. Aku tak ingin terluka.

Aku ingin berlari, meninggalkan tempat ini sejauh mungkin. Berteriak menghadap langit yang seakan runtuh menimpaku. Mengapa harus terjadi? Aku hancur. Tersiksa oleh perasaan yang aku ciptakan sendiri. Pedih… Saat harus mengingat lagi senyumnya yang hanya dia berikan untuk Tiara, cahaya hidupnya. Bahwa ternyata aku bukanlah siapa-siapa untuk dirinya, tak pantas untuknya, tak pantas mengharapkannya… Tiba-tiba, aku merindukannya, sangat. Disertai perih menyeruak.
Aku, luka… Aku memandang gelap. Diam. Sunyi. Hitam.


***


Aku baru saja selesai mengemasi barang-barangku, dan hal itu membuat Kak Nisa heran. Kak Nisa, senior yang dulu sekolah denganku di SLTA yang sama, kini kuliah di kampus yang sama – Kampus Merah, kampus kebanggaan dan terbesar di Indonesia bagian timur – Kak Nisa adalah teman seperjuangan, juga sudah ku anggap kakak sendiri.
“Dik, kamu yakin mau cuti semester ini?”, tanyanya seraya tak lepas memandangku.
“Iya, Kak. Adik terlalu capek. Kuliah semester kemarin benar-benar melelahkan. Adik pikir, sekarang saatnya pulang kampung dulu. Adik juga rindu pada ayah dan bunda di kampung”, jawabku dengan penuh kebohongan.

Sebenarnya, aku hanya ingin menjauh dari tempat ini secepatnya, tempat yang akan menjadi saksi kebahagiaan Khairul Imam bersama Tiara Raihana, gadis yang ternyata telah dikhitbahnya. Khairul Imam bertemu Tiara saat mengikuti lomba MTQ tingkat Nasional beberapa bulan lalu. Dan Tiara adalah juara pertama untuk kategori Qariah terbaik. Mungkin hal itulah yang membuat Khairul Imam jatuh cinta pada Tiara, jatuh cinta pada suara emasnya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Dan jika harus membandingan antara aku dan Tiara, aku semakin merasa tak pantas mengharapkan cinta Khairul Imam. Sebenarnya, saat ini aku ingin menangis, namun segera ku kuatkan hatiku. Tangis ini harus ku tahan, agar Kak Nisa tidak mengetahui apa yang terjadi padaku. Dia tidak boleh tahu hal ini.
“Apa kamu yakin dengan jawabanmu? Kamu tidak sedang berbohong kan? Kamu ingin pergi bukan karena hal lain kan?”, Kak Nisa menyerbuku dengan pertanyaannya.
“Lho, kok Kakak nanya Adik seperti itu?”
Kak Nisa kemudian meraih tanganku dan mengajakku duduk di pinggir tempat tidur kami berdua. Sekarang, kami berhadapan. Kak Nisa menatapku dalam.
“Adikku sayang, tatap mata Kakak. Jujur pada dirimu sendiri. Kamu ingin pergi karena Khairul Imam kan?”
Aku tersentak, kaget! Hal itu semakin membuat Kak Nisa yakin akan pertanyaannya.
“Dik, kita sudah lama saling kenal. Kita juga sudah lama hidup bersama, sekamar di pondokan ini. Meskipun aku bukan kakak kandungmu, tapi kakak tahu apa yang terjadi padamu, apa yang sedang kau rasakan. Selama ini, kakak hanya bertindak pura-pura tidak tahu”. Hening sejenak.
“Kakak tahu apa yang sedang kau alami, tentang perasaanmu terhadap Khairul Imam. Kakak juga tahu saat kau tidak sengaja menemukan catatan hariannya. Kakak tahu dari senyum dan kerlingan matamu saat kau bercerita tentangnya. Kamu tidak akan bisa menyembunyikan perasaan itu dari Kakak, dan kamu lupa hal itu. Kamu tidak pernah menyadari perubahan besar yang terjadi dalam dirimu sejak kau mengenal Khairul Imam. Kamu terlihat ceria dari hari ke hari. Tapi, semuanya telah berubah saat kau temukan diary bersampul hitam itu, yang ternyata milik Khairul Imam, laki-laki yang menjadi panutan seluruh aktivis dakwah di kampus kita. Dan sekarang, kau semakin terpuruk saat harus mengetahui Khairul Imam telah melamar Tiara…”

Dan, tangisku pun tumpah demi mendengar itu semua dari mulut Kak Nisa. Aku sudah tak sanggup menahan bulir-bulir yang tadinya hendak jatuh bercucuran. Kak Nisa meraihku dalam pelukannya. Aku memeluknya erat. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Kak Nisa. Hatiku remuk redam. Aku merasakan kembali luka itu. Kak Nisa turut meneteskan airmata melihatku seperti ini. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Suaraku tercekat di tenggorokanku, perih sekali. Lama kami terdiam dalam tangis.

“Jangan terlalu larut dalam kesedihan, sayang. Kejadian ini hanyalah bagian kecil dari sejarah hidupmu. Melalui kejadian ini Allah hendak menguji, seberapa besar cintamu kepadaNya dibanding besarnya cintamu untuk Khairul Imam. Dan jika cintamu lebih cenderung terhadap makhluk ciptaanNya, maka segeralah mohon ampun padaNya. Jika memang Khairul Imam berjodoh denganmu, dia tidak akan pernah menjadi milik Tiara. Tapi, jika dia bukan jodohmu, kamu harus menerimanya karena itu semua sudah ketetapanNya. Percayalah, bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-hambaNya yang beriman. Laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Juga sebaliknya, perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik pula. Itu janji Allah. Dan jangan lupa untuk selalu memohon petunjukNya serta terus berdoa kepadaNya, maka insyaallah, Allah akan mengabulkan permintaanmu…”
Seolah mendapat pencerahan, aku kemudian melepaskan pelukanku dari Kak Nisa. Kata-katanya benar. Sederhana, namun sanggup menyibakkan mendung yang tadinya menyelimuti hatiku. Damai menyusup di relung jiwaku, perasaan yang beberapa saat lalu tak pernah aku rasakan. Perlahan-lahan, ku bentuk lagi puing-puing semangat hidupku.
“Syukran ya, Kak atas semuanya. Kakak benar. Adik tidak boleh terus terpuruk dalam keadaan seperti ini. Kakak telah membangkitkan lagi semangatku. Adik bersyukur telah mengenal Kakak. Adik sayang Kakak”, kataku masih dengan isak namun tidak sehebat tadi.
“Kakak juga sayang sama Adik…”
Kamipun berpelukan kembali. Oh, sungguh! Dekapan yang sanggup membuatku lupa terhadap semua yang telah terjadi. Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh ya, Kak. Adik titip ini buat Khairul Imam...”
“Apa ini?”, tanya Kak Nisa. Rupanya, ia penasaran.
“Tenang saja, Kak. Bingkisan ini isinya bukan bom, kok. Di dalam kotak ini ada diary Khairul Imam dan juga kado untuk dia dan Tiara. Adik minta tolong diserahkan saat acara walimahannya. Bilang saja, dari orang yang beberapa waktu lalu menemukan catatan hariannya dengan tidak sengaja”, kataku sambil menyerahkan bingkisan yang dibungkus kertas berwarna merah muda itu.
“Sekarang, Adik harus segera berangkat. Takut ketinggalan bus”, kataku sambil menatap Kak Nisa.
“Sebenarnya Kakak ingin kamu tetap disini, tapi ini sudah kemauanmu. Cepat kembali ya, Dik. Kakak akan sangat merindukanmu. Dan sebelum Adik pergi, Kakak minta, senyumlah satu kali saja agar Kakak yakin melepasmu, agar Kakak yakin kamu akan baik-baik saja”.
Aku pun tersenyum mendengar permintaannya. Oh, betapa ia menyayangiku…
“Senyummu manis sekali, adikku…”, ucapnya, lirih.



***


Akhirnya, kulangkahkan kaki meninggalkan kota ini, kota yang menjadi saksi bisu perihnya lukaku. Sayup, ku dengar alam mendendangkan nyanyian duka atas kepergianku. Ya. Aku akan pergi, kembali ke kampung halamanku untuk beberapa lama, agar bisa melupakan Khairul Imam. Kubiarkan harapan dan impianku pergi bersama angin sepoi yang menyibakkan jilbab hijauku. Aku yakin, Allah telah merencanakan ini semua untukku. Telah ada seseorang yang diciptakan sebagai pendamping hidupku kelak. Entah aku sudah mengenalnya, bahkan mungkin aku belum melihatnya sepanjang hidupku. Di belahan bumi manapun ia, aku akan menantinya. Dialah yang terbaik untukku.

Ya Rabb… Hamba serahkan hidupku sepenuhnya padaMu. Rezekiku, jodohku dan matiku, Engkau yang mengaturnya, hanya Engkau Yang Maha Tahu, Engkau Yang Maha Menentukan. Maka, berikanlah yang terbaik untukku, ya Allah…

***

Cinta itu, ya Allah…
Pantaskah untukku??
Dia tak pernah menyakitiku, secuilpun…
Tapi, ah…!!!
Sesungguhnya rasa ini yang menyakitiku
Yang mengagungkan keindahannya di sesak dada
Dia tak tahu apa-apa…
Pantaskah aku berharap??
Apa yang kurasakan??
Mengapa??
Perih… Pahit… Luka… Tangis…
Gerimis… Berlinang… Bungkam…
Getaran… Terdiam… Pendam…
(lagi) Tangis… Rindu… Hampa…
Membuncah!! Menyeruak!!
Salahkah aku??
Berdosakah aku??
Hadirnya…
Cintaku…
Siksaku…



*Tulisan ini pernah dimuat di PK Identitas Unhas

edisi Awal September 2008

Tidak ada komentar: