Kamis, 11 September 2008

Mari Berbagi Motivasi


MENGGAPAI KEABADIAN, MENGUKIR SEJARAH

Oleh: El Zukhrufy

“Menulis, menulis, menulis dan biarkan kata-kata mengalir, mengalir dan mengaliiiir!”. Inilah kalimat yang dinyatakan oleh sang penulis ternama, Pipiet Senja, ketika ada orang yang menanyakan tentang bagaimana agar bisa menjadi penulis yang baik dan profesional.
Pada saat saya diharuskan untuk membuat tulisan ini, jujur saya merasa terbebani karena saya sama sekali tidak pernah benar-benar menulis. Tapi, saya punya modal utama – minat yang besar dalam bidang kepenulisan, itu saja. Soal bisa menulis atau tidak urusan belakangan.


Bukankah penulis-penulis ternama juga mengalami hal yang sama?

Alasan setiap orang untuk menulis ada bermacam-macam. Ada yang ingin terkenal melalui tulisan-tulisannya, ada yang menulis karena hobi, ada yang ingin mencari nafkah dengan tulisan, ingin jadi orang yang dikenang sepanjang sejarah, jadi orang yang dikenal dahsyat luar biasa, jadi insan yang bermanfaat hingga hari akhir, jadi orang yang selalu ‘hidup’ dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut kurang lebih dapat mewakili pendapat-pendapat orang, apa sebenarnya yang memotivasinya dirinya untuk menulis. Tidak masalah apakah hal itu merupakan suatu hal yang menunjukkan ia terlalu ambisius, karena setiap mimpi dapat menjadi nyata bila kita sertai mimpi dan ambisi tersebut dengan penuh semangat dan optimis.

Mengapa kita harus menulis?
Saya ingin mengajak anda untuk sedikit merenungi kalimat berikut:
“Kita bekerja membuat sejarah yang berubah dari masa ke masa. Kita bekerja menciptakan sesuatu yang baru. Dan bila upaya itu selesai, kita sudah harus siap dengan hal baru lainnya. Langkah kita adalah bergerak kedepan, bukan menunggu masa depan menghampiri kita…”
Kalimat bijak di atas merupakan kalimat yang keluas dari mulut seorang Syeikh yang bernama Syeikh Maktoum bin Rasyid Al Maktoum, seseorang yang telah mengubah Uni Emirat Arab dan Dubai menjadi kota Metropolitan dalam waktu kurang dari 20 tahun. Atas prinsipnya ini, beliau akhirnya dapat merubah negaranya menjadi kota metropolitan, dengan membuat gedung tinggi di tengah laut, membuat simulasi salju di dalam ruangan (bayangkan, salju berada di negara gurun). Hal itu semua hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, kurang dari 20 tahun! Sebuah prestasi yang luar biasa bukan untuk seorang muslim di zaman seperti ini??

Lalu, apa hubungan kisah tersebut dengan menulis? Tentu ada. Setidaknya kita sebagai seorang muslim bercermin dari beliau, bahwa kita harus membuat sejarah baru, prestasi baru yang bisa mengguncang dunia. Tidakkah kita ingin seperti beliau? Membuat sejarah yang membanggakan, untuk keluarga, negara dan untuk diri sendiri. Sejarah tidak hanya diukir dengan membuat sayap pesawat terbang seperti yang dilakukan oleh Bapak B.J. Habibie, melakukan hal yang seperti Syeikh Maktoum bin Rasyid Al Maktoum lakukan, Christoper Colombus yang berhasil menemukan benua Amerika, Albert Einstein dengan teori relativitasnya, atau Ibnu Sina (orang Eropa menyebut beliau Avicenna) dengan penemuan dalam bidang kedokteran atau siapapun yang telah mengukir sejarah yang luar biasa bagi dunia.

Saya tidak bermaksud untuk mendorong Anda untuk menjadi seperti mereka. Sama sekali tidak. Saya hanya berharap Anda terinspirasi dengan hal-hal di atas. Ukirlah sejarah melalui tulisan. Jika kamu ingin hidup melampaui usiamu, maka menulislah…Melalui tulisan, kita abadi. Nama kita akan selalu dikenang oleh generasi mendatang. Kita akan mengukir sejarah baru.

Berkarya melalui tulisan, menurut saya merupakan amal jariyah. Karena tulisan, nama seseorang dapat dikenang sepanjang masa. Misalnya saja tokoh-tokoh sejarah yang telah banyak menulis hal-hal yang berkenaan dengan situasi pada masanya (seperti Sayyid Quthub, Buya HAMKA, Pramoedia Ananta Toer, dan masih banyak lagi), yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya, bahkan tulisan-tulisan itu dijadikan sebagai referensi untuk penulisan buku-buku berikutnya. Alangkah bahagianya, jika nama kita selalu dikenang sepanjang masa karena kebaikan yang kita lakukan, bukan karena keburukan yang ada pada diri kita.



Apa yang membuat kita “takut” menulis?
Seseorang ditanyakan mengapa ia mau belajar menulis? Jawabannya, lumayan mengejutkan, “Saya tidak ingin menjadi penulis hebat. Saya cuma ingin bisa menulis dengan lancar, tulisan enak dibaca dan disukai oleh yang membaca. Hanya sesimpel itu, tapi jauh sekali untuk bisa sampe kesana”.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, ketidakmampuan dan ketidakberanian kita untuk menulis berasal dari diri kita sendiri, yaitu ketakutan bahwa tulisan kita akan dicela habis-habisan oleh orang lain. Bijaknya, jika kita yakin akan diri dan kemampuan kita, pasti kita akan bisa menulis. Takut sebelum berperang adalah sifat pengecut. Bangunlah dengan banyaknya kritikan, bukan dengan banyaknya sanjungan dan pujian dari orang lain karena kita tidak tahu sebenarnya apa kelemahan kita tanpa kritikan. Semua yang kita lakukan belum tentu benarm itulah fungsinya kritikan. Karena itu, kita harus menyiapkan mental yang kuat untuk jadi seorang penulis terutama bagi pemula. Istilahnya, kita harus siap tahan banting.

Lagi-lagi, saya ingin meengajak anda untuk menyimak kalimat bijak berikut ini:

“Keyakinan yang kuat terhadap apa yang kita kerjakan akan memberikan kekuatan luar biasa untuk mencapai kegagalan” (Sochiro Honda).
Kalimat tersebut adalah kalimat yang kemudian membakar semangat Sochiro Honda ketika akan merintis usaha dalam bidang sepeda motor. Dan kita bisa lihat hasilnya sekarang. Secara tidak langsung, meskipun beliau sendiri tidak melihat hasil keringat dan kerja kerasnya dahulu, beliau telah berhasil mewujudkan mimpinya. Meskipun untuk mencapai hal ini, beliau harus mendapatkan perlakuan yang tidak bersahabat dari orang-orang sekitarnya. Menulis juga seperti itu. Kita akan mengalami jatuh bangun terlebih dahulu. Jika kita sudah yakin akan berhasil, pasti kita bisa! Benar tidak?

Lalu, bagaimana caranya agar bisa menulis?

Menurut Andrias Harefa (penulis buku-buku best seller khususnya mengenai Multi Level Marketing), mengarang bisa gampang kalau anda membiasakan diri untuk membaca. Lebih jelasnya, beliau berpendapat bahwa membaca adalah “makanan” pengarang. Jadi, jika kita ingin menjadi pengarang professional, maka kita harus rajin-rajin membaca. Baca apa saja, lalu perhatikan bagaimana alur tulisan itu. Kemudian, cobalah untuk sedikit meniru. Tentu saja bukan hanya meniru, namun juga memodifikasinya. Itulah kreatifitas. Seperti yang diajarkan oleh Mardjuki (seorang penulis kreatif yang cukup dikenal oleh para wartawan di Yogyakarta, saat melatih Andrias Harefa menulis berita dan menerbitkan media alternatif di tahun 1987), niteni, nirokke, nambahi yang jika diartikan (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti mengamati, meniru dan menambahi. Bukankah jika sudah begitu, menulis bisa menjadi gampang?

Menulislah apa yang anda rasakan dan apa yang anda alami saat itu. Apakah kita sedih, gembira, bahagia, ataukah merana. Uraikan. Tuangkan saja melalui tulisan. Biarkan kata-kata tersebut mengalir bagaikan air, seperti yang dikatakan Pipiet Senja. Ungkapkan semua. Kelak, jika kita melihat kembali tulisan kita, kita akan terkejut bahwa ternyata kita bisa menulis.
Practice makes perfect. Menulis butuh latihan, yang kontinyu tentunya. Jika kita terus berlatih, maka kita tidak akan lagi menemukan kesulitan dalam menulis. Mulailah dengan menulis puisi, misalnya. Puisi tentang apa yang kita rasakan, apa yang kita alami. Selanjutnya, usahakan untuk mengembangkan puisi tersebut menjadi sebuah cerita. Tidak perlu memilih kata-kata yang seperti penulis-penulis professional gunakan. Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan hati nurani kita, karena hal tersebut kemudian akan menunjukkan ciri khas kita.


Menulis bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Jika ingin, para petani pun bisa menulis. Misalnya saja petani tersebut menuangkan idenya mengenai bagaimana cara bertani yang baik dan mengatasi hama yang menyerang padi. Bukankah petani tersebut telah beramal? Lalu, jika petani saja bias beramal lewat tulisan, mengapa kita tidak?

Menulislah yang bermanfaat, jangan sampai tulisan kita menyesatkan ummat. Ingatlah, menulis sebuah amanah Allah. Kelak di akhirat tulisan-tulisan kita akan minta tanggung jawab!” (Pipiet Senja)
Nah, sekarang tanyakan pada diri anda, apakah anda benar-benar tidak bisa menulis??

Wallahu a’lam bish shawab…

Tidak ada komentar: