Jumat, 15 Januari 2010

”CURHAT SETAN JILID II”






Persembahan untuk para sahabat, FLP-ers!

Salam pena!
Apa kabar, kawan?
Aku tak tahu harus memulai curahan hati ini dari mana. Hmm, kalian tahu rasanya bagaimana kan? Seperti saat kita kebingungan ingin memulai menulis cerpen kita dari mana. Entah memulai dengan memaparkan setting atau dialog. Atau, mungkin puisi menjadi pembuka. Atau, mungkin kau ingin mengawali cerpenmu dengan mengeksplorasi tokoh utamamu habis-habisan. Sudahlah! Itu terserah kau, bukan? Kita masing-masing punya ciri khas, akan memulai tulisan kita darimana. Dan sepertinya, aku memilih mengawali curhat ini dengan pertanyaan. Haha! Aku menganggap ini bagian dari diriku yang menyukai pertanyaan-pertanyaan bodoh setiap hari dan akhirnya bingung karena tak mendapat jawaban pasti. ??!!

Sebenarnya, curhat ini tidak punya maksud apa-apa, jika kalian menanyakan maksud tulisan ini (tapi, bukankah segala sesuatu memiliki maksud tersendiri?! Terserah kau lah, kawan!).

Kawan, izinkan aku berkisah...
Juni 2008. Untuk pertama kalinya aku menceburkan diri di sebuah organisasi kepenulisan, Forum Lingkar Pena. Awalnya, di sebuah mesjid, kutemukan beberapa akhwat berkumpul dalam satu lingkaran (ternyata, mereka lagi rapat!). Nah, berbekal satu kebiasaan bodoh (nyosor dan sok nimbrung di rapatnya orang, hehe..), akhirnya aku diikutsertakan dalam rapat itu, meski awalnya sangat tidak tahu apa-apa tentang itu semua. Cek per cek (Mitha bilang, cek per cek sama dengan satu. Nih, anak mungkin terlalu pintar Matematikanya sewaktu SD, hehe), ternyata rapat tadi adalah pembentukan panitia Bedah Buku Cupiderman 3G karya S. Gegge Mappangewa (Dengar-dengar, beliau ini adalah penulis nasional. Cerpennya udah buanyak dan ada dimana-mana. Tapi sayang, aku sama sekali tak pernah mendengar nama itu, kawan! Cerpen-cerpennya pun, aku tak pernah melihatnya. Payah! Semasa SMA memang aku tak terlalu suka dengan cerpen. Dulu, lebih sering baca buku Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, de el el. Eits! Jangan sok nebak dulu. Ini bukan karena bureng, lho. Ini semacam tuntutan kelas unggulan dan persaingan yang ada di dalamnya. Tapi, tetap aja ilmunya masih tertinggal teman-teman lain, hehe…).

OK, lanjut! Kawan, cek per cek lagi, ternyata yang mengatasnamakan kegiatan ini adalah Forum Lingkar Pena Ranting Universitas Hasanuddin! (FLP ranting Unhas?? Adakah? Sejak kapan? Siapa-siapa orangnya? Ya. Itu adalah pertanyaan wajar masa itu). Saat itu, ekspresi yang paling pas, pasti kaget dan tidak percaya. Dan, yang paling membuat kaget dan lebih tidak percaya lagi, saat aku harus mengetahui kenyataan, bahwa ternyata, FLP ranting Unhas saat itu hanya memiliki satu orang (CAMKAN! SATU!) pengurus! Beliau merangkap sebagai ketua, sekretaris, koordinator divisi, plus anggota (Btw, bayangkan tuh bagaimana ribetnya mengurus organisasi dengan keadaan seperti ini. Pantas, nama FLP ranting Unhas sama sekali tak terdengar). Alamak! Sepertinya ini musibah organisasi, kawan! Ck..ck..ck..

Dan, setelah mengetahui kenyataan pahit itu (haha! Lebay…), kami sebagai panitia bertambah semangat untuk bekerja. Kasihan, jika harus melihat nasib organisasi yang (katanya) mendunia ini berakhir tragis. Maka, kami (belasan akhwat dan “si pengurus tunggal”), dengan berbekal semangat dan beban moral sebagai orang-orang yang berkecimpung di dunia dakwah, melakukan segala cara demi suksesnya acara ini.
Berkorban? Tentu saja. Bukankah tak ada perjuangan tanpa pengorbanan? Tapi, pengorbanan tak terasa jika disertai senyum. Wajar saja. Banyak kisah lucu selama perjuangan itu. Salah satunya karena ada kesalahpahaman “para anak ingusan” yang hanya mengandalkan “si Bapak single parent”. Bayangkan, betapa ribetnya! Haha! Sungguh indah saat-saat itu, kawan! Jika mengingatnya kembali, aku sampai sakit perut dibuatnya…

Hari H tiba. Setelah semua perhatian tercurah untuk Cupiderman. Publikasi? Mantap! Konsumsi? Siip! Acara? Ternyata belum fix. Sekitar 15 menit sebelum acara dimulai, kami kelimpungan cari sukarelawan yang harus tilawah dan baca doa. Ya, Rabb! Untung saja, sebagian besar dari kami berlatarbelakang Lembaga Dakwah Kampus. Jadinya, ikhwa disana yang berhasil “dicomot”. Tapi, ternyata dibalik itu ada kejadian yang agak lucu juga. Karena dari tim panitia hanya ada seorang laki-laki, “si Bapak single parent” itu, maka beliau yang giliran mendapat kesusahan. Beliau harus pasang spanduknya sendiri! Harus naik di atas kursi lagi. Mana bisa, kawan? Kasihan juga. Sebenarnya, semuanya pengen bantu, tapi kemampuan kami terbatas. Lagi-lagi, Lembaga Dakwah Kampus jadi pilihan. Hmm, inisiatif yang sangat tepat!

Bedah buku selesai. Dilanjutkan dengan Musyawarah Besar FLP ranting Unhas. Setelah melalui penyeleksian, dipilihlah dua orang calon ketua. Andi Saputri Mulyanna dan Uswatun Hasanah. Ya. Nanna dan aku. Dan, tentu saja yang terpilih sebagai ketua adalah Nanna. Mungkin, visi dan misiku kurang meyakinkan ya, hehe. Padahal sebenarnya, dalam hati aku juga tidak yakin bisa menjadi ketua yang baik. Ya. Takdir memilihku untuk mengawali sukses di FLP sebagai sekretaris FLP ranting Unhas 2008-2009. Hmm, hitung-hitung merasakan bagaimana jadi sekretaris…

Waktu berlalu. Perjalanan sebagai seorang sekretaris, ternyata tidak selamanya mudah. Sekretaris tidak hanya mengurus persuratan dan semacamnya. Banyak hal lain yang harus diperhatikan. Lelah? Konflik? Pasti. Tapi, cinta dan senyum teman-teman seperjuangan menghapus itu semua. Bagiku, inilah nikmatnya perjuangan. Indahnya kebersamaan dalam lingkaran ukhuwah. Ya. Indah untuk dikenang.

Juni 2009. Setahun sudah. Gelar sekretaris harus dilepas. Senang dan sedih menyatu. Seolah ada beban yang hilang meski ada “beban” baru yang lebih berat. Jadi Dewan Penasehat FLP ranting Unhas sekaligus direkrut sebagai staf humas FLP wilayah Sulsel. Sebenarnya, jika dari awal kita terbiasa dengan suasana perjuangan dan beban yang terasa berat, maka beban-beban yang berikutnya, tak akan menjadi masalah bagi kita. Justru, itu menjadi tantangan. Iya, kan?

Kini. Di bulan-bulan terakhir sebagai mahasiswa di Unhas (insyaAllah…), aku tak tahu sampai berapa lama berada di tempat ini. Jika aku tak bergelar mahasiswa lagi, apakah aku masih bisa berjuang bersama kalian disini? Setidaknya, aku ingin memberikan segala yang terbaik yang aku miliki untuk kalian, jika (mungkin) suatu saat aku harus ke kampung halaman dan tak kembali. Meski sebenarnya, sangat berat jika harus memikirkan itu.

Aku harus mengejar cita-cita dan tak akan selamanya ada di sini, itu sudah prinsip! Meski, kita semua tak akan pernah tahu, TAKDIR AKAN MEMBAWA KITA KEMANA…

Kawan, aku hanya ingin berterima kasih. Kepada kalian semua. Sebagian besar senyum yang kini aku miliki adalah karena kalian. Kalian membuatku menemukan duniaku, dunia yang betul-betul membuatku mengenal diriku. Kalian mengajarku tentang cinta. Karena kalian, aku jadi tahu yang mana yang harus kulakukan dan yang mana yang harus kuhindari. Kalian yang membuatku berubah. Ya. Perubahan menuju yang lebih baik. Kalian mengajariku banyak hal, apa saja. Hal yang tidak aku dapatkan di tempat lain. Kalian memberiku berbagai pengalaman yang indah, lucu, unik, aneh, yang membuatku selalu tersenyum jika mengingatnya. Hei, bayangkan! Ada berapa orang di dunia ini yang, karena jalanan macet, ternyata di dalam mobil malah meracik bakso dan dengan santai menghabiskan lima mangkok bakso?? Haha!

Kalian adalah tempat berbagi pengalaman dan cerita-cerita aneh, yang tentu saja, sebagian besarnya adalah fiktif (Haha! Dasar penulis…). Kalian banyak mengajarkanku tentang menjadi orang yang puitis dan beretorika dimanapun dan kapanpun, dan kita harus rela mendengar kalimat seperti: ANAK-ANAK FLP TERNYATA LEBAY!. Kalian memberiku banyak makna pengorbanan. Meski karena terlalu semangat berkorban, kadang tidak peduli dengan hujan deras. Dan, saat aku ingin berteduh, dengan santai kalian bertanya, KENAPA KI?? (Gubrak!)

Kalian membuatku mengenal beragam karakter manusia dan bagaimana cara menghadapinya. Kalian membuatku mengenal dan bertemu langsung para tokoh-tokoh hebat; Rahmad M. Arsyad, M. Nur Hidayat (penulis “Muslimah Yang Ternoda”), Pak Alwi Rahman, Pak Aswar Hasan, Aan Mansyur, Nur Alim Djalil dan Pak Basri (FAJAR), Kak Idham (Identitas), dan terlebih lagi, Izzatul Jannah. Semua itu adalah kebanggaan, kawan! Kalian juga membuatku “bersahabat” dengan Pak Pembantu Rektor III, Pak Nasaruddin.

Dan, yang lebih dari itu, kalian memberiku semangat untuk terus menulis (sebuah kegiatan yang dahulu sama sekali tidak kutekuni dan ternyata sangat menarik!). Kalian membantuku menghasilkan cerpen, esai dan banyak puisi, lalu mempublikasikannya dengan nama El Zukhrufy. Kalian membuatku lebih sering membaca buku, apa saja. Kalian membuatku menjadi lebih peka terhadap segala keadaan di sekitar, menjadikan keadaan itu sebagai bahan perenungan dan menuangkannnya dengan tulisan. Kalian membuatku menjadi lebih bijak, lebih sedikit dewasa, bahkan saat berdialog dengan kedua orang tuaku (Mereka seolah berkata, anakku yang manja itu telah hilang). Kalian telah membuat orangtuaku bangga menyebutku sebagai anak mereka. Kalian membuatku bangga dengan diriku sendiri.

Ah! Sepertinya, terima kasih tidaklah cukup untuk kalian. Terlalu banyak yang kalian berikan untukku. Semua begitu berharga. Sangat tak ternilai. Tapi, dengan apa harus aku balas semua itu, kawan? Aku tidak tahu. Atau, katakanlah, apa yang kalian ingin dariku. Dan aku akan berusaha mewujudkan itu. Ya. Dengan sekuat tenaga yang aku miliki. Tapi, sebelum itu, aku ingin mempersembahkan sebuah sajak untuk kalian…

Saat aku semakin terus membaca,
Saat aku semakin mencoba terus menulis,
Saat itu, aku semakin ingin jujur,
Saat itu, aku semakin ingin kau tahu,
Aku mencintaimu
Hanya itu…



>>Pondok Istiqomah, 12 Januari 2010, pukul 11.11 Wita

4 komentar:

aida_radar mengatakan...

Hiks...hik...6x
Sedihnya kak...
sampai berlinangan z baca postingan ini. Jadi bertambah semangat untuk ber-FLP. Miss U FLP Sulsel... ^_^

Qia mengatakan...

Alhamdulillah...
akhirnya ada juga yg comment di blogku. kak Atun sudah Add sy?

imran makmur mengatakan...

Imran Makmur menyukai ini.
Membaca tulisan ini, saya jadi teringat pristiwa mmalukan saat acara Bedah Buku “Muslimah Yang Ternoda”. Kebetulan waktu itu saya yg jaga tiket ikhwan dpan pintu. Dgn pnuh rasa tgung jwab yg berlebihan dan oon-oon, setiap ikhwan yang masuk sy hadang dpn pintu, nagih uang tiket. Kbtulan saat itu, M. Nur Hidayat, yg mrupakan pemateri skaligus yg empunya buku, lewat dan mau masuk. Saya yg tidk thu apa-apa lgsung menghadang dan memblokade jalan masuk sambil berkata, “Eit, mau kemana? Stop! Bayar tiket dulu!” (gak gitu-gitu amat sih kata-katanya).
Saking tawadhunya, beliaupun rela merogohkan kocehnya tanpa melakukan aksi protes atau demo besar-besaran. Malah sambil senyum. Tawadhu, tawadhuuu sekali.
Pas acaranya dimulai, saya kaget luar biasa. waktu melihat salah satu dari para pemateri, dalam hati saya berkata, “Ih, kayak kenal yang pake kopiah!” (Kbetulan saat itu M. Nur Hidayat mmg pake kopiah)
Setelah ukhti, yang saat itu sebagai moderator, membacakan CV-nya, saya hampir gedebuk jatuh di belakang. Ternyata orang yang sempat saya blokade, boikot dan ekploitasi uangnya depan pintu itu adalah M. Nur Hidayat, penulis buku yang bukunya sedang dibedah, Muslimah yang Ternoda.
Ah, konyol. Dari situlah saya jadi sadar, betapa memalukannya saya. Akhirnya selesai acara, dgn malu-malu kucing, sya hampirilah beliau. Menyatakan permohonan maaf sedalam-dalamnya.... sekalian kasi uang kembalian. (Saat itu uangnya 20 rbu, dikurangi uang tiket 5 rbu, kembali 15 rbu deh! Hehhhh, dasar mahasiswa, tak pernah mau rugi)

catatanliar.com mengatakan...

saya tersanjung