Selasa, 31 Mei 2011

Rindu. Sangat rindu.


Akhir-akhir ini, entah kenapa, saya sangat rindu dengan keluarga di rumah. Saya merasa ingin pulang, ingin bertemu mereka. Saya juga sangat rindu dengan almarhum adik saya, si Abang Kecil.

Saya rindu. Sangat. Tapi saya juga tahu dan menyadari, saya tidak akan pernah mengatakan dan memberitahu mereka tentang perasaan ini. Ya. Saya sama sekali (selama jauh dari mereka) tidak pernah mengatakan bahwa saya rindu. Apakah saya bodoh?

Dulu, waktu adik saya masih hidup (yang baru saya sadari, sangat saya sayangi), mungkin menjadi lebih gampang jika membahasakan rindu. Saya cukup mengiriminya pesan singkat, “Ais jelek!” atau “Ais jelek, lagi ngapain?”

Atau, jika saya rindu pada Abang (kakak saya), saya juga cukup mengiriminya pesan: “Abang jelek!”
Saya cukup puas, meski pesan itu tidak atau telat dibalas. Begitu cara saya membahasakan rindu. Hanya itu.

Untuk kedua orang tua saya, saya tidak pernah berkata apa-apa jika saya merindukan mereka. Selain karena saya tidak mungkin mengatakan “Mama jelek!” atau “Teta jelek!”, mereka tidak bisa membaca sebuah pesan singkat pada ponsel mereka. Maka saya tidak pernah mengatakan rindu pada mereka, CUKUP dirasakan saja. Tapi, biasanya, lebih sering mereka juga merasakan perasaan saya, jadinya tanpa alasan yang penting (dengan menanyakan “Sedang apa?” atau “Selamat pagi” atau “Sudah bangun?”), mereka akan menelepon saya. Saya mengartikan ini sebagai telepati antara orangtua dan anak.

Tapi sekarang berbeda. Saya juga tidak tahu kenapa.

Jika saya rindu pada Abang Kecil, saya cukup bersujud lama-lama. Mengadu pada Tuhan. Berdoa agar bisa bertemu dengannya dalam mimpi. Saya cukup menyendiri, mungkin menangis.

Jika saya rindu Abang, saya melakukan hal yang sama.

Jika rindu pada Mama dan Teta, saya juga melakukan hal yang sama.

Tak ada pesan singkat. Tak ada telepon. Saya CUKUP merasakan saja. Karena saya merasa tak bisa melakukan hal yang biasa dilakukan orang kebanyakan (menanyakan “Teta sama Mama, sedang apa?” atau “Apa kabar, Ma?” atau mengatakan “Teta, Mama, I love you…”).

Dan sekarang saya rindu. Sangat rindu. Saya merasa sendirian dan ingin pulang. Saya sangat ingin melihat mereka sekarang. Tapi tak bisa.


Hanya disini saya membahasakan rindu. Karena saya tahu, mereka ―yang saya rindukan, tak akan pernah membaca tulisan ini.

4 komentar:

Asriani Amir mengatakan...

rindu memng tidak pernah mengenal jadwal kunjungan. sudah rumusnya, jauh dari keluarga = rindu. tp yg paling menyebalkan ketika rindu sudah di ambang batas, tp tidak ada tempat pun jeda sejenak unt meluapkannya. sedikit terdengar klise tp seperti itulah kenayataan.. :D

em.. "untuk dia yg tidak akan pernah membaca tulisan ini", semoga lapang baginya.

Muhamad Ratodi mengatakan...

walaupun tak membaca bukan berarti mereka ga tau kan mbak? mereka tau kok :)

Perempuan Semesta mengatakan...

@Kak Aci:

huuuuuuuuuu, tambah terharu ajah dapat koment dari kakak.. :(

Perempuan Semesta mengatakan...

@Bang Todi:
ho-oh, makasih,Bang... :)