Senin, 07 Maret 2011

MENIKMATI KEJUJURAN



Petang. Ia selalu dimaknai dengan corak kemerahan di dunia tepi barat.

Entah kenapa, petang selalu memberi makna berbeda padaku. Kadang cemas, kadang takut, kadang gelisah. Dan petang ini, kembali hadir suatu rasa berbeda.

Hari ini aku tak ingin mengingat apapun. Cukuplah kesibukan dan kepercayaan orang menyita waktuku hari ini. Aku harus berjalan mondar-mandir di empat distrik yang berbeda, berbekal waktu yang terasa menipis untukku. Tak cukup lagi untuk sekadar mengingat janji, yang bahkan baru di-sah-kan beberapa jam lalu. Ponselku bahkan tak sempat dimanjakan dengan charger-an. Ia selalu dalam kondisi kritis. Kasihan juga aku padanya. Hari ini, ia setia menyodorkan panggilan dan beribu pesan singkat, serta alarm-alarm pengingat janji. Harus kupenuhi. Ya. Karena aku di dunia ini hanyalah seorang. Aku hanya kumpulan definisi yang sama sekali berbeda dengan yang lain. Maka, jika orang-orang membutuhkan aku, ya hanya aku saja yang bisa memenuhi kebutuhan itu. Maka aku, tanpa ba-bi-bu, akan memenuhi panggilan “Segera kesini” atau “Bagaimana ini? Kami membutuhkanmu disini. Kemarilah!”.

Dan kini aku disini. Bergumul dengan berbagai perasaan yang membentuk tanda positif-negatif. Versus. Bahagia dan gelisah di sisi berbeda. Mungkin karena aku kelelahan. Ya, begitu lelah. Leherku kaku karena harus menopang ransel yang berisi penuh: Lithium, pakaian kotor, buku. Tapi disini, aku harus tersenyum, demi sebuah cinta.


Lalu.
...................

Aku bermimpi. Menuju masa menemukan sebuah warna. Seharusnya ini tak terjadi. Aku telah melakukan kesalahan disini. Kesalahan besar yang tak akan termaafkan bagi beberapa manusia. Juga orang-orang berhati polos dan lugu di seberang sana. Tuhan, harus aku bagaimanakan diri dan hidupku?


Aku menemukan sebuah kejujuran.

Dengan warna berbeda.

Mungkin warna-ku.

Tapi bukan aku.

Ah!


Rasanya aku ingin segera pergi dari mimpi ini. Tapi petang belum usai. Sekian banyak mata akan menatapku heran jika aku segera minggat. Terutama sepasang mata itu. Tatapan itu akan melegitimasi hati untuk menguatkan intuisi. Aku memilih diam. Tak kemana-mana. Padahal distrik lain telah menanti.

Ya. Aku nikmati saja kejujuran ini. Meski aku tahu, itu kejujuran yang memiliki makna berbeda. Jadi, kenapa harus merasa aneh jika memang berbeda? Bukankah kau juga memiliki kejujuran yang lain? Mungkin saja serupa kejujuran yang kau dengar.

Dan petang masih memberi makna berbeda untukku. Mungkin petang lebih baik kusebut “hantu”.

Cepatlah pulang. Sudah hampir malam. Aku menunggumu.

Itu pesan darinya. Ya. Aku akan pulang malam ini.

Maaf, sekarang aku tak bisa berlari secepat dahulu. []

Hari ini. Distrik tiga. 2011.

Tidak ada komentar: