Selasa, 14 Juni 2011

Intermezzo: Bima, Jawa, atau..?



Jumat lalu, saya mendapat tugas dari seorang teman untuk menggantikannya sebagai “guru”disebabkan ia punya kesibukan lain yang tak bisa ditolerir (halah, bahasa apaan nih? Haha). Karena saya memang memiliki waktu lowong dan sudah lama sekitar dua pekan gak “ngajar”, maka saya dengan senang hati melakukannya (eit, alasan lain, tentu saja menambah timbangan kebaikan, aamiin). Maka, berangkatlah saya menuju “medan laga”. Awalnya saya kira lokasinya dekat (bagi saya, semua tempat di Makassar itu tidak jauh, dimanapun, berapapun jaraknya). Ternyata, lumayan juga! Saya sampai ngos-ngos-an kesana (padahal, saya diantar naik motor, lol).

Teman saya bilang calon “murid” saya totalnya delapan orang. Ternyata pas nyampe sana, cuma dua orang. It’s OK lah. Toh, memang jadwalnya pada pulang kampung. Syukur-syukur, yang dua orang ini masih ada… (:

Well, setiba saya disana, seperti biasa, untuk pertemuan pertama diawali dengan perkenalan singkat. Saya serahkan kepada kedua “murid” ini untuk memperkenalkan diri lebih dulu. Mereka lumayan jauh lebih muda dari saya, dan ternyata usia kami “CUMA” beda empat tahun! (ket: kata “cuma” sengaja diberi tanda bold, garis bawah dan dimiringkan, *ketawasetan). Bilang aja kamu udah tua, Tun…

Nah. Tiba giliran saya untuk memperkenalkan diri…

“Baiklah, adik-adik. Nama saya, Uswatun Hasanah M. Saleh. Kuliah di Unhas, Ilmu Gizi, angkatan 2006. Mmm, hobi…baca, nulis, dan…jalan-jalan.”

Dua orang di depan saya ini manggut-manggut.

“Saya lahir dan besar di sebuah tempat yang sangat jauh dari sini: Bima, NTB”

Mereka terlihat excited!

“Ah, masa sih, Kak?”

“Ho-oh” Saya heran, kok mereka gak percaya?

Gadis sebelah kiri berkata, “Saya kira Kakak asalnya dari Jawa.” Saya senyum, hampir ketawa. Jawa dari mana ya? Hihi…

Yang sebelah kanan saya angkat bicara, lebih dahsyat, “Saya malah kira Kakak keturunan Arab.” Hah????

Doh! Asli, saya gak bisa nahan ketawa. Kok bisa sih, si adik ini menyangka saya dari Arab? Maka untuk “menyenangkan” hati “murid” ini, saya menunjukkan bakat narsis saya.

“Hidung saya memang mancung, Dek”


-----
PS. Cerita di atas benar-benar terjadi, tanpa perubahan sedikitpun. Lokasi kejadian di Poltekkes Makassar, Jl. Baji Gau, 10 Juni 2011.
Yang ingin ketawa, silakan. Yang ingin menghujat, silakan juga. Lol.

5 komentar:

Asriani Amir mengatakan...

inilah alasan kenapa narsisme tidak pernah bisa hilang di muka bumi ini. hehheheh..

ow, atun orng bima yah. mendadak ingat teman dekat sya pas msih di Statistik UNHAS, namanya IIN SUPRIHATIN, anak bima juga, cewek tulen (baca: lemah lembut, santun) jauh beda ma saya yg sellu berisik, anehnya dia tak pernah mengeluh saat berangkat kuliah jalan kaki dgn saya meski langkah sy lebih dekat ke lari dripada jalan. wkwkwkkwk.. jdi merindukannya, iin benr2 korban keusilan yg sangat sabar.

lah, koq jdi curhat. hahhaha
kali ja, atun kenal, sampaikan salamq sama dia klo ketemu. ckckckkck, kyaknya peluang kenalnya kecil sekali yah. hehehhe

Muhamad Ratodi mengatakan...

ntu baru dua orang murid ya, gimana kalo delapan-lapannya hadir semua...selain jawa ma arab apalagi tebakannya? :D

tapi alhamdulillah kalo kaya gitu..bisa punya wajah blasteran bima-jawa-arab..hehehe...

Sam mengatakan...

wkwkwkwkwk....seperti tak punya tanah kelahiran saja...wkwkwkkwkw.... dasar murid-murid kurang ajaarrr...wkwkwkwkkw

Perempuan Semesta mengatakan...

Accilong::

Yup! Saya kenal, Kak, meskipun gak tetanggaan, hehe...

Ayo, narsis! :D

Perempuan Semesta mengatakan...

Bang Todi::

Saya malah siap-siap mendengar celotehan mereka, "Kak, asalnya JErman ya?" Hihi