Senin, 18 April 2011

Malam ini, saya ke Maros, Chechnya dan Unair bersama Seseorang-yang-ini, tak lebih dari 60 menit



Sedikit gelisah. Pegang Lithium-genggam. Write message.

Assalam..
Maaf dok, bisa saya konsul malam ini?
Dari uswatun

Sent to dr Burhanuddin. Menunggu balasan hingga kurang dari 30 menit.
New SIM1 text message. SIM1 message from dr Burhanuddin.
Message body. From: dr Burhanuddin. 15:04:2011. 15:21.

Ya, sy tunggu anandaku.
Wass. BB

@@@

Pukul 19.47. Di Perumahan Dosen Unhas, blok R, rumah paling pojok dengan nuansa gelap, tak ada lampu jalan.

Saya bersama Kaze-chan masuk. Di dalam, ruang tamu, sudah ada dua orang: seorang lelaki-kemeja dengan usia kisaran 30 dan seorang perempuan-kerudung berusia sekitaran 20 (yang jelas lebih muda dari saya, tapi terlihat lebih tua). Sekarang giliran lelaki-kemeja itu yang dilayani oleh lelaki-tua-bersarung. Sesekali terdengar kata pasien, resusitasi, cedera kepala, postab (yang ini mungkin salah dengar, hehe). Terlihat sebuah lembaran-lembaran mirip proposal di tangan lelaki-kemeja. Mungkin 30-an lembar. Diskusi mereka lumayan asyik. Saya juga turut menyimak. Ini memang kesukaan saya: menyimak meski tak paham. Sementara saya dan perempuan-kerudung sibuk berbisik-bisik.

Dari mana? STIKES NANI. Akper? Bukan, STIKES NANI. Oh, err, maksud saya, Keperawatan? Iya. Angkatan berapa? 2007. Tuh, kan, lebih muda. (Di tangannya terlihat berlembar-lembar kertas juga. Hm, persiapan yang bagus). Judulnya apa? (Perempuan-kerudung menyodorkan lembaran kertas dengan tulisan USULAN PENELITIAN. Ada kata yang menarik hingga saya membolak-balik lembaran itu agak lama: manula, asupan gizi. Judul yang mirip!)

Jadi panggilannya siapa? (Setelah melihat nama di lembaran kertas itu). Indra atau Yani? Kaze-chan berbisik: Ayan. Indra, Kak. Oo.

Lelaki-kemeja selesai dan pamit. Giliran perempuan-kerudung. Saya masih menunggu. Terdengar kata “Sudah bagus, kau maju saja”. Setelah itu, perempuan-kerudung pamit. Wow, ekspress! Tak sampai lima menit! Saya semakin deg-degan. Tinggal tiga orang di ruangan ini: lelaki-tua-bersarung, Kaze-chan dan saya.

(Saya mendekat ke arah lelaki-tua-bersarung, menyodorkan lembaran kertas, tepatnya empat lembar kertas yang di-klip satu kali di kiri atas). Maaf, Dok, cuma ini. (Cengengesan). Tidak apa-apa, daripada tidak ada sama sekali. (Padahal, sebelum meninggalkan rumah, saya berpikir tak akan membawa lembaran apapun. Saya ingat, Yuki-chan mem-print-kan lembaran ini menggunakan printernya. Saya merepotkan orang lagi kali ini).


“Rancangan judul saya,” sedikit gugup, “Gambaran presentase kejadian blablablabla………”

Masih gugup. Kening lelaki-tua-bersarung mengkerut.

“Kau mau bikin novel ya? Judulnya kok panjang sekali?” Mampus! Skak mat!

Kesurupan dunia nulis, Dok.

“Judulmu begini saja: Investasi cacing dan blablablablabla……..” Mengangguk setuju.

“Terus, kau juga tidak usah meneliti di panti jompo. Terlalu gampang kalau begitu. Lagipula, nanti kau tidak akan mendapat tujuanmu. Sudah terlalu banyak yang menjadikan panti sebagai lokasi penelitian. Kalau terlalu gampang, untuk apa kau meneliti?” Mengangguk setuju lagi. Kok tidak kepikiran ya?

“Nanti kau ke Maros saja. Tidak usah banyak-banyak lah, sampelmu cukup 20 atau 30 orang. Coba ke Puskesmas X. Kalau sudah sampai disana, bilang saja utusan saya. Kepala Puskesmasnya kebetulan “anak” saya. Atau, coba cari dua Puskesmas lain. Sebagai jaga-jaga”

“Kalau kau meneliti di tempat seperti itu (desa), lebih bagus lagi. Disana, para manula masih berjalan-jalan tanpa menggunakan alas kaki. Manula yang tinggal dengan keluarga (anak-anak dan cucu) masih besar kemungkinan kesehatannya tidak terjaga. Kalau di panti, makanan mereka terjaga, tiga kali sehari. Mereka memakai alas kaki. Kukunya dipotong tiap tiga kali seminggu. Kalau sudah begitu, apa yang bisa kau dapat?”

Saya tersentuh dengan kata-kata “Manula yang tinggal dengan keluarga (anak-anak dan cucu) masih besar kemungkinan kesehatannya tidak terjaga”.

“Saya sudah baca sekilas. Sudah bagus. Nanti kau bikin yang bagus ya. Jangan seperti bikin novel,” lelaki-tua-bersarung ini berkata sambil menunjuk kertas yang saya serahkan tadi. Kami tersenyum. Lalu beliau mengambil sebuah rancangan penelitian salah satu mahasiswa S3-nya. “Coba lihat judul ini. Apa kau bisa mengerti?”. Saya mencoba membacanya. Sumpah, saya sama sekali tidak mengerti.

“Bahasa penelitian itu, miskin. Tidak seperti novel”. Saya cengengesan lagi.
“Memang lagi ada proyek bikin novel, sih, Dok”

Lalu, tiba-tiba alur pembicaraan kami berganti menjadi dunia tulis-menulis. Sebuah kenyataan yang baru saya ketahui: rupanya dosen kesayanganku ini juga suka menulis!

“Saya juga suka menulis. Sekarang sebenarnya saya lagi menulis novel. Sudah seratusan halaman. Tapi saya tidak melanjutkannya sekarang, karena komputer rusak. Saya punya banyak koleksi novel. Novel yang saya tulis sekarang bukan novel remaja. Saya lebih suka novel petualangan”

Lalu, beliau terus bercerita tentang bagaimana dulu ia menjadi redaktur majalah. Bekerja dalam proyek penerbitan majalah hampir seorang diri: mencari bahan, meng-edit, mencetak, mendistribusi. Semua dilakukan hampir seorang diri. Tapi, beliau tetap melakukannya. Demi Islam yang lebih baik di lingkungannya. Nirlaba.
Wow! Nafas saya naik turun mendengar kata-katanya. Tambah cinta saya sama seseorang-yang-ini. Saya merasa satu jiwa dengannya.

Dan entah kenapa, kami membahas mengenai tingkat harapan hidup manusia di dunia. Lelaki-tua-bersarung menyebut kata yang pernah kudengar beberapa tahun lalu: Chechnya. Saya mencoba mengingat, dimana tempat itu. Setelah beliau menyebut Rusia, barulah saya menyadari. Chechnya adalah salah satu tempat yang ada di Rusia, Negara yang saya ketahui sebagai Negara komunis. Chechnya adalah tempat berkumpulnya kaum Islam.

Lelaki-tua-bersarung lalu bercerita. Beberapa saat lalu, beliau mendengar berita bahwa tingkat harapan hidup disana sangat tinggi.

“Orang-orang Chechnya, di usia 170 tahun, masih sanggup mendaki gunung. Usia mereka adalah usia nabi-nabi”

“Berarti, tingkat harapan hidup disana lebih tinggi dari Jepang, Dok?”

“Ya. Itu karena Muslim Chechnya sangat rajin berpuasa Senin-Kamis. Mereka muslim yang taat. Perempuan disana harus berjilbab. Mereka muslim yang kuat. Karena sanggup bertahan di tengah pemerintahan komunis”

Saya mencerna satu-satu kata lelaki-tua-bersarung ini. Mereka muslim yang kuat. Karena sanggup bertahan di tengah pemerintahan komunis. Subhanallah! Di alam bawah sadar, saya bertekad untuk mengunjungi tempat itu suatu saat nanti.


Pembicaraan kami kembali ke topik penelitian. Beliau menjelaskan tentang banyak hal yang semakin membuka pikiran saya. Tentang lokasi penelitian.

“Silakan turun ke lapangan, bekerja (meneliti) dengan baik. Semua sudah beres, kan?”

“Iya, Dok.” Saya tersenyum puas.

“Cuma ada satu.” Beliau diam sejenak, saya tegang. Ada apa ini?

“Kau harus hati-hati kesana. Karena mau bagaimanapun, kau itu anakku. Saya pernah menyaksikan dua “anak” saya dilindas truk. Mereka parah. Salah seorang dari mereka meninggal sebelum sempat sampai di rumah sakit. Saya dokter, maka saya mencoba memeriksa kondisinya yang saat itu menggelepar. Saya bilang pada petugas Puskesmas, anak ini sudah tidak punya harapan. Bawa saja ke rumah sakit sebagai langkah formalitas. Dan memang, sebelum sampai, anak itu meninggal.

Lokasimu meneliti itu berada di jalan poros. Kendaraan ramai lalu-lalang. Apalagi mobil-mobil besar. Jadi, hati-hati saja disana. Baru-baru saja, saya mengutus empat “anak” saya ke Barru. Mereka baru saja kembali ke Makassar malam ini. Saya bersyukur sekali mereka selamat”

Kawan, betapa baiknya lelaki tua ini. Saya speechless.

Kami diam sejenak, menekuri pikiran masing-masing. Saya melirik Kaze-chan. Sepertinya, dia juga menikmati pembicaraan kami dan mulai mengagumi Bapak saya ini.

“Nanti kau lanjut saja sampai S2, S3…”
 Apa???

“Tapi tidak usah di Sulawesi. Kau lanjut di Jawa saja. Di Unair”
Hah???

“Kau nanti tidak usah ambil Kesmas lagi, antropologi saja. Saya punya sahabat baik yang ahli antropologi. Seorang professor dari Polandia. Beliau Guru Besar di Unair. Beliau dulu dosen pembimbing disertasi saya. Di Indonesia, baru ada dua ahli antropologi. Salah satunya beliau ini. Kalau kau mau, saya bisa rekomendasikan kau kesana. Mudah-mudahan, kita masih hidup saat itu”

Allahu Akbar! Saya tidak bisa berkata apa-apa. Ini adalah kesyukuran bagi saya. Ingin sekali saya mencium tangan orang ini.

Lalu, setelah mengalihkan pembicaraan tentang dunia menulis, sedikit becanda, juga membahas buku-buku dan budaya, saya pamit karena takut dengan suara anjing yang menakutkan di luar sana. Dalam hati, saya berjanji untuk menunaikan studi secepatnya, agar bisa mewujudkan kata-kata lelaki-tua-bersarung itu. Saya bersyukur, sangat bersyukur. Bahwa tak ada mahasiswa lain yang datang setelahku sehingga membuat kami bisa berdiskusi seperti saat ini. Seandainya saya tidak enak dengan Kaze-chan yang menunggu, seandainya tak ada suara anjing, seandainya tak ingat memakai motor pinjaman, seandainya saya tidak memikirkan bahwa beliau harus beristirahat, tentu saya akan terus menemukan tema lain sebagai bahan diskusi kami. Karena sungguh, bersamanya membuat kepala saya kaya. Bersamanya membuat saya merasa mengelilingi dunia.

Meski beliau hanya mengajak saya ke Maros, Chechnya dan Unair dalam waktu yang tak lebih dari 60 menit.

Saat saya di luar halaman, saya melihat pintu rumahnya ditutup dan lampu dipadamkan. Itu tandanya, saya adalah mahasiswa terakhir yang diterimanya malam ini.

Di perjalanan pulang, saya tak henti tersenyum dan bersyukur. Di perjalanan pulang, Kaze-chan tak henti berkata, kau beruntung memiliki dosen sepertinya.

Ya. Itu karena Tuhan menyayangiku. (QS 55:55)

8 komentar:

Pipi mengatakan...

hha.
Pete-pete 07 jadi saksi critamu ini ke saya di hr sabtu lalu..wkwk

dr.Bur ku itu memang orang yang sangat baik hati, pingin lagi diuji sama beliau.. :D

semangat..semangat..
MAROS ku menunggumu...
:D

NIT NOT mengatakan...

lelaki bersarung itu sementara sedang membaca posting ini...wkwkkk....(maksudnya si nitnot)...senengnya ya punya pembimbing yang bisa memberikan motivasi lebih...salam buat bapaknya ya...hehehee...

Perempuan Semesta mengatakan...

kak pipi: ho-oh, kak... :)

mas nit not: yup! ternyata ada lelaki bersarung lain disini.. hihihi

Ekbess mengatakan...

Kapan-kapan bikin liputan khusus tentang si pembimbing dong! Ya...semacam biografi sederhananya...hehehe...Plus fotonya, penasaran mau liat bagaimana rupanya, beruntung sekali dapat dosen kayak beliau...

Perempuan Semesta mengatakan...

@eks: insyaallah ya.. saya memang sangat ingin sekali semua orang tahu tentang beliau yang sangat baik hati, heheh.. :)

Tiara Putri mengatakan...

wah ... saya pengen jadi guru seperti beliau ;D

Aik Sardie mengatakan...

hemmm, petualang telah saling bertemu, mengagumkan. Salam kenal

Perempuan Semesta mengatakan...

@Fiction: Saya jugaaaa... salam kenal ya...

@Aik: Salam kenal juga, Aik. :) Makasih ya sudah follow..